• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. GAMBARAN UMUM KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN PERPUPUKAN DI INDONESIA

4. Periode 2003-sekarang

3.5. Tinjauan Studi Tentang Kebijakan Subsidi Pupuk

Penelitian tentang kebijakan subsidi pupuk telah dilakukan di beberapa

negara, diantaranya oleh Grepperud et al. (1999) di Tanzania, Yamano et al. (2010) di Afrika selatan, Sharma et al. (2009), Painuly dan Mahendra (1998) melakukan di India, Salimonu (2008) di Nigeria, Ekanayake (2009) di Sri Lanka, Minot dan Benson (2009) di Afrika dan penelitian mengenai penggunaan pupuk

73

Grepperud et al. (1999) melakukan penelitian tentang liberalisasi

perdagangan jagung versus subsidi pupuk di Tanzania. Penelitian ini menyajikan analisis economy-environmental interlinkages dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) dalam rangka mengevaluasi langkah- langkah dua kebijakan dalam menstimulasi pertumbuhan dan produksi hasil

pertanian di Tanzania. Model ini adalah multisektor yang fokus pada produksi

sektor hasil pertanian dan proses soil mining. Analisis ini menunjukkan bahwa kedua reformasi kebijakan memiliki dampak yang luas dan signifikan saling

melengkapi antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian di Tanzania. Subsidi

pupuk mendorong manajemen produksi pangan dan pola produksi lahan yang

intensif, sementara disisi lain liberalisasi pedagangan komoditas jagung

menstimulasi proses produksi tanaman pangan dan tanah lebih intensif. Hanya

dampak kecil yang teridentifikasi dari kedua reformasi kebijakan tersebut yaitu

distribusi dan erosi tanah.

Yamano et al. (2010) melakukan penelitian tentang subsidi pupuk dan aplikasinya di Afrika bagian timur. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor

determinan penggunaan pupuk anorganik untuk tanaman pangan di negara Kenya,

Ethiopia dan Uganda. Kajian ini juga menganalisis faktor-faktor determinan harga

pupuk dan mengevaluasi kebijakan pupuk di setiap negara dengan menggunakan

panel data. Kenya adalah salah satu dari beberapa negara Afrika yang telah

berhasil melakukan liberalisasi pasar pupuk dan mencapai peningkatan yang

substansial dalam penggunaan pupuk selama beberapa dekade. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu harga DAP dan permintaan di Kenya

menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan berorientasi pasar yang akan efektif.

Salah satu faktor yang paling penting yang mempengaruhi penggunaan pupuk di

Kenya adalah harga pupuk. Perkiraan hasil menunjukkan bahwa pengurangan

relatif kecil dalam harga pupuk akan mengakibatkan peningkatan besar dalam

penggunaan pupuk di negeri ini.

Di sisi lain, Yamano et al. (2010) menyatakan bahwa Ethiopia menerapkan sistem state-led fertilizer marketing, sehingga faktor-faktor kebijakan yang terkait akan menentukan harga pupuk. Program subsidi pupuk yang

diterapkan di Ethiopia menyebabkan non optimal penggunaan pupuk yang pada

gilirannya akan menghasilkan pengembalian yang lebih rendah untuk investasi

publik. Walaupun, program subsidi tersebut dapat berkontribusi pada pengentasan

kemiskinan, namun program ini secara implementasi masih rendah. Sementara

Uganda harus belajar dari pengalaman dua negara tetangga tersebut.

Sharma et al. (2009) melakukan penelitian tentang penerima manfaat dari kebijakan subsidi pupuk di India. Penelitian ini menunjukkan bahwa subsidi

pupuk meningkat secara signifikan dari periode pasca-reformasi dari Rs. 4389

crore pada tahun 1990-1991 menjadi Rs. 75.849 crore pada 2008-09. Persentase

GDP juga mengalami peningkatan dari 0.85 persen pada 1990-1991 menjadi 1.52

persen pada 2008-2009. Studi ini juga menunjukkan persepsi umum tentang

sepertiga subsidi pupuk yang dikelola oleh industri pupuk di India tidak berjalan

dengan baik karena ada asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) bahwa masuknya

India ke pasar dunia sebagai importir tidak mempengaruhi harga dunia; (2) pasar

pupuk dunia yang memiliki struktur pasar persaingan sempurna tidak berjalan

75

Lebih lanjut Sharma et al. (2009) menyatakan bahwa arus perdagangan pupuk di pasar dunia yang lebih terkonsentrasi memberikan dampak signifikan

terhadap harga dunia dan hal ini mempengaruhi india sebagai negara pengimpor.

