• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS YUNITIA INSANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS YUNITIA INSANI"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

A CASE STUDY FOR SELF EFFICACY SOURCES

IN THE EFFORT OF QUITTING SMOKING

IN WATAMPONE CITY

YUNITIA INSANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

STUDI KASUS PEMBENTUK EFIKASI DIRI

DALAM UPAYA BERHENTI MEROKOK

(2)

STUDI KASUS PEMBENTUK EFIKASI DIRI DALAM UPAYA

BERHENTI MEROKOK DI KOTA WATAMPONE

Tesis

Sebagai Salah-Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

YUNITIA INSANI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yunitia Insani

Nomor Induk Mahasiswa : P1805213401

Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar -benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebahagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Mei 2015 Yang menyatakan,

(5)

PRAKATA

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia - Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ―Studi Kasus Pembentuk Efikasi Diri dalam Upaya Berhenti Merokok di Kota Watampone‖, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M. Kes).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sangat tulus dan mendalam kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. dr. H. Muh. Syafar, MS selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Mappeaty Nyorong, MPH selaku Pembimbing II yang telah berkenan memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasehat dan dorongan moral dengan penuh dedikasi kepada penulis dari awal hingga selesainya tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc, sebagai Ketua Konsentrasi Program Magister Promosi Kesehatan, beserta seluruh dosen bagian Promosi Kesehatan, terima kasih untuk ilmu dan pengalaman berharga yang diberikan selama ini.

(6)

2. Ibu Dr. Suriah, SKM, M.Kes , Bapak Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.Sc.PH, Bapak Anwar SKM, M.Sc, Ph.D selaku dosen Penguji yang telah memberikan arahan, kritik dan saran dalam pembuatan tesis ini.

3. Seluruh dosen beserta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin atas ilmu berharga, bimbingan, dan segala bantuan sarana dan prasarana selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

4. Seluruh informan yang telah berbagi waktu, ilmu dan pengalamannya. 5. Bapak / Ibu Camat Tanete Riattang, Tanete Riattang Timur dan Tanete

Riattang Barat dalam membantu kelancaran dalam pengambilan izin dan data penelitian.

6. Ibunda Andi Nihaya Mattaliu. Terima kasih karena tak pernah lelah memberi doa dan dukungannya setiap waktu.

7. Kakak Ria Aprilia S.Pd, dan Adik Fadil Saadillah. Kalian supporter terbaik sepanjang masa.

8. Teman – teman angkatan 2007 FKM Unhas yang banyak berbagi ilmu dan semangat menimba ilmu dan berbagi saran atas pembuatan tesis ini.

9. Teman - teman program promosi kesehatan Angkatan 2013 atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

(7)

10. Pendengar dan pendukung terbaik: Ana, Tifa, Bahri, juga untuk Bayu dan Kak Ipul atas lelahnya selama membantu dalam penelitian.

11. Seluruh pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Yakinlah walau tak tertulis di sini tapi akan selalu tertulis di hati.

Demikian, semoga tesis ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan. Wassalam.

Makassar, Mei 2015

(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PRAKATA ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SKEMA ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR KOTAK STUDI KASUS ... xv

DAFTAR MATRIKS ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Tinjauan Umum tentang Teori Perubahan Perilaku ... 13

B. Tinjauan Umum tentang tentang Rokok ... 15

C. Tinjauan Umum tentang tentang Efikasi Diri ... 25

D. Tinjauan Umum tentang tentang Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu... 38

(11)

E. Tabel Sintesa ... 41

F. Kerangka Teori ... 44

G. Kerangka Konsep ... 48

H. Definisi Konsep ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 51

A. Desain Penelitian ... 51

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52

C. Informan Penelitian ... 53

D. Teknik Pengumpulan Data ... 54

E. Keabsahan Data ... 55

F. Instrumen Penelitian ... 55

G. Teknik Analisis dan Pengolahan Data ... 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Hasil Penelitian ... 58

B. Pembahasan ... 104

C. Keterbatasan Penelitian ... 142

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR SKEMA

1. Skema Sumber Pembentuk Efikasi Diri (Self Efficacy) ... 46

2. Skema Awal Mula Informan Merokok ... 73

3. Skema Efek Positif Merokok yang Dirasakan Informan ... 75

4. Skema Efek Negatif yang Dirasakan Informan Akibat Rokok ... 77

5. Skema Kategori Perokok Informan ... 79

6. Skema Alasan Informan Berhenti Merokok ... 83

7. Skema Upaya Informan dalam Berhenti Merokok ... 84

8. Skema Kesulitan yang Dirasakan Informan dalam Berhenti Merokok .. 86

9. Skema Kondisi Fisik dan Emosional Tertentu yang Memengaruhi Informan Ingin Kembali Merokok ... 103

(14)

DAFTAR BAGAN

1. Bagan Pendekatan Proses Tindakan Kesehatan ... 28

2. Bagan Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu 46 3. Bagan Modifikasi Teori Efikasi Diri dan Kerangka Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu ... 47

4. Bagan Kerangka Konsep Penelitian ... 48

5. Bagan Tematik Awalmula Informan Merokok ... 76

6. Bagan Tematik Efek Positif Merokok yang Dirasakan Informan ... 77

7. Bagan Tematik Efek Negatif yang Dirasakan Informan Akibat Rokok .. 80

8. Bagan Tematik Kategori Perokok Informan ... 83

9. Bagan Tematik Alasan Informan Berhenti Merokok ... 85

10. Bagan Tematik Upaya Informan dalam Berhenti Merokok ... 85

11. Bagan Tematik Kesulitan yang Dirasakan Informan dalam Berhenti Merokok ... 87

12. Bagan Tematik Tahun Terdahulu Informan Mencoba Berhenti Merokok 95 13. Bagan Tematik Pengaruh Pengalaman Orang Lain yang Lebih Dulu Berhenti Merokok ... 97

