• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prioritas Pilihan Alternatif Berdasarkan Kriteria Semua Aspek

V HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Prioritas Pilihan Alternatif Berdasarkan Kriteria Semua Aspek

Alternatif pemanfaatan dan Pengelolaan lahan yang tidak ditambang menurut pendapat stakeholders berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi, sosial dan kelembagaan menunjukkan pemanfaatan untuk perkebunan biofuel (Pbf) (jarak pagar) mendapat rangking pertama dengan skor 0,287, selanjutnya untuk tanaman pangan (Tp) dengan skor 0,252, hutan produksi kayu (Hpk) pada skor 0,234 dan terakhir untuk tanaman buah (Tb) 0,227. Gambar 36 merupakan hasil analisis gabungan dalam menentukan prioritas alternatif pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang.

Gambar 36. Grafik hasil analytical hierarchy process prioritas pilihan alternatif pemanfaatan lahan yang tidak ditambang

Pendapat masing- masing stakeholders terhadap pilihan prioritas alternatif berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dijabarkan pada Tabel 47 sebagai berikut:

Analisis Gabungan Prioritas Alternatif dengan Kriteria Ekologi, Ekonomi, Sosial dan Kelembagaan

Indeks Inkonsistensi : 0,05 0,227 0,252 0,287 0,234 T b T p Pbf Hpk

Tabel 47. Skor dan rangking prioritas alternatif berdasarkan keseluruhan aspek menurut pendapat masing- masing stakeholders

Stakeholder Skor dan rangking Inkonsis

tensi Hpk Pbf Tb Tp PEMDA 0,157 (4) 0,426 (1) 0,200 (3) 0,218 (2) 0,07 PT ITP 0,059 (4) 0,507 (1) 0,258 (2) 0,176 (3) 0,09 Masyarakat 0,368 (1) 0,073 (4) 0,303 (2) 0,256 (3) 0,08 PerguruanTinggi 0,229 (3) 0,216 (4) 0,276 (2) 0,278 (1) 0,01 LSM 0,356 (1) 0,211 (2) 0,208 (4) 0,225 (3) 0,01 Singkatan Keterangan

Hpk Hutan produksi kayu

Pbf Perkebunan biofuel ( jarak pagar) Tb Tanaman buah

Tp Tanaman pangan

Alternatif pertama, adalah pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang untuk Perkebunan biofuel (Pbf) berupa kebun jarak pagar yang merupakan kebijakan perusahaan untuk memanfaatkan lahan kawasan tambang. Perkebunan jarak pagar ini bertujuan untuk menyediakan bahan bakar alternatif yang dapat digunakan untuk mensubtitusi bahan bakar fosil sehingga kebutuhan batu bara dapat terkurangi. Alternatif ini dipilih dengan bobot tertingi oleh PEMDA dan PT ITP, serta pilihan alternatif ke-2 oleh LSM. Pengembangan energi terbarukan dan memperbaiki degradasi lahan adalah manfaat perkebunan biofuel jarak pagar yang dirintis pada lahan pasca tambang. Pilihan inin dianggap tepat oleh kelompok stakeholders tersebut.

Alternatif perkebunan biofuel sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan energi terbarukan untuk mengantisipasi ketergantungan energi fosil yang bersifat non-renewable. Pengembangan jarak pagar di lahan kawasan tambang diharapkan dapat menghasilkan bahan bakar alternatif sekaligus dapat menjadi sarana penghijauan di lahan kawasan tambang sebagai bentuk komitmen perusahaan pada program Clean Developmnet Mecanisme (CDM).

Lahan tidak ditambang diantaranya lahan baffer zone berdekatan dengan pemukiman penduduk, diantara emplacement seperti gedung dinamit, penyimpanan peralatan tambang, dan jalur conveyor, serta lahan dengan kandungan deposit minimum merupakan lahan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan biofuel.

Bagi PT Indocement atau perusahaan lain yang memanfaatkan lahan kawasannya serta menjadikan alternatif biofuel untuk keperluan energi sendiri

maka pengembangan perkebunan jarak pagar dan produksi biodiesel masih menjanjikan dampak positif berupa penghematan energi, jika biji jarak dihasilkan sendiri, diolah dan mrncapai rendemen biji-CJO minimal 30 %.

