• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Perdagangan Saham Syariah

BAB IV PRINSIP EKONOMI ISLAM DALAM

C. Prinsip-prinsip Perdagangan Saham Syariah

Ekonomi konvensional yang mengutamakan kepentingan individu dan memaksimumkan kemanfaatan (utilitas) dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia. Sebab, mereka cenderung meninggalkan nilai agama dan tidak memedulikan halal haram dalam upaya mencari rezeki. Saat ini, mulai muncul kesadaran di antara para ekonom sekuler bahwa praktik ekonomi mereka selama ini keliru, karena mengabaikan nilai moral, agama dan kemanusiaan. Pengabdian nilai moral dan kemanusiaan dalam kajian ekonomi merupakan kekeliruan besar yang akan berakibat buruk pada keselamatan manusia dan kelangsungan semesta. Kesadaran ini tumbuh setelah semua bangsa menyaksikan sendiri hasil dan model pembangunan sosio-ekonomi yang didasarkan atas model liberal-kapilastik dari teori pertumbuhan neo-klasik,

116

maupun marxist dan neo marxist yang mengutamakan kehidupan matrealistik hedonisme.64 Model ekonomi seperti ini, misalnya, melahirkan kemiskinan di tengah kemakmuran, konsumerisme, budaya permisif, dan berbagai bentuk budaya pop-hedonisme, gaya hidup yang sekuler, dan lain-lain yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan agama.

Perkembangan ini mendorong para ekonom untuk mencari model dan sistem ekonomi yang mengutamakan nilai moral. Akhir-akhir ini mereka mulai banyak mendiskusikan etika bisnis sebagai aturan main untuk menghindari dampak negatif sistem ekonomi sekuler. Di tengah perkembangan seperti inilah mereka mulai melirik sistem ekonomi Islam sebagai sistem alternatif ekonomi. Mereka mulai membedah kembali sistem perekonomian pada awal perkembangan Islam.

Setelah melakukan berbagai kajian mereka menemukan bahwa sistem ekonomi Islam memang berbeda dengan sistem ekonomi sekuler. Sistem ekonomi Islam mengedepankan nilai-nilai agama dan tidak hanya mementingkan urusan dunia.65 Sebaliknya, sistem ekonomi sekuler mengabaikan nilai-nilai agama dan hanya mementingkan kehidupan dunia.

Sistem ekonomi Islam sebenarnya bukanlah sebuah sistem yang sepenuhnya baru, melainkan telah dipraktikan sejak Islam diturunkan kepada Nabi saw. Sistem ekonomi Islam dapat jadi solusi atas berbagai permasalahan ekonomi (misalnya inflasi, kemiskinan, kebodohan, penggangguran, kesenjangan, dan sebagainya) yang selama ini sulit dipecahkan oleh sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi Islam pada era modern ini telah terbukti kokoh dan unggul, terutama dilihat dari sektor perbankan. Sebagai bukti, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi mulai pertengahan 1997, bank-bank konvensional banyak yang berguguran hingga membebani keuangan negara ratusan triliun atau kurang lebih 50% dari PDB Indonesia saat itu. Sebaliknya, bank muamalat (bank syariah) justru tumbuh dan berkembang. Bank ini eksis tanpa membebani keuangan negara. Karena itulah

64 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter (Jakarta: Salemba Empat, 2002).

65 Muhammad Nafik, Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi, 2009), 53.

117

banyak kalangan non-muslim yang mulai mempraktikkan perbankan syariah meskipun tanpa menyebutkan dengan jelas bahwa sistem yang mereka operasikan adalah sistem ekonomi syariah.

Sistem ekonomi Islam, yang menganut mekanisme pasar, memberikan kebebasan penuh kepada pelaku bisnis termasuk produsen dan konsumen. Pasar dalam ekonomi Islam menganut sistem pasar bebas terkendali. Artinya, campur tangan pemerintah dibolehkan jika memang dibutuhkan untuk menjamin kepentingan masyarakat dan menjaga pasar agar dapat berjalan sesuai dengan kondisi perekonomian yang sebenarnya. Ini sejalan dengan prinsip ekonomi Islam yang tidak memandang kepentingan individu di atas kepentingan bersama. Mengenai hal ini, diriwayatkan dari Anas ibn Malik r.a. bahwa harga barang-barang di Madinah pernah menjadi mahal di zaman Rasulullah saw. Orang-orang berkata Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, harga barang-barang menjadi mahal. Tetapkanlah harga bagi kami.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, yang menahan, yang melepaskan, dan yang memberi rezeki. Sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan ketika kelak aku bertemu Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang menuntutku disebabkan aku pernah berbuat zalim terhadap darah dan harta kalian.” (Diriwayatkan oleh imam yang lima, kecuali al-Nasa‟i. dan hadis ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban).66

Dalam hadis yang lain Rasulullah melarang penetapan harga ketika harga membumbung tinggi maupun ketika harga terpuruk:

“Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan. Dia membuat harga berubah dan menjadikan harga yang sebenarnya. Aku berdoa agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan atas seseorang, dalam darah maupun hak milik.”