Selain itu, India menggunakan pendekatan Import Parity Pricing (IPP) yang menyebabkan industri pupuk di India mau tidak mau masuk ke dalam persaingan

dunia yang akan membuat industri efisien sehingga mampu bertahan. Oleh karena

itu, rekomendasi kebijakan transfer langsung subsidi pupuk ke petani tidak aman

dan tidak tepat, serta dampak negatifnya lebih besar daripada manfaat yang

dirasakan. Studi ini juga menyoroti distribusi subsidi pupuk antara skala usaha

pertanian. Petani kecil dan marginal mempunyai kontribusi besar dalam subsidi

pupuk dibandingkan kontribusi mereka pada daerah yang dibudidayakan.

Penurunan subsidi pupuk memiliki dampak negatif pada produksi pertanian dan

pendapatan petani kecil dan marjinal karena mereka tidak mendapatkan manfaat

dari harga output lebih tinggi tetapi keuntungan dari harga input yang lebih

rendah.

Salimonu (2008) menganalisis sejauhmana akses subsidi pupuk kepada

para petani komoditas tanaman pangan di negara Osun, Negeria. Studi ini

menggunakan multistage sampling procedure, data primer dari 84 responden para petani tanaman pangan dengan memperhitungkan skala usaha, penggunaan pupuk,

persepsi manfaat dari kebijakan subsidi dan karakteristik para penerima manfaat

lainnya dari kebijakan subsidi. Alat-alat analisis yang digunakan adalah terutama

statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata petani di daerah

penelitian adalah petani yang memiliki skala usaha kecil dengan menggunakan

manfaat rendah dari adanya kebijakan subsidi tersebut. Karakteristik penting dari

penerima manfaat kebijakan lebih dipengaruhi oleh politik daripada petani itu

sendiri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah stakeholderspertanian seharusnya bersama-sama menyusun metode terbaik dalam men-delivery suatu kebijakan.

Yawson et al. (2010), meneliti tentang ketersediaan, akses, dan penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani berskala kecil pada dua komunitas di

wilayah tengah negara Ghana, yaitu komunitas district capital dan komunitas typical farming. Penelitian ini menemukan bahwa perlu adanya usaha untuk memperbaiki distribusi pupuk dengan kupon agar menjamin efektivitas yang

tinggi terhadap akses pupuk dan menciptakan partisipasi petani lebih

berkelanjutan. Kombinasi faktor harga dan non harga merupakan hambatan akses

ke subsidi pupuk. Dari hasil penelitian ini, beberapa petani mendapatkan manfaat

dari program subsidi pupuk. Walaupun, para responden secara umum menyatakan

tidak puas, namun mengakui bahwa program ini penting dan perlu dilanjutkan.

Penelitian ini memberikan sinyal bahwa perlu penyesuaian yang dapat memiliki

implikasi manajemen secara skala makro yang berkelanjutan dari program

subsidi.

Painuly dan Mahendra (1998) melakukan kajian tentang konsekuensi

lingkungan dari pupuk dan pestisida dalam pertanian dan langkah-langkah yang

diperlukan untuk mengurangi dampak negatif dari bahan kimia terhadap

lingkungan. Isu-isu tersebut kemudian dianalisis secara perspektif penggunaan

pupuk dan pestisida dalam pertanian India. Konsumsi pupuk di India

terkonsentrasi di sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibudidayakan.

77

beberapa kemungkinan teknologi dan alternatif untuk mengurangi dampak negatif

dari bahan kimia terhadap lingkungan, seperti kontrol biologis pada hama,

manajemen hama terpadu, dan pengembangan varietas terhadap tahan hama

tanaman. Hal ini harus dipertimbangkan saat merumuskan strategi untuk pertanian

berkelanjutan di India dan negara-negara berkembang lainnya.

