• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL

MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN

BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL

BUILDING

SKRIPSI MUHAMMAD FATIH 0806454361 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM SARJANA DEPOK JUNI 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL

MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN

BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL

BUILDING

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

MUHAMMAD FATIH 0806454361

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL KEKHUSUSAN MANAJEMEN KONSTRUKSI

DEPOK JUNI 2012

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Muhammad Fatih

NPM : 0806454361

Tanda Tangan :

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Prof. Dr. Ir. Yusuf Latief, M.T., selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;

(2) Suratman, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing II yang selalu sabar dan telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;

(3) Pak Irwan, Pak Wildan dan pegawai proyek Pembangunan Gedung Kantor Jasa Marga lainnya yang telah memberikan informasi terkait penerapan green building di proyek tersebut;

(4) Ibu saya, Farida Hanim dan adik saya, Farah Fadilla yang selalu memberikan bantuan dukungan material dan moral serta kasih sayang (5) Ayah saya Almarhum Ir. H. Danial, MM yang selalu menjadi motivasi

saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan segera menjadi insinyur; (6) Sahabat “Green Builders” yang terdiri dari Amila, Bundo, Oghie, Nanda,

dan Ezi atas segala pencerahan dan kebersamaannya serta suka dukanya selama merampungkan skripsi ini;

(7) Seluruh sahabat dan teman-teman satu angkatan Teknik Sipil dan Lingkungan 2008, khususnya Ridha, Tadho, Gabby, Wakros, Dita, Sandy, Dimas, Fatchur, Nanda, Budi, Ganjar, Tony, Jauzy, Iqbal, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas seluruh kebersamaan dan dukungan moralnya;

(6)

(8) Seluruh jajaran teman-teman dan sahabat sepenanggungan penghuni kantek dan gazeb atas, yang selalu memberikan kebahagiaan ketika penulis kesulitan dalam penyusunan skripsi ini;

(9) Keluarga besar 007, SPLT, Futsal Sipil, Pelahap Maut, Mokondo Fast Track, Peteran, IMS 2010, serta Kresma IMS 2010 atas segala kebahagiaan dan dukungan moralnya yang senantiasa menyemangati penulis dalam pembuatan skripsi ini;

.(10) Mindo Stevi atas segala motivasi, kesabaran, semangat, kebersamaan dan kebahagiaannya yang senantiasa menemani penulis mulai dari awal penyusunan skripsi ini hingga akhir.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, Juni 2012

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Fatih NPM : 0806454361 Program studi : Teknik Sipil Departemen : Teknik Sipil Fakultas : Teknik Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Pengaruh Aspek Building Environmental Management Terhadap Biaya Konstruksi Green Building Dibandingkan Dengan Conventional Building

Bersama dengan perangkat lainnya. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 20 Juni 2012

Yang Menyatakan

(8)

ABSTRAK

Nama : Muhammad Fatih Program Studi : Teknik Sipil

Judul : Pengaruh Aspek Building Environmental Management Terhadap Biaya Konstruksi Green Building Dibandingkan Dengan Conventional Building

Merencanakan operasional gedung yang ramah lingkungan sudah harus dipikirkan sejak tahap perencanaan desain. Cakupannya adalah pengelolaan sumber daya melalui rencana operasional konsep yang berkelanjutan, kejelasan informasi (data), dan penanganan dini yang membantu pemecahan masalah, termasuk manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep bangunan hijau untuk mendukung penerapan tujuan pokok dari kategori lain. Oleh sebab itu, penulis memilih pengaruh aspek Building Environmental Management (BEM) terkait biaya konstruksi green building dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai faktor dalam aspek tersebut yang mempengaruhi perubahan biaya konstruksi green building apabila dibandingkan dengan bangunan konvensional, dan seberapa besar perubahan yang disebabkan oleh aspek tersebut. Dari penelitian ini diperoleh pengaruh biaya akibat penerapan BEM sebesar 0,51% dari nilai kontraknya.

Kata kunci :

Green Building, Aspek Building Environmental Management, biaya konstruksi ABSTRACT

Name : Muhammad Fatih Study Program : Civil Engineer

Tittle : The Effect of Building Environmental Management Aspect for Green Building Construction Cost Compared With Conventional Building

Planning the operation of environmental-friendly building must be concerned since design stage. The coverage is all about resource management by sustainable construction concept planning, data intelligibility, and early handling to help problems solving, include human resources management in assembling Green Building concept to encourage main purpose of another aspects. Therefore, the authors choose the effect of Building Environmental Management (BEM) aspects related to construction cost of green building in order to provide information about the factors of Building Environmental Management aspect which influence changes of green building construction costs compared to conventional buildings, and how much it changes. This study obtain the influence of Building Environmental Management aspect is 0,51% from the contract value.

Key words :

Green Building, Building Environmental Management Aspect, cost of construction

(9)

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... .iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK/ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

1 PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.2.1 Deskripsi Masalah ... 4 1.2.2 Signifikansi Masalah ... 7 1.2.3 Rumusan Masalah ... 8 1.3 Tujuan Penelitian ... 8 1.4 Batasan Penelitian ... 9 1.5 Manfaat Penelitian ... 9 1.6 Keaslian Penelitian ... 9 2 TINJAUAN PUSTAKA ...13 2.1 Pendahuluan ... 13

2.2 Konsep Green Building ... 13

2.2.1 Pengertian Green Building ... 13

2.2.2 Perencanaan Green Building ... 18

2.2.3 Peraturan Green Building ... 21

2.3 Aspek Building Environmental Management ... 24

2.3.1 Basic Waste Facility ... 25

2.3.2 Gp As A Member Of Design Team ... 27

2.3.3 Pollution Of Construction Activity ... 28

2.3.4 Advance Waste Management ... 33

2.3.5 Proper Comissioning ... 36

2.3.6 Submission Gb Implementation For Database ... 38

2.3.7 Fit-Out Agreement ... 39

2.3.8 Occupant Survey ... 41

2.4 Perbedaan Biaya Dalam Proyek Green Building ... 42

2.4.1 Penyusunan Biaya Proyek ... 42

2.4.2 Hal Yang Membedakan Biaya Green Building ... 46

2.5 Kerangka Berpikir Dan Hipotesa ... 54

2.5.1 Kerangka Berpikir ... 54

(10)

3 METODOLOGI PENELITIAN ...57

3.1 Pendahuluan ... 57

3.2 Pemilihan Strategi Penelitian ... 57

3.3 Proses Penelitian ... 58 3.4 Variabel Penelitian ... 59 3.5 Instrumen Penelitian ... 63 3.6 Pengumpulan Data ... 72 3.7 Analisa Data ... 72 3.8 Kesimpulan ... 75 4 PENGOLAHAN DATA ...76 4.1 Pendahuluan ... 76 4.2 Pengumpulan Data ... 76

4.2.1 Kuesioner Tahap Pertama (Validasi Pakar) ... 76

4.2.2 Kuesioner Tahap Kedua (Pilot Survey) ... 81

4.2.3 Kuesioner Tahap Ketiga (Responden) ... 88

4.3 Analisa Data ... 89

4.3.1 Analisa Statistik Kuisioner ... 89

4.3.1.1 Uji Data Responden ... 89

4.3.1.2 Tabulasi Data ... 95

4.3.2 Analisa Deskriptif ... 97

4.3.3 Analisa Dengan Menggunakan Ahp ... 99

4.3.3.1 Perbandingan Berpasangan Normalitas... 99

4.3.3.2 Bobot Elemen ... 99

4.3.3.3 Uji Konsistensi Matriks Dan Hirarki ... 100

4.3.3.4 Rangking Pada Variabel ... 101

4.3.4 ANALISA STUDI KASUS ... 103

4.3.4.1 Pendahuluan ... 103

4.3.4.2 Penerapan Konsep Green Building ... 105

4.3.4.3 Kesimpulan ... 118

5 TEMUAN DAN PEMBAHASAN ...119

5.1 Pendahuluan ... 119

5.2 Temuan ... 119

5.2.1 Temuan 1 (Hasil Kuisioner) ... 119

5.2.2 Temuan 2 (Hasil Studi Kasus) ... 120

5.3 Pembahasan ... 122

5.4 Pembuktian Hipotesa ... 124

6 KESIMPULAN DAN SARAN ...125

6.1 Kesimpulan ... 125

6.2 Saran ... 126

DAFTAR ACUAN ...127

(11)

