• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Informan

Dalam dokumen TESIS YUNITIA INSANI (Halaman 81-89)

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Profil Informan

Profil tiap informan menjadi penting untuk digali lebih dalam sebab informasi apapun yang didapatkan dari informan bisa menjadi bahan penting yang mungkin terkait dengan penelitian. Hal yang penting dari sebuah penelitian kualitatif adalah mengamati dan terlibat secara intensif sampai peneliti menemukan secara utuh apa yang dimaksudnya karena peneliti akan menangkap makna dari sikap, pola, gerak gerik dan emosi sumber informasi. Adapun profil informan kunci akan dijelaskan masing-masing dalam kotak studi kasus di bawah ini:

Informan IM (1)

Bapak IM pertama kali peneliti temui di rumahnya di jalan Serigala atas rekomendasi seorang teman. Peneliti meminta kesediaan beliau untuk diwawancarai dengan menjelaskan terlebih dahulu tentang tujuan penelitian saya. Beliau cukup berantusias untuk terlibat sebagai informan namun terkendala waktu hari itu. Tidak sampai sepekan, beliau akhirnya mengabarkan waktu dan tempat untuk wawancara dilakukan di kantor tempat beliau bekerja. Hari itu adalah hari libur namun beliau hendak menyelesaikan pekerjaan kantor yang cukup padat. Kami memulai sesi wawancara setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya sekitar pukul 16.00 wita.

Saat memulai sesi wawancara, Bapak IM terlihat cukup tenang. Beliau bahkan memastikan posisi duduk yang nyaman untuk saya bisa memulai wawancara. Setelah dirasa cukup nyaman, beliau mulai mempersilakan. Karena beliau berbicara dengan logat khas Bone sehingga sebelum memulai wawancara, peneliti sudah mengarahkan untuk menjawab pertanyaan dengan santai dan tidak perlu formal. Beliau pun menjawab pertanyaan dengan cukup santai dan terbuka untuk setiap pertanyaan yang peneliti ajukan sehingga komunikasi berjalan cukup lancar. Bapak IM ini berparas cukup tampan dan berkulit putih. Beliau baru saja menikah di tahun 2014 lalu dan hari dimana saya mewawancara, beliau didampingi oleh istrinya. Bapak IM adalah anak pertama dari 4 bersaudara dengan 1 adik laki-laki dan 2 adik perempuan dan di keluarganya hanya beliau yang pernah merokok.

Bapak IM cukup kesulitan untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan waktu. Beliau tidak bisa memastikan kelas berapa beliau pertama kali merokok atau berhenti merokok namun beliau masih ingat tahunnya. Selebihnya, sesi wawancara cukup menyenangkan dan tidak ada kendala berarti. Beliau menyadari sejauhmana rokok sangat mengganggu aktifitasnya selama ini terutama saat berolahraga. Bapak IM menyatakan harapan agar informasi yang disampaikan bisa bermanfaat untuk orang lain yang punya niat yang kuat untuk berhenti merokok. Beliau menyatakan berulang kali bahwa terlalu banyak orang yang berniat berhenti namun hanya sebatas kata-kata saja, tidak dibarengi dengan perbuatan dan usaha yang keras.

Informan AM (2)

Komunikasi pertama dengan Bapak AM peneliti lakukan dengan menemuinya di rumah beliau atas rekomendari keluarga peneliti. Selanjutnya melalui panggilan telepon dimana pembicaraan di telepon saat itu cukup singkat dan beliau menanggapi keinginan peneliti untuk melakukan wawancara dengan nada cukup meyakinkan. Beberapa hari kemudian, Beliau menyanggupi untuk diwawancarai di rumah kediaman beliau pada pukul 10.00 wita. Hari itu cukup terik namun tidak ada kendala yang berarti selama sesi wawancara.

Saat mengunjungi kediaman Bapak AM, beliau terlihat baru saja selesai mandi dan amat bersemangat untuk diwawancarai. Beliau menyatakan punya waktu yang cukup luang hari itu. Sekitar setengah jam pertama ketika peneliti datang, beliau memastikan terlebih dahulu kepentingan penelitian saya. Beliau bahkan menyarankan teman lain yang sesuai dengan kriteria penelitian. Di tengah pembicaraan, isteri beliau datang membawa beberapa cangkir teh. Bapak AM dan isterinya sangat ramah dan murah senyum. Kata isteri bapak AM, Bapak AM antusias sekaligus penasaran tentang penelitian ini. Peneliti dipersilakan memulai sesi wawancara di ruang tamu setelah volume TV di ruang santai dikecilkan dan setelah isteri beliau masuk kembali.