Ibn Qudamah, berdasarkan hadis di atas, mengajukan dua alasan tentang dibolehkannya mengatur harga. Pertama, Rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun masyarakat menginginkannya. Kedua, menetepkan harga merupakan tindakan

66 Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Mesir: Mustafa al-babi Al-Halabi, 1958), 272.

118

yang tidak adil (zhulm) dan terlarang.67 Namun, beberapa ahli fikih (dari mazhab Maliki dan Hanafi) mendukung kebijakan pengaturan harga apabila harga yang berkembang tidak wajar dan merugikan masyarakat, termasuk di antaranya Ibn Taimiyah yang mengemukan alasan sebagai berikut:

Hadis bahwa Rasulullah menolak menetapkan harga meskipun umat memintanya merupakan kasus khusus, bukan aturan umum. Hadis itu tidak berarti bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan, atau menetapkan harga melebihi kompensasi yang ekuivalen (‘iwadh al-mitsl). Sesungguhnya harga naik diakibatkan oleh kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar. Dalam keadaan darurat, seperti musim kemarau dan perang, pemerintah boleh menetapkan harga.68

Lebih jauh Ibn Taimiyah sangat menentang diskriminasi harga yang diterapkan kepada penjual maupun pembeli yang tidak mengetahui harga pasaran, berdasarkan hadis Nabi saw:

menetapkan harga terlalu tinggi terhadap orang yang

tidak tahu harga adalah riba.”

Ibn Taimiyah mengemukakan beberapa ciri dan prinsip pasar sebagai implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam:

1. Setiap orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.

2. Harus ada informasi yang jelas mengenai kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditi).

3. Tidak boleh ada unsur-unsur monopoli.

Haram hukumnya melakukan penyimpangan dari prinsip kebebasan ekonomi yang jujur, seperti melakukan sumpah palsu, takaran yang tidak tepat, dan berniat buruk. Islam juga melarang

67 Ibn Qudamah, Mughni wa al-Syarah al-Kabir (Beirut: Da>r Kita>b al-„Arabi, 1983).

68 AA. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah. (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 115.

119

produksi dan distribusi komoditi yang tercela, karena merusak kesehatan dan tatanan moral yang berlaku.69

Selain ciri-ciri dan prinsip di atas, ada pula beberapa prinsip mekanisme pasar yang berlaku dalam sistem ekonomi Islam:

1. Kebebasan Individu

Manusia diciptakan Allah agar tunduk dan menyembah hanya kepada-Nya. Sejak lahir ke dunia manusia adalah makhluk yang merdeka. Maka, tidak ada siapa pun, termasuk pemerintah atau negara, yang berhak menghilangkan atau mengusik kemerdekaannya.

Sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan (sesuatu pun) dengan-Nya. Hanya kepadanya aku berdakwah (menyeru manusia kepada kebenaran) dan hanya kepada-Nya aku kembali. ( Q.S. al-Ra‟d: 36)70

Dan apabila mereka (berlayar dan) dinaungi oleh ombak seperti gunung-gunung, mereka menyeru Allah (dan bermohon) dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (Q.S. Luqmân: 32).71

Setiap orang mempunyai kebebasan penuh untuk berpendapat atau membuat suatu keputusan yang dianggap perlu dalam suatu negara Islam. Tanpa kebebasan tersebut, individu muslim tidak dapat melaksanakan kewajiban mendasar dan tidak dapat mersakan kebahagiaan atau menghindari kerusakan di tengah masyarakat.

Islam menjamin kebebasan individu selama tetap berada dalam bingkai syariah Islam. Setiap individu memiliki kebebasan namun ia harus bertanggung jawab baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Kebebasan setiap individu berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Karenanya, para sarjana muslim menyepakati prinsip-prinsip berikut ini:

69 AA. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah. (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 115.

