• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yunus sangat yakin bahwa semua manusia memiliki keterampilan bawaan lahir. Yunus menyebutnya sebagai keterampilan bertahan hidup. Fakta bahwa kaum miskin bisa hidup jelas membuktikan kemampuan itu. Mereka tidak perlu diberi pelajaran bagaimana cara untuk bertahan hidup; mereka sudah tahu bagaimana caranya. Jadi, daripada membuang waktu mengajari mereka keterampilan baru, Yunus mencoba memanfaatkan semaksimal mungkin keterampilan yang sudah mereka miliki. Memberi akses kredit kepada kaum miskin menjadikan mereka segera mempraktikkan keterampilan yang sudah mereka pahami: menenun, menumbuk padi, beternak sapi, dan mengayuh becak. Uang yang mereka peroleh selanjutnya menjadi alat, kunci yang membuka sejumlah kemampuan lain dan memberi mereka peluang menggali potensi dirinya. Para peminjam seringkali saling mengajari teknik-teknik baru yang membuat mereka bisa lebih memanfaatkan keterampilannya bertahan hidup. Mereka mengajarkan jauh lebih baik dari yang pernah bisa Yunus lakukan.

Para pengambil kebijakan di pemerintahan, ornop-ornop, dan konsultan-konsultan internasional biasanya memulai kerja pengentasan kemiskinan dengan menyelenggarakan program-program pelatihan besar. Mereka melakukan itu karena dari awal mereka berasumsi bahwa orang menjadi miskin karena tidak terampil. Pelatihan tersebut juga mengekalkan sesuatu yang konkret. Berkat aliran dana bantuan dan anggaran kesejahteraan, sebuah industri raksasa berkembang dengan tujuan tunggal menyediakan pelatihan. Para ahli pengentasan kemiskinan bersikeras bahwa pelatihan mutlak diperlukan oleh kaum miskin untuk meningkatkan jenjang perekonomiannya. Tapi bila kita berada di dunia nyata, tidak bisa tidak kita akan melihat bahwa kaum miskin menjadi miskin bukan karena tidak terampil atau buta huruf, tapi karena mereka tidak bisa menyisihkan hasil yang di peroleh dari kerja mereka. Mereka tidak memiliki kontrol atas modal, dan kemampuan mengontrol modallah yang memberi orang kekuatan untuk lepas dari kemiskinan. Laba tak pelak lagi bias terhadap modal. Dalam kondisi tak berdaya, kaum miskin bekerja untuk keuntungan orang lain yang memiliki kontrol atas aset produktif. Mereka tidak bisa memiliki kontrol atas modal karena mereka tidak mewarisi modal atau kredit dan tak ada yang memberi mereka akses modal atau kredit karena dianggap tidak layak kredit.5

Pandangan Yunus tentang orang miskin sangat berbeda dengan pandangan orang pada umumnya. Ada pendapat di kalangan teknik, intelektual dan politik,

5

bahwa kaum miskin di dunia harus menunggu dengan sabar sampai kemajuan teknik, ekonomi, ilmu pengetahuan, perdagangan bebas secara global tercapai. Pandangan ini memperlihatkan bahwa kaum miskin itu sebagai objek bukan subjek dan terus menerus menjadi beban bagi negara-negara kaya. Untuk itu, Yunus berjuang untuk membuktikan bahwa pandangan tersebut tidak benar.

Perjuangan untuk membuktikan bahwa orang miskin bukan beban adalah perjuangan yang heroik. Ia membongkar seluruh arogansi yang menempelkan stigma, mendiskriminasi, dan mengintimidasi orang miskin. Beliau yakin orang-orang miskin itu orang-orang cerdas, yang dibutuhkan mereka hanya akses saja bukan sedekah yang membuat mereka kurang kreatif.6