Tabel 2.1. Karakteristik Limbah ... 30

Tabel 2.2. Organisme yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan ... 35

Tabel 2.3. Perbedaan Biaya Konstruksi Non-Green dan Green Building... 52

Tabel 2.4. Data Proyek Green Building di Subang ... 53

Tabel 3.1. Strategi penelitian ... 57

Tabel 3.2. Variabel Penelitian BEM ... 61

Tabel 3.3. Kuisioner untuk Pengambilan Data Tahap 1 ... 64

Tabel 3.4. Kuisioner untuk Pengambilan Data Tahap 2 ... 68

Tabel 4.1. Profil Pakar ... 77

Tabel 4.2. Kuisioner Tahap Dua ... 79

Tabel 4.3. Data Responden Pilot Survey ... 81

Tabel 4.4 Perubahan Penulisan Variabel akibat Pilot Survey ... 83

Tabel 4.5. Kuisioner Untuk Responden ... 85

Tabel 4.6 Data Profil Responden Tahap Tiga ... 88

Tabel 4.7. Test Statistics ... 91

Tabel 4.8. Kelompok Jabatan Responden ... 92

Tabel 4.9. Test Statistics Jabatan... 93

Tabel 4.10. Test Statistic Pengalaman Kerja ... 94

Tabel 4.11. Item-Total Statistic ... 95

Tabel 4.12. Case Processing Summary ... 96

Tabel 4.13. Realibility Statistic ... 97

Tabel 4.14. Analisa Deskriptif ... 97

Tabel 4.15. Matriks Berpasangan Pengaruh Biaya Pengambilan Keputusan ... 99

Tabel 4.16. Perhitungan Bobot Elemen ... 99

Tabel 4.17. Perhitungan Bobot Elemen Masing-masing Pengaruh ... 100

Tabel 4.18. Nilai Perhitungan AHP ... 102

Tabel 4.19. Faktor Pengaruh Terhadap Biaya Dominan Variabel ... 103

Tabel 4.20. Target Pencapaian Rating ... 105

Tabel 4.21. Deviasi Biaya BEM ... 118

Tabel 5.1. Peringkat Proxy Variabel ... 119

Tabel 6.1. Faktor BEM yang Mempengaruhi Biaya ... 125

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tempat Sampah Organik dan Non Organik ... 27

Gambar 2.2. Water Treatment Plant ... 32

Gambar 2.3. Proses Umum Penanganan Limbah Organik ... 34

Gambar 2.4. Proses Penyusunan Anggaran Biaya ... 44

Gambar 2.5. Input, Tools & Techniques, dan Output Estimasi Biaya ... 45

Gambar 2.6 Aliran data Dalam Proses Penyusunan Estimasi Biaya ... 45

Gambar 2.7. Proses Cost Budgeting ... 46

Gambar 2.8. Hubungan antara biaya dengan proses konstruksi ... 48

Gambar 2.9 Kerangka Berpikir ... 55

Gambar 4.1. Grafik Penyebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 90 Gambar 4.2. Grafik Penyebaran Responden Berdasarkan Jabatan ... 92

Gambar 4.3. Penyebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja ... 94

Gambar 4.4. Grafik Mean Indikator ... 98

Gambar 4.5 Masa Kontruksi Proyek ... 105

Gambar 4.6. Tempat sampah Organik, Anorganik, dan B3 ... 107

Gambar 4.7. Alur pembuangan sampah ... 107

Gambar 4.8. Struktur GP dalam Organisasi Kontraktor ... 108

Gambar 4.9. Area Pemilahan dan Pencatatan Limbah Padat ... 109

Gambar 4.10. Tempat Sampah di Proyek ... 110

Gambar 4.11. Penggunaan kembali waste besi beton ... 111

Gambar 4.12. Form monitoring pengeluaran sampah proyek... 112

Gambar 4.13. Flowchart pengendalian limbah cair konstruksi... 112

Gambar 4.14. Logo Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) ... 113

Gambar 4.15. Contoh Limbah Anorganik... 113

Gambar 4.16. Tim Proper Comissioning ... 114

Gambar 4.17. Alat Comissioning ... 115

Gambar 4.18. Prosedur pelaksanaan Testing dan Komisioning ... 115

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner Tahap 1 Lampiran 2. Kuisioner Tahap 2 Lampiran 3. Data Responden

Lampiran 4. Instruksi Kerja Pengendalian Limbah Padat Lampiran 5 Contoh Surat Penunjukan GP

Lampiran 6. Contoh Daftar Hadir GP

Lampiran 7. Flowchat Pengendalian Limbah Padat/Cair Kegiatan Proyek Lampiran 8. Contoh Surat Pernyataan Pengelolaan Limbah

Lampiran 9. Contoh Surat Pernyataan Pengelolaan Sampah Anorganik Lampiran 10. Contoh Form Commissioning

Lampiran 11. Contoh Surat Pernyataan Penyerahan Data Implementasi GB Lampiran 12. Contoh Surat Pernyataan Survey

Lampiran 13. Kuisioner Hasil Validasi Pakar

Lampiran 14. Pedoman New Building Greenship V.1.0 Lampiran 15. Risalah Sidang Skripsi

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sarana dan prasarana fisik, atau sering disebut dengan infrastruktur, merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna mendukung gerak roda pemerintahan, perekonomian, industri dan berbagai kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari sistem energi, transportasi jalan raya, bangunan-bangunan perkantoran dan sekolah, hingga telekomunikasi, rumah peribadatan dan jaringan layanan air bersih, semuanya memerlukan adanya dukungan infrastruktur yang handal. Peran infrastruktur dalam mendukung dinamika suatu negara menjadi sangat krusial untuk memenuhi luasnya cakupan masyarakat tersebut.

Dewasa ini bisnis konstruksi semakin marak dan terus berkembang agar dapat memenuhi infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan meningkatkan laju pembangunan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)[1] memprediksi sektor konstruksi pada triwulan IV-2011 akan mengalami pertumbuhan signifikan atau tajam dalam Indeks Tendensi Bisnis (ITB) alias kondisi bisnis Indonesia. Sebelumnya pada triwulan III-2011, sektor konstruksi diperkirakan mengalami peningkatan bisnis paling tinggi dengan nilai indeks sebesar 107,55. Dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan aktivitas konstruksi tersebut tentunya sangat besar terhadap lingkungan. Dalam rangka menjaga keselamatan lingkungan dan meningkatkan mutu dari tingginya persaingan bisnis industri konstruksi maka konsep pembangunan berbasiskan prinsip ramah lingkungan mulai diterapkan. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung[2] mendorong pembangunan bangunan berarsitektur lokal yang terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal. Konsep Green Building di dunia internasional memiliki predikat yang tinggi dan sudah menjadi standard dalam proses pembangunan, dimana Indonesia baru memulai mengadopsi konsep ini. Dalam penerapannya terdapat rating yang menjadi tolak ukur bagi para pelaku industri

(15)

yang menerapkan best practices dan mencapai standar yang terukur sesuai dengan peraturan pemerintah.

Green Building memberikan keuntungan finansial yang tidak disajikan oleh bangunan konvensional. Keuntungan-keuntungan tersebut termasuk penghematan energi dan air, pengurangan sampah, serta biaya operasional dan maintenance yang lebih rendah. Konsep green yang mengacu kepada prinsip sustainability/keberlanjutan dan menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan masih merupakan hal yang baru di Indonesia. Tetapi, kenyataannya, telah banyak pelaku pasar yang sudah menggunakan label green. Ini menunjukkan adanya kecenderungan pasar terhadap kesadaran betapa pentingnya penerapan prinsip ini, sehingga muncul keinginan untuk menerapkan praktik ramah lingkungan dan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun sudah ada keinginan, masyarakat umum belum memiliki pengetahuan yang cukup serta aksesibilitas terhadap informasi, praktik-praktik, dan produk-produk ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu ada suatu jembatan yang menghubungkan konsep sesungguhnya dengan persepsi yang tersebar di masyarakat.