70 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 254.

71 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 414.

120

a) Kepentingan masyakarat yang lebih luas harus didahulukan daripada kepentingan individu;

b) Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding mengambil manfaat meskipun keduanya merupakan tujuan syariah;

c) Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil.72 Para ulama mengemukakan dalil untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut. Di antaranya diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tak patut ia menganiaya dan menghinanya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Dan barang siapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, Allah akan menghilangkan kesulitannya kelak di hari kiamat.”

Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim Rasulullah saw. bersabda, “Dan barang siapa memudahkan atas orang yang susah maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.”

Selain itu, kebebasan setiap orang harus dilandasi nilai tauhid, nilai yang membebaskan dari segala sesuatu, kecuali Allah. Nilai tauhid tersebut akan membentuk pribadi manusia yang berani dan percaya diri. Seorang muslim memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini diatur oleh Allah sedemikian rupa sehingga semuanya memberikan manfaat bagu manusia. Namun, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum atau keadaan seseorang hingga ia atau mereka sendiri yang mengubahnya. Tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab dan membantu seseorang, kecuali orang itu sendiri. Allah berfirman:

Setiap diri tergadai (di sisi Allah swt) menyangkuts apa yang telah dilakukannya. (Q.S. al-Muddastir: 38).73

72 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah, dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 17).

73 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 576.

121

(masing-masing) ada baginya pengikut-pengikut (malaikat-malaikat atau makhluk) yang (selalu mengikutinya secara) bergiliran, di hadapannya dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa (sikap mental dan pikiran) yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. al-Ra‟d: 11).74

Kebebasan manusia sebagai hamba Allah merupakan modal utama untuk membentuk kehidupan ekonomi yang Islami. Tanpa kebebasan tersebut seorang muslim tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai khalifah.

2. Hak dan Kepemilikan atas Harta

Pada hakikatnya manusia tidak memiliki apa-apa, karena segala sesuatu adalah milik Allah. Kepemilikan manusia hanyalah titipan dan amanah. Kewajiban manusia hanyalah mengelola dan memanfaatkannya demi kesejahteraan (falâh) lahir batin. Pengelolaan dan pemanfaatan semua titipan dan amanah itu harus mengikuti aturan syariah yang digariskan oleh Allah. Titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil oleh pemilik-Nya, baik didahului dengan pemberitahuan maupun tanpa isyarat sama sekali sesuai dengan kehendak sang pemilik. Singkatnya, segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta selama diperoleh dengan cara yang syariah. Kepemilikan harta harus didasarkan atas kemaslahatan masyarakat sehingga keberadaan harta akan menimbulkan sikap saling menghargai dan menghormati.75 Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang batil (dengan

Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 250.

75 Afzalur Rahman, Economic Doctrine of Islam (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980) Vol II.

122

melanggar ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati). Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu … (al-Nisa‟/4: 29)76

Konsekuensi dari hak kepemilikan harta adalah hak untuk mengelola dan mengembangkannya sesuai dengan syariah. Namun, setiap orang memerlukan ilmu untuk mengelola dan mengembangkannya. Allah berfirman:

Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya (yang tidak bisa mengelola harta benda),

harta kamu (atau harta mereka yang ada dalam kekuasaan kamu) yang dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan.

Berilah mereka belanja (dalam harta itu) dan pakaian serta ucapkanlah kepada mereka perkataan baik. (Q.S. al-Nisâ: 5)77

3. Perbedaan Ekonomi dalam Batas yang Wajar

Islam mengakui adanya perbedaan ekonomi di antara setiap orang, tetapi tidak membiarkannya bertambah luas.

Islam berusaha menjadikan itu dalam batas-batas yang wajar, adil, dan tidak berlebihan. Allah berfirman:

Apakah mereka (orang-orang musyrik itu) yang (kuasa) membagi-bagi rahmat Tuhan pemelihara kamu?(tidak!); Kami telah membagi diantara mereka (berdasarkan kebijaksanaan kami) penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami meninggikan sebagian yang lain (beberapa) derajat, supaya sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian (yang lain, yakni tolong menolong). Dan rahmat Tuhan pemelihara kamu lebih baik (bagimu) dari apa yang mereka kumpulkan (berupa kekayaan dan kekuasaan duniawi) (Q.S. Al-Zukhruf: 32).78

76 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 83.

77 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 77.

78 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 491.