Ekanayake (2009) melakukan penelitian tentang dampak subsidi pupuk

pada tanaman padi di Sri Lanka. Masalah ini dianalisis dengan menggunakan tiga

fungsi permintaan secara terpisah untuk pupuk yang utama dengan menggunakan

model regresi sederhana. Hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan harga

pupuk dan padi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan pupuk,

yang menunjukkan fakta bahwa subsidi pupuk bukan merupakan penentu utama

dari penggunaan pupuk dalam budidaya padi. Studi ini juga menemukan bahwa

ada korelasi yang relatif lebih tinggi antara penggunaan pupuk dan harga gabah

dari antara penggunaan pupuk dan harga pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa

subsidi pupuk bisa ditarik secara bertahap dari waktu ke waktu. Sebagai gantinya,

infrastruktur yang tepat dan fasilitas institusional yang diperlukan untuk

meningkatkan produktivitas dalam budidaya padi dan mekanisme yang efektif

untuk pemasaran output yang akan menghasilkan harga yang menguntungkan

untuk padi dapat diperkenalkan untuk lebih efektif hasil.

Minot dan Benson (2009), studi tentang subsidi pupuk di Afrika dengan

sistem voucher, hasilnya bahwa pengalaman hingga saat ini belum cukup untuk mendukung bahwa sistem voucher adalah sistem yang sukses. Perlu penelitian yang lebih dalam dengan memperhatikan beragam faktor yang berpengaruh.

Feinerman and Marinus (2005) menganalisis substitusi pupuk organik

dengan pupuk kimia (anorganik). Model yang dikembangkan dalam penelitian ini

adalah menganalisis dampak dari parameter utama yang mempengaruhi

inferioritas pupuk organik dibandingkan dengan pupuk kimia, termasuk ketersediaan yang rendah dan non-uniformity dari nitrogen pada pupuk organik dan tingkat non-uniformity baik tinggi maupun rendah dari tanaman dimana nitrogen tersedia disuplai melalui pupuk organik. Penelitian ini juga menganalisis

sensitivitas sejauhmana keputusan pemupukan yang optimal dan dampaknya pada

lingkungan yang terkait dengan mempertimbangkan faktor harga produksi, biaya

pupuk dan pajak lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya

subsidi akan memutuskan penggunaan nitrogen pada tanaman dengan pupuk

kimia.

Penelitian mengenai subisidi pupuk di Indonesia telah dilakukan oleh

Osorio et al. (2010), Syafa'at et al. (2007), Rachbini (2006), Manaf (2000), Hutauruk (1996) dan Hendayana et al. (1993).

Osorio et al. (2010) melakukan penelitian tentang siapa yang mendapatkan manfaat dari kebijakan subsidi pupuk di Indonesia dengan menganalisa distribusi

manfaat subsidi pupuk dan pengaruhnya pada produksi padi. Penelitian ini

menghasilkan bahwa sebagian besar petani memperoleh keuntungan dari subsidi

pupuk. Akan tetapi sekitar 40 persen petani besar memanfaatkan sekitar 60 persen

subsidi. Sifat regresif subsidi pupuk sejalan dengan penelitian yang dilakukan di

negara-negara lain, sejumlah besar pupuk subsidi digunakan oleh petani besar.

Pupuk yang digunakan dalam jumlah secukupnya memiliki pengaruh positif dan

79

secara berlebih memiliki pengaruh berlawanan pada hasil panen (garis kurva-U

terbalik).

Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan kinerja layanan publik untuk

pertanian dengan berinvestasi pada barang-barang publik di bidang pertanian

lainnya, yang menghasilkan laba panen lebih tinggi, sambil tetap berfokus pada

dua tujuan khusus yaitu meningkatkan produksi di sektor pertanian dan

meningkatkan kesejahteraan petani. Terdapat beberapa pilihan menggunakan

sumber daya yang baru diperoleh, mengingat pupuk hanya merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi hasil panen dan produktifitas pertanian yang

melengkapi, bukan menggantikan, investasi dalam irigasi, peningkatan pelayanan,

peningkatan pemasaran produk pertanian (terutama di kepulauan luar Jawa),

penelitian dan pengembangan di sektor pertanian.

Subsidi pupuk hanyalah salah satu pilihan untuk itu dan bisa jadi bukan

merupakan alat yang paling efektif dari segi biaya. Alternatif yang lebih efektif

untuk mendukung petani kecil dan mengatasi kemungkinan kendala di pasar

kredit adalah dengan membangun sistem transfer uang tunai, sistem yang sudah

pernah dilaksanakan di Indonesia secara intensif. Petani akan berada di posisi

yang lebih baik untuk menentukan tingkatan dan kombinasi alat-alat yang sesuai

dengan kebutuhan mereka dengan diberlakukannya sistem transfer uang tunai.