Orang miskin bisa berarti banyak hal. Bagi sebagian, istilah itu bisa mengacu pada pengangguran, orang buta huruf, orang tunakisma, atau orang tunawisma. Bagi yang lain, orang miskin adalah orang yang tidak bisa mendapatkan cukup pangan untuk menghidupi keluarganya selama setahun penuh. Yang lainnya berpikir orang miskin adalah orang yang memiliki rumah gubuk beratap rumbia, yang menderita gizi buruk, atau yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Ketidakjelasan konseptual semacam ini sangat merugikan upaya-upaya Yunus dan Bank Grameen mengentaskan kemiskinan. Satu hal, kebanyakan definisi kemiskinan mengabaikan perempuan dan

6 G. budiwaluyo, Option For The Poor versi Muhammad Yunus, dalam http://gbudiwaluyo. wordpress.com/2008/03/04/option-for-the-poor-versi-muhammad-yunus/, Diakses pada tanggal 06/08/2008.

anak. Dalam pekerjaannya, Yunus merasa berguna memakai tiga definisi luas kemiskinan untuk menggambarkan situasi di Bangladesh.7

P1–20 persen paling bawah dari populasi. (“sangat miskin”/ miskin mutlak) P2–35 persen paling bawah dari populasi. P3–50 persen paling bawah dari populasi.

Pada setiap kategori miskin, Yunus sering tambahkan klasifikasi berdasarkan wilayah, pekerjaan, agama, latar belakang etnis, jenis kelamin, umur, dsb. Kriteria pekerjaan atau wilayah mungkin tidak bisa seterukur kriteria aset-pendapatan, tetapi membantu kami dalam membuat sebuah matriks kemiskinan yang multidimensi.

Ibarat marka-marka navigasi di laut lepas, kemiskinan perlu didefinisikan secara pasti dan tidak ambigu. Sebuah definisi yang tidak tepat sama buruknya dengan tanpa definisi sama sekali. Dalam mendefinisikan norang miskin, Yunus akan memasukkan perempuan-perempuan pengirik gabah di Pertanian Tiga Pihak, perempuan pembuat kursi bambu, dan pedagang kecil yang harus meminjam dengan bunga 10 persen per bulan atau kadang per minggu. Yunus juga akan memasukkan yang lainnya seperti mereka yang memperoleh upah sedemikian kecil dari mengayam keranjang dan tikar, sampai seringkali mereka

7 Tahun 1995, Kelompok Konsultatif untuk Membantu Kaum Termiskin (CGAP) dan Komite Kampanye Pertemuan Puncak Kredit Mikro (MSCC) secara formal mendefinisikan orang “miskin” sebagai orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dan orang “paling miskin” adalah mereka yang berada di paruh paling bawah dari populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan.

mengambil jalan mengemis. Orang-orang ini sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki basis ekonominya. Masing-masing terperangkap dalam kemiskinan.8

Akal sehat Yunus, tidak terima masalah kemiskinan terus berlangsung di negerinya, Bangladesh. Menurutnya, orang-orang menjadi miskin karena lembaga-lembaga finansial di negerinya tidak membantu mereka memperluas basis ekonominya. Tidak ada struktur finansial formal yang tersedia untuk melayani kebutuhan kredit kaum miskin. Pasar kredit ini, oleh karena keterbatasan lembaga-lembaga finansial formal, telah diambil alih oleh rentenir lokal.

Bagi Yunus, yang awalnya seorang akademisi dan bukan seorang bankir, kredit untuk kaum miskin, orang-orang papa, atau bahkan para perempuan pengemis yang buta huruf dan sudah barang tentu tidak punya agunan untuk diberi kredit produktif oleh bank, bukan cuma soal layak atau tidak layak.

Seperti halnya masalah pangan, kredit untuk kaum miskin adalah keniscayaan yang sudah sampai pada batas akhir eksistensi manusia: hidup atau mati. Ia menyangkut hak hidup manusia, hak asasi manusia. Nyawa adalah taruhannya. Kredit untuk orang miskin adalah pinjaman dengan jaminan nyawa.

Yunus mengkritik para ekonom yang menurut dia secara konsisten gagal memahami kekuatan sosial kredit. ”Kredit menciptakan hak pada sumberdaya. Dengan demikian, kredit menciptakan kekuatan ekonomi, yang akhirnya

8

mnghasilkan kekuatan sosial,” katanya.