123

Dengan adanya perbedaan itu diharapkan setiap orang dapat memahami posisi dirinya dan menghargai keadaan orang lain. Setiap orang diharapkan dapat saling menolong dan saling memenuhi hajat kebutuhannya masing-masing. Karena itu, ekonomi Islam tidak memperkenankan sikap individualisme.

Firman Allah : “Dan dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah (di) bumi dan Dia meninggikan derajat sebagian kamu atas sebagian yang lain untuk menguji kamu melalui apa

yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhan pemelihara kamu sangat cepat azab-Nya, dan sesungguhnya dia benar-benar maha pengampun, lagi maha pengasih “ (Q.S. al-An‟âm: 165).79

Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi, tetapi juga mengupayakan kesetaraan sosial. Kesetaraan sosial ini memungkinkan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berkompetisi menjadi yang terbaik. Kesetaraan ini membentuk keharmonisan dalam kehidupan manusia. Meskipun ada perbedaan kepemilikan harta, Islam menganjurkan umatnya untuk mempergunakan harta demi memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keharmonisan masyarakat.

Apa saja (harta rampasan benda musuh yang diperoleh tanpa peperangan) yang dikembalikan (diserahkan) Allah kepada

Rasul-Nya (nabi Muhammad SAW). Dari penduduk Negeri-negeri, maka (semuanya) adalah milik Allah, (dan dia telah menetapkan bahwa harta rampasan itu menjadi milik ) Rasul, para kerabat (rasul Saw), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (yaitu orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan) supaya ia (harta rampasan itu) tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya (saja) di antara kamu. Dan apa yang diberikan rosul bagi kamu, maka terimalah ia dan apa yang dia larang kamu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras pembalasan-Nya. (Q.S. al-Hasyr:7 ). 80

79 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 150.

80 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 546.

124

Perbedaan itu tidak boleh memunculkan rasa iri, dengki, dan dendam di antara sesama muslim.

Dan janganlah kamu berangan-angan (yang disertai ketamakan) terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu (yang kualitasnya lebih baik atau jumlahnya) lebih banyak dari (apa yang dianugerahkan_nya kepada) sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. al-Nisâ: 32) 81

Karena itulah setiap orang harus berlaku adil dalam memenuhi hajat kehidupannya. Prinsip keadilan dalam hubungan sosial ini merupakan prinsip yang tidak bisa dikesampingkan. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman ! Jadilah para penegak keadilan, menjadi para saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan para kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (yakni enggan menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan (Q.S. al- Nisâ: 135).82

Hal yang paling substansial dari bangunan ekonomi Islam adalah terkait dengan tujuannya mengimpelementasikan nilia-nilai keadilan dan keseimbangan dalam alokasi sumber daya potensial bagi masyarakat. Kerangka keadilan juga memungkinkan setiap orang memiliki peluang, kontrol dan manfaat dari alokasi pembangunan yang berlangsung secara proporsional.83

Kesenjangan dan ketidakadilan yang muncul di tengah masyarakat bukan disebabkan oleh Allah, melainkan karena sistem

81 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 83.

82 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 100.

83 Euis Amalia, Keadilan distributif dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 117.

125

yang diterapkan oleh manusia. Msialnya, masyarakat lebih menghormati orang yang lebih memiliki jabatan atau orang kaya raya serta menganggap mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding orang lain. Akibatnya, sebagian orang yang tidak berharta atau berjabatan merasa bahwa Allah tidak bersikap adil kepadanya.

4. Jaminan sosial

Setiap individu punya hal yang sama untuk hidup dalam sebuah negara, dan negara memberikan jaminan kepada mereka untuk memperoleh kebutuhannya masing-masing Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak dan kebutuhan warga negaranya sesuai dengan prinsip “hak untuk hidup”.84 Allah berfirman, “Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”85

Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggug jawab untuk mengalokasikan sumber daya alam demi menyejahterakan rakyatnya. Artinya, sistem ekonomi Islam menjamin kehidupan seluruh masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan. Karena itulah Islam menerapkan aturan tentang zakat, infak, sedekah, dan sebagainya sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera.86

5. Distribusi Kekayaan

Islam mencegah penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Islam menganjurkan distribusi kekayaan kepada semua lapisan masyarakat. Sumber daya alam adalah hak manusia untuk dipergunakan bagi kemaslahatannya. Setiap orang telah memiliki kadar dan ketentuan tentang rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah. Mereka juga mendapat kebebasan untuk mengoptimalkan segala aspek ekonomi yang ada.87 Perbedaan pendapatan dan kekayaan antara muslim yang satu dan muslim