Yang menarik dari cara Bapak AM menjawab pertanyaan adalah karena beliau terlihat bernostalgia. Beliau menceritakan dengan sangat terbuka bagaimana ia begitu kecanduan dengan rokok di masa lalu. Dengan sangat ekspresif, Bapak AM bahkan bercerita panjang lebar betapa ia sudah berkali-kali mencoba untuk terlepas dari jeratan rokok. Beliau katakan bahwa berhenti total dalam semalam rasanya tidak masuk akal. Kebanyakan orang yang berhenti merokok pasti melalui masa-masa yang sulit sebelum benar-benar berhenti dikarenakan godaan yang besar terutama setelah makan atau bertemu teman perokok.

Di akhir wawancara, Bapak AM memperlihatkan sebuah memo di telepon genggamnya yang menuliskan tanggal dimana beliau memulai berhenti merokok yakni di tanggal 12 Juli 2014. Peneliti mengecek rincian pesan dan memang dituliskan di tanggal yang sama. Kata Bapak AM, pesan seperti itu sangat memotivasi ketika sedang sangat ingin merokok lagi. Walau belum setahun berhenti merokok, beliau terlihat sangat bangga dan percaya tidak akan merokok lagi.

Informan SG (3)

Bapak berusia 33 tahun ini peneliti temui di rumahnya setelah shalat Jumat. Seminggu sebelumnya peneliti mengonfirmasi kesediaan beliau melalui panggilan telepon dengan isteri yang memang punya ikatan keluarga dengan peneliti. Bapak SG bekerja di salah-satu perusahaan swasta di Makassar namun setiap akhir pekan tetap pulang ke Bone. Beliau adalah bapak dari dua anak perempuan yang masih menginjak usia sekolah dasar.

Bapak SG saat pertama kali ditemui terlihat cukup pendiam. Beliau berkulit gelap, wajahnya teduh dan dengan senyum yang tertahan. Bapak SG punya kepribadian yang sangat tenang dan dari cara menjelaskan saat wawancara, dijawab dengan cukup singkat kecuali jika dipersilakan untuk menceritakan secara detail.

Walau kelihatannya cukup pemalu, ternyata tidak disangka Bapak SG sudah merokok di bangku Sekolah Dasar. Kata isterinya setelah diminta untuk konfirmasi data setelah sesi wawancara dengan bapak SG, menyatakan bahwa suaminya dulu di masa muda termasuk anak bandel dan tidak patuh, berkawan preman dan sangat disegani adik-adik perempuannya. Namun setelah mendalami ilmu agama di akhir masa perkuliahan, Bapak SG menjadi lebih sabar dan tenang terutama ketika bersosialisasi dengan orang lain.

Saat sesi wawancara, bapak SG menjawab pertanyaan seadanya namun setelah peneliti menyelesaikan pertanyaan terakhir justeru beliau baru merasa antusias menjelaskan. Dari pengamatan peneliti, bapak SG sedikit risih menjawab setelah tahu bahwa peneliti merekam jawaban dari informan, sehingga setelah peneliti menghentikan rekaman, beliau jauh lebih santai menjawab dan menceritakan beberapa pengalamannya soal rokok. Tentang bagaimana beliau dulu dengan mudahnya mendapat rokok dari sponsor untuk kegiatan di kampus dan bagaimana beliau cukup resah dengan kondisi anaknya yang masih bayi kala itu namun sudah harus menjadi perokok pasif.

Informan MI (4)

Bapak MI adalah teman sekantor orangtua peneliti sehingga tidak begitu sulit untuk memulai komunikasi dengan beliau. Beliau juga salah-satu informan yang peneliti konfirmasi kesediaannya terlibat dalam penelitian melalui panggilan telepon. Beberapa hari kemudian, peneliti pun mendatangi kediaman beliau setelah penyesuaian jadwal sebelumnya.

Bapak MI berperawakan tinggi, kurus, berkulit putih dan berbadan tegap. Beliau mempersilakan peneliti untuk mengobrol di ruang tamu rumahnya. Peneliti memulai sesi wawancara sekitar pukul 10.00 wita. Beliau sangat ramah dan yakin dalam menjawab setiap pertanyaan dari peneliti. Karena bekerja di instansi kesehatan, Bapak MI sadar betul pentingnya kesehatan. Di sela-sela sesi wawancara, beliau dengan sedikit kecewa menjelaskan bagaimana para perokok sekarang ini tidak pandang tempat untuk merokok, mulai tidak beretika dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Beliau mengakui sangat mencintai keluarga, dan karena keluargalah motivasi terbesar beliau untuk bisa berhenti merokok secara total. Bapak MI hanya memiliki 1 anak laki-laki dan beliau sangat mengontrol kegiatan anaknya dan cukup ketat dengan aturan. Kata beliau, teman-teman sepergaulan anaknya diperbolehkan datang ke rumah selama mereka tidak merokok. Beliau mengaku sangat tahu bau air seni perokok sehingga sangat yakin sang anak tidak akan mencoba sekali pun untuk merokok.

