• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hubungan Pembelajaran Dengan Pengetahuan Awal

3. Perubahan Konsep

Menurut Piaget, belajar adalah proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut siswa setiap kali membangun konsep yang baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu belajar merupakan proses yang terus menerus, tidak berkesudahan (Paul Suparno,1997:35).

Perubahan konsep dapat berupa melengkapi pengetahuan (konsep) yang sudah ada ataupun mengkonstruksi pengetahuan baru. Pengertian dan pengetahuan manusia terus berubah, terus berkembang, tidak pernah statis berhenti.

Menurut Toulmin, bagian terpenting dalam pengertian manusia adalah perkembangan konsepnya yang evolutif, terus berubah pelan-pelan dan bukan konsep yang telah baku, prosedur yang stereotip, atau konsep yang tidak dapat diubah. Dalam perkembangan konsep, seseorang merubah gagasan mereka lebih maju. Rasionalitas manusia justru terletak pada bagaimana seseorang mengubah konsep, prosedur, dan gagasan mereka untuk semakin maju (Novak 1977 dalam Suparno 2005:85). Posner dkk menjelaskan adanya dua fase yang dapat dibedakan dari perubahan konsep dalam filsafat sains, yaitu central commitments dan the central commitments in need of modification. Dalam central commitments para ilmuwan mendefenisikan persoalan, strategi menghadapi persoalan itu, dan menentukkan kriteria untuk penyelesaian. Dalam fase yang kedua, the central commitments in need of modification, ilmuwan harus mengubah central commitments bila itu bertentangan dengan asumsi dasar mereka. Perubahan itu harus dilakukan, bila defenisi, strategi, dan kriteria yang digunakan ternyata menghasilkan akibat-akibat yang berlawanan dengan asumsi dasar para ilmuwan. Perubahan harus juga dilakukan bila defenisi, strategi maupun kriteria yang digunakan tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi (Suparno, 2005 :85).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa belajar adalah proses perubahan konsep dimana melalui tahap proses asimilasi dan proses akomodasi. Dalam asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah ada untuk menghadapi gejala baru dengan suatu perubahan kecil yang berupa penyesuaian sedangkan dalam akomodasi, siswa harus mengganti atau mengubah konsep-konsep mereka yang lama karena tidak cocok lagi dengan persoalan yang baru. Disini ada perubahan secara drastis dan siswa sungguh-sunguh mengubah konsep yang telah mereka punyai. Hal ini biasanya terjadi bila siswa mempunyai konsep yang tidak cocok dengan konsep ilmiah.

Menurut Posner dkk. (Suparno,2005:90) supaya terjadi proses akomodasi memerlukan beberapa kondisi yang harus dipenuhi, antara lain :

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang ada. Siswa mengubah

konsep mereka jika mereka percaya bahwa konsep yang telah mereka punyai tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi situasi, pengelaman atau gejala yang baru. Jadi konsep lama sudah usang.

b. Konsep yang baru harus intelligible (dapat dimengerti). Siswa dapat mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman baru dapat didekati dengan konsep-konsep baru tersebut.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, yaitu mempunyai kemampuan untuk

memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh para pendahulu, dan konsisten dengan teori dan pengetahuan lain atau dengan pengalaman yang lama.

d. Konsep baru harus berguna untuk program riset dan mempunyai kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan yang baru.

Menurut Posner dkk. salah satu penyebab terbesar ketidak puasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan siswa, dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru (Suparno, 1997:51). Bila siswa mengalami peristiwa anomali mereka akan merevisi dan mengubah konsep yang lama untuk menghindari konflik dipikirannya.

Banyak pendidik sains menggunakan data anomali untuk memacu perubahan konsep pada anak (Chinn 1993 dalam Suparno 1997:51). Dalam proses itu mereka membuat atau menyediakan eksperimen atau pengalaman yang memberikan data-data yang berlawanan dengan prediksi siswa atau pengertian siswa (Suparno, 2005:91). Data anomali berperan besar dalam perubahan konsep dalam sejarah sains.