Fauzi Bowo, Gubernur DKI mengisyarat bahwa dalam upaya melindungi bumi dari pemanasan global, konsep Green Building pada bangunan pemerintah akan mulai diterapkan pada tahun 2010[3]. Selain penerapan pada gedung yang dimiliki, intensif dalam bidang birokrasi juga ditawarkan. Hal ini bertujuan untuk mempengaruhi pemain properti mengangkat konsep Green Building dalam proyeknya, yang biasanya diabaikan. Penerapan konsep baru yang merubah konsep tradisional biasanya akan menimbulkan tambahan biaya. Sebagai contoh; penerapan IBS (industrial building system) yang bisa menghemat energi ternyata menimbulkan tambahan biaya sekitar 30-40%, sehingga hal ini ditinggalkan oleh pelaku konstruksi (Davi Sukamta, 2009)[4]. Hal seperti inilah yang sering membuat para pelaku jasa konstruksi mempertimbangkan dengan matang penerapan konsep Green Building di Indonesia.

Merencanakan operasional gedung yang ramah lingkungan sudah harus dipikirkan sejak tahap perencanaan desain. Cakupannya adalah pengelolaan sumber daya melalui rencana operasional konsep yang berkelanjutan, kejelasan informasi (data), dan penanganan dini yang membantu pemecahan masalah,

(16)

termasuk manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep bangunan hijau untuk mendukung penerapan tujuan pokok dari kategori lain.

Untuk membantu para pelaku industri konstruksi, baik pengusaha, engineer, maupun pelaku pendukung lainnya dalam menerapkan praktik Green Building, terdapat sistem rating GREENSHIP yang disusun oleh Green Building Council Indonesia (GBCI)[5]. Dengan adanya sistem rating GREENSHIP, akan tercapai standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, pemilik bangunan, serta pelaku jasa konstruksi. Standar yang ingin dicapai GREENSHIP adalah terjadinya suatu bangunan hemat energi yang ramah lingkungan sejak tahap perencanaan, pembangunan, hingga pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari.

Sistem rating GREENSHIP merupakan alat bantu bagi para pelaku industri bangunan, baik pengusaha, engineer, maupun pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, terutama tenant dan pengguna bangunan. Suatu bangunan akan dinilai rating GREENSHIP oleh seorang Greenship Professional (GP). Dengan sistem penilaian ini, setiap bangunan yang mencanangkan diri sebagai Green Building akan disertifikasi berdasarkan kriteria-kriteria baku yang ada dalam sistem penilaian. Kriteria penilaiannya dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu:

Appropriate Site Development (Tepat Guna Lahan)

Energy Efficiency and Conservation (Efisiensi dan Konservasi Energi)

Water Conservation (Konservasi Air)

Material Resources and Cycle (Sumber dan Siklus Material)

Indoor Air Health and Comfort (Kualitas Udara dan Kenyamanan Ruangan)

Building Environmental Management (Manajemen Bangunan dan Lingkungan)

Salah satu aspek yang paling penting dalam penerapan Green Building adalah Building Environmental Management. Menitikberatkan kepada pengelolaan sampah, pelibatan Greenship Professional dalam konstruksi Green Building, serta pengelolaan sumber daya dan data untuk konsep yang berkelanjutan menjadikan Aspek Building Environmental Management sebagai

(17)

penilaian yang penting di dalam sertifikasi Green Building. Jika metode penerapan aspek Building Environmental Management dapat diaplikasikan dengan tepat, maka biaya yang ditimbulkan dalam proses konstruksi Green Building dapat terlihat jelas sehingga kedepannya aspek BEM dapat dijadikan suatu unsur penting dalam proyek konstruksi di Indonesia terutama Green Building.

1.2 Perumusan Masalah

1.2.1 Deskripsi Masalah

Dalam proses pembangunan Green Building, permasalahan yang seringkali dihadapi oleh pelaku konstruksi adalah hal-hal sebagai berikut :

a. Peraturan Pemerintah

Saat ini, pemerintah mengikuti perkembangan dunia konstruksi, mengingat konstruksi merupakan salah satu penunjang sektor ekonomi Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dunia konstruksi juga turut serta dalam perusakan alam yang saat ini terjadi di dunia. Oleh sebab itu, kongres Internasional tidak jarang turut serta membahas permasalahan lingkungan. Indonesia sebagai salah satu negara yang mendapatkan dana hibah untuk terus menjaga kelestarian lingkungannya yang berfungsi sebagai salah satu paru-paru dunia, secara tidak langsung harus terus memperbarui undang-undangnya untuk memperketat pengawasannya guna kelestarian lingkungan.

b. Permintaan Owner

Saat ini Green Building sudah menjadi trend pembangunan masa kini. Pemilik bangunan saat ini tidak jarang mengusung tema Green Building dalam bangunannya, sehingga menuntut kontraktor untuk mampu mengerjakan proyek tersebut dengan baik dan dapat memenuhi aspek-aspek yang disyaratkan untuk sertifikasi Green Building.

c. Persaingan Bisnis

Semakin banyak pelaku konstruksi di Indonesia yang menawarkan harga penawaran yang lebih murah ataupun dengan menawarkan konsep bangunan yang lebih baik dan ramah lingkungan membuat para pelaku

(18)

konstruksi harus menjalani persaingan antara yang satu dengan yang lainnya.

d. Harga pembangunan Green Building lebih tinggi dibandingkan bangunan konvensional

Green Building adalah sebuah konsep baru yang ditawarkan untuk pembangunan berkelanjutan serta ramah lingkungan. Tentunya penggunaan metode baru ini akan lebih memakan biaya dibandingkan dengan metode tradisional untuk pembangunan gedung konvensional, sehingga kontraktor seringkali terbentur dengan masalah biayanya.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, salah satu cara yang bisa diterapkan adalah mengaplikasikan konsep Green Building kepada bangunan yang akan dibangun. Menurut Green Building Council Indonesia, Green Building memiliki enam aspek yang harus dipenuhi di Indonesia yakni Appropriate Site Development, Energy Efficiency and Conservation, Water Conservation, Material Resources and Cycle, Indoor Air Helath and Comfort, dan Building and Environmental Management. Masing-masing aspek memiliki tolak ukur dan rating masing-masing untuk mendapatkan sertifikasi sebagai Green Building. Penulis hanya membahas aspek Building Environmental Management, dan hal-hal yang menjadi tolak ukur dalam aspek tersebut adalah sebagai berikut :

a. Fasilitas Dasar Pengolahan Sampah (Basic Waste Facility)

Hal ini adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh setiap gedung yang ingin disertifikasi bangunannya sebagai Green Building. Banyaknya sampah yang dihasilkan dalam berbagai bentuk dan semakin sempitnya TPA(Tempat Pembuangan Akhir) menjadi beban berat dalam pengolahan sampah di TPA. Oleh karena itu, tolak ukur dalam prasyarat ini adalah adanya instalasi atau fasilitas di lingkungan gedung untuk memilah dan mengumpulkan sampah sejenis sampah rumah tanga (UU No. 18 Tahun 2008) berdasarkan jenis organik dan anorganik. Dengan melakukan pemilahan sampah dari tahap awal, proses daur ulang akan dimulai lebih cepat sehingga beban TPA dapat berkurang.

b. Greenship Professional (GP) Sebagai Bagian Dari Tim Desain (GP as a Member Of Design Team)

(19)

Setiap bangunan yang akan disertifikasi sebagai Green Building harus melibatkan seorang tenaga ahli yang sudah tersertifikasi Greenship Professional (GP), yang bertugas untuk mengarahkan berjalannya proyek sejak tahap perencanaan desain dan sebelum pendaftaran sertifikasi.

c. Polusi Dari Aktivitas Konstruksi (Pollution Of Construction Activity) Untuk bangunan baru, penerapan konsep ramah lingkungan tidak hanya bertitik berat pada desain atas perencanaan. Proses konstruksi untuk mendirikan bangunan tersebut pun harus menjiwai semangat ramah lingkungan, sehingga bila suatu bangunan dikatakan memenuhi konsep ramah lingkungan, berarti proses penilaiannya telah dilakukan secara komprehensif.

d. Pengelolaan Sampah yang Baik (Advance Waste Management)

Tolak ukur dari aspek ini adalah adanya instalasi pengomposan limbah organik di tapak bangunan serta memberikan rencana kerjasama dengan pihak ketiga untuk masalah pengelolaan limbah anorganik di luar sistem jaringan persampahan kota.

e. Comissioning yang tepat (Proper Comissioning)

Setiap bangunan merupakan suatu produk yang berasal dari perakitan dari berbagai material yang belum tentu cocok satu sama lain. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu proses yang berkesinambungan untuk memastikan semua sistem, terutama pada peralatan (equipment), berjalan sesuai dengan rencana dan berkelanjutan.

f. Penyerahan Data Implementasi Green Building untuk Database (Submission Green Building Implementation Data for Database)

Lemahnya database merupakan bagian dari kurangnya kesadaran atas pentingnya riset dan pengembangan, terutama dalam Green Building ini. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya yang mendorong implementasi aspek-aspek ramah lingkungan dari setiap gedung. Dengan pemberian data Green Building kepada GBCI dan pusat data energi Indonesia, diharapkan kedepannya dapat muncul inovasi serta perubahan baru bagi implementasi Green Building di Indonesia.