Yunus berkeyakinan kredit adalah alat yang netral. Orang miskin tetap miskin, sebab mereka tidak dapat mempertahankan hasil kerja mereka. Mereka bekerja untuk keuntungan orang lain yang mengontrol modal, dan orang miskin tidak memiliki kontrol terhadap modal. Karena itu, ia menghubungkan orang-orang miskin dengan bank.

Namun bank mengatakan mereka tidak dapat membantu, karena orang-orang miskin tidak memiliki kolateral (jaminan). Dengan kata lain, orang-orang-orang-orang tersebut tidak layak bank.

Orang-orang miskin adalah manusia yang paling tidak berharga di mata bank. Tidak berharga karena mereka tidak bisa dijadikan debitur maupun kreditor. Apalagi menjadi pemilik bank. Orang-orang miskin tidak memiliki harta untuk dijadikan kolateral, untuk dijadikan jaminan, dan karena itu mereka tidak layak mendapat kredit. Bank tetaplah bank yang butuh jaminan, biar pun orang miskin mati bergeletakan di depan mata mereka.

Dan orang-orang miskin tentu saja tidak mempunyai apa pun untuk ditabung di bank, sehingga dari sudut apa pun, mereka sepenuhnya bukan dan tidak layak menjadi nasabah bank.

Tapi Yunus, sosok pria yang puritan, dengan Grameen Bank-nya, melawan semua pikiran konservatif itu, semua skema kehati-hatian perbankan (prudential banking), dengan menjadikan orang-orang miskin justru sebagai

sebagai pemilik bank.

Grameen Bank bukan sekadar bank tradisional yang kebetulan mengurus orang miskin. Untuk berhasil sebagai program mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan sebagai bank, Grameen Bank melakukan dua hal: pertama, menjangkau orang miskin, dan kedua, memastikan disiplin dalam pengembalian kredit.

Hal yang kedua menjadi keharusan karena Yunus yakin kredit bukan kegiatan amal yang akhirnya tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. 9

Membuat daftar kriteria menjadi syarat paling penting dalam program anti kemiskinan yang efektif. Akan tetapi, dari mana program itu harus dimulai? Apakah pendidikan lebih dulu? Bagaimana dengan infrastruktur? Layanan kesehatan? Teknologi informasi dan komunikasi? Sanitasi? Perumahan? Kebutuhan-kebutuhan itu tanpa batas dan sulit dibuat prioritas.

Semua tentu saja penting. Jika memungkinkan, yang terbaik ialah memulai semua sekaligus. Namun, di Bank Grameen, Yunus beserta rekan-rekannya berkonsentrasi pada kredit–harfiahnya ialah menyerahkan uang kontan kepada orang miskin sebagai langkah pertama membantu mereka keluar dari kemiskinan. Strategi ini lain dari biasa sampai perlu penjelasan, terutama sejak sebagian besar program anti kemiskinan muncul di mana-mana.

Yunus sangat yakin bahwa setiap manusia punya keterampilan bawaan

9Budhi Wuryanto, Serba-Serbi; Inspirasi dari orang miskin, MediaBPR no.18 September – oktober 2007. Diakses pada tanggal 24/07/2008.

tetapi umumnya tidak disadari–keterampilan untuk bertahan hidup. Persis fakta bahwa orang miskin tetap bertahan hidup merupakan bukti nyata mereka punya kemampuan ini. Pihak Bank Grameen tidak mengajari mereka cara bertahan hidup–karena mereka sudah tahu caranya! Daripada membuang waktu mengajari mereka keterampilan baru, upaya Yunus langsung fokus untuk mencoba membantu memanfaatkan keterampilan yang ada semaksimal mungkin. Memberi akses kredit pada orang miskin memungkinkan mereka langsung menerapkan keterampilan yang sudah mereka miliki–menenun, menyosoh padi, memelihara ternak, atau mengayuh becak. Uang kontan yang mereka hasilkan dari berbagai upaya tersebut kemudian jadi sarana, sebagai kunci untuk membuka kemampuan lain.