14. Bagan Tematik Pengaruh Persuasi Verbal dalam Berhenti Merokok ... 99

15. Bagan Tematik Kondisi Fisik dan Emosional Tertentu yang Memengaruhi Informan Ingin Berhenti Merokok ... 102

16. Bagan Tematik Kondisi Fisik dan Emosional Tertentu yang Memengaruhi Informan Ingin Kembali Merokok ... 104

(15)

DAFTAR KOTAK STUDI KASUS

1. Kotak studi kasus informan 1 ... 64

2. Kotak studi kasus informan 2 ... 65

3. Kotak studi kasus informan 3 ... 66

4. Kotak studi kasus informan 4 ... 67

5. Kotak studi kasus informan 5 ... 68

6. Kotak studi kasus informan 6 ... 69

7. Kotak studi kasus informan 7 ... 70

8. Kotak studi kasus informan 8 ... 71

(16)

DAFTAR MATRIKS

1. Matriks Tahun Terdahulu Informan Mencoba Berhenti Merokok ... 94 2. Matriks Pengaruh Pengalaman Orang Lain yang Lebih Dulu Berhenti

Merokok ... 97 3. Matriks Pengaruh Persuasi Verbal dalam Berhenti Merokok ... 99 4. Matriks Kondisi Fisik dan Emosional Tertentu yang Memengaruhi

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Wawancara 2. Pedoman Wawancara Penelitian 3. Matriks Identitas Informan

4. Matriks Hasil Wawancara dengan Informan

5. Dokumentasi Wawancara dengan Informan Kunci 6. Surat Pengambilan Data Awal

7. Surat Izin Melakukan Penelitian 8. Surat Izin telah Melakukan Penelitian 9. Riwayat Hidup Penulis

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak orang yang mengetahui dampak negatif merokok, bahkan perokok sudah banyak yang menyadarinya. Niat untuk berhenti merokok sudah ada, namun terkadang rasa kecanduan lebih kuat sehingga sulit mengalahkan niat yang ada. Hal ini disebabkan menghilangkan kebiasaan merokok tidaklah mudah, untuk bisa berhenti merokok dibutuhkan keinginan dan komitmen besar dari dalam diri orang yang bersangkutan.

Ng M., et al., (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa tren penggunaan tembakau secara global dari 187 negara di dunia sejak tahun 1980 hingga 2012 menunjukkan jumlah konsumsi rokok telah meningkat lebih dari 6 trilyun dengan rata-rata konsumsi rokok lebih dari 20 batang rokok perhari. Indonesia menjadi negara tertinggi ketiga dalam peningkatan konsumsi rokok, yakni sebesar 29, 1 juta perokok sejak tahun 1980 hingga 2012.

Negara-negara dengan konsumsi rokok besar di dunia termasuk Amerika Serikat dan China beberapa tahun belakangan justru terus mengalami penurunan prevalensi perokok. Dari tahun 1965 sampai 2010, prevalensi merokok di kalangan orang dewasa di Amerika Serikat menurun dari 42,4% menjadi 19,3%, sebagian karena peningkatan jumlah

(19)

orang yang berhenti merokok. Center For Disease Control (CDC) menganalisis data National Health Interview Survey (NHIS) dari tahun 2001 hingga 2010. Laporan ini merangkum hasil analisis tersebut, dan menemukan bahwa, pada tahun 2010, terdapat 68,8% dari perokok dewasa yang ingin berhenti merokok, 52,4% telah membuat upaya berhenti di tahun-tahun sebelumnya, 6,2% baru-baru ini berhenti, 48,3% telah disarankan oleh seorang profesional kesehatan untuk berhenti, dan 31,7% telah menggunakan konseling dan / atau obat-obatan ketika mereka mencoba untuk berhenti merokok.

Data di China menunjukkan bahwa dari total perokok tahun 2010 terdapat 85,6% dari total penduduk yang merokok setiap hari dengan jumlah batang rokok yang dihisap rata-rata 14,2 batang per hari (14,3 untuk laki-laki dan 10,6 untuk wanita). Global Adult Tobbaco Survey (GATS) China juga menunjukkan bahwa di antara penduduk di China yang telah merokok dalam kurun waktu tertentu, 57, 5 juta (16,9%) penduduk telah berhenti merokok dan tidak merokok saat ini. Di antara mereka yang telah merokok dalam kurun waktu tertentu yang telah mencoba untuk berhenti selama 12 bulan sebelum survei, 91,8% tidak menggunakan metode apapun untuk membantu berhenti merokok dan sisanya mengandalkan obat-obatan, konseling, dan metode lainnya (Li et al, 2011).

Merokok berdampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, namun berhenti merokok tidak mudah dilakukan. Konsep reciprocal

(20)

determinism yang dikemukakan Bandura (1977) menunjukkan bahwa

perilaku merokok memiliki hubungan timbal balik dengan individu dan lingkungan. Salah satu aspek dalam person adalah self efficacy atau efikasi diri. Efikasi diri merupakan satu kesatuan arti yang diterjemahkan dari bahasa Inggris, self efficacy. Konstruk tentang efikasi diri diperkenalkan pertama kali oleh Bandura dalam Psychological Review nomor 84 tahun 1986. Efficacy didefenisikan sebagai kapasitas untuk mendapatkan hasil atau pengaruh yang diinginkannya, dan self sebagai orang yang dirujuk (Wallatey, 2001:2). Efikasi diri itu akan berkembang berangsur-angsur secara terus menerus seiring meningkatnya kemampuan dan bertambahnya pengalaman-pengalaman yang berkaitan. Semakin tinggi efikasi diri maka individu semakin yakin terhadap kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal sehingga ia mencurahkan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang sulit, gigih, dan secara keseluruhan performanya lebih baik. Demikian juga halnya dengan efikasi diri berkaitan dengan perilaku merokok (smoking self efficacy), yaitu semakin tinggi smoking self efficacy maka semakin yakin seseorang akan kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok sehingga ia mencurahkan usahanya dan gigih dalam mencapai tujuannya untuk mengontrol keinginan merokok.