(20)

Ketika bangunan yang menganut prinsip Green Building sudah selesai dan akan diserahkan kepada penyewa gedung atau tenant, maka perlu dibuat surat perjanjian dengan tenant untuk memastikan bahwa bangunan akan tetap mengimplementaasikan prinsip Green Building saat fit-out gedung. h. Survey Penghuni (Occupant Survey)

Salah satu perhatian dari prinsip keberlanjutan adalah kenyamanan manusia. Dalam rating ini, didorong suatu tindakan survey untuk mengetahui kenyamanan termal pengguna gedung.

1.2.2 Signifikansi Masalah

Praktik Green Building yang masih sangat minim selama ini dikarenakan penerapan konsep Green Building selalu identik dengan penambahan biaya konstruksi. Akan tetapi, dengan diterbitkannya peraturan yang berkaitan dengan bangunan hijau melalui Peraturan Menteri dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Nomor 8 Tahun 2010 yang berjudul “Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan” mendesak para pelaku konstruksi untuk menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam desain, konstruksi, operasi dan manajemennya, yang semuanya penting bagi mitigasi dampak perubahan iklim[6]. Dalam penerapan konsep bangunan ramah lingkungan tersebut, terdapat berbagai macam pendapat mengenai besaran penambahan biaya konstruksi dalam bangunan tersebut. Penerapan konsep Green Building pada gedung yang baru akan dibangun, akan mempengaruhi penambahan biaya investasi sebesar 5-10% dengan memiliki konsep yang matang, namun apabila dilakukan tidak dengan perencanaan yang matang oeh pengembang yang juga belum berpengalaman diperkirakan kenaikan harga pembangunan Green Building dapat bertambah hingga 20% [7]. Pada proyek Green Building yang bertempat di Dahana, proyek yang baru selesai pada tahun 2011 ini mengalami kenaikan biaya konstruksi sebesar 13,4%.

Kenaikan harga yang diakibatkan oleh penerapan Green Building ini memang bersifat pasti. Namun, dengan konsep Green Building yang bertujuan menghemat energi dan terutama kepedulian terhadap lingkungan ini sebenarnya dapat memberikan penghematan yang lebih besar bagi tahap operasional gedung. Misalnya untuk gedung yang sebagian disewa dan dijual, penyewa akan merasa

(21)

diuntungkan dengan biaya operasional lebih murah untuk listrik, yang diperkirakan terjadi penghematan sebesar 20%-30% per bulannya [8]. Pihak Kementerian Perumahan Rakyat[9] juga mendorong pemberian insentif bagi perusahaan pengembang properti yang menggunakan konsep Green Building. Insentif tersebut dapat berupa revisi retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pajak, maupun penggunaan bahan bangunan. Penerapan Green Building akan menambah biaya pembangunan sebesar 2% daripada gedung konvesional, namun harga property valuenya akan meningkat 10 kali lipat dibandingkan gedung konvensional[10].

1.2.3 Rumusan Masalah

a. Faktor apa saja dalam aspek Building Environmental Management yang berpotensi mempengaruhi biaya konstruksi dalam pembangunan green building.

b. Seberapa besar pengaruh dari penerapan aspek Building Environmental Management dalam green building terhadap besarnya biaya proyek apabila dibandingkan dengan konvensional building.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menentukan seberapa besar Aspek Building Environmental Management akan mempengaruhi biaya proyek dalam proyek konstruksi Green Building jika dibandingkan dengan konvensional building dan mengidentifikasi dengan tepat aspek-aspek apa saja yang terdapat dalam Building Environmental Management yang berpotensi untuk menaikkan biaya konstruksi dalam pembangunan Green Building. Mengingat Green Building saat ini sudah menjadi standar dalam pembangunan gedung di Indonesia, diharapkan penelitian ini dapat mendorong minat dan membantu para pelaku konstruksi dan investor untuk menerapkan konsep Green Building pada proyeknya.

(22)

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya membahas salah satu aspek Green Building yaitu aspek Building Environmental Management dan pengaruhnya terhadap biaya konstruksi suatu proyek. Hal ini terkait penerapan segala subkategori yang berguna untuk memenuhi aspek Building Environmental Management seperti yang telah ditetapkan oleh GBCI (Green Building Council Indonesia) dalam Green Building dan pengaruhnya terhadap kenaikan atau mungkin penurunan biaya konstruksi. Lingkup penelitian yang digunakan dalam proyek ini adalah studi kasus bangunan gedung Jasa Marga yang bertemakan Green Building milik Jasa Marga dan kontraktor pelaksananya adalah PT. PP (Persero) Tbk

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut : a. Untuk investor

Mendapatkan cara penerapan aspek Building Environmental Management yang optimal sehingga mendapatkan derajat pengembalian investasi yang optimum pada proyek Green Building.

b. Untuk Kontraktor Pelaksana Proyek

Mengetahui dan dapat menerapkan segala aspek Building Environmental Management secara baik serta bisa mengestimasi biaya proyek dari Green Building.

c. Untuk penulis

Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Green Building dan segala jenis aspeknya, terutama aspek Building Environmental Management. d. Untuk bidang IPTEK

Pengetahuan yang baru mengenai aspek Building Environmental Management pada Green Building serta metode penerapannya.

1.6 Keaslian Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian yang baru dilakukan dan sebelumnya tidak pernah diteliti oleh siapapun. Walaupun terdapat

(23)

beberapa penelitian sebelumnya yang terlihat mirip, namun penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, misalnya :

a. Perancangan bangunan dengan mempertimbangkan aspek energi dan lingkungan (studi kasus: pengamatan beberapa bangunan di Jakarta dan Surabaya dengan menggunakan LEED NC 2.1) oleh Ridho Masruri Irsal Universitas Indonesia

Abstrak: “Masalah lingkungan global tidak bisa hanya menjadi sekedar bahan pembicaraan tanpa ada upaya untuk mencegahnya. Sektor bangunan ternyata mengkonsumsi sekitar 50% bahan bakar fosil, paling banyak di antara sektor-sektor lainnya seperti transportasi dan industri. Dapat dibayangkan peranan bidang arsitektur dalam menyumbangkan CO2 yang menjadi pemicu utama masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Pembicaraan mengenai pembangunan yang berkelanjutan sudah ada sejak tahun 1970-an. Konsep sustainability mulai dibahas dan dikembangkan oleh beberapa pakar sehingga dapat lebih dipahami. Dalam perkembangannya, istilah Green Building lebih dikenal oleh masyarakat. Tetapi kriteria-kriteria sebuah bangunan bisa dikatakan green menjadi sulit ditentukan karena belum ada standar yang bisa dijadikan pedoman.