Akses petani akan lebih baik pada alat-alat (termasuk pupuk) untuk meningkatkan

produktifitas. Selain itu sistem transfer uang tunai juga lebih efektif untuk

meningkatkan kesejahteraan petani dalam bentuk dukungan keuangan.

Syafa'at et al. (2007) melakukan studi mengenai kaji ulang kebijakan subsidi dan distribusi pupuk dengan metode deskriptif dan evaluasinya dilakukan

secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi. Hasil studi tersebut adalah (1)

periode tahun 1970-sekarang modus subsidi yang diterapkan pemerintah berupa

subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) pupuk, tahun 1970-

1998 sistem distribusi yang digunakan pemerintah adalah sistem distribusi

tertutup, sedangkan tahun 1999-sekarang sistem distribusi yang digunakan adalah

sistem distribusi terbuka; (2) wacana untuk mengganti modus subsidi dari subsidi

yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk menjadi subsidi yang

dibayarkan langsung kepada petani dalam bentuk kupon secara umum kurang

memperoleh respon positif; (3) produsen dan pelaku distribusi (distributor dan

pengecer) di lokasi penelitian menyatakan bahwa dari prinsip 6 (enam) tepat,

yaitu tepat jenis, kualitas, waktu, tempat, harga dan jumlah yang umumnya tidak

terpenuhi adalah prinsip tepat jumlah; (4) di lokasi penelitian pada tingkat petani,

prinsip 6 (enam) tepat umumnya terpenuhi dan responden juga menyatakan puas

terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini dengan alasan

utama pupuk mudah diperoleh pada saat dibutuhkan; (5) modus subsidi yang

langsung dibayarkan kepada produsen (pabrik) pupuk yang berlaku saat ini perlu

dipertahankan.

Rachbini (2006) melakukan penelitian tentang dampak liberalisasi

perdagangan pupuk terhadap kinerja perdagangan pupuk dan sektor pertanian di

Indonesia. Dampak liberalisasi perdagangan pupuk cenderung menurunkan

kinerja perdagangan pupuk dunia, sehingga diperlukan efisiensi produksi pupuk

di Indonesia. Namun untuk mengantisipasinya, Indonesia tidak hanya

mengefisienkan saja, tetapi tetap harus disertai kebijakan subsidi supaya kinerja

81

Penelitian mengenai dampak penghapusan subsidi pupuk terhadap

permintaan pupuk dan produksi padi di Jawa Barat dilakukan oleh Andari (2001)

dengan menggunakan analisis regresi. Dari penelitian ini diketahui bahwa

peningkatan harga pupuk yang disebabkan oleh kebijakan penghapusan subsidi

pupuk diikuti dengan kenaikan harga padi di tingkat petani rata-rata sebesar 20

persen, kecuali penggunaan urea yang relatif tetap, kenaikan harga pupuk

mempengaruhi perubahan penggunaan pupuk, tidak terdapat perbedaan fungsi

produksi antara sebelum dan sesudah subsidi dihapuskan, fungsi permintaan input

yang diperoleh menunjukkan tidak terdapat perbedaan permintaan antara sebelum

dan sesudah subsidi dihapuskan. Permintaan input bersifat inelastis, setelah

subsidi dihapuskan pendapatan petani lebih rendah namun secara statistik tidak

terdapat perbedaan nyata, usaha untuk meningkatkan pendapatan petani sebaiknya

tidak dilakukan dengan kebijakan subsidi pupuk maupun input yang lain, tetapi

lebih sesuai dengan meningkatkan harga output.

Manaf (2000) melakukan penelitian pengaruh subsidi harga pupuk

terhadap pendapatan petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian

ini menggunakan analisis SNSE dengan menggunakan analisis alur struktural

(Structural Path Analysis) serta analisis penggandaan (multiplier). Penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) kebijakan subsidi harga pupuk pada umumnya tidak

mendorong kontinuitas peningkatan produksi secara umum, (2) subsidi harga

pupuk memiliki dampak yang mengarah (bias) pada pengusaha menengah besar

dibandingkan pada pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil, dan (3) jika

dapat dilakukan dengan efektif, efisien dan dapat mencapai target yang dituju,

sebesar 1 (satu) persen dari anggaran pembangunan dapat meningkatkan rata-rata

pendapatan rumahtangga petani sebesar 22 persen.