Carey menjelaskan ada dua macam pengertian restrukturisasi yaitu lemah dan kuat. Restrukturisasi lemah tidak mengubah konsep, tetapi restrukturisasi kuat mengubah konsep (Dykstra dkk 1992 dalam Suparno 2005:93). Untuk dapat membuat restrukturisasi kuat, perlu metode pengajaran yang dapat mengubah konsep. Strategi yang membuat disekuilibrium (ketidakseimbangan) dalam pikiran siswa akan mudah menyebabkan perubahan konsep. Restrukturisasi lemah ini sesuai dengan istilah asimilasi

dari Posner, sedangkan restrukturisasi kuat sesuai dengan istilah akomodasi dari Posner. Dalam restrukturisasi lemah, konsep awal yang dipunyai siswa tidak diubah secara total tetapi hanya disesuaikan sedangkan dengan restrukturisasi kuat, konsep siswa diubah secara total menjadi konsep yang berlainan (Suparno, 2005:93).

Pembelajaran fisika yang baik adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya perubahan konsep secara cepat dan efesien. Perubahan konsep yang terjadi pada kegiatan pembelajaran fisika yang pertama adalah perubahan dalam arti siswa memperluas konsep dari konsep yang belum lengkap menjadi lebih lengkap, dari konsep yang belum sempurna menjadi sempurna sedangkan perubahan kedua adalah proses pembetulan konsep yaitu dari konsep yang salah menjadi benar atau menjadi sesuai dengan konsep para ahli fisika.

1) Proses perluasan konsep

Proses yang pertama adalah proses memperluas konsep yang sudah ada. beberapa cara membantu siswa menambah konsep atau pengetahuan mereka tentang bahan fisika, antara lain :

a) Memberikan informasi baru yang belum pernah diketahui oleh siswa. Yaitu dengan cara guru menjelaskan konsep yang baru sesuai dengan urutan kurikulum yang telah direncanakan.

b) Siswa diberi bahan baru dan diajak untuk mempelajari sendiri bahan itu sehingga konsepnya bertambah. Model belajar mandiri ini perlu bantuan pengarahan dari guru.

c) Siswa diberi kesempatan untuk mencari bahan-bahan baru yang telah disediakan, baik dari buku maupun multimedia fisika.

Pembelajaran untuk menambah konsep diatas juga dapat mengakibatkan bertambahnya miskonsepsi. Memang dalam pembelajaran siswa mengalami penambahan konsep yang sangat banyak, namun miskonsepsinya juga bertambah. Dalam proses pengembangan pengetahuan, memang kedua hal ini dapat berjalan seiring. Namun tentu saja yang ideal adalah bila miskonsepsinya makin berkurang.

2) Pembetulan konsep yang salah

Untuk proses ini tidak cukup guru menambah bahan fisika dalam pembelajaran. Tetapi harus memikirkan strategi yang tepat untuk membetulkan miskonsepsi yang dialami siswa. Banyak ahli dalam fisika mengusulkan untuk menggunakan strategi pembelajaran yang menyediakan pengalaman anomali bagi siswa. Siswa diberikan kesadaran bahwa konsep awal yang mereka miliki tidak tepat, salah atau tidak sesuai dengan situasi yang ada. Untuk menyadarkan siswa dari kesalahan konsep yang mereka miliki dengan menyediakan data anomali. Dimana siswa diajak untuk menjelaskan masalah baru dengan konsep lamanya yang memang ternyata tidak mencukupi dan siswa tertantang untuk mengubah

konsepnya. Dengan hasl eksperimen yang berlainan dengan konsep awal siswa, maupun melalui diskusi dengan orang yang mempunyai konsep lain, siswa tertantang untuk memikirkan kembali konsep awalnya, sehingga siswa terbantu untuk mengubah konsep awal mereka.

Menurut Joan Davis (2001) sebagaimana dikutip oleh Suparno (2005:97) seorang guru dalam mengajarkan perubahan konsep harus memperhatikan dua hal pokok:

a) Membuka konsep awal siswa.

Perubahan konsep hanya mungkin terjadi bila siswa sadar akan konsep awal mereka, entah benar entah tidak. Dari konsep awal itulah dapat dilihat dimana miskonsepsi mereka dengan segala alasannya. Maka diperlukan kepiawaian guru untuk membantu siswa berani mengungkapkan pikiran atau gagasan mereka.

b) Membantu siswa mengubah kerangka berpikir awal

Dalam langkah ini guru mencari beberapa teknik yang sesuai untuk menantang agar siswa mengubah gagasan mereka yang tidak benar. Untuk dapat membantu mengubah kerangka berpikir awal siswa, guru perlu mengerti ekologi konseptual siswa, yaitu semua pengetahuan dan kepercayaan yang dipunyai siswa. Hal ini meliputi antara lain ;

(1) Pengetahuan awal atau konsep yang telah ada dalam diri siswa (2) Relasi antara konsep-konsep tersebut dalam pikiran siswa

(3) Pengetahuan baru tentang konsep-konsep alternatif yang dipunyai siswa

(4) Keyakinan epistemologis siswa, yaitu keyakinan siswa yang

membuat siswa percaya bahwa pengetahuannya benar. Keyakinan ini sangat penting agar guru dapat membantu siswa mengubah keyakinan. Tanpa perubahan keyakinan, siswa akan sulit mengubah konsep dan gagasan mereka.