Efikasi diri diistilahkan dengan perilaku perantara karena semua perilaku dipengaruhi oleh efikasi diri dan dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan dalam intervensi perilaku merokok (Bandura,

(21)

1997). Terkait perilaku merokok, efikasi diri memiliki peran penting dalam membangun keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk berhenti merokok yang dimanifestasikan dengan serangkaian tindakan melalui beberapa sumber pembentuk efikasi diri.

Penelitian di Nottingham, Inggris tahun 2013 yang melibatkan perokok tunawisma yang pernah mencoba berhenti merokok di masa lalu dimana data riwayat merokok, ketergantungan nikotin, motivasi dan kepercayaan diri untuk berhenti dikumpulkan dengan menggunakan instrumen terstruktur, dan hasilnya menunjukkan bahwa perokok umumnya kurang pengetahuan/kesadaran akan bahaya merokok termasuk kerugiannya dan dilaporkan terlibat dalam perilaku merokok berisiko tinggi. Seluruh sampel yang telah mencoba untuk berhenti merokok di masa lalu melakukannya atas inisiatif sendiri, dan beberapa gagal karena kurangnya dukungan oleh praktisi kesehatan dalam pengendalian perilaku merokok (Garner and Ratschen, 2013).

Sebuah studi analisis cross sectional dilakukan di Rumah Sakit Umum Paholpolpayuhasena, Provinsi Kanchanaburi, Thailand tahun 2013 untuk menggambarkan perilaku merokok dan menentukan hubungan antara efikasi diri, tipe kepribadian, faktor sosio-demografis dan perilaku merokok yang terdiri dari non-perokok, mantan perokok, dan perokok saat ini di antara 252 pasien pria yang sedang rawat jalan dimana efikasi diri ditemukan secara signifikan berhubungan dengan perilaku merokok. Salah-satu model penelitian menunjukkan bahwa responden yang

(22)

memiliki efikasi diri untuk berhenti merokok lebih mungkin untuk mengubah perilaku merokok mereka.

Christianto (2005) dalam Sandek, Astuti (2007) menyatakan bahwa diantara 17 juta orang Indonesia yang mencoba berhenti tiap tahunnya, 90% gagal dalam kurun waktu 1 tahun. Hasil survei yang dilakukan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok) tahun 2005 dalam Fawzani, Triratnawati (2005) di Jawa, diperoleh data bahwa dari total 375 responden yang merupakan perokok dinyatakan 66,2% pernah mencoba berhenti merokok namun mengalami kegagalan. Faktor kegagalan, antara lain: 42,9% karena tidak tahu caranya; 25,7% karena merasa sulit berkonsentrasi jika tidak merokok dan 2,9% karena terikat oleh sponsor rokok. Sementara itu, ada yang berhasil berhenti merokok karena adanya kesadaran sendiri (76%); telah mengalami penyakit (16%) dan tuntutan profesi (8%).

Fawzani dan Triratnawati (2005) dalam penelitian untuk mengetahui cara sukses berhenti merokok dan mengetahui faktor-faktor kemudahan berhenti merokok diantara 3 perokok berat di Yogyakarta ditemukan bahwa alasan mereka untuk berhenti merokok adalah karena faktor kesehatan, organisasi keagamaan, dan keluarga. Dimana secara umum, perokok berhenti merokok karena memiliki kemauan yang kuat untuk berhenti merokok.

Penelitian Mohamad Efendi di tahun 2005 mengenai penggunaan terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) untuk mengendalikan

(23)

kebiasaan merokok di kalangan siswa melalui peningkatan efikasi diri yang dirasakan (perceived self efficacy) ketika berhenti merokok, hasilnya menunjukkan bahwa pendekatan cognitive behavior therapy efektif meningkatkan sumber perceived self efficacy (SPSE) berhenti merokok, meningkatkan indikator perceived self efficacy (IPSE) berhenti merokok, dan SPSE memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan IPSE berhenti merokok di kalangan siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wismanto dan Sarwo (2010) pada karyawan Sekretariat Daerah Kabupaten/ Kotamadya di Jawa Tengah, diperoleh hasil bahwa keyakinan terhadap kemampuan mengontrol keinginan merokok (smoking self efficacy) merupakan sumber yang berpengaruh besar terhadap niat berhenti merokok. Melalui uji Analisis Regresi diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa sikap terhadap rokok, dukungan sosial dan kemampuan yang dirasakan berpengaruh secara sangat signifikan terhadap niat untuk berhenti merokok dengan sumbangan bersama ke tiga variabel sebesar 37,1%. Hasil lanjutan menunjukkan bahwa dari 266 subyek terdapat 192 yang berniat untuk berhenti merokok, dan dari 192 terdapat 41 yang tertarik untuk mengikuti pelatihan berhenti merokok, dan secara keseluruhan hanya 34 subyek (12,79%) yang hadir dalam pelatihan yang dilaksanakan di masing-masing Kabupaten/Kota.

Adapun penelitian dari Margian (2012) tentang dinamika pengambilan keputusan berhenti merokok pada dua orang anggota

(24)

komunitas Straight Edge di Kota Bandung diperoleh bahwa pengambilan keputusan berhenti merokok pada anggota komunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor utama dalam upaya berhenti merokok adalah faktor kesehatan, lingkungan sosial, ekonomi dan komitmen atau kemauan yang ada dalam diri subjek, dimana lingkungan sosial menjadi faktor paling mempengaruhi untuk berhenti merokok.