84 Afzalur Rahman, Economic Doctrine of Islam ( Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980) Vol II.

85 Q.S. al-Dzâriyât: 19

86 Afzalur Rahman, Economic Doctrine of Islam ( Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980) Vol II.

87 Afzalur Rahman, Economic Doctrine of Islam ( Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980) Vol II.

126

yang lain seharusnya menjadi pemicu untuk saling menolong di antara mereka. Orang yang lebih berharta yang dimiliki seseorang harus didistribusikan kepada orang yang kekurangan. Di sinilah terletak fungsi sosial zakat, infak, dan sedekah. Sebaliknya, orang yang kekurangan tidak boleh menempuh cara-cara yang batil untuk mendapatkan harta.

Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau pada sistem ekonomi konvensional disebut distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Pengukuran ini dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah pendapatan yang diterima setiap individu tanpa mempersoalkan dari mana pendapatan itu diperoleh. Konsep ini tidak bisa diterima dalam ekonomi Islam karena Islam sangat memperhitungkan asal pendapatan. Setiap orang akan ditanyai pertanggungjawabannya mengenai asal dan pendayagunaan harta yang didapatnya.

6. Larangan Menumpuk dan Menimbum Harta

Sistem ekonomi Islam melarang pengumpulan harta secara berlebihan. Seorang muslim wajib mencegah dirinya dan masyarakat supaya tidak memiliki harta secara berlebihan dan mengabaikan kepentingan orang lain.88Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Mâ‟idah: 87) 89

Islam juga melarang umatnya untuk menjadikan harta sebagai tujuan hidup sehingga melakukan berbagai cara untuk

88 Afzalur Rahman, Economic Doctrine of Islam ( Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980) Vol II.

89Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 122.

127

mendapatkannya. Sikap sederhana dan tidak melampaui batas dalam memiliki materi merupakan sikap manusia yang sehat.90

“Kecelakaan (dan kebinasaan) bagi setiap pengumpat dan pencela. yang menghimpun harta dan menghitung-hitungnya. (karena) Dia mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Dia pasti akan dilempar ke (neraka) Huthamah.” (Q.S. Al-Humazah: 1-4)91

Sebenarnya, penimbunan harta dilarang karena harta yang ditimbun menjadi tidak produktif. Keadaan itu akan memengaruhi permintaan dan penawaran di pasar barang. Islam melarang

permainan harga, misalnya mempermainkan penawaran dan

permintaan komoditi (barang dan jasa) secara semu. Demand dan

suply yang semu dengan cara melakukan bay’ najasy dan ikhtikâr

adalah haram. Bay’ najasy diharamkan karena merekayasa permintaan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar dengan menciptakan false demand. Ikhtikâr diharamkan karena merekayasa penawaran untuk mendapatkan keuntungan di atas normal dengan cara mengurangi suply agar harga jual naik.

7. Efesiensi dan Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah kesederhanaan (moderation), hemat (parsimony), dan tidak boros (extravagance) dalam penggunaan sumber daya baik menyangkut hak milik

individu maupun hak milik umum. Islam mengajarkan agar kita tidak berlaku boros dalam membelanjakan harta, bahkan juga dalam bersedekah. Islam menganjurkan nilai pertengahan dalam setiap tingkah laku.

“Dan demikianlah . Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummatan washatan (umat pertengahan, moderat dan teladan) supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan

90 Muhammad Nafik, Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi, 2009), 63.

91 Quraisy Shihab, al-Qur’an & Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 601.

128

supaya rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S. al-Baqarah: 143)92

Pemerolehan dan pendayagunaan harta secara tidak seimbang akan memunculkan ketimpangan dan krisis sosial. Allah berfirman:

“Sesungguhnya para pemboros adalah saudara-saudara setan (sifat-sfatnya sama dengan sifat mereka), sedangkan setan terhadap Tuhan pemeliharanya sangat ingkar.” (Q.S. al-Isra‟: 27)

93

“Hai anak cucu Adam ! pakailah pakaian kamu yang indah setiap (memasuki dan berada di) masjid, makan serta minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (dalam segala hal).”

(Q.S. al-A‟arâf: 31).94

8. Kesejahteraan Individu dan Masyarakat

Islam mengakui hubungan yang erat antara individu dan masyarkat.95 Keadaan suatu masyarakat akan memengaruhi dan

Dokumen terkait