• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.2. Perumusan Masalah

Di negara-negara maju, sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi utama yang mendapatkan subsidi. Pemilihan sektor ini bukan tanpa dasar, karena dibandingkan sektor ekonomi lainnya, sektor pertanian di negara- negara maju memiliki daya saing yang relatif kurang baik. Oleh karena itu, sebagai upaya integral untuk memproteksi serbuan produk pertanian asing sekaligus memastikan eksistensi sektor pertanian domestik, maka subsidi pertanian tersebut diberikan. Dengan begitu, tampak bahwa subsidi pertanian selain sebagai salah satu strategi untuk melaksanakan perdagangan internasional

juga lebih bermakna meningkatkan produktivitas masyarakat daripada memenuhi kebutuhan konsumsi semata.

Begitu pun di Indonesia, sektor pertanian menjadi salah satu sektor prioritas untuk mendapatkan subsidi meskipun besaran subsidi yang diberikan relatif kecil dibandingkan subsidi bahan bakar minyak. Untuk mendorong peningkatan pendapatan petani, pemerintah berusaha melakukan peningkatan produksi dengan penekanan penggunaan teknologi pertanian seperti pupuk dan bibit/benih unggul. Oleh karena itu, pemerintah memberikan subsidi pada pupuk dan bibit/benih tersebut.

Kebijakan subsidi pupuk di Indonesia dimulai pada tahun 1969 yang dikaitkan dengan program peningkatan produksi padi. Namun selama tahun 1999- 2000, subsidi dan tataniaga pupuk dicabut sehingga perdagangan pupuk dibiarkan mengikuti mekanisme pasar bebas. Penghentian subsidi dan deregulasi perdagangan pupuk ini merupakan bagian dari letter of intent antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF), sebagai bagian dari rencana aksi pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997. Pencabutan subsidi dan deregulasi pasar pupuk ini, telah mengakibatkan harga pupuk di tingkat petani sejak saat itu sepenuhnya ditentukan oleh harga pupuk di pasar dunia (Syafa’at et al, 2006).

Pada tahun 2000 terjadi peningkatan harga gas di pasar dunia, yang selanjutnya ikut mendorong kenaikan harga pupuk di pasar dunia. Kenaikan ini ditransmisikan secara langsung pada harga pupuk di pasar domestik, sehingga mendorong pemerintah untuk kembali memberikan subsidi pupuk sejak tahun 2001. Selama tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk Insentif

9

Gas Domestik (IGD) untuk produksi pupuk urea. IGD ini memang tidak disebutkan sebagai subsidi pupuk dan jumlahnya juga tidak terlalu besar.

Peningkatan harga gas pada tahun-tahun berikutnya mendorong pabrik pupuk untuk menuntut diberikannya subsidi dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk di pasar domestik agar tidak memberikan dampak negatif terhadap produksi hasil-hasil pertanian. Oleh karena itu, sejak tahun 2003 pemerintah terpaksa menaikkan dan memperluas cakupan subsidi, dimana subsidi yang diberikan tidak saja dalam bentuk subsidi gas untuk urea, tetapi juga subsidi harga pupuk lainnya (SP 36, ZA dan NPK). Sebagai imbalannya, pabrik pupuk diwajibkan untuk menyalurkan pupuk tepat waktu, dan jumlah pada tingkat Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Sejak tahun 2003 sampai dengan saat ini, pemerintah memberlakukan subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Pola subsidi pupuk dilakukan kepada petani adalah subsidi tidak langsung yaitu subsidi pupuk dilakukan melalui produsen pupuk. Besaran subsidi pupuk untuk masing-masing jenis pupuk dihitung dari selisih antara HPP (Rp/Kg) dikurangi HET (Rp/Kg) dikalikan Volume Penyaluran Pupuk (Kg). HPP diusulkan oleh Menteri Pertanian kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sebagai dasar pengalokasian dana subsidi pupuk (Permenkeu No. 94. Tahun 2011). Adapun sistem distribusi pupuk dari produsen ke petani adalah dilakukan oleh produsen pupuk dari pabrik sampai ke lini III (gudang yang ada di kabupaten), distributor dari lini III ke lini IV, dan pengecer dari lini IV (kecamatan) ke petani.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan program pemberian pupuk bersubsidi oleh pemerintah belum dirasakan efektif mengingat masih banyaknya persoalan yang timbul pada tataran implementasinya. Persoalan penting yang senantiasa mengemuka dan menjadi pemberitaan hangat adalah terjadinya kelangkaan pupuk pada saat pupuk dibutuhkan, terutama awal musim tanam. Disamping itu, HET yang ditetapkan pemerintah seringkali tidak diterima oleh petani sehingga petani tetap harus membayar di atas HET tersebut. Padahal, penerapan HET pupuk seharusnya memberikan kepastian harga pupuk kepada petani sehingga mampu memperkuat posisi Nilai Tukar Petani (NTP).

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk di tingkat petani, yaitu: (1) pasar pupuk domestik masih bersifat dualistik, tanpa diikuti dengan pengawasan dan penerapan sanksi secara ketat, sehingga menyebabkan terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke nonsubsidi; (2) maraknya ekspor pupuk secara ilegal, seiring dengan meningkatnya harga pupuk di pasar dunia serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat; (3) adanya rasa fanatisme petani terhadap merek pupuk tertentu, yang menyebabkan terjadinya perembesan pupuk antar pasar bersubsidi dikenal dengan “pupuk pariwisata“; dan (4) masih banyak distributor pupuk yang tidak memiliki armada dan gudang penyimpanan di lini III, sehingga biaya sewa gudang dan transportasi yang harus dikeluarkan sangat mahal (Syafa’at et al, 2006).