Penelitian lain yang melibatkan 206 santri putra di Kabupaten Kudus pada tahun 2014 didapatkan hasil bahwa sikap, norma subyektif dan perceived behavior control berpengaruh secara signifikan terhadap intensi berhenti merokok. Variabel yang paling dominan berpengaruh adalah perceived behavior control termasuk diantaranya harapan adanya larangan merokok di pesantren, pengaruh lingkungan yang baik dan efikasi diri yang kuat (Kumalasari, 2012).

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut dapat diketahui bahwa ada korelasi positif yang kuat antara kemauan untuk berhenti merokok dalam hal ini efikasi diri dan upaya berhenti merokok. Sejalan dengan Velicer, Diclemente, and Prochaska (1990) dimana semakin tinggi tingkat efikasi diri untuk berhenti merokok, semakin besar kemungkinan seseorang akan berhasil berhenti merokok.

Menghentikan perilaku merokok bukanlah usaha mudah, terlebih lagi bagi perokok di Indonesia. Data yang dihimpun oleh GATS (2006 - 2009) dilansir Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2012 menyebutkan bahwa prevalensi perokok remaja yang bersekolah usia antara 13-15

(25)

tahun, meningkat dua kali lipat, selama kurun waktu 3 tahun terakhir, yakni dari tahun 2006 hingga 2009 namun di tahun 2011 prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas sangat tinggi, antara lain perokok laki-laki (67,4%) dan wanita (2,7%). Sementara data di tahun 2013 dari World

Health Organization (WHO) ditemukan bahwa angka prevalensi merokok

di Indonesia diantara pria remaja sebesar 41 % dan wanita 3,5 %. Di kalangan pria dewasa prevalensinya sebesar 67% dan wanita dewasa sebesar 2,7%.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menyatakan bahwa perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas cenderung meningkat dari 34,2% tahun 2007 menjadi 36,3% tahun 2013. Lebih lanjut, sebagian besar orang dewasa (78, 4%) terpapar asap rokok dalam rumah.Dijumpai 64,9 % laki-laki dan 2,1 % perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013. Ditemukan 1,4 % perokok umur 10-14 tahun, 9,9 % perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 % pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang). Untuk data proporsi penduduk umum ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok pada tahun 2013 di Provinsi Sulawesi Selatan ditemukan bahwa jumlah penduduk yang merokok setiap hari sebesar 22, 8% dari total penduduk dimana rata-rata konsumsi rokok sebanyak 14 batang sehari.

(26)

Berdasarkan data Tinjauan Ekonomi & Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 diketahui bahwa Kabupaten Bone merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar setelah kota Makassar dengan total jumlah penduduk 717.682 jiwa. Data dari dinas Kota Makassar tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 255. 835 kepala keluarga yang dipantau, terdapat 18% atau 48.339 kepala keluarga yang merokok dalam rumahnya. Sementara itu, kota pare-pare dengan jumlah penduduk paling rendah di Sulawesi Selatan juga menunjukkan 47 % atau 4.329 rumah tangga dari 9.185 rumah tangga yang ada anggota keluarganya merokok dalam rumah. Dibandingkan dengan kedua kota tersebut, data Dinas Kesehatan Kabupaten Bone sejak Januari – Oktober tahun 2014 menemukan sebanyak 56.251 rumah tangga yang dipantau dari total 126.862 jumlah rumah tangga, ditemukan 53% atau 30.194 rumah tangga yang anggota keluarganya merokok dalam rumah. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan yang cukup besar dalam kebiasaan merokok bagi penduduk di Kabupaten Bone. Ditemukan pula bahwa di antara 10 pola penyakit di Dinas Kesehatan Kabupaten Bone tahun 2013 menyatakan bahwa ada 2 pola penyakit terbesar yang terkait dengan perilaku merokok yakni hipertensi dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Berdasarkan studi awal hasil wawancara dengan dua orang mantan perokok di kota Watampone menyatakan bahwa upaya berhenti merokok tidak serumit apa yang perokok bayangkan. Bapak IM, 30 tahun,

(27)

PNS dan menjabat sebagai bendahara di kantor BP2T (Badan Pengelolaan Perizinan Terpadu) kota Watampone, beliau berhenti merokok karena mempertimbangkan masalah kesehatan. Bapak IM menyatakan bahwa proses untuk berhenti merokok cukup membutuhkan komitmen yang kuat untuk mau berhenti. Kemauan yang besar dari Bapak IM untuk berhenti juga karena secara emosional beliau akan membangun rumah tangga saat itu.

Mantan perokok lainnya, yakni Bapak MI, 48 tahun, PNS di kantor Badan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (KB & KS) Kota Watampone sebagai Kepala SubBidang Pembinaan Ketahanan Keluarga. sebelumnya mengonsumsi rokok hingga dua bungkus sehari. AS menyatakan bahwa alasan utama berhenti merokok itu datangnya dari diri sendiri, jika bukan karena kesadaran dan keyakinan yang kuat maka usaha untuk berhenti akan sia-sia.

Berdasarkan data-data penelitian dan wawancara awal tersebut, tentunya peneliti menyadari bahwa salah-satu proses penting dari upaya berhenti merokok adalah dengan meningkatkan efikasi diri dimana perilaku merokok bisa dihentikan melalui sumber tertentu yang datang dari dalam maupun luar individu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menggali upaya mantan perokok di kota Watampone yang berhasil berhenti merokok dilihat dari sumber pembentukan efikasi dirinya.

(28)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana sumber pembentuk efikasi diri dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sumber pembentuk efikasi diri dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis pengalaman keberhasilan dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone.

b. Untuk menganalisis pengalaman orang lain dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone.

c. Untuk menganalisis persuasi verbal dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone.

d. Untuk menganalisis keadaan fisiologis dan emosional dalam upaya berhenti merokok pada mantan perokok di kota Watampone

(29)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik efikasi diri yang berkaitan dengan rokok.

2. Manfaat Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau masukan dalam ilmu kesehatan masyarakat dalam upaya menangani masalah kesehatan terkait perilaku merokok melalui peningkatan efikasi diri dalam upaya berhenti merokok.