Ini bukan berarti orang miskin selalu menyadari keterampilan yang mereka miliki. Ketika Yunus beserta Bank Grameen menawari kredit pada perempuan miskin desa, mereka takut mengambil uang dan bilang entah mereka sudah mengalami begitu banyak ketakutan dan ancaman setelah bertahun-tahun kedapatan tertindas oleh sikap sosial yang bahkan tidak mereka sadari. Dengan banyak memberi dorongan semangat dan menunjukkan beberapa contoh sukses di antara mereka sendiri, Yunus beserta rekannya pelan-pelan akhirnya mengikis rasa takut. Segera mereka sadar atas keterampilan yang memadai untuk menggunakan uang itu untuk mendatangkan uang lagi.

Pengambil kebijakan di pemerintahan, konsultan internasional, dan LSM biasanya mulai dengan asumsi sebaliknya–orang miskin karena mereka tidak

punya keterampilan. Berdasarkan asumsi ini mereka memulai berbagai upaya anti kemiskinan lewat program pelatihan bertele-tele. Sepintas tampak logis, berdasar pada asumsi mendasar–dan ini juga melestarikan kepentingan ahli anti kemiskinan. Ini menciptakan banyak pekerjaan dengan dukungan anggaran harus besar dan pada saat bersamaan melepaskan mereka dari tanggung jawab menunjukkan hasil konkret. Mereka juga selalu dapat menunjuk ribuan orang yang sudah ikut pelatihan dan menyatakan “keberhasilan” berdasarkan angka itu–tidak peduli apa orang itu dan keluarganya sedah berhasil keluar dari kemiskinan.

Sejujurnya, mayoritas ahli anti kemiskinan bermaksud baik. Mereka memilih pelatihan karena itu yang didiktekan oleh asumsi keliru. Namun, jika seseorang menghabiskan cukup banyak waktu untuk hidup di antara orang miskin, dia akan tahu bahwa kemiskinan disebabkan oleh fakta mereka gagal mempertahankan pendapatan asli dari kerja mereka. Penyebabnya jelas: Mereka tidak punya kendali atas modal. Orang miskin bekerja untuk orang lain yang mengendalikan modal. Ia bisa rentenir seperti orang yang mengeksploitasi warga miskin di desa Jobra, tempat Yunus memulai kerja, mungkin juga tuan tanah, pemilik pabrik, atau agen yang merekrut orang miskin untuk bekerja dengan kondisi nyaris seperti perbudakan. Kesamaan mereka ialah kemampuan mencuri kerja produktif buruh untuk keuntungan sendiri.

Hal itu disebabkan karena orang miskin tidak mewarisi modal, dan orang yang ada dalam sistem konvensional tidak pula memberi akses terhadap modal

atau kredit. Dunia sudah diciptakan untuk meyakini bahwa orang miskin tidak layak mendapatkan pinjaman. Yunus merasa yakin bahwa mengubah asumsi ini merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Menurut Yunus, pelatihan kerja juga tidak ada salahnya untuk diberikan. Sebab, pelatihan bisa menjadi sangat penting bagi orang untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Akan tetapi, pelatihan hanya bisa diberikan kepada beberapa orang. Untuk mengatasi kebutuhan begitu banyak orang miskin, strategi terbaik ialah memberikan kemampuan alamiah orang berkembang sebelum Yunus dan rekan-rekannya mengenalkan keterampilan baru pada mereka. Memberi pinjaman kepada orang miskin dan membiarkan mereka menikmati buah kerja keras–sering untuk pertama kali dalam hidup mereka–membantu menciptakan situasi yang membuat mereka mulai merasa membutuhkan pelatihan, mencari sendiri, bahkan bersedia membayar untuk itu (meski tidak lebih dari jumlah anggaran.) Inilah kondisi yang memungkinkan pelatihan dapat benar-benar bermakna dan efektif.10

10 Muhammad Yunus, Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan ; Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita, Diterjemahkan oleh Rani R. Moediarta, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2008), h. 119.

65