Sementara itu terjadinya lonjak harga pupuk di tingkat pengecer atau petani juga diduga karena HET yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistis. Biaya tebus setelah ditambah biaya bongkar muat dan transportasi serta biaya

11

tidak resmi lainnya sampai di tingkat pengecer ternyata di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Apalagi dikaitkan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, akan menyebabkan besarnya subsidi dan HET pupuk yang ditetapkan pemerintah saat ini semakin tidak realistis. Pelaku distribusi pupuk terpaksa menjual di atas HET untuk mempertahankan perolehan keuntungan yang wajar (Kariyasa, 2007).

Dari uraian di atas nampak bahwa kelemahan yang terdapat dalam kontruksi dasar kebijakan subsidi pupuk yang berlaku saat ini telah mendorong terjadinya langka pasok dan lonjak harga, sehingga HET yang berlaku seringkali menjadi tidak efektif. Kondisi ini membuat pemerintah, DPR maupun masyarakat relatif belum puas terhadap kebijakan subsidi pupuk yang berlaku saat ini sehingga terdapat wacana untuk mengganti modus subsidi pupuk dari subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) pupuk menjadi subsidi yang dibayarkan langsung kepada petani.

Wacana untuk mengganti modus subsidi dari subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) pupuk menjadi subsidi yang dibayarkan langsung kepada petani dapat mewujudkan satu harga pupuk yaitu harga pasar dikarenakan petani mau tidak mau harus membeli pupuk dengan harga pasar. Dengan hanya ada satu harga dalam pasar pupuk domestik maka tidak ada lagi dualisme pasar. Disamping itu, disparitas harga pupuk domestik dengan harga pupuk internasional akan dapat diminimalisir. Dengan demikian dorongan untuk melakukan tindakan menyimpang baik dalam bentuk penjualan pupuk bersubsidi kepada perusahaan skala besar (perkebunan) maupun ekspor pupuk bersubsidi

secara ilegal dapat diredam sehingga salah satu sumber terjadinya fenomena langka pasok dan lonjak harga dapat dihilangkan (Simatupang, 2004).

Permasalahan kebijakan subsidi pupuk tidak hanya pada model subsidi saja, tetapi juga jenis pupuk yang disubsidi. Selama ini, jenis subsidi pupuk masih didominasi oleh pupuk kimia (pupuk anorganik) dibandingkan dengan pupuk organik. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Selain itu, pupuk organik sangat bemanfaat bagi peningkatan produktivitas perrtanian, mengkonversi hara, mengurangi pencemaran lingkungan, serta meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik memegang peran penting dalam pembentukan zat hara dalam tanah,

Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C organik dalam tanah, yaitu lebih kecil dari 2 persen, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di pulau Jawa kandungannya lebih kecil dari 1 persen. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih besar dari 2,5 persen. Kandungan bahan organik dalam tanah semakin lama semakin berkurang. Selain penurunan kandungan bahan organik terjadi pula kecenderungan penurunan pH pada lahan pertanian. Terdapat dua alasan yang selama ini sering dikemukakan para ahli adalah pengolahan tanah yang dangkal selama bertahun – tahun

13

mengakibatkan menurunnya kandungan C dan N-organik, dan penggunaan pupuk kimia seperti urea, KCL, dan TSP telah melampaui batas efisiensi teknis dan ekonomis (Musnamawar, 2003).

Salah satu alasan pentingnya penggunaan pupuk organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Beberapa kelebihan dari penggunaan pupuk organik adalah memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikan kondisi kehidupan di dalam tanah, dan sebagai sumber zat makanan bagi tanaman. Pupuk organik sangat ramah lingkungan dan mengandung nutrisi yang lengkap meskipun kadarnya tidak setinggi pupuk anorganik (Lingga dan Marsono, 2004).

Peran pupuk organik ini ke depan sangat penting dan strategis, di samping dapat mendongkrak levelling off dan perbaikan tingkat kesuburan tanah, penggunaan pupuk organik dapat secara langsung atau tidak langsung mengurangi kebutuhan pupuk anorganik. Apabila penggunaan pupuk organik tersebut meningkat, pada gilirannya dapat menambah kapasitas ekspor perusahaan pupuk anorganik dalam negeri sehingga dapat menambah devisa negara.

Berdasarkan uraian di atas, bagaimanapun harus disadari bahwa subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) maupun subsidi yang dibayarkan langsung kepada petani akan memiliki kekurangan dan kelebihan. Di lain pihak penggunaan dan pemilihan jenis pupuk organik dan anorganik dapat berpengaruh terhadap kontribusi peningkatan sektor pertanian. Oleh karena itu, dalam rangka merespon wacana tersebut dan menghasilkan penelitian yang

komprehensif, maka sangat relevan bila dilakukan penelitian dengan perumusan masalah diantaranya: (1) Menganalisis peranan sektor industri pupuk anorganik dan organik saat ini terhadap nilai tambah (Produk Domestik Bruto) dan distribusi pendapatan (faktor produksi, institusi, sektor produksi); (2) Menganalisis dampak perubahan pola subsidi pupuk terhadap nilai tambah (Produk Domestik Bruto) dan distribusi pendapatan (faktor produksi, institusi, sektor produksi); (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan subsidi pupuk; dan (4) Menetapkan prioritas pola subsidi dan sistem distribusi yang terbaik dalam mengimplementasikan kebijakan pupuk di Indonesia.