3. Manfaat Peneliti

Manfaat terhadap pengalaman ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan promosi kesehatan yang peneliti miliki.

4. Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya efikasi diri sebagai pendukung keberhasilan untuk mengontrol keinginan merokok.

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Teori Perubahan Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Karakteristik perilaku ada dua yaitu perilaku terbuka dan perilaku tertutup. Perilaku terbuka adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat bantu. Perilaku tertutup adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode tertentu misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut. (Notoatmodjo, 2003) Perubahan perilaku adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku dalam kehidupan ada tiga tahapan yaitu pengetahuan (knowledge) yakni merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sikap (attitude) adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau obyek. Praktik tindakan

(practice) merupakan tindakan yang terwujud. (Notoatmodjo, 2003)

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap ciri-ciri perilaku individu. Keturunan diartikan sebagai pembawaan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Lingkungan dalam pengertian psikologi adalah segala apa yang berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku.

(31)

Dalam ilmu kesehatan masyarakat, perilaku merokok merupakan perilaku yang terjadi dan bisa dihentikan melalui berbagai cara. Salah-satu teori perilaku kesehatan yakni Social Cognitif Theory dari Albert Bandura menyatakan bahwa kendali atas perasaan pribadi mempengaruhi perubahan pada perilaku kesehatan. Keyakinan akan efikasi diri sebagai bagian dari teori Social Cognitif Theory menentukan apakah perubahan perilaku kesehatan akan dimulai, berapa banyak usaha yang akan dilakukan dan berapa lama bisa dipertahankan dalam menghadapi berbagai halangan termasuk dalam perilaku berhenti merokok.

Pada awal 1980 James Prochaska dan Carlo DiClemente memperkenalkan konsep SCM (Stage of Change Model) untuk memahami perubahan perilaku. Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh beberapa pakar seperti Velicer, Fava, Norman, dan Redding, menjadi konsep yang lebih spesifik diteliti dan menjadi kerangka dalam menghentikan kebiasaan merokok (smoking cessation), konsep itu dinamakan transtheoretical model karena merupakan penggabungan dari konsep yang diteliti oleh masing masing dari ke-4 pakar namun dispesifikkan untuk smoking cessation. Lebih dulu James Prochaska dan Carlo DiClemente ini melihat perubahan perilaku sebagai proses yang meliputi lima tahap, yaitu pracontemplation (prakontemplasi),

contemplation (kontemplasi), preparation (persiapan), action (tindakan),

dan maintenance (pemeliharaan). DiClemente dkk (1985), menjelaskan bahwa intensi atau tahap perubahan perilaku untuk mengubah perilaku

(32)

bermasalah (atau memulai perilaku sehat) dalam waktu dekat (biasanya dihitung sebagai enam bulan berikutnya).

B. Tinjauan Umum tentang Rokok 1. Pengertian Rokok

Merokok merupakan aktifitas membakar tembakau kemudian menghisap asapnya menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Sumarno dan Mulyadi (2007) menjelaskan 2 cara merokok yang umum dilakukan, yaitu: (1) menghisap lalu menelan asap rokok ke dalam paru-paru dan dihembuskan; (2) cara ini dilakukan dengan lebih moderat yaitu hanya menghisap sampai mulut lalu dihembuskan melalui mulut atau hidung. Pendapat lainnya mengenai definisi merokok juga dikemukakan oleh Armstrong (2007) yaitu menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh lalu menghembuskannya keluar, sementara Levy (1984) mengatakan bahwa perilaku merokok adalah kegiatan membakar gulungan tembakau lalu menghisapnya sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang-orang di sekitarnya.

Berdasarkan definisi merokok yang telah dikemukakan di atas, disimpulkan bahwa merokok merupakan suatu aktifitas membakar gulungan tembakau yang berbentuk rokok ataupun pipa lalu menghisap asapnya kemudian menelan atau menghembuskannya

(33)

keluar melalui mulut atau hidung sehingga dapat juga terhisap oleh orang-orang di sekitarnya.

2. Kategori Perokok

Sitepoe (2000) mengkategorikan perokok berdasarkan jumlah konsumsi rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari), (b) perokok sedang (11 – 20 batang/ hari), (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Taylor (2009) menyebut istilah chippers untuk menjelaskan perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 5 batang/ hari dan biasanya chippers tidak menjadi perokok berat sehingga sangat kecil kemungkinan mengalami ketergantungan nikotin. Adapula tipe perokok yang disebut social smoker yaitu individu yang merokok hanya pada situasi sosial atau situasi tertentu misalnya saat bertemu dengan teman lama di suatu acara atau pesta. Situasi sosial tersebut bertindak sebagai isyarat atau pemicu untuk merokok (Hahn and Payne, 2003).

3. Bentuk Perilaku Merokok

Silvan Tomkins (dalam Aula, 2010) menyebutkan 4 tipe perilaku merokok, yaitu:

1. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif (positif

affect smoking). Tujuannya untuk mendapatkan/ meningkatkan

perasaan positif, misalnya untuk mendapatkan rasa nyaman dan membentuk image yang diinginkan.

(34)

2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif (negatif

affect smoking). Tujuannya untuk mengurangi perasaan yang

kurang menyenangkan, misalnya keadaan cemas dan marah. 3. Perilaku merokok yang adiktif (addictive smoking). Individu yang

sudah ketergantungan nikotin cenderung menambah dosis rokok yang akan digunakan berikutnya karena efek rokok yang dikonsumsi sebelumnya mulai berkurang sesaat setelah rokok habis dihisap sehingga individu mempersiapkan hisapan rokok berikutnya. Umumnya, individu dengan tipe perilaku merokok yang adiktif merasa gelisah bila tidak memiliki persediaan rokok.

4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan (habitual

smoking). Dalam hal ini, tujuan merokok bukan untuk mengendalikan perasaannya secara langsung melainkan karena sudah terbiasa.

4. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Merokok

Taylor (2009) mengatakan bahwa kumpulan teman sebaya dan anggota keluarga yang merokok menimbulkan persepsi bahwa merokok tidak berbahaya sehingga meningkatkan dorongan untuk merokok. Perokok berpendapat bahwa berhenti merokok merupakan hal yang sulit, meskipun mereka sendiri masih tergolong sebagai perokok yang baru. Ada beberapa alasan sehingga perokok tetap merokok, antara lain: pengaruh anggota keluarga yang merokok, untuk mengontrol berat badan, membantu mengatasi stres, self esteem yang

(35)

rendah dan pengaruh lingkungan sosial (Floyd, Mimms dan Yelding, 2003). Selain itu, rendahnya self efficacy (keyakinan terhadap kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik) khususnya yang berkaitan dengan perilaku merokok yaitu keyakinan terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok sangat berpengaruh terhadap berlanjutnya perilaku merokok (Bandura, 1977).

5. Tahapan menjadi Perokok

Merokok tidak terjadi dalam sekali waktu karena ada proses yang dilalui, antara lain: periode eksperimen awal (mencoba-coba), tekanan teman sebaya dan akhirnya mengembangkan sikap mengenai seperti apa seorang perokok (Taylor, 2009). Ada 4 tahapan yang merupakan proses menjadi perokok (Ogden, 2000) antara lain:

1. Tahap I dan II : Initiation dan Maintenance

Tahap initiation dan maintenance cukup sulit dibedakan. Initiation merupakan tahap awal atau pertama kali individu merokok sedangkan maintenance merupakan tahap dimana individu kembali merokok. Charlton (dalam Ogden, 2000) mengatakan bahwa merokok biasanya dimulai sebelum usia 19 tahun dan individu yang mulai merokok pada usia dewasa jumlahnya sangat kecil. Faktor kognitif berperan besar ketika individu mulai merokok, antara lain: menghubungkan perilaku merokok dengan kesenangan, kebahagiaan, keberanian, kesetia-kawanan dan percaya diri. Faktor lainnya adalah memiliki orang-tua perokok, tekanan teman

(36)

sebaya untuk merokok, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya kebijakan sekolah terhadap perilaku merokok. 2. Tahap III: Cessation

Cessation merupakan suatu proses dimana perokok pada akhirnya

berhenti merokok. Tahap cessation terbagi 4, yaitu:

precontemplation (belum ada keinginan berhenti merokok), contemplation (ada pemikiran berhenti merokok), action (ada usaha

untuk berubah), maintenance (tidak merokok selama beberapa waktu). Tahapan tersebut bersifat dinamis karena seseorang yang berada di tahap contemplation dapat kembali ke tahap

precontemplation.

3. Tahap IV : Relapse

Individu yang berhasil berhenti merokok tidak menjadi jaminan bahwa ia tidak akan kembali menjadi perokok. Marlatt dan Gordon (dalam Ogden, 2000) membedakan antara lapse dengan relapse.

Lapse adalah kembali merokok dalam jumlah kecil sedangkan relapse adalah kembali merokok dalam jumlah besar. Ada

beberapa situasi yang mempengaruhi pre-lapse yaitu high risk

situation, coping behavior dan positive-negative outcome expectancies.

Saat individu dihadapkan dengan high risk situation maka individu akan melakukan strategi coping behavior berupa perilaku atau kognitif. Bentuk perilaku misalnya menjauhi situasi atau melakukan

(37)

perilaku pengganti (makan permen karet) sedangkan bentuk kognitif adalah mengingat alasan berhenti merokok. Positive outcome

expectancies (misalnya merokok mengurangi kecemasan) dan negative outcome expectancies (misalnya merokok membuatnya sakit)

dipengaruhi pengalaman individu. No lapse berhasil dilakukan jika individu memiliki strategi coping dan negative outcome expectancies serta peningkatan efikasi diri yang mempengaruhi individu tetap bertahan untuk tidak merokok. Namun, jika individu tidak memiliki strategi coping dan memiliki positive outcome expectancies serta efikasi diri yang rendah maka individu akan mengalami lapse (kembali merokok dalam jumlah kecil).

6. Alasan Berhenti Merokok

Terdapat banyak alasan untuk berhenti merokok atau mencoba untuk berhenti merokok. Kaplan, Sallis, dan Patterson (1993) telah merangkum alasan-alasan umum yang biasa digunakan seorang perokok untuk berniat mengakhiri perilaku merokoknya, antara lain : a. Kesehatan, baik kesehatan diri sendiri ataupun orang lain.

Berbagai macam penyakit kronis dari asap rokok tidak hanya akan diderita oleh para perokok tapi juga akan diderita oleh orang lain di sekitar perokok.

b. Penerimaan sosial. Individu berhenti merokok untuk menghindar dari komentar buruk teman, rekan kerja dan bahkan orang asing.

(38)

c. Biaya atau keuangan, karena anggaran untuk menunjang perilaku merokok tidak murah.

d. Untuk menjadi contoh / teladan yang baik, bagi anak-anak dan keluarga. Seorang anak yang orang tuanya merokok memiliki kecenderungan besar untuk merokok. Demi usia lanjut, banyak orang berkeinginan untuk hidup lebih lama pada masa tuanya.

7. Metode Penghentian Kebiasaan Merokok

Ada dua metode yang selama ini dikembangkan para ahli dalam dunia rokok untuk menghentikan kecanduan terhadap rokok yakni metode yang mengandalkan perubahan perilaku dan metode yang mengandalkan terapi obat-obatan, berikut penjelasannya:

1. Metode yang mengandalkan perubahan perilaku

Yang dimaksud metode perilaku dalam menghentikan kebiasaan merokok adalah bahwa perokok berubah tanpa bantuan obat-obatan.