Amerika Serikat melalui U.S. Green Building Council menjawab tantangan ini dengan mengeluarkan Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Sistem penilaian ini menguraikan aspek-aspek yang menjadi dasar pemikiran sustainable architecture dan juga strategi-strategi perancangan untuk memenuhi kriteria tersebut. Setelah itu, banyak negara yang ikut mendirikan Green Building Council dan juga sistem rating, baik yang mengadopsi versi U.S. Green Building Council ataupun hasil penyusunan sendiri. Negara kita Indonesia, pada tanggal 12 Maret 2008 sudah mendirikan Green Building Council of Indonesia yang salah satu misinya juga menerapkan LEED untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Menanggapi hal ini, penulis melakukan studi pengamatan pada beberapa bangunan di Indonesia dengan menggunakan LEED. Dari hasil pengamatan pada ketiga bangunan tersebut, memang belum satupun yang mendapatkan sertifikasi LEED. Tetapi upaya untuk menerapkan

(24)

prinsip-prinsip sustainability sudah terlihat. Kendalanya, LEED mencakup sangat banyak disiplin ilmu lainnya sehingga perlu adanya koordinasi dari berbagai badan/organisasi yang menangani bidangnya masing-masing. Namun dengan adanya studi pengamatan ini dapat terlihat sejauh mana Indonesia dapat menerapkan LEED sebagai pedoman bagi Green Building Council of Indonesia sebelum menyusun sistem rating sendiri.”

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang saat ini ditulis adalah bahwa penelitian ini menganut standar prinsip Green Building sesuai LEED, dimana LEED adalah suatu badan dari Amerika Serikat yang membahas aspek-aspek green yang dalam pengaplikasiannya masih sulit di Indonesia. Sedangkan dalam penelitian yang saat ini ditulis membahas sistem rating GREENSHIP yang ditetapkan oleh GBCI dan membahas detail salah satu aspek GREENSHIP, yaitu Building Environmental Management.

b. Analisis Pemenuhan Syarat-Syarat Green Building Pada Rumah Susun dengan Metode LEED oleh Ifan Tahari, Universitas Tarumanegara

Abstrak : “ Global Warming dan peningkatan penduduk diiringi dengan pembangunan yang pesat menjadi salah satu isu penting di dunia modern ini. Pembangunan yang selama ini dilakukan untuk meningkaktkan kualitas hidup manusia justru menjadi penyumbang terbesar kerusakan alam. Seiring dengan kesadaran akan pentingnya alam maka manusia mulai merancang bangunan yang ramah dengan lingkungan.Salah satu metode standar yang telah digunakan secara luas untuk menilai aspek Green Building suatu bangunan adalah metode LEED (Leadersip in Energy and Enviromental Design). Bangunan yang dijadikan tempat studi kasus pada skripsi ini adalah Rusun Green Parkview di Jl. Daan Mogot Km. 14, Kelurahan Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Kota Administrasi Jakarta Barat dan Rusun Gading Nias di Jl. Pegangsaan Dua Km. 3,3, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Kota Administrasi Jakarta Utara. Apakah Rusun diatas memenuhi syarat dari Green Building dengan metode LEED dilihat dari beberapa aspek yaitu Sustainable Sites, Water Efficiency,

(25)

Energy and Atmosphere, Materials and Resources, Indoor Environmental Quality. Sedangkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan, studi lapangan dan wawancara. Berdarakan dari ke lima aspek LEED dapat ditarik kesimpulan bahwa ke dua Rusun kurang memenuhi syarat Green Building. Hal ini tampak jelas terlihat dari kurangnya poin pada aspek Energy and Atmosphere.”

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang saat ini ditulis adalah dalam penelitian ini, digunakan parameter berdasarkan LEED, dan yang dilakukan adalah penilaian ketercapaian suatu gedung rumah susun sebagai Green Building. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis, yang dikaji adalah salah satu aspek dari sistem rating GREENSHIP yaitu Building Environmental Management . Penulis akan menilai seberapa besar penambahan biaya pada konstruksi bangunan gedung akibat pengaruh aspek

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Dalam penyusunan bab 2 ini, penulis menggunakan dan mengkaji berbagai literatur yang ada guna membantu penulisan terkait Green Building, yaitu aspek Building Environmental Management dan pengaruhnya terhadap biaya. Adapun beberapa sumber pustaka yang akan dikaji di bab ini adalah Buku ilmiah, Jurnal baik lokal maupun internasional, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau yang mendukungnya, website terkait, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber lain yang dianggap perlu untuk menunjang tinjauan pustaka penelitian ini.

2.2 Konsep Green Building

2.2.1 Pengertian Green Building

Menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, bangunan memiliki arti sesuatu yang didirikan atau sesuatu yang dibangun (seperti rumah, gedung, menara). Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di salam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempay menanusi melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha kegiatan sosial, budaya maupun khusus.

Green Building didefinisikan sebagai sebuah perencanaan dan perancangan bangunan melalui sebuah proses yang memperhatikan lingkungan dan menggunakan sumber daya secara efisien pada seluruh siklus hidup bangunan dari mulai pengolahan tapak, perancangan, pembangunan, penghunian, pemeliharaan, renovasi dan perubahan bangunan (US EPA, 2006)[11]. Pada dasarnya Green Building merupakan suatu praktek dalam membangun, yang dimulai dari pekerjaan struktur hingga pelaksana konstruksi secara keseluruhan. Secara nyata, hal tersebut harus diupayakan agar pelaku pembangunan bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang ada seefisien mungkin, dalam satu siklus hidup suatu bangunan. Jadi, tidak hanya bermodal

(27)

desain saja, tetapi juga harus direalisasikan proses konstruksi, pemeliharaan bangunan, hingga proses renovasi dan dekonstruksi, jika kondisinya perlu dilakukan pada bangunan yang ada. Pada akhirnya, Green Building adalah sebuah proses yang menekankan peningkatan efisiensi dalam penggunaan air, energi, material bahan bangunan maupun sumber daya lainnya. Dengan kata lain konsep ‘green’ dapat dikatakan komitmen menuju hidup yang lebih baik (Techno Konstruksi, September 2011)[12].

Jika ada pihak mengklaim, bahwa bangunannya telah berkonsep green, atau bahkan bangunan sudah sesuai aturan Green Building, maka jika hal tersebut berhubungan dengan pihak lain, misalnya bangunan tersebut nantinya akan disewakan atau dijual kepada klien/konsumen, alangkah baiknya diberikan penjelasan mengenai bangunan tersebut. Pada bagian mana bangunan tersebut yang telah memenuhi persyaratan green, serta institusi atau lembaga mana yang telah mensahkan atau memberikan label green pada unit properti yang bersangkutan.

Bangunan dapat dikategorikan sebagai bangunan ramah lingkungan apabila memenuhi kriteria [13] :

a. Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan yang antara lain meliputi:

a) Material bangunan yang bersertifikat eco-label b) Material banguna lokal

b. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk konservasi sumber daya air dalam bangunan gedung antara lain:

a) Mempunyai sistem pemanfaatan air yang dapat dikuantifikasi;

b) Menggunakan sumber air yang memperhatikan konservasi sumber daya air;

c) Mempunyai sistem pemanfaatan air hujan.

c. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana konservasi dan diversifikasi energi antara lain:

a) Menggunakan sumber energi alternatif terbarukan yang rendah emisi gas rumah kaca;

(28)

b) Menggunakan sistem pencahayaan dan pengkondisian udara buatan yang hemat energi.

d. Menggunakan bahan yang bukan bahan perusak ozon dalam bangunan gedung antara lain:

a) Refrigeran untuk pendingin udara yang bukan bahan perusak ozon; b) Melengkapi bangunan gedung dengan peralatan pemadam kebakaran

yang bukan bahan perusak ozon.

e. Terdapat fasilitas,sarana, dan prasarana pengelolaan air limbah domestik pada bangunan gedung antara lain:

a) Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pengolahan air limbah domestik pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus;

b) Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pemanfaatan kembali air limbah domestik hasil pengolahan pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus.

f. Terdapat fasilitas pemilahan sampah;

g. Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan antara lain: a) Melakukan pengelolaan sistem sirkulasi udara bersih;

b) Memaksimalkan penggunaan sinar matahari.

h. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan antara lain:

a) Melengkapi bangunan gedung dengan ruang terbuka hijau sebagai taman dan konservasi hayati, resapan air hujan dan lahan parkir

b) Mempertimbangkan variabilitas iklim mikro dan perubahan iklim;

c) mempunyai perencanaan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan tata ruang;

d) Menjalankan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan perencanaan; dan/atau

i. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana antara lain:

a) Mempunyai sistem peringatan dini terhadap bencana dan bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti: banjir, topan, badai, longsor dan kenaikan muka air laut;

(29)

b) Menggunakan material bangunan yang tahan terhadap iklim atau cuaca ekstrim intensitas hujan yang tinggi, kekeringan dan temperatur yang meningkat.