Dalam mengajar untuk perubahan konsep perlu dimengerti bahwa konsep awal siswa itu resisten terhadap perubahan. Ini terjadi karena siswa percaya bahwa pengertian awal mereka telah berjasa dalam memahami dunia ini. Maka untuk membuang pengertian itu tidaklah mudah. Itulah sebabnya seorang guru hanya menyajikan konsep yang benar kepada siswa dan memberitahukan kepada siswa bahwa pikiran mereka tidak tepat, tidak akan mengubah konsep awal siswa. Dalam pengajaran perubahan konsep, siswa perlu dibantu untuk secara konstruktif mau mereorganisasi pengetahuan mereka dan ini tidaklah mudah (Davis, 2001:6 dalam Suparno, 2005 :98)

Menurut Duit (1999, dalam Suparno, 2005:98), strategi yang perlu dikembangkan dalam perubahan konsep agar lebih efektif menyangkut dua hal pokok:

1. Guru membuat situasi sedemikian rupa sehingga konsep awal siswa

2. Guru menantang agar muncul konflik kognitif pada siswa dan terjadi disequilibrium dalam pengertian siswa. Bila ini terjadi maka siswa akan merasa tidak nyaman pikirannya dan akan lebih menerima pengertian baru yang lebih intelligible,plausible, dan fruitfull.

Beberapa peneliti, ahli, dan pendidik fisika menemukan beberapa metode pembelajaran fisika yang telah terbukti dapat membantu perubahan konsep, terutama perubahan konsep fisika yang kurang benar ke arah yang lebih benar (Suparno, 2005:102). Beberapa metode itu antara lain:

1. Bridging analogy (analogi penghubung)

Model penjelasan analogis adalah model penjelasan suatu konsep atau topik dengan cara menganalogikan suatu konsep dengan suatu peristiwa yang dimengerti siswa

2. Simulasi komputer

Dalam simulasi ini siswa dapat memanipulasi data, mengumpulkan data, manganalisis data, dan mengambil kesimpulan.bila dalam simulasi siswa menemukan siswa menemukan data yang sangat berbeda dengan yang mereka pikirkan sebelumnya, maka siswa akan mengalami konflik dalam pikirannya. Konflik inilah yang memacu memacu mereka untuk bertanya. 3. Wawancara diagnosis

Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara bebas, guru bebas bertanya dan siswa bebas untuk menjawab. Apa yang hendak ditanyakan dan urutan pertanyaan dalam wawancara tidak perlu

dipersiapkan. Pada wawancara terstruktur, pertanyaan sudah dipersiapkan dan urutannya secara garis besar sudah disusun sehingga memudahkan dalam wawancara. Melalui wawancara tersebut akan diketahui pemahaman yang dimiliki siswa mengenai konsep tertentu dan hubungannya dengan konsep lain. Siswa juga dapat menjelaskan alasan dari pemahaman konsep tersebut, sehingga apabila terjadi salah konsep ataupun perubahan konsep dapat terdeteksi dengan jelas

4. Diskusi kelompok

Diskusi merupakan cara yang baik untuk mengungkapkan pengetahuan siswa. Diskusi dengan teman lain tentang konsep yang baru saja dipelajari akan membuat mereka tertantang untuk mengerti lebih dalam. Mereka saling mengungkapkan konsep dan gagasan mereka maing-masing mendengarkan gagasan teman lain dan memperdebatkannya secara argumentatif rasional gagasan mereka yang berbeda.

5. Peta konsep

Peta konsep adalah suatu gambaran skematis untuk merepresentasikan suatu rangkaian konsep dan kaitan antar konsep-konsep terssebut. Peta konsep ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi. Menurut Novak,dkk (dalam Suparno,2005:111) Peta ini mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antar konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok. Peta konsep dibentuk berdasarkan pada pemahaman siswa mengenai konsep tersebut dan hubungannya dengan

konsep lain. Selain mendeteksi miskonsepsi pada siswa, peta konsep dapat pula menunjukkan perubahan konsep yang telah terjadi. Hal ini akan lebih jelas apabila disertai dengan wawancara yang dilakukan oleh guru pada siswa.