2. Metode ‘Cold Turkey‟

Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan paling mudah dimengerti tetapi juga paling banyak terjadi kegagalan. Caranya adalah tinggal berhenti saja. Metode ini tidak menggunakan perencanaan yang panjang. Perokok cukup menentukan kapan dia akan melakukannya (Jacken, 2002).

(39)

1. Cognitive Behavioral Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif Inti dari pendekatan ini ialah pengetahuan atau kesadaran akan perilaku menjadi dasar untuk merubah perilaku ke arah yang diinginkan. Perokok hanya akan merubah perilaku buruk merokok kalau dia tahu bahwa merokok itu buruk. Dengan pengetahuan itu, dia berusaha merubah perilaku dari suka merokok menjadi berhenti merokok dengan mengetahui sifat atau keadaan yang menyebabkan dia merokok (Jacken, 2002). 2. Aversive Conditioning atau Pengkondisian Berbalik

Teknik memasangkan (pairing) sebuah stimulus atau masukan yang negatif (bisa perilaku atau pikiran) dengan perilaku yang ingin dirubah. Sulit dipahami, tetapi contoh ini bisa membantu misalnya merokok terus menerus tanpa berhenti sampai muntah, saat sedang merokok membayangkan hal buruk akibat merokok, membuat kontrak pengeluaran uang (Jacken, 2002). 3. Self help program, konseling individu, konseling kelompok,

konseling via telepon, konseling via web-based (Modul 3

Tobacco Education Program).

3. Metode yang Mengandalkan Terapi dan Obat-Obatan

1. Nicotine Replacement Therapy atau Terapi Penggantian Nikotin. Dalam metode ini, nikotin yang biasanya didapat dari rokok diganti sumbernya dengan nikotin yang didapat dari kulit (susuk nikotin atau transedental nicotine), mukosa hidung

(40)

(nikotin sedot hidung), dan mukosa mulut (permen karet nikotin) (Jacken, 2002). Di Indonesia pada akhir tahun 2003 beredar obat NiQuitin plester (7 mg, 14 mg dan 21 mg). Untuk perokok sedang dan berat, pengobatan diberikan selama 10 minggu dengan pengurangan dosis bertahap; Harga 1 paket tanpa biaya konsultasi adalah Rp 1.478.400, dan untuk perokok ringan, pengobatan diberikan selama 8 minggu, harga 1 paket pengobatan tanpa penghitungan biaya konsultasi adalah Rp 1.062.600.- (WHO, 2012)

2. Pemberian obat-obatan bukan nikotin yakni tablet Varenicline yaitu obat generasi baru yang khusus dikembangkan untuk obat berhenti merokok (Nama dagangnya adalah Champix) dan pengobatan selama 12 minggu (starter pack 1-2 minggu, maintenance 3-12 minggu). (WHO, 2012)

4. Metode Akupuntur dimana perokok hanya diberi ketukan pada titik-titk meridian diantara organ tubuh perokok dengan cara memicu pelepasan endorfin (penghilang rasa sakit alami) yang membantu tubuh untuk rileks dan mengelola gejala penarikan merokok. (Aula, 2010)

5. Metode hipnotis digunakan karena mampu merubah perilaku orang secara setengah sadar tetapi sukarela. Artinya, jika pada saat

trance (tidak sadar diri) dia diberi intervensi oleh penghipnotis

(41)

dia sadar kembali, besar kemungkinan dia akan berhenti, sekalipun dia tidak tahu siapa yang menyuruhnya berhenti (Jacken, 2002). 6. Metode 5As. Metode 5As merupakan metode yang dipakai untuk

mengatasi perokok kronis yang biasanya datang pada tempat pelayanan kesehatan karena sakit yang diakibatkan rokok (Sadikin dan Louisa 2008).

Kurt Salzer (1950:59) dalam Amiruddin dan Hasmi (2014) mengemukakan ada 13 metode berhenti merokok yaitu:

a. Menyadari apa sebabnya anda merokok. b. Langsung berhenti merokok.

c. Jangan merokok waktu melakukan sesuatu atau sewaktu mengemudikan kendaraan.

d. Katakan kepada diri sendiri ― saya tidak akan merokok hari ini‖. e. Tentukan suatu hari untuk berhenti merokok.

f. Katakan ―ya‖ bagi kesehatan anda, dan katakan ―tidak‖ untuk penyakit.

g. Katakan ―ya‖ untuk kecantikan muka anda dan ―tidak‖ atas kerusakan kecantikan karena rokok.

h. Adalah watak orang-orang muda, bahwa walaupun ada sifat menentang ibu – bapak atau guru, namun mencoba meniru mereka.

i. Pernahkah anda membakar uang lembaran seribu rupiah ? Anda, dengan merokok telah membuatnya.

(42)

j. Seorang perokok telah terbiasa dengan kadar nikotin tertentu. k. Tersedak atau ketegukan akan berhenti dengan memperhatikan

diafragma anda, bagaimana diafragma itu mengembang dan mengempis.

l. Bayangkanlah anda tidak akan merokok lagi, dan jangan bimbang.

C. Tinjauan Umum tentang Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri (Self Efficacy)

Efikasi diri merupakan satu kesatuan arti yang diterjemahkan dari bahasa Inggris, self efficacy. Menurut kamus Oxford, self efficacy atau efikasi diri adalah a situasion specific form of self confidence atau bentuk situasi yang spesifik dari kepercayaan diri. Konstruk tentang efikasi diri diperkenalkan pertama kali oleh Bandura dalam

Psychological Review nomor 84 tahun 1986. (Bandura, 1995).

Dasar teori efikasi diri (self efficacy) dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh presiden American Psychology Association (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura (1977). Teori kognitif sosial berasumsi, setiap orang mampu mengatur tingkah lakunya sendiri, Pendekatan social cognitive theory menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik (reciprocal

determinism) yang terus-menerus antara tiga faktor, yaitu: perilaku

(behavior), faktor kognitif dan personal (person), dan pengaruh lingkungan (environment), yang masing-masing beroperasi secara

(43)

mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. (Bandura, 1977).