Alternatif ke-2 adalah pemanfaatan dan pengelo laan lahan tidak ditambang untuk Tanaman pangan (Tp). Perguruan Tinggi memprioritaskan pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang tidak ditambang sebagai usaha pertanian tanaman pangan, yang dimaksud tanaman pangan di sini adalah padi, jagung, ubikayu, kedelai. Selain tanaman pangan masyarakat juga bertani beberapaa komoditas sayuran seperti; kacang panjang, ketimun, cabe, tomat, buncis, dan lain- lain jenis sayuran dataran rendah.

Alternatif ke-3 adalah pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang untuk Hutan produksi kayu (Hpk). Alternatif ini bagi masyarakat merupakan pilihan utama berdasarkan kriteria semua aspek. Pengelolaan yang mudah, biaya perawatan yang tidak banyak, serta tingkat permintaan yang tinggi menjadikan usaha produksi kayu yang banyak digunakan untuk bahan baku industri seperti pebuatan alat-alat rumah tangga, bagunan, meubel, bahkan industri kertas merupakan faktor–faktor yang mungkin menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan lahan untuk produksi kayu. Permintaan kayu di tingkat lokal juga ada dengan berkembangnya industri kayu olahan. Terdapat 3 unit pengolahan kayu di Desa Lulut, dan satu unit di Desa Leuwikaret. Adanya usaha produksi kayu untuk menyediakan permintaan pasar yang tinggi dapat mencegah terjadinya perusakan hutan lindung karena eksploitasi kayu.

Jenis tanaman kayu yang diusahakan oleh beberapa masyarakat baik secara sengaja diusahakan sebagai tanaman utama maupun tanaman pioner adalah albasia (jeunjing, nama lokal), swietenia mahagon (mahoni), dan jati. Beberapa jenis tanaman ini dapat tumbuh baik bahkan di lahan bekas tambang. Lahan tidak ditambang sifatya berkelanjutan karena tidak akan dilakukan penambangan atau pembongkaran lahan sehingga jangka waktu pemanfaatan dan pengelolaan bersifat terus menerus. Albasia merupakan salah satu tanaman pioner yang banyak ditanam oleh masyarakat dan dapat tumbuh pada lahan marginal sekalipun, Selain itu albasia memiliki kelebihan lain diantaranya ; Pertumbuhan sangat cepat sehingga masa layak tebang dalam umur yang relatif pendek, Memiliki perakaran yang dalam, sehingga dapat menarik hara yang berada pada kedalaman tanah ke permukaan, Mudah bertunas kembali apabila ditebang,

bahkan apabila terbakar, dan biji atau bagian vegetatif untuk pembiakannya mudah diperoleh dan disimpan.

Alternatif ke-4 adalah pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang untuk Tanaman buah (Tb). Tanaman buah merupakan tanaman tahunan yang besar manfaatnya bagi pemenuhan kebutuhan kesehatan. Berbagai jenis tanaman buah memiliki potensi ekologis dan ekono mis di wilayah desa sekitar tambang terutama desa Lulut dan Leuwikaret, diantaranya rambutan, duku, manggis dan durian. Buah manggis merupakan buah yang potensial secara ekonomi dan ekologis di wilayah ini. Pertumbuhan dan produktivitas buah cukup tinggi. Kurang lebih 16,6 kwintal rata-rata produksi manggis milik penduduk per tahun yang dijual melalui kelompok petani manggis yaitu GAPOKTAN Manggis, yang ketuanya adalah salah seorang warga Desa Lulut. Penduduk yang secara rutin dan telah tergabung dalam GAPOKTAN sebanyak 20 orang. Buah-bauh tersebut dikumpulkan dan disortase. Buah yang kualitasnya memenuhi syarat untuk ekspor selanjutnya didistribusikan ke suatu perusahaan eksportir buah manggis yang telah bekerjasama dengan GAPOKTAN. Jumlah produksi buah manggis secara keseluruhan belum tercatat di data potensi desa, masih ada penduduk yang menjual buah manggis ke tengkulak yang langsung menjualnya ke pasar. Prospek pasar ekspor yang sudah dirintis GAPOKTAN merupakan potensi pasar yang cukup cerah bagi penge mbangan buah terutama manggis.

Bagi masyarakat hasil perkebunan buah ini dapat menambah pendapatan mereka meskipun hanya satu kali setahun, dan jumlah pohon yang relatif sedikit mereka miliki, karena penanaman buah manggis hanya memanfaatkan lahan pekarangan. Namun demikian hasil buah yang cukup banyak yaitu untuk pohon buah usia 6-10 tahun rata-rata produksi buah mencapai 1000 buah per pohon dengan harga Rp 250.00 per buah atau Rp 4000 sampai Rp 5000.00 per kilogram (Januari 2009), maka pendapatan perpoho n dapat mencapai Rp 250.000,00. Rata-rata setiap penduduk memiliki 3-5 pohon manggis, jika semua pohon dapat berbuah maka penghasilan tambahan cukup besar meskipun hanya sekali setahun.