Selama wawancara juga bapak MI menyatakan bahwa begitu tidak percaya dirinya para perokok di tahun 1990an kala itu untuk berhenti sebab ada mitos yang mengatakan bahwa para perokok yang sudah berhenti merokok hanyalah kaum borjuis atau semakin sejahtera tingkat perekonomian mereka. Itu juga yang menjadi hambatan beliau saat itu. Meski begitu, Bapak MI kembali berasumsi bahwa mitos seperti itu akan dikalahkan oleh keinginan yang kuat. Dengan lantang beliau katakan tidak perlu usaha tertentu untuk berhenti, sekali mau maka cobalah berhenti, itu saja.

Informan ASH (5)

Peneliti menemui bapak ASH pertama kali di suatu pagi atas saran seorang teman. Hari itu walau peneliti hanya berniat untuk mengobrol seputar penelitian, beliau sudah siap untuk diwawancarai, namun karena suatu kepentingan sehingga sesi wawancara ditunda. Beliau menghubungi peneliti beberapa waktu kemudian untuk mengatur jadwal dengannya.

Bapak ASH bertubuh tinggi dan berkulit putih. Beliau menetap di Jalan Pallette bersama seorang ibu, isteri dan dua orang anak lelaki. Beliau tidak sungkan bercerita panjang lebar segala hal tentang pengalamannya selama merokok dan setelah berhenti merokok. Beliau bahkan menyarankan seorang teman lain yang juga sudah berhenti merokok lebih dulu sebelum beliau.

Menurut beliau, orangtua beliau di masa hidupnya adalah perokok, beberapa saudara lelakinya pun merokok. Mungkin dari sanalah pengaruh pertama bapak ASH mulai merokok. Selama 20 tahun beliau merokok, bapak ASH merasa sangat tergantung dengan rokok. Dengan menggebu-gebu beliau mengaku bahwa jika sebelumnya beliau tidak menyampaikan keinginannya berhenti merokok di depan teman-temannya yang merokok, mungkin akan sangat sulit untuk berhenti secara total.

Sesekali beliau memperagakan bagaimana dulu beliau tidak putus merokok terutama saat nonton bola, pun saat risih jika jumlah batang rokok yang tersisa di meja hanya beberapa batang saja. Di kesempatan itu, beliau kembali bernostalgia tentang intensitas merokoknya dulu, tentang saudaranya yang perokok berat, atau bagaimana dulu ia secara sembunyi-sembunyi merokok tanpa orangtua ketahui. Beliau meyakinkan saya bahwa betapa ia bersyukur sudah tidak terjerat rokok lagi. Betapa hari ini beliau tidak perlu rokok lagi saat menonton tv, betapa hari ini tak ada lagi asbak di atas meja.

Pertemuan pertama dengan bapak HK adalah di sebuah warung kopi. Beliau meminta peneliti untuk datang setelah panggilan telepon sebelumnya. Di awal pertemuan itu kami hanya mengobrol tentang kepentingan penelitian.

Bapak HK berusia 40 tahun namun terlihat masih sangat muda. Gaya berpakaian beliau sangat kekinian dan menerima kami dengan sangat hangat. Bapak HK ini merupakan rekomendasi dari bapak AM, informan kedua peneliti. Karena berprofesi sebagai dosen, bapak HK ini cukup sulit ditemui sehingga kami merencanakan sesi wawancara sesuai kesepakatan waktu yang diberikan. Dengan logat khas bugis bone, sesi wawancara berjalan cukup lancar. Beliau menyatakan kebanggaannya berhenti merokok terutama setelah merasakan kondisi fisik yang semakin terasa sehat dan bugar. Bapak HK sangat kooperatif saat menjawab pertanyaan, beliau sesekali tersenyum, sesekali tertawa, beberapa kali mengusap celananya saat butuh waktu untuk mengingat.

