• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Aspek Building Environmental Management

2.3.3 Pollution Of Construction Activity

bertitik berat pada desain atau perencanaan. Proses konstruksi untuk mendirikan bangunan tersebut pun harus menjiwai semangat ramah lingkungan, sehingga bila suatu bangunan dikatakan memenuhi konsep ramah lingkungan, berarti proses penilaiannya telah dilakukan secara komprehensif.

Aktivitas konstruksi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Meningkatnya aktivitas konstruksi berdampak pada meningkatnya limbah yang

dihasilkan. Manajemen limbah konstruksi yang komprehensif sangat dibutuhkan di setiap proyek konstruksi, karena sekitar 1 – 10% dari material konstruksi pada umumnya berakhir menjadi limbah di lokasi konstruksi(Susanti, Betty 2009)[27]. Berdasarkan penelitian mengenai manajemen industri konstruksi, terdapat lima faktor yang umumnya menjadi dampak dari pelaksanaan aktivitas konstruksi, diantaranya adalah level kebisingan, kualitas udara, kuantitas dan kualitas air, getaran, dan fasilitas jalan (Sutrisno et, al, 2009)[28]. Terdapat satu faktor yang juga tak kalah pentingnya yaitu sampah, yang dapat berkontribusi membebani TPA. Dampak-dampak negatif tersebut sudah seharusnya diantisipasi oleh para pelaku jasa konstruksi, agar pelaksanaan aktivitas tersebut tidak mengganggu lingkungan sekitar.

Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat pemprosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Agar timbunan sampah dapat terurai melalui proses alam diperlukan jangka waktu yang lama dan diperlukan penanganan dengan biaya yang besar.

Limbah didefinisikan sebagai material yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan industri yang tidak memiliki nilai sisa (Tam & Tam, 2006)[29]. Sedangkan limbah konstruksi adalah segala sesuatu yang tidak efisien, yang dihasilkan dari penggunaan peralatan, material, atau tenaga kerja, dalam jumlah yang besar pada kegiatan produksi bangunan (Koskela, 1992)[30]. Pada umumnya, limbah konstruksi didefinisikan sebagai produk yang dihasilkan dari proses konstruksi, renovasi, dan demolisi pekerjaan konstruksi (Cheung, 1993)[31].

Tabel 2.1. Karakteristik Limbah

Karakteristik Sumber Limbah Fisika :

Warna Bahan organik buangan industri dan domestik Bau Penguraian limbah dan buangan industri Padatan Sumber air, buangan industri dan domestik Temperatur Buangan domestik dan industri

Kimia:

Organik

Karbohidrat Buangan industri, perdangangan dan domestik Minyak dan lemak Buangan industri, perdangangan dan domestik

Pestisida Buangan hasil pertanian

Fenol Buangan industri, perdangangan dan domestik Anorganik

Alkali Sumber air, buangan domestik, infiltrasi air tanah, buangan air ketel

Cholorida Sumber air, buangan domestik, pelemakan air Logam berat Buangan industri, perdangangan dan domestik

Nitrogen Limbah pertanian dan domestik

pH Limbah industri

Phospor Limbah industri, domestik dan alamiah Sulfur Limbah industri, domestik dan alamiah Bahan beracun Perdagangan, limbah industri

Biologi :

Virus Limbah domestik

Sumber : Suparni Setyowati Rahayu, Sumber dan Karakteristik Limbah, 2009

Limbah konstruksi dibagi menjadi limbah padat dan limbah cair. Material konstruksi merupakan sumber daya konstruksi yang potensial menjadi limbah dibandingkan sumber daya lainnya, karena sebagian besar material mental yang menjadi input proses konstruksi diperoleh dari sumber tak terbarukan (non renewable). Limbah yang berasal dari pembongkaran atau penghancuran bangunan digolongkan sebagai demolition waste, sedangkan limbah yang berasal dari perubahan bentuk bangunan (remodeling) dan pembangunan rumah atau bangunan komersial, digolongkan sebagai construction waste. Contoh limbah material konstruksi yang sering ditemui adalah tiang pancang, beton ready mix, besi beton, semen, pasir, batu pecah, batu bata, kayu, dan keramik.

Menurut Pasal 1 PP Nomor 82 Tahun 2001(pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air)[32], Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu. Dalam Pasal 24 disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan mengakibatkan pencemaran air. Untuk mencegah limbah cair dari hasil konstruksi, dibutuhkan sebuah Water Treatment Plant (WTP). Water Treatment Plant adalah sebuah sistem yang difungsikan untuk mengolah air dari kualitas air baku yang kurang bagus agar mendapatkan kualitas air pengolahan standard yang diinginkan/ditentukan atau siap untuk dikonsumsi. Parameter fisik air biasanya di lihat dari unsur yang berhubungan dengan indra manusia seperti penglihatan, sentuhan, rasa dan penciuman, yang meliputi Turbidity (kekeruhan), warna, bau, rasa dan suhu. Sistem pengolahan yang biasa di gunakan adalah Sistem Sedimentasi (Pengenda-pan), Filtrasi dan penambahan desinfektan. Jika dilihat dari jenis senyawanya dibagi menjadi 2(dua) yaitu :

a. Parameter Kimia

Senyawa kimia yang sering di temukan pada air adalah Fe, Mn, Ca, Mg, Na, SO4, CO3. Jika air memiliki kandungan senyawa kimia yang berlebihan (tidak masuk standart konsumsi yang aman), Pengolahan dapat dilakukan dengan sistem filtrasi dengan menggunakan media tertentu misalnya system Reverse Osmosis atau Demineralier dan Softener.

b. Parameter Biologi

Parameternya dilihat berdasarkan adanya mikroorganisme yang ada di dalam air. Bila jumlah mikro-organisme di dalam air berlebihan biasanya akan mengganggu kesehatan bila di konsumsi. Pengola-han dapat dilakukan dengan menggunakan desinfektan atau alat yang biasa digunakan, misalnya injeksi Chlor, System UV dan System Ozone (O3).

Gambar 2.2. Water Treatment Plant Sumber : Sewage Treatment

Tujuan dari aspek yang kedua ini adalah untuk mendorong pengurangan sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan polusi dari proses konstruksi. Nilai maksimum yang dapat dicapai dari terpenuhnya aspek ini adalah 2. Tolak ukurnya adalah memiliki rencana manajemen sampah konstruksi yang terdiri atas :

 Limbah padat, dengan menyediakan area pengumpulan, pemisahan, dan sistem pencatatan. Pencatatan dibedakan berdasarkan limbah padat yang dibuang ke TPA, digunakan kembali, dan didaur ulang oleh pihak ketiga.

 Limbah cair, dengan menjaga kualitas air yang timbul dari aktivitas konstruksi agar tidak mencemari drainase kota.

Dokumen yang nantinya akan dinilai adalah : Tolak Ukur 1 :

 Foto area pemilahan sampah konstruksi

 Dokumen dari pihak kontraktor utama mengenai catatan pemilahan sampah

 Surat pernyataan kerjasama antara pihak kontraktor utama dan pihak ketiga untuk sampah konstruksi yang bisa didaur ulang

Tolak Ukur 2 :

 Gambar diagram pihak kontraktor utama yang menunjukkan upaya pengendalian kualitas air yang berasal dari aktivitas konstruksi.

Dokumen terkait