Harga manggis di pasar tradisional relatif murah karena manggis yang dipasarkan di dalam negeri adalah sisa ekspor, jadi mutunya sudah kurang baik. Jika produsen dapat menghasilkan buah manggis dengan mutu yang merata dan konstan, sudah pasti harga tersebut akan jauh meningkat. Kendala agribisnis manggis adalah umur panen tanaman yang bisa mencapai 6 tahun, sehingga

pengembalian modal tidak dapat berlangsung cepat. Diperlukan para pemodal kuat yang tetap dapat bertahan sampai modal agribisnis manggisnya kembali setelah menunggu 11 tahun sejak tanam, ( http://www.ristek.go.id februari 2000).

Berdarsarkan hasil analisis dengan pendekatan AHP dalam menentukan pilihan /kemungkinan melalui metode comparative judgement , didapatkan skala preferensi diantara berbagai alternatif sehingga hasil struktur hierarki arahan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan lahan pasca tambang disajikan pada Gambar 37.

Gambar 37. Hasil struktur hierarki perumusan arahan kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahantidak ditambang

Pada analisis tingkat pertama menunjukkan bahwa PT ITP sebagai pemegang kuasa tambang memiliki bobot nilai tertinggi dalam mempengaruhi kebijakan pemanfaatan dan pengelollan lahan tidak ditambang. Lahan tidak ditambang yang berfungsi sebagai zona aman, daerah sekitar emplacement, dan

lahan yang memiliki deposit sangat minimal, pengelolaannya menjadi tanggung jawab perusahaan. Namun demikian keberadaan kawasan tambang berdekatan dengan lokasi pemukiman, dalam pengelolaannya pun harus memperhatikan faktor sosial, seperti manfaat pengelolaan bagi masyarakat. Oleh sebab itu PT ITP dan masyarakat memiliki peranan selain dapat mengakses sumberdaya alam tersebut. Nilai bobot yang tidak signifikan perbedaannya menunjukkan bahwa PT ITP dan masyarakat dapat bersama-sama dalam mengelola lahan tidak ditambang. Kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat dalam upaya pengelolaan lahan kawasan tambang ini sangat diperlukan mengingat kedua kelompok stakeholder tersebut memiliki peran dengan preferensi prioritas yang cukup tinggi yaitu 0,455 dan 0,244. hal ini sesuai rumusan DEPKU mengenai peran sektor swasta terhadap pembangunan. Peran sektor swasta adalah menyediakan modal kerja atau usaha melalui kerjasama dengan pemerintah, masyarakat yang saling menguntungkan, dan peningkatan kapasitas pelaksanaan program, (Departemen Pekerjaan Umum, 2007)

Prioritas aspek dalam mencapai tujuan pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang, aspek sosial menjadi prioritas utama, hal ini berkaitan dengan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan karena laha n merupakan sumberdaya ekonomi mereka. Nilai manfaat sosial lahan bagi masyarakat sangat penting mengingat kondisi masyarakat petani di wilayah desa sekitar tambang termasuk masyarakat kecil. Sebanyak 83% responden petani tidak memiliki lahan, padahal bertani menjadi sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar (85%) petani. Aspek ekonomi juga penting dipertimbangkan, karena pencapaian tujuan ekonomi memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan pada aspek sosial. Namun seringkali orientasi ekonomi dapat mengabaikan aspek ekologis yang juga memiliki nilai bobot yang cukup tinggi. Bahkan prioritas pada aspek ekologis memberikan dampak positif bagi keberlanjutan sumberdaya alam sebagai penopang kehidupan.

Bagaimana kemudian alternatif pilihan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang dengan melihat hasil analisis yang menunjukkan nilai bobot prioritas yang hampir sama atau perbedaan nilai yang sangat kecil? Diantara keempat pilihan pemanfaatan lahan tidak ditambang yaitu Hutan produksi kayu (Hpk), Perkebunan biofuel (Pbf), Tanaman pangan (Tp) dan

Tanaman buah (Tb) menunjukkan bobot yang cukup tinggi sehingga tidak ada yang mendominasi.

