• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Hak Kekayaan I ntelektual Masa Penjajahan Belanda

Dalam dokumen POLITIK HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL I (Halaman 58-60)

DAN PERLI NDUNGAN TERHADAP KEPENTI NGAN NASI ONAL

A. Politik Hukum Hak Kekayaan I ntelektual Masa Penjajahan Belanda

Pada tahun 1848 terjadi perubahan konstitusi (Grond Wet) di negara Belanda. Perubahan penting dalam kaitannya dengan

160. Kata Pengantar Pada Buku John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, Cetakan Ke 2, 2007, hlm. xi.

161. I bid

I ndonesia (Hindia Belanda) sebagai negara jajahan, terdapat pada Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat ( 4) Grond Wet yang menyatakan bahwa raja memiliki kekuasaan tertinggi terhadap daerah jajahan dan kekayaannya, kebijakan pemerintah (Belanda) ditetapkan berdasarkan undang-undang, sistem keuangan ditetapkan berdasarkan undang - undang, dan berkenaan dengan hal ihwal negara jajahan dan kekayaannya, apabila diperlukan diatur berdasarkan undang-undang. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan fundamental dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional par - lementer (adanya keterlibatan staten general atau parlemen dalam pemerintahan). Pengaturan mengenai I ndonesia sebagai negara jajahan diatur dengan Regerings Reglement (RR) sebagai aturan pokok yang melandasi semua peraturan dibawahnya (Stb.1855-2). Tata hukum I ndonesia diatur pada Pasal 75 RR yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata, hakim diperintahkan untuk menggunakan hukum perdata Belanda bagi golongan penduduk Eropa, dan hukum perdata adat masing-masing bagi golongan penduduk bukan Eropa (pribumi dan bukan pribumi). Politik hukum yang dijalankan berpijak pada pluralisme hukum, yaitu hukum Belanda (eropa), hukum adat pribumi, hukum adat bukan eropa dan bukan pribumi (timur asing). RR selanjutnya diamandemen tahun 1920 menjadi RR baru. Pasal 75 RR baru makin menegaskan penggolongan penduduk menjadi tiga, yaitu golongan Eropa (orang Belanda dan orang yang berasal dari Eropa), golongan penduduk timur asing dan orang I ndonesia (pribumi). Politik hukum yang dijalankan masih sama seperti ketentuan Pasal 75 RR, sebagaimana diatur dalam Pasal 131 I S, yang pada pokoknya mengatur tiga hal. Pertama, penegasan bahwa pengaturan hukum (hukum perdata, hukum dagang, hukum acara perdata dan pidana) dilakukan dengan undang-undang (Pasal 131 ayat (1) I S). Kedua, pemberlakuan ketentuan hukum perdata dan hukum dagang berdasarkan golongan penduduk. Bagi golongan Eropa berlaku undang-undang di negeri Belanda berdasarkan asas konkordansi. Bagi golongan I ndonesia (pribumi) dan golongan Timur Asing diberlakukan dua sistem hukum (dualisme hukum), dengan ketentuan apabila kebutuhan masyarakat menghendakinya diberlakukan undang-undang yang berlaku dari

golongan eropa dengan perubahan seperlunya atau sama dengan yang berlaku bagi golongan Eropa. Apabila ada ketentuan hukum yang belum diatur maka diberlakukan hukum adat masing-masing (Pasal 131 ayat (2) huruf (a) dan (b) I S). Menurut Pasal 163 I S, golongan penduduk Hindia Belanda terdiri dari:

a. Golongan Eropa, yaitu (1) semua orang Belanda, semua orang yang berasal dari eropa, (2) semua orang Jepang, (3) semua orang yang berasal dari luar negeri yang di negara asalnya tunduk pada hukum keluarga yang asas-asasnya sama dengan hukum keluarga Belanda, dan (4) anak-anak sah atau diakui berdasarkan undang-undang beserta keturunan dari orang-orang pada nomor (2) dan (3).

b. Golongan orang I ndonesia, yaitu semua orang I ndonesia yang tidak mengalihkan status hukumnya ke golongan lain dan penduduk lain yang telah membaurkan diri ke dalam penduduk I ndonesia asli.

c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan I ndonesia.