Sebuah kawasan atau bangunan dikatakan green, tidak bisa dilihat setelah bangunan berdiri, tetapi juga harus dilihat bagaimana proses pembangunannya. Proses pembangunan Green Building tersebut juga harus mengandung hal-hal yang bersifat green. Green Building juga tidak bisa dilihat dari phisik bangunan. Ada beberapa kriteria yang diketahui dijadikan dasar ketika ingin mengetahui konsep green dari suatu bangunan. Setidaknya terdapat enam kriteria bangunan green, antara lain : Appropriate Site Development, Energi Efficiency dan Refrigerant, Water Conservation, Material Resource and Cycle, Indoor Health and Comfort serta Building Environment Management (Sulistiyanto, Totok 2011)[13]. Dari keenam kriteria tersebut, dapat dilihat tipe sebenarnya dari bangunan tersebut. Green Building tidak hanya dapat dilihat dari fisik bangunannya semata, tetapi seluruh komponen harus terintegrasi menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Mulai dari proses pembangunan, hingga bangunan tersebut berdiri dan beroperasi, semuanya harus mengacu pada konteks bangunan yang ramah lingkungan.

Secara umum, Green Building juga dapat diartikan sebagai sebuah konsep untuk meningkatkan efisiensi sumber daya yang dibutuhkan untuk sebuah gedung, rumah, atau bahkan kawasan. Sumber daya yang dimaksud adalah energi, air, dan material-material pembentuknya. Diharapkan dengan menerapkan konsen green, dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dapat dikurangi (Sulistiyanto, Totok 2011)[14].

Green Building tidak hanya berfokus pada masalah ekologi tetapi juga memperhatikan masalah keindahan dan keharmonisan antara struktur bangunan dan lingkungan alamiah disekitarnya, serta tidak melupakan pula perbaikan lingkungan dengan memadukan unsur keindahan arsitektur dengan keramahan lingkungan untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dengan pelestarian lingkungan. Penerapan konsep Green Building merupakan bagian dari green practice atau tindakan ramah lingkungan yang akan mengurangi life cycle cost

(30)

dari bangunan gedung, yang menurut Greenship GBCI[15] (Green Building Council Indonesia) keuntungan membangun sebuah Green Building adalah:

 Desain yang lebih kompak dan efisien sehingga mengoptimalkan fungsi-fungsi gedung

 Efisensi yang tinggi dalam konsumsi energi listrik dan air

 Biaya yang hemat dalam operasional sehari-hari untuk energi dan konsumsi air

 Kesehatan jasmani-rohani yang lebih baik bagi pengguna gedung

 Produktivitas dan kinerja yang meningkat pada pengguna gedung

 Biaya pemeliharaan dan operasional yang rendah dalam jangka panjang

 Preferensi pasar yang lebih tinggi, terutama perusahaan internasional/multinasional.

 Didapatnya pengakuan internasional sebagai produk unggulan dalam industri rancang bangun,

 Munculnya ketertarikan yang tinggi, baik pada konsumen/klien maupun karyawan karena merupakan sebuah produk/perusahaan yang memperhatikan lingkungan

 Tumbuhnya sikap ramah lingkungan pada para penggunanya, yang diharapkan dapat meneruskan sikap tersebut di rumah tangganya masng-masing dan menimbulkan efek multiplier.

Menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta[16], kriteria Green Building di Indonesia memiliki parameter sebagai berikut:

a. Pengelolaan Bangunan . Pada bangunan baru, kriterianya adalah pengelolaan bangunan pada masa konstruksi, sedangkan pada bangunan eksisting kriterianya adalah pengelolaan bangunan pada masa operasional.

b. Penggunaan Lahan . Kriteria ini berlaku untuk bangunan baru, sedangkan untuk bangunan eksisting tidak memakai kriteria ini.

c. Pemanfaatan Energi Listrik d. Pemanfaatan dan Konservasi Air

(31)

2.2.2 Perencanaan Green Building

Dalam penciptaan sebuah Green Building, dilakukan serangkaian proses selaku persyaratan dalam perancangan bangunan untuk pencapaian rating bangunan tersebut. Sistem rating tersebut merupakan suatu standart terukur yang berguna dan dapat dipahami untuk pelaku konstruksi, tenant maupun pengguna bangunan, yang dinamakan GREENSHIP. Kriteria penilaiannya dikelompokkan menjadi enam kategori aspek yakni;

Appropriate Site Development (ASD)

Energy Efficiency and Conservation (EEC)

Water Conservation (WAC)

Material Resources andCycle (MRC)

Indoor and Health Comfort (IHC)

Building and Environmental Management (BEM)

Dalam pembuatannya, GREENSHIP sebagai perangkat penilaian membutuhkan suatu acuan dan dukungan dari pemerintah. Dalam pembuatannya pun, GREENSHIP menggunakan kriteria penilaian sedapat mungkin berdasarkan standard lokal baku seperti Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Menurut GBCI[17], Peraturan yang menjadi acuan dalam pembuatan GREENSHIP:

 Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksessibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

 Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH)

 B/277/Dep.III/LH/01/2009

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

 UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

 Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(32)

 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat RI Nomor 32/PERMEN/M/2006 Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun.

 Keputusan DNA (Designated National Authority) dalam B-277/Dep.III/LH/01/2009

 Keputusan Menteri No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Kotor Domestik

 Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002

 UU No. 18 Tahun 2008

Pencapaian aspek GREENSHIP menuju pada pencapaian nilai hasil rating yang memberikan predikat pada bangunan tersebut dengan predikat penilaian terendah perunggu untuk pencapaian nilai minimal 35, perak dengan pencapaian nilai 47, emas untuk pencapaian nilai 58 dan tertinggi platinum untuk pencapaian nilai minimal 74. Angka yang ditetapkan sebagai nilai minimal peringkat perunggu adalah jumlah nilai yang dapat dicapai apabila sebuah proyek memenuhi nilai maksimum dari rating yang pencapaiannya relatif mudah, tidak membutuhkan biaya tambahan dan yang tidak membutuhkan biaya tidak terlalu besar . Nilai minimal perak dapat dicapai bila sebuah proyek memenuhi semua rating yang pencapaiannya relatif mudah serta sepertiga dari dari rating yang pencapaiannya sulit dan butuh biaya yang relatif besar. Nilai minimal emas, diperoleh apabila sebuah proyek tersebut telah memenuhi semua rating yang pencapaiannya relatif mudah serta dua per tiga dari dari rating yang pencapaiannya sulit dan butuh biaya yang relatif besar, sedangkan untuk pencapaian nilai platinum, dapat dicapai apabila sebuah proyek memenuhi rating yang pencapaiannya membutuhkan biaya relatif besar dan teknologinya belum tersedia sehingga dapat dikatakan sangat sulit pencapaiannya.

Dalam pencapaian Green Building yang tercantum dalam greenship GBCI terdapat persyaratan awal yang harus dicapai sebelum mencapai rating-rating lainnya dalam setiap kategori aspek yang ada. Berikut adalah persyaratan awal yang harus dicapai yakni:

(33)

a. Luas Bangunan Sekurang-kurangnya 2500 m2

Batasan ini diterapkan karena bangunan gedung yang besar berpotensi memerlukan energi dan sumber daya dalam jumlah yang besar pada saat membangun, mengoperasikannya, dan memeliharanya. Kondisi ini membuat keberadaan gedung tersebut dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada lingkungan, sehingga dengan melakukan perbaikan yang dimulai pada gedung baru berskala besar dapat dirasakan bagaimana pengaruhnya secara nyata pada lingkungan.

b. Lokasi tapak bangunan sesuai untuk peruntukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat.