Hutauruk (1996) melakukan analisis dampak kebijakan harga dasar padi

dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada luas

areal panen, produktivitas jangka pendek dan jangka panjang, produksi, surplus

produsen dan kesejahteraan produsen.

Studi tentang kebijaksanaan harga dan subsidi pupuk di Indonesia

dilakukan oleh Hendayana et al. (1993) dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis dengan model ekonometrika. Temuan penelitian ini bahwa

penyusunan kebutuhan pupuk melalui RDKK/RDK tidak bermanfaat, terjadi

rembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain. Berdasarkan struktur input-

output, pangsa pengeluaran untuk pupuk relatif kecil. Jika harga-harga input

diimbangi dengan kenaikan harga output dan produktivitas yang memadai, maka

dalam jangka pendek tidak akan berpengaruh terhadap upaya peningkatan

produksi.

Analisis kebijakan subsidi pupuk tidak terlepas dari aspek teknis, sehingga

banyak penelitian-penelitian terdahulu tentang elastisitas dan efisiensi penggunaan

input pupuk. Studi mengenai elastisitas penggunaan pupuk terhadap jumlah

produksi sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Semua peneliti

menemukan bahwa penggunaan pupuk oleh petani di negara Indonesia bersifat

inelastis, karena elastisitas produksinya lebih kecil dari satu. Bahkan diantaranya

ada yang menemukan nilai elastisitas pupuk terhadap jumlah produksi bertanda

83

bertanda positip menunjukkan bahwa pemakaian pupuk saat ini belum efisien,

oleh karenanya perlu ditingkatkan bukan hanya dari sisi kuantitasnya namun juga

termasuk kualitas pemakaiannya. Sedangkan untuk elastisitas pupuk yang

bertanda negatif, berarti saat ini petani sudah irrasional dalam menggunakan

pupuk, sehingga perlu dikurangi pemakaiannya karena sudah melampui

pemakaian yang optimal.

Studi yang menjelaskan besarnya elastisitas penggunaan pupuk terhadap

produksi pertanian, diantaranya yang dilakukan oleh Suwarto (2009) yang

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas lahan tanaman

pangan dengan melibatkan faktor-faktor produksi luas lahan, tenaga kerja, pupuk

nitrogen, pupuk phosfat, pupuk organik, serta variabel-variabel non teknis yaitu

pendidikan, umur dan kelembagaan lahan. Hasil analisa menggunakan fungsi

produksi Cobb-Douglas diperoleh nilai elastisitas penggunakan pupuk anorganik

nitrogen dan phosfat keduanya jauh lebih rendah dibandingkan pupuk organik.

Elastisitas pupuk nitrogen terhadap produktifitas tanaman pangan adalah sebesar

0.026, kemudian elastisitas pupuk phosfat sebesar 0.007. Sedangkan untuk pupuk

organik, elastisitas produksinya sebesar 0.113. Bahkan bila dibandingkan dengan

input produksi lainnya seperti tenaga kerja dan lahan, besaran elastisitas

penggunaakn pupuk organik masih terlihat lebih tinggi. Dimana elastisitas

produksi tenaga kerja adalah 0.109 dan lahan -0.136. Meskipun demikian, besaran

elastisitas pupuk organik yang masih lebih kecil dari 1 menandakan bahwa petani

tanaman pangan saat ini berada dalam kondisi yang decreasing yang mengindikasikan bahwa setiap tambahan pupuk organik akan menghasilkan

tambahan output yang lebih rendah dibandingkan tambahan inputnya (pupuk

organik).

Selanjutnya khusus untuk tanaman padi, Triyanto (2006) menemukan

bahwa koefisien variabel pupuk terhadap produksi padi adalah sebesar 0.017

(inelastis), artinya bila ada penambahan pupuk secara agregat sebesar 1

persen maka ada kecenderungan bahwa produksi padi dapat ditingkatkan

sebesar 0.017 persen. Kecilnya pengaruh penggunaan pupuk terhadap produksi

padi di Jawa Tengah ini sulit untuk dijelaskan. Diduga ada tiga

kemungkinan yang menjadi penyebabnya, pertama karena kecilnya penggunaan

pupuk, kedua besarnya penggunaan pupuk terutama Urea dan ketiga

kemungkinan kurang sesuainya komposisi penggunaan pupuk di Jawa

Tengah. Begitu juga dengan Darwanto (2009) dalam studinya menemukan bahwa

variabel pupuk mempunyai nilai koefisien elastisitas terhadap padi yang lebih

kecil dari satu yakni sebesar 0.34. Dilihat dari nilai elastisitas yang kurang dari 1

ini maka dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk bersifat inelastis, dimana

setiap penambahan 1 persen pupuk maka output padi akan bertambah sebesar 0.34

persen.