Sesi wawancara dilakukan di ruang tamu rumahnya dan dengan ramah beliau memastikan kenyamanan posisi duduk peneliti sebelum wawancara dimulai. Kami memulai sesi wawancara sekitar pukul 16.00 wita. Bapak HK dengan semangat menyatakan bahwa bulan puasa memang waktu yang sangat baik untuk berusaha berhenti merokok dan betapa beruntungnya ia saat jenis rokok yang diisapnya dulu sangat terbatas dijual batangan sehingga sangat membantu selama proses berhenti merokok.

Informan AR (7)

AR, berprofesi sebagai tenaga honorer satpol PP di kota Watampone. AR adalah pria berusia 28 tahun dan belum menikah. Di Bone beliau tinggal bersama seorang ibu dan beberapa saudara lainnya. Ayah beliau baru saja wafat karena kanker tenggorokan.

AR adalah sosok yang periang. ramah dan humoris. Saat ditemui di rumahnya beliau mengaku agak malu untuk diwawancarai, namun setelah peneliti menjelaskan kepentingan penelitian, beliau dengan segera mengiyakan. Walau dengan logat khas bone, beliau tidak segan menceritakan pengalaman beliau. Katanya dulu AR bahkan sangat sering merokok saat buang air besar.

AR sangat nyaman ditanyai apa saja. Beliau juga menceritakan tentang almarhum ayahnya yang meninggal akibat rokok. Bagi beliau, selain karena kesadarannya sendiri untuk berhenti merokok, sosok Ayahnya juga merupakan motivasi terbesarnya untuk bertahan tidak merokok lagi.

Beliau menyatakan bahwa dulu, rokok menurunkan staminanya saat bekerja dan sadar betul tidak lagi mendapatkan efek positif ketika merokok. Dengan lantang beliau menceritakan pengalamannya rasa dari beberapa jenis rokok yang dihisapnya dulu. Beliau merasa senang sekali karena tidak pernah merasa tergoda lagi untuk merokok. Katanya walau hampir tiap malam berkumpul dengan sahabat perokok, beliau tidak berniat kembali merokok. Beliau hanya menyayangkan karena sekarang beliau menjadi perokok pasif dan cukup sulit untuk melarang sahabat-sahabatnya untuk tidak merokok.

Informan TI (8)

Hari itu hujan cukup lebat dan sesi wawancara dilakukan saat jam istirahat di kantor tempat TI bekerja. Kendala cuaca menyebabkan sesi wawancara ditunda sekitar setengah jam. Selama setengah jam itu kami mengobrol singkat. Beliau sangat ramah dan tidak sungkan bertanya kepada peneliti. TI berperawakan tinggi, putih dan tampan. Sepintas lalu orang mungkin mengira beliau keturunan arab dengan mata yang besar dan hidung yang mancung. TI sebelumnya tidak mempersilakan peneliti untuk diwawancarai di rumahnya karena menurut pengakuannya, orangtua beliau tidak tahu bahwa TI dulunya seorang perokok. Hanya adik-adik dan teman kantornya saja yang tahu kalau beliau pernah merokok. Karena itu informan terdekat yang peneliti konfirmasi kebenaran datanya adalah dari teman kantor dan pacar beliau yang notabene tahu pengalaman merokok beliau.

TI menjawab setiap pertanyaan dengan lancar. Beliau dengan antusias menceritakan alasan pertama kali beliau berniat untuk berhenti merokok. Dengan artikulasi yang sangat jelas dan baik beliau tidak merasa kesulitan menjawab setiap pertanyaan. Katanya menyenangkan wawancara seperti ini, menceritakan pengalaman dan memberikan pendapat tentang rokok.

Beliau merasa cukup menyayangkan adik-adiknya masih merokok sampai hari ini. Ayah beliau juga seorang perokok namun saat peneliti menanyakan alasan beliau tidak merokok di rumah, beliau menyatakan tidak sampai hati Ibu beliau melihatnya. Beliau merasa merokok di depan orangtua sangat tidak sopan, juga karena Ibu TI sering menasihati untuk tidak ikut merokok seperti suaminya.

Menurut TI, pertimbangan ekonomi tidak menjadi alasan bagi perokok untuk berhenti, karena buktinya beliau masih sering menyediakan rokok untuk teman-temannya saat berkumpul meskipun beliau tidak merokok lagi. Bagi TI, melihat mantan kepala kantornya terbaring sakit di Rumah Sakit karena rokok sungguh ironis. Beliau berpendapat bahwa yang menjadi kendala terbesar bagi perokok untuk berhenti adalah karena tidak adanya tekad yang kuat dan usaha yang keras.

Dalam dokumen TESIS YUNITIA INSANI (Halaman 81-89)