Ketiga, penundukan secara sukarela baik sebagian maupun keseluruhan oleh golongan penduduk I ndonesia dan Timur Asing terhadap hukum golongan penduduk Eropa (Pasal 131 ayat (4) I S). Pada tahun 1925 terjadi amandemen ke dua terhadap RR menjadi I ndische Staatsregeling (I S), diundangkan dalam Stb. 1925 Nomor 415, berlaku sejak 23 Januari 1926. Hal penting lainnya dalam amandemen ini, orang I ndonesia diberikan hak dalam membentuk peraturan perundang-undangan melalui lembagaVolksraad.162

Secara historis, peraturan perundang-undangan bidang HKI di I ndonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. I ndonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-I ndies telah menjadi anggota Paris

162. Mengenai sejarah tata hukum I ndonesia masa kolonial Belanda dapat dibaca buku J.B. Daliyo dan Tim,Pengantar Hukum I ndonesia, PT Prenhalindo, Jakarta, 2001, hlm. 13 – 21, C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum I ndonesia Jilid I I , PT Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 5 – 6.

Covention for the Protection of I ndustrial Property sejak tahun 1888, menjadi anggota Madrid Convention dari tahun 1893 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Ar tistic Works sejak tahun 1931.163Undang-undang bidang HKI yang berlaku ketika itu, adalahReglement I ndustriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik I ndustrial Kolonial 1912; Stb.1912 Nomor 545 jo Stb.1913 Nomor 214), Auterswet 1912 (undang-undang Hak Pengarang 1912, Undang-undang Hak Cipta, Stb.1912 Nomor 600) dan Octrooiwet 1910 (Undang-undang paten 1910; Stb.1910 Nomor 33, yis Stb.1911 Nomor 33, Stb.1922 Nomor 54).164 Kerajaan Belanda sebelumnya pernah memiliki Undang-Undang Hak Cipta yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta Perancis 1793. Lahirnya Undang-Undang Hak Cipta 1912 (Auteurswet 1912) dibuat karena dorongan dari negara-negara eropa barat yang menjadi peserta konvensi Bern. Setelah itu Belanda mengikatkan diri pada konvensi Bern 1886, tanggal 1 April 1913. Konvensi Bern hasil revisi di Roma tanggal 2 Juni 1928, dinyatakan berlaku di I ndonesia tanggal 1 Agustus 1931 dengan Staatblad 1931 Nomor 325.165

Secara umum politik hukum HKI yang dilaksanakan di I ndonesia sekedar mengikuti kewajiban dari ketentuan konvensi Bern dan Konvensi Paris yang sudah diratifikasi oleh Belanda untuk membuat undang-undang HKI . Belum ada upaya yang serius dalam menerapkan peraturan HKI dan mempersiapkan bangsa I ndonesia untuk sadar HKI . Hal ini cukup dimaklumi karena belum ada tekanan dari negara lain, perdagangan masih bertumpu pada sumber daya alam (SDA) belum berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, masih sibuk menghadapi peperangan dan memadamkan perlawanan dari bangsa I ndonesia. Selain itu juga berkaitan dengan posisi I ndonesia sebagai negara jajahan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

163. Lista Widyastuti, Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan I ntelektual Di I ndonesia, Media HKI Vol. V/ No.3/ Juni 2008, hlm. 4.

164. Dansur, Sejarah dan Perkembangan Hak Kekayaan I ntelektual I ndonesia, Melalui <http: / / www.blogster.com/ dansur/ doc/ > (15/ 09/ 09).

165. Otto Hasibuan, Hak Cipta Di I ndonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights dan Collecting Society, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 83.

bagi bangsa I ndonesia sedapat mungkin dihambat agar tidak melampaui apa yang telah dicapai oleh bangsa Belanda.

Undang-undang HKI pada masa ini dapat dikatakan tidak diterapkan secara optimal. Pentaatan dan penegakan hukum HKI belum diaktualisasikan sebagaimana mestinya. Di bidang hak cipta tampak dari penerjemahan buku-buku dari beberapa negara eropa oleh Penerbit Balai Pustaka tanpa izin dari pengarang aslinya. Tindakan demikian jelas merupakan pelanggaran terhadap undang- undang hak cipta.166 Di bidang paten, menurut Octrooi Wet 1910 permohonan pendaftaran paten dapat dilakukan melalui kantor cabang Bureau I ndustriele Eigendom (Biro Hak Milik) yang ada di Jakarta, tetapi dokumen permohonan paten tersebut harus dikirimkan ke Den Haag untuk diperiksa dan diberikan hak paten di Belanda oleh Octrooi Raad. Sementara untuk hak cipta dan merek dagang (cap dagang) dapat diajukan dan diberikan oleh Kantor CabangBureau I ndustriele Eigendom di Jakarta.167 Setelah I ndonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman Nomor JS 5/ 41 tanggal 12 Agustus 1953 dan Nomor JG 1/ 2/ 17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.

B. Politik Hukum Hak Kekayaan I ntelektual Masa

Dalam dokumen POLITIK HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL I (Halaman 58-60)

Garis besar

Dokumen terkait