Termasuk Bagio (2007) juga menemukan bahwa koefisien elastisitas

pupuk terhadap produksi adalah kurang dari satu yakni sebesar 0.090 yang

menunjukkan kondisi inelatistis, artinya apabila petani menaikkan penggunaan

input pupuk sebesar 10 persen maka kenaikan produksi yang diharapkan hanya

sebesar 0.90 persen, yang berarti lebih rendah dari pertambahan input. Hasil

analisa efisiensi juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk bersama dengan

85

Selain itu Sukatami (2009) juga menemukan bahwa penggunaan pupuk

berpengaruh positip terhadap jumlah produksi padi, dengan nilai elastisitasnya

sebesar 0.123 yang artinya untuk setiap peningkatan pupuk yang digunakan

sebanyak 1 persen dapat menyebabkan kenaikan produksi padi sebesar 0.123

persen.

Studi mengenai pupuk dan tanaman padi yang cukup terbaru dilakukan

oleh Sulhan (2010). Penelitiannya menggunakan metode survei dengan

melibatkan 120 Rumah Tangga Petani (RTP) yang ditentukan secara acak

sederhana dari 170 RTP. Data yang dikumpulkan adalah tingkat penggunaan

lahan dan pupuk urea pada setiap RTP. Alat analisis yang digunakan adalah

Fungsi Produksi Cobb-Douglas dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat

elastisitas penggunaan lahan dan pupuk urea. Selanjutnya untuk mengetahui

tingkat efisiensi penggunaan lahan dan pupuk urea digunakan alat analisis

Efficiency Index (EI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan lahan dan pupuk urea dalam usahatani padi memiliki indek efisiensi yang lebih kecil

dari 1 yang berarti tingkat penggunaan kedua faktor produksi tersebut masih

kurang karena dari setiap penambahan satu unit faktor produksi tersebut akan

memberikan penerimaan yang lebih besar daripada besarnya biaya yang

dikeluarkan. Oleh karenanya penggunaan kedua faktor produksi tersebut belum

efisien sehingga disarankan untuk ditingkatkan penggunaannya.

Sedangkan untuk tanaman pangan lainnya, misal cabai, Soetiarso (1995)

mengatakan bahwa pupuk kandang dan pupuk TSP masih dimungkinan untuk

ditambah lagi penggunaannya untuk meningkatkan produksi cabai merah.

produksi sebesar 0.467 persen, sedangkan dengan pupuk TSP akan meningkatkan

produksi sebesar 0.451 persen.

Studi mengenai penggunaan pupuk pada tanaman cabai juga dilakukan

oleh Kalsum (2008) yang dapat menunjukkan bahwa elastitas pupuk kandang

adalah 0.476 yang berarti setiap penambahan satu persen input pupuk

kandang akan meningkatkan produksi sebesar 0.476 persen. Hasil temuannya

juga menunjukan bahwa pupuk urea mempunyai nilai elastisitas yang negatif

sebesar -0.0346, sehingga dapat dikatakan penggunaan pupuk urea sebenarnya

sudah optimal. Selanjutnya elastisitas pupuk NPK sebesar 0.01998 bertanda

positip yang berarti setiap penambahan satu persen input pupuk kandang

akan menaikan produksi sebesar 0.01998 persen. Ini berarti pemakaian pupuk

NPK di daerah penelitian belum optimal karena penambahan pupuk NPK

sebenarnya masih dapat menaikkan produksi walupun dalam jumlah kenaikan

yang kecil.

Terakhir studi yang dilakukan oleh Tumangor (2009) yang memperoleh

temuan bahwa nilai elastisitas pupuk terhadap produksi coklat adalah sebesar

0.048 yang bersifat inelastis, dimana setiap penambahan pupuk sebanyak 1 persen

hanya mampu meningkatkan produksi coklat sebanyak 0.048 persen. Hal ini