Perkebunan biofuel memang berada pada prioritas utama, namun jika dilihat dari potensi ekonominya perkebunan jarak pagar tidak fisibel jika diusahakan apalagi oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan fluktuasi harga yang sangat dipengaruhi oleh naik turunnya harga minyak mentah baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu nilai tukar rupiah sangat berpengaruh terhadap harga biji jarak. Jika nilai tukar menguat maka harga biji jarak turun dan kualitas rendemen biji-CJO minimal 30 %. Itupun harus mendapat subsidi benih dari pemerintah 100 %. Rendahnya nilai ekonomi usaha perkebunan biji jarak tentu kurang menarik minat masyarakat apalagi pemanfaatan biji jarak untuk keperluan keluarga secara langsung pada saat tidak terjual di pasaran sangat terbatas. Jika dipaksakan pemanfaatan lahan untuk jarak jarak pagar maka potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan akan muncul.

Walaupun perusahaan memberdayakan masyarakat setempat untuk menjadi pengurus jarak pagar namun jika kebutuhan mereka tidak tercukupi dari bekerja di kebun jarak maka simpati masyarakat pasti berkurang. Honor menjadi pekerja kebun selama sehari penuh sebesar Rp 400.000, 00 perbulan sangat kecil bagi pekerja kebun, dibandingkan dengan menjadi buruh tani dengan upah Rp 20.000,00 per setengah hari.

Berbeda apabila tanaman pangan menjadi alternatif pemanfaatan lahan tidak ditambang, manfaat ekonomi dirasakan oleh masyarakat sekitar tambang, dengan pemberian hak pengelolaan pada masyarakat untuk usaha pertanian maka nilai manfaat sosial dan ekonomi akan menjamin hubungan yang baik antara masyarakat dengan perusahaan, apalagi perusahaan mendapatkan keuntungan besar dari sumberdaya alam di wilayahnya.

Jika dilihat potensi ekonomi tanaman pangan dan sayuran yang diusahakan petani di wilayah sekitar tambang cukup layak berdasarkan analisis ekonomi. Ubikayu, jagung, dan 2 jenis sayuran lain yaitu ketimun dan kacang panjang menunjukkan nilai NPV positif dan nilai IRR yang tinggi. Nilai IRR ubi kayu 39 %, Jagung 28 %, ketimun, 44 %, dan kacang panjang 54 %. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman pangan dan sayuran memiliki nilai ekonomi tinggi dan layak diusahakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat petani di pedesaan. Hasil analisis juga menunjukkan jika petani mampu bertani pada luasan 1 hektar maka

keuntungan yang didapatkan cukup besar jika dilihat dari nilai IRR- nya. Hal ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan yang merealisasikan program CSR-nya agar melirik potensi ekonomi pertanian meskipun di lahan terbatas, nampaknya program CSR selama ini belum menyentuh kepentingan sumberdaya manusia di desa sekitar yang bergantung pada usaha pertanian.

Terlepas dari faktor ekonomi dan sosial pengembangan tanaman pangan pada lahan tidak ditambang, juga harus tetap memperhatikan faktor ekologis mengingat kondisi lahan tidak ditambang ini memiliki tipe kesesuaian lahan tidak sesuai (U) untuk tanaman semusim, bahkan untuk tanaman tahunan berada pada tipe kesesuaian S-3 t e (sesuai marginal) dengan pembatas topografi dan bahaya erosi untuk wilayah Desa Lulut dan Leuwikaret. Di Desa Hambalang. kesesuaian lahan berada pada tipe S-3t (sesuai marginal dengan pembatas topografi) untuk tanaman semusim Oleh karena itu pengelolaan lahan tidak ditambang untuk komoditas tanaman pangan dan sayuran harus diikuti dengan usaha- usaha pencegahan kerusakan lahan melalui pengelolaan lahan secara konservasi. Upaya tersebut antara lain; penterasan pada lahan- lahan berbukit, penanaman strip rumput penguat teras, dan penggunaan mulsa untuk menutup tanah.

Modifikasi tanaman dengan jenis tanaman tahunan juga merupakan langkah pengelolaan lahan secara konservasi, mengingat tanaman tahunan memiliki resiko lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman semusim. Jika dilihat dari nilai bobot pada hasil analisis AHP Hutan produksi kayu dan tanaman buah merupakan tanaman tahunan yang dapat ditanam selaras dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman pangan. Bahkan kedua alternatif ini dapat menjadi pilihan akhir pada pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang karena secara ekologis lebih sesuai, memiliki potensi ekonomi cukup tinggi, hanya saja jangka waktu untuk menikmati hasilnya cukup lama lebih dari 5 tahun. sehingga kurang sesuai jika alternatif diprioritaskan pada tanaman kayu atau buah. Namun jika masyarakat sudah merasakan hasilnya maka alternatif ini dalam jangka panjang akan mendominasi pemanfaatan lahan yang tidak ditambang tersebut.

