• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999

B. HAK-HAK SERTA KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen,

bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan kalusula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.19

D. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HUKUM PERDATA

Hukum Keperdataan secara substansial merupakan area hukum yang sangat luas dan paling dinamis. Keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari judul-judul buku dalam KUH Perdata dan KUHD. KUHD merupakan lex specialis, sementara KUH Perdata adalah lex generalis-nya. Dalam asas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang yang khusus dan Undang-undang yang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan (lex specialis

derogat lege generalis).

Dalam KUH Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut-sebutkata “konsumen”. Istilah lain yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah:

1. Pasal 1235 (jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482,

1550, 1560, 1706, 1744):

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaksud kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.

19

Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.

2. Pasal 1236 (jo. Pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480):

“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika ia membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan keadaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

3. Pasal 1504 (jo. Pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 s/d 1511):

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”.

Ketentuan dalam KUH Perdata diatas, jelas masih terlalu umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat dinamis itu. Dinamika yang dimaksud dapat diamati dari makin banyaknya bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau lembaga dan lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini disadari pula oleh perancang KUHPerdata pada abad ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama (benoemd, specified)dan tidak bernama (onbenoemd,

unspecified). Dalam KUH Perdata , perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V

bernama. Dapatlah dibayangkan, betapa banyak jenis-jenis perjanjian yang belum diatur ketiga belas itu. Salah satunya tentunya adalah perjanjian yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini yakni mengenai Multi Level Marketing.

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, aspek perjanjian ini merupakan factor yang sangat penting, walaupun bukan factor mutlak yang harus ada. Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan hak-haknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.

Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan Undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Dalam hukum positif Indonesia, masalah perikatan secara umum diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perikatan dalam kodifikasi hukum itu adalah perikatan dalam lapangan hukum kekayaan. Artinya, perikatan tersebut dikaitkan dengan hak-hak tertentu yang mempunyai nilai ekonomis. Jika hak itu tidak dipenuhi, ada konsekuensi yuridis untuk menggantinya dengan sejumlah uang tertentu. Jadi disini selalu terkait kepentingan ekonomis (geldelijke belang), bukan sekedar kepentingan moral kesusilaan(zedelijke belang).

Pengaturan perikatan dalam KUHPerdata merupakan pengaturan secara umum saja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengingat perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khususnya yang diatur dalam KUHD. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1 KUHD: “KUHPerdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-undang ini, sekedar didalam kitab Undang-undang ini

Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi

tidak diatur secara khusus menyimpang. Anak kalimat terakhir dari Pasal tersebut mengisyaratkan berlakunya asas “lex specialis derogat lege generali”.

Dengan demikian dalam transaksi konsumen, baik produsen maupun konsumen keduanya dapat saja berdiri dalam posisi sebagai kreditur atau debitur, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu memiliki itikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab. Hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kesepakatan semula. Jika terjadi pelanggaran dari kesepakatan itu, atau yang lazim disebut wan prestasi, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut. Penuntutan ini ditegaskan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Pasal 1338 tersebut memberikan kesempatan untuk diadakan gugatan kehadapan pengadilan. Pengadilanlah yang akan memutuskan apakah gugatan tersebut dapat dibenarkan. Tidak semua jenis perikatan yang bersumber dari perjanjian itu dapat dituntut pemenuhannya. Hukum hanya mencakupi perikatan yang memenuhi syarat yang dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1320.

Dalam kaitan dengan Hukum Perlindungan Konsumen, kategori kedua yaitu perbuatan melawan hukum sangat penting untuk dicermati lebih lanjut, karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar yuridis penuntutan terhadap lawan sengketanya. Sepanjang unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata terpenuhi, yaitu: ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kualitas antara kesalahan dan kerugian itu. Kesempatan konsumen untuk menuntut pemenuhan hak-haknya

senantiasa terbuka. Masalah lain yang timbul dalam lapangan hukum perdata berkenaan dengan Perlindungan Konsumen justru dalam rangka membagi beban pembuktiannya. Asas penerapan, asas pembalikan beban pembuktian (omkering van

bewijslast) seperti dianut dalam Pasal 19, 22, 23, dan 29 UUPK tentu merupakan

langkah maju, sekalipun masih perlu diuji, sejauh mana dapat dilaksanakan dalam praktek.20

20

Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi

BAB III