6. Problem solving

Problem solving adalah model pembelajaran dengan cara pemecahan persoalan. Biasanya guru memberikan persoalan yang sesuai dengan topik yang hendak diajarkan dan siswa diminta untuk memecahkan persoalan itu.sebaiknya guru meminta agar iswa mengungkapkan bagaimana cara mereka memecahkan persoalan tersebut dan bukan hanya melihat hasil akhirnya.

7. Percoban atau pengalaman lapangan

Percobaan tau pengalaman lapangan adalah cara yang baik untuk mengontraskan pengertian siswa dengan kenyataan (Gilbert, watts,osborne, 1982; brauwer, 1984;McClelland, 1985 dalam Suparno, 2005:114). Percobaan dan pengamatan dapat menghilangkan miskonsepsi intuitif siswa. Percobaan dapat menantang intuisi mereka , apakah benar atau tidak.

8. Pertanyaan terus menerus di kelas

Salah satu metode untuk membantu perubahan konsep secara umum adalah dengan model pertanyan terus menerus di kelas. Guru mengajukan pertanyaan di kelas, lalu siswa dibiarkan menjawab sebebas-bebasnya. Dari

jawaban siswa, guru meneruskan bertanya lebih dalam sehingga semua konsep, baik yang tidak benar dan benar, diungkapkan. Metode ini memang tidak dapat meyakinkan bahwa setiap siswa akan mengalami perubahan konsep, tetapi siswa secara klasikal dapat membantu beberapa siswa mengubah konsepnya. Yang diperlukan agar cukup piawai mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing gagasan siswa.

D. Miskonsepsi

Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif, atau pandangan yang naif (Suparno, 2005:4).

Suparno (2005:4) mengutip pendapat beberapa ahli tentang miskonsepsi, yaitu: Novak (1984) mendefenisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Menurut Brown (1989;1992), menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefenisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987) menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep. Sedangkan menurut Fowler (1987) miskonsepsi sebagai

pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.

Banyak peneliti menemukan bahwa siswa telah mempunyai miskonsepsi sebelum mereka memperolah pelajaran formal. Jenis miskonsepsi yang paling banyak terjadi adalah, bukan pengertian yang salah selama proses belajar mengajar, tetapi suatu konsep awal (prakonsepsi) yang dibawa siswa ke kelas formal. Jadi demikian dapat dilihat bahwa konsep awal pada siswa sangat berpengaruh dalam mereka mengikuti proses pembelajaran, dimana dalam pikiran mereka sudah ada pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri dari pengelaman mereka dengan lingkungan baik dari lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan bermain mereka dengan teman sebaya. Bahkan konstruksi pengetahuan sudah terjadi dari kecil dimana mereka sudah belajar untuk mengetahui sesuatu. Miskonsepsi terdapat dalam semua bidang sains. Miskonsepsi dalam bidang fisika meliputi banyak bidang seperti mekanika, termodinamika, optika, bunyi, dan gelombang, listrik magnet, dan fisika modern.

Miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan, terlebih bila miskonsepsi itu dapat membantu memecahkan persoalan tertentu. Miskonsepsi pada siswa tidak bisa diatasi atau berubah bila metode mengajar yang dipilih guru adalah metode ceramah. Maka dianjurkan agar memilih metode mengajar yang menantang pikiran siswa, membuat mereka bingung pada konsep awal yang mereka miliki, menimbulkan keraguan pada apa yang mereka pikirkan, sehingga merangsang

mereka untuk bertanya. Metode mengajar yang dimaksud adalah dengan mejelaskan pada siswa menggunakan peristiwa anomali yang mana peristiwa tersebut bertentangan dengan konsep awal siswa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Miskonsepsi terjadi di semua jenjang pendidikan, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, bahkan juga terjadi pada guru dan dosen sehingga menyebabkan miskonsepsi pada siswa lebih besar. Miskonsepsi juga terjadi pada buku-buku pelajaran fisika yang dijual di pasaran sehingga menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada guru dan siswa yang menggunakan buku tersebut. Untuk mengatasi miskonsepsi tidak hanya dari satu pihak saja tetapi dari berbagai pihak dan berbagai level yang berkaitan dengan pendidikan.