Komoditas tanaman kayu albasia dan buah manggis yang banyak ditanam masyarakat, menunjukkan kelayakan secara ekonomi berdasarkan analisis NPV (positif) dan IRR 44 %. Kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu memberi angin segar bahwa hasil kayu memiliki prospek pasar cerah. Kegunaan kayu

albasia untuk bahan meubel, kertas dan peralatan rumah tangga menjadikan kayu albasia banyak dibutuhkan pengusaha.

Buah manggis, dikenal sebagai The Queen of Fruits karena rasanya yang exotic yaitu manis dan asam yang berpadu sehingga terasa segar. Prospek pengembangan agribisnis manggis sangat cerah mengingkat perminat buah ini di luar negeri banyak dan harganya relatif mahal. Taiwan adalah pasar terbesar manggis Indonesia, selama tahun 1994, Taiwan mengimpor manggis Indonesia sebanyak 2.235.177 kg atau 83% dari total ekspor buah Indonesia. Negara lain yang mengimpor manggis adalah; Jepang, Brunei, Hongkong, Arab Saudi, Kuwait, Oman, Belanda, Perancis, Swiss, dan Amerika Serikat. Peluang pasar luar negeri diperkirakan terus meningkat dengan penambahan volume 10,7% per tahun. (http://www.ristek.go.id februari 2000).

Kabupaten Bogor menjadikan manggis sebagai salah satu buah primadona yang memiliki prospek pasar tinggi di kawasan ini Produksi buah manggis di Kabupaten Bogor menurut data BPS mencapai 57,6 ton pada tahun 2007, (Kabupaten Bogor dalam Angka, 2008).

Oleh karena itu kombinasi pemanfaatan diantara keempat alternatif tersebut memungkinkan dilakukan dengan proporsi yang sesuai dan dalam pelaksanaannya tetap mengedepankan kerjasama diantara pemangku kepentingan serta partisipasi stakeholders lain yang berkompeten dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki setiap wilayah desa sekitar tambang maka arahan kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak ditambang adalah untuk usaha pertanian tanaman pangan dan sayuran yang diusahakan okeh petani di wilayah desa-desa tersebut. Pemberian hak pengelolaan pada masya rakat merupakan langkah yang dapat ditempuh dengan menyusun sistem kelembagaan yang memuat kesepakatan dan aturan sebagai hak dan kewajiban dalam pengelolaan lahan tidak ditambang secara berkelanjutan.

Sebagai pertimbangan pengambilan keputusan disusun matrik potensi ekologis dan implikasinya terhadap pilihan komoditas dalam pemanfaatan dan pengelolaan laha n tidak ditambang pada Tabel 48 sebagai berikut ;

5.4.2 Hasil Analitycal Hierarchy Process Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Pra Tambang

Lahan pra tambang merupakan lahan yang memiliki potensi sumberdaya tambang tetapi belum digali untuk sementara waktu bergantung pada rencana perusahaan kapan lahan ini akan ditambang. Luasan lahan pra tambang yang dapat diketahui secara pasti adalah lahan di Quarry C, E Lulut dan Pabuaran yang belum ditambang seluas 951,29 ha di wilayah Desa Lulut dan Leuwikaret, dan di Quarry Hambalang kurang lebih 316 ha di wilayah Desa Hambalang.

Pemanfaatan lahan pra tambang oleh masyarakat dan rencana perusahaan memanfaatkan lahan tersebut untuk perkebunan biofuel adalah dua kepentingan berbeda berpotensi menimbulkan konflik sosial. Diperlukan arahan perencanaan yang mempertimbangkan kepentingan bersama. Pendapat berbagai stakeholders diharapkan menjadi satu solusi sebagai arahan dalam menentukan pemanfaatan dan pengelolaan lahan pra tambang secara berkelanjutan.

Pendekatan Analitycal Hierarchy Process untuk menentukan prioritas pilihan terhadap aktor yang mempengaruhi kebijakan, aspek tujuan, dan alternatif pemanfaatan dan pengelolaan lahan pra tambang melalui metode perbandingan berpasangan didapatkan hasil sebagai berikut :