Hal ini bertujuan agar terjadinya pemanfaatan kawasan sesuai dengan fungsinya dan mendorong pengendalian pembangunan sehingga tercipta lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang.

c. Bersedia menandatangani surat yang berisi persetujuan untuk memperbolehkan data gedung yang berhubungan dengan penerapan Green Building dipergunakan untuk dipelajari dalam studi kasus yang diselenggarakan oleh GBCI

Hal ini bertujuan agar pihak pemilik atau manajemen gedung dapat bekerja sama dengan pihak GBCI untuk menghimpun database yang akurat sehingga dapat menjadi salah satu dasar perbaikan sistem rating GREENSHIP, baik untuk bangunan baru maupun bangunan eksisting. d. Akan menyertakan salinan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup

(UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) ynang disahkan bapedal.

Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia, dengan teknologi yang tepat manusia akan mendapatkan manfaat dan dampak positif dari pembangunan tersebut, namun disaat yang sama terjadi dampak negatif pada lingkungan akibat teknologi itu sendiri. Oleh sebab itu, penyerahan dokumen ini bertujuan untuk mendukung pengendalian pembangunan terhadap lingkungannya sehingga terwujud konsep berkelanjutan.

(34)

e. Bersedia menandatangani surat yang menyatakan bahwa gedung yang bersangkutan akan dibuat tahan gempa.

Indonesia berada pada daerah yang sarat dengan bencana gempa bumi,, oleh karena itu pembangunan tersebut haruslah menjamin keamanan dan keselamatan penghuni gedung tersebut dari ancaman bahaya gempa bumi serta mampu mempertahankan fungsi bangunan tersebut sevcara optimal dan atas ketahanan strukturnya dan konstruksi terhadap beban bencana gempa.

f. Bersedia menandatangani surat yang menyatakan bahwa gedung yang bersangkutan akan memenuhi standart pemakai gedung untuk penyandang cacat.

Lingkungan yang inklusif merupakan salah satu bentuk usaha dalam mewujudkan keberlanjutan dari aspek sosial yang tentunya akan berdampak positif pada aspek ekonomi maupun lingkungan. Dengan mendorong pembangunan fisik yang responsif terhadap perbedaan kemampuan fisik setiap individu sebagai bentuk usaha dalam mewujudkan persamaan kesempatan sehingga berdampak positif secara ekonomi dan lingkungan. g. Bersedia menandatangani surat yang menyatakan bahwa gedung yang

bersangkutan akan memenuhi standar kebakaran dan keselamatan.

Kebakaran menimbulkan kerugian tidak hanya dari segi materi tetapi juga sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, diterapkan sistem proteksi terhadap kebakaran yang bertujuan untuk menurunkan resiko terjadinya kebakaran pada bangunan sehingga keamanan dan keselamatan pengguna gedung terjamin.

2.2.3 Peraturan Green Building

Munculnya perhatian dunia terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan hidup, menyebabkan tercetusnya protokol kyoto sebagai salah satu bentuk kepedulian pemimpin dunia terhadap kondisi lingkungan hidup. Protokol Kyoto merupakan hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kyoto, Jepang, pada 1997 yang merupakan amandemen dari Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCC) yakni sebuah pesetujuan internasional

(35)

mengenai pemanasan global. Persetujuan ini mulai berlaku sejak 16 Februari 2005 setelah diratifikasi secara resmi di Rusia pada 18 Novemeber 2004 oleh 141 negara yang mewakili 61% seluruh emisi dunia. Kesepakatan ini mewajibkan negara maju yang disebut Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 5,2 persen dari level 1990, sehingga suhu bumi tidak naik lebih dari 2 derajat Celsius. Amerika Serikat akhirnya menolak meratifikasi Protokol Kyoto, sedangkan Cina, India, dan Brasil ketika itu masih menjadi negara berkembang yang belum maju perekonomiannya. Meski demikian, protokol ini menjadi dasar hukum program program mitigasi dan perdagangan karbon (Tempo, 5 Desember 2011)[18]. Jika protokol kyoto sukses diberlakukan oleh seluruh negara yang meratifikasinya maka, diprediksi hal tersebut akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (Nature, Oktober 2003)[19].

Memang di Indonesia peraturan yang khusus mengatur tentang Green Building terbilang masih sangat sedikit. Hal ini dikarenakan kebanyakan pelaku konstruksi masih menganggap pembangunan dengan konsep ramah lingkungan akan meningkatkan biaya konstruksi secara signifikan dan sulit untuk dibangun. Padahal, dalam konsep yang tepat Green Building mampu menghemat konsumsi energi hingga 50% dengan hanya menambahkan 5% saat pembangunannya (Kristensen, Poul 2010)[20]. Biaya operasional energi listrik dapat dihemat sebanyak 20%-30% perbulannya (Sendjaja, Irwan, 2011)[21]. Saat ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi green protokol kyoto tersebut, turut serta dalam usaha pelestarian lingkungan dengan membuat suatu peraturan yang berkaitan dengan bangunan hijau melalui Peraturan Menteri dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Nomor 8 Tahun 2010 yang berjudul “Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan”. Keputusan KLH yang dikeluarkan pada tanggal 19 Januari 2010 ini merupakan peraturan pertama di Indonesia mengenai Green Building. Keputusan ini mendefinisikan “Green Building” sebagai bangunan yang menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam desain, konstruksi, operasi dan manajemennya, yang semuanya penting bagi mitigasi dampak perubahan iklim. Ada banyak regulasi yang berkaitan dengan Green Buildings, seperti efisiensi energy, efisiensi air, dan lain lain, tetapi KLH

(36)

adalah yang pertama yang menggunakan istilah “Green Building” dalam isi keputusannya.

Pembangunan Green Building ini juga merupakan salah satu sikap pelaksanaan ISO 14001 yang berisi tentang standarisasi sistem manajemen lingkungan, yang bertujuan untuk merancang, melaksanakan dan bekerja untuk mengendalikan dampak lingkungan penting dan untuk mencapai kesesuaian dengan peraturan serta mempertahankan dan meningkatkan perbaikan sistem manajemen lingkungan secara terus menerus. Dalam ISO 14001, dijelaskan bahwa manajemen puncak dari suatu organisasi harus menetapkan kebijakan lingkungan, yang diantaranya adalah memastikan peningkatan berkesinambungan dan pencegahan pencemaran akibat dari aktivitas organisasi.

Dengan diterbitkannya peraturan gubernur No.8 Tahun 2011 tentang sertifikasi ‘bangunan hijau’ atau Green Building merupakan salah satu langkah dari pemda DKI Jakarta untuk turut serta dalam upaya sosialisasi bangunan ramah lingkungan dalam konsep pembangunan masa kini. Setelah peraturan ini nantinya diberlakukan di Jakarta, maka mau tak mau para pengelola maupun pelaku konstruksi harus beralih ke konsep Green Building. Standarisasi gedung ramah lingkungan menurut Pergub tersebut antara lain menggunakan material daur ulang, menggunakan penerangan hemat energi kaca double glassing dan air limbah buangan harus bisa bermanfaat lagi untuk operasional pemeliharaan gedung tersebu, misalnya air toilet dapat didaur ulang menjadi air bersih untuk toilet lagi atau menyiram tanaman (Sendjaja, Irwan 2011) [22].

Sistem rating GREENSHIP merupakan alat bantu bagi para pelaku industri bangunan, baik pengusaha, engineer, maupun pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, terutama tenant dan pengguna bangunan. Standar yang ingin dicapai dalam penerapan greenship adalah terjadinya suatu bangunan hijau (Green Building) yang ramah lingkungan sejak tahap perencanaan, pembangunan, hingga pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari. Kriteria penilaiannya dikelompokkan menjadi enam kategori. Perangkat rating greenship adalah sistem penilaian yang merupakan bentuk dari salah satu upaya untuk menjembatani

(37)

konsep ramah lingkungan dan prinsip keberlanjutan dengan praktik yang nyata. Tujuan penyusunan GREENSHIP adalah :

 Mendorong penerapan best practice dalam industri bangunan di Indonesia,

 Mendorong terciptanya lingkungan yang berkualitas melalui bangunan baru yang bermutu baik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan,

 Mendorong pemecahan masalah lingkungan terkini melalui rating dan pembobotan nilainya,

 Mendorong pertumbuhan industri bangunan yang berbasis ramah lingkungan, baik operasional maupun produk yang dihasilkannya, di dalam negeri Republik Indonesia,

 Mendorong kemajuan teknologi dan riset dalam industri bangunan di dalam negeri Republik Indonesia sehingga tercipta berbagai teknologi yang tepat guna dalam penerapannya,

 Mendorong peningkatan dan pemerataan kualitas sumber daya manusia dalam industri bangunan dari waktu ke waktu, dan

 Memerangi fenomena perubahan iklim dengan diterapkannya praktik-praktik ramah lingkungan sesuai dengan prinsip berkelanjutan.

2.3 Aspek Building Environmental Management

Dalam penerapan Green Building , terdapat tolak ukur yang harus dipenuhi sebagai persyaratan untuk tersertifikasinya bangunan sebagai Green Building. Salah satu kategori yang harus dipenuhi adalah Building Environmental Management, untuk mencapai kategori tersebut terdapat 7 aspek dan 1 prasyarat yang harus dipenuhi agar bangunan tersebut sebagai Green Building.

Merencanakan operasional gedung yang ramah lingkungan sudah harus dipikirkan sejak tahap perencanaan desain. Cakupannya adalah pengelolaan sumber daya melalui rencana operasional konsep yang berkelanjutan, kejelasan informasi (data), dan penanganan dini yang membantu pemecahan masalah, termasuk manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep bangunan hijau untuk mendukung penerapan tujuan pokok dari kategori lain.

Adanya kategori Building Environmental Management (BEM) juga memberikan penekanan pada pentingnya faktor manusia sebagai salah satu

(38)

sumber daya yang memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu bangunan hijau. Suku bangsa di Indonesia lebih dari 300 kelompok etnik dengan bahasa dua kali lipat dari jumlah kelompok itu. Adanya luasan geografis yang besar, bentang alam yang beragam, serta pembangunan dan standar pendidikan yang belum merata menyebabkan perbedaan cara dan standar kerja dari tiap manusia.

Dalam pengoperasian suatu bangunan hijau, sangat diperlukan suatu standar manajemen yang terencana dan baku untuk mengarahkan tindakan dari pelaku operasional bangunan dalam melakukan pengelolaan gedung agar dapat menunjukkan hasil yang ramah lingkungan (green performance).

Pada aspek ini terdapat dua jenis kategori rating, yaitu rating prasyarat dan rating biasa. Rating prasyarat (P) adalah butir rating yang mutlak harus dipenuhi dan diimplementasi dalam suatu kategori. Apabila butir ini tidak dipenuhi, butir-butir rating lainnya dalam kategori ini tidak dapat dinilai dan tidak akan mendapatkan nilai sehingga proses sertifikasi tidak dapat dilanjutkan. Selanjutnya adalah rating biasa yang merupakan turunan dalam kategori selain butir prasyarat. Butir ini baru dapat dinilai dan diberi nilai kalau semua butir prasyarat dalam kategori tersebut telah dipenuhi atau telah dilaksanakan.

2.3.1 Basic Waste Facility (Fasilitas Dasar Pengolahan Sampah)

Prasyarat dalam aspek Building Environmental Management adalah adanya Fasilitas Dasar Pengolahan Sampah. Banyaknya sampah yang dihasilkan dalam berbagai bentuk dan semakin sempitnya tempat pembuangan akhir atau TPA ditambah masih rendahnya kesadaran pengguna gedung dalam melakukan pemilahan sampah menyebabkan volume sampah hasil buangan dalam berbagai bentuk yang tercampur baur menjadi beban berat bagi tempat pembuangan akhir (TPA). Dengan melakukan pemilahan dari tahap awal, proses daur ulang akan dimulai lebih cepat sehingga beban TPA dapat berkurang.

Pemilahan sampah adalah salah satu bagian tersulit dari tata rentang pengelolaan sampah, karena berkaitan dengan perilaku manusia yang pasti membutuhkan waktu panjang dan upaya yang besar (Panduan Praktis Pemilahan Sampah, KNLH 2008)[23]. Menurut Pasal 11 UU Nomor 18 Tahun 2008[24]

(39)

tentang pengelolaan sampah, setiap orang berhak memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan. Pembinaan yang dimaksudkan berasal dari pemerintah ataupun instansi tertentu. Untuk dapat mengaplikasikan pemilahan sampah tersebut, maka di setiap tempat yang terdapat aktivitas dan kegiatan industri diwajibkan memiliki fasilitas pemilahan sampah yang baik dan benar. Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Menurut pasal 41[25], pengelola sampah yang karena kealpaannya melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan adanya UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, diharapkan masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan smapah hingga dapat menikmati hasil dari pengelolaan sampah yang baik. Sementara bagi pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah harus segera membangun fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun sejak masa konstruksinya. Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga juga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.

Peran-serta berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengurangi volume sampah perkotaan. Pemangku kepentingan, baik dari sektor swasta maupun sektor pemerintahan, memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengendalikan dampak lingkungan melalui pengelolaan sampah yang dihasilkan. Langkah awal pengelolaan sampah pada suatu bangunan adalah dengan menyediakan fasilitas pembuangan sampah yang terpisah antara tempat sampah organik dan anorganik untuk memudahkan proses pengolahan sampah selanjutnya, seperti reuse, reduce, dan recycle.

(40)

Tujuan dari prasyarat ini adalah untuk mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana yang mempermudah proses daur ulang. Tolak ukurnya adalah adanya instalasi atau fasilitas untuk memilah dan mengumpulkan sampah sejenis sampah rumah tangga (UU No. 18 Tahun 2008) berdasarkan jenis organik dan anorganik. Dokumen yang nantinya akan dinilai adalah :

 Gambar rencana tapak yang menunjukkan lokasi fasilitas pemilahan sampah

 Gambar detil fasilitas pemilahan sampah

 Foto fasilitas pemilahan sampah yang memperlihatkan adanya labelisasi jenis sampah organik dan anorganik.

Gambar 2.1. Tempat Sampah Organik dan Non Organik Sumber : Olahan Sendiri

2.3.2 GP as a Member of Design Team (GP Sebagai Bagian dari Tim Desain) Desain bangunan hijau sebaiknya mengintegrasikan keenam aspek konsep Green Building, yaitu tapak, energi, konservasi air, kondisi udara dalam ruang, material ramah lingkungan, dan manajemen lingkungan gedung. Menurut GBCI[26], Greenship Professional (GP) adalah predikat yang dimiliki secara perorangan yang telah mengikuti pendidikan dan memiliki ketrampilan dan pengetahuan untuk mengarahkan tim desain dan pelaksanaan dalam proses pembangunan suatu bangunan hijau yang pada kemudian hari akan disertifikasi oleh GBC INDONESIA sehingga dapat sejalan dengan sistem rating GREENSHIP yang berlaku saat itu. Seorang GP dapat membantu tim desain dan

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Limbah
Gambar 2.2. Water Treatment Plant
Gambar 2.3. Proses Umum Penanganan Limbah Organik
Tabel 2.2. Organisme yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan
+7

Referensi

Dokumen terkait

6 Menggunakan bahasa yang mudah dipahami 7 Bersikap santun dalam melaksanakan tutorial 8 Memotivasi mahasiswa untuk berpartisipasi aktif. 9 Mengelola diskusi dengan menarik

Pada kasus JVOFI, meskipun perusahaan induknya tidak secara eksplisit memberikan sumbangan untuk membentuk sebuah dana abadi, perusahaan (yang terwakili dalam dewan penyantun

Bagi pimpinan perusahaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang stress kerja dengan ketaatan aturan lalu lintas, sehingga pimpinan perusahaan

Karakter bersama yang dimiliki oleh ketiga jenis udang tersebut yaitu tebal karpus sama dengan lebar karpus, karpus pereiopoda pertama subsilisdris, karpus pereiopoda

Distribusi Proporsi Umur Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Infeksi Opurtunistik di puskesmas Tanjung Morawa Agustus. 2006-Mei

Responden yang pertama mengatakan bahwa pada waktu OSCE sesudah diberikan aroma terapi lavender memang masih merasa gugup, lupa akan prosedur akibat kaget karena

Penelitian dengan judul Inventarisasi Jenis-jenis Protista Air Kolam Sebagai Upaya Penyusunan Media Pembelajaran Video Protista Materi Protista SMA Kelas X telah

adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;