Bandura (1995) mengatakan, efikasi diri secara eksplisit berhubungan dengan diri dalam arah hubungan kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus, sebagai prediktor kuat tentang perilaku. Secara kontekstual, Bandura menyatakan efikasi diri (self-efficacy) sebagai: ―beliefs in one‟s capabilities to mobilize the

motivation, cognitive resources, and courses of action needed to meet given situational demands‖. Efikasi diri adalah keyakinan terhadap

kemampuan seseorang untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi.

Efficacy didefenisikan sebagai kapasitas untuk mendapatkan

hasil atau pengaruh yang diinginkannya, dan self sebagai orang yang dirujuk (Wallatey, 2001:2). Peterson (2004) tentang teori sosial kognitif menjelaskan bahwa self efficacy atau efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan tentang efikasi diri akan memberikan dasar motivasi, kesejahteraan dan prestasi seseorang. Bandura (1994) mendefinisikan efikasi diri (self

efficacy) sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk

melakukan sesuatu dengan baik. Individu yang tidak yakin dengan kemampuannya untuk mencapai hasil yang baik maka ia tidak akan

(44)

mencurahkan usahanya untuk melakukan sesuatu hal secara maksimal.Efikasi diri (self efficacy) tidak hanya berfokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy yang tidak hanya berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada keyakinan untuk melakukannya dengan baik (Bandura, 1994). Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan efikasi diri (self efficacy) sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

Berdasarkan beberapa definisi efikasi diri (self efficacy) yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri (self

efficacy) adalah keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk

melakukan suatu tindakan tertentu dengan baik (meliputi pola pikir, motivasi dan afeksi serta fisiologis) sehingga individu berusaha menampilkan hal terbaik yang bisa dilakukannya guna mencapai suatu hasil atau tujuan secara maksimal.

Schwarzer & Fuchs (1996) memberikan perhatian khusus dengan apa yang terjadi setelah orang merumuskan niat untuk mengubah perilaku mereka dan menyampaikan perspektif regulasi diri mereka secara eksplisit.

(45)

Bagan 1. Pendekatan Proses Tindakan Kesehatan.

Bagan menunjukkan tiga prediktor perubahan perilaku (dalam oval) dan tahapan perubahan (dalam persegi panjang); yang berbayang persegi panjang menyoroti fase aksi perubahan perilaku.

2. Sumber Pembentuk Efikasi Diri (Self Efficacy)

Bandura (1995) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self

efficacy antara lain: performance accomplishment / mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta Physiological feedback and emotional arousal (umpan balik fisiologis dan keadaan

emosional).

a. Performance Accomplishment (pencapaian prestasi) atau Mastery

Experiences (pengalaman keberhasilan): merupakan pengalaman

belajar yang diperoleh melalui learning by doing atau experimental

learning. Menurut Bandura (1994), mastery experiences Efikasi diri yang dirasakan Persepsi risiko Hasil

harapan Niat perencanaan insiatif pemeliharaan

pemulihan

pelepasan

tindakan

(46)

merupakan sumber terbesar dalam pembentukan efikasi diri (self

efficacy) karena aspek ini didasarkan pada pengalaman

keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya efikasi diri (self efficacy) yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara lain: (1) banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami; (2) persepsi terhadap tingkat kesulitan; (3) usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan; (4) pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat; dan (5) banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.

Apabila keberhasilan yang didapat seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Akan tetapi jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan efikasi dirinya. Faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman yang dialami individu secara langsung dalam upaya berhenti merokok. Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan di masa lalu maka dapat meningkatkan efikasi dirinya.

b. Vicarious Experiences (pengalaman orang lain): efikasi diri (self

(47)

orang lain. Saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki kemampuan yang sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil. Peran vicarious

experience terhadap efikasi diri (self efficacy), sangat dipengaruhi

oleh persepsi individu terhadap dirinya yang memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi efikasi diri (self efficacy).

Pengamatan terhadap perilaku dan cara berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam berhenti merokok dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat meningkatkan efikasi dirinya. Individu yang pada awalnya memiliki efikasi diri yang rendah untuk berhenti merokok akan sedikit berusaha untuk dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh orang lain.

c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal): efikasi diri (self efficacy) juga dapat ditingkatkan melalui pernyataan yang disampaikan orang lain secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui proses persuasi verbal, sifatnya lemah dan biasanya untuk jangka waktu yang singkat. Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus menerus akan membentuk keyakinan yang relatif menetap.

(48)

Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan untuk berhenti merokok sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk berhenti merokok.

d. Physiological feedback and emotional arousal (keadaan fisiologis dan emosional): Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu. Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang ketergugahan emosi yang tinggi lebih mampu bersikap tenang menghadapi suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik.

Selain itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya. Orang yang memunyai keyakinan keberhasilan yang tinggi akan memunyai kemauan yang efektif sebagai fasilitator dalam melakukan kegiatan, dan begitupun sebaliknya. Kecemasan dan

(49)

stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan somatik lainnya. Efikasi diri biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan sebaliknya efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi. Seseorang akan lebih mungkin berhasil berhenti merokok jika tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan misalnya cemas, tegang, stress, lelah, sakit, nyeri dan lain-lain, karena dapat mempengaruhi keberhasilan individu tersebut untuk berhenti merokok.

3. Proses Pembentukan Efikasi Diri (Self Efficacy)

Bandura (1994; 1995) menyebutkan bahwa ada empat proses pembentukan efikasi diri yaitu proses kognitif, proses motivasional, proses afektif dan seleksi yang berlangsung sepanjang kehidupan. a. Cognitive Processes (proses kognitif): perilaku diatur oleh

pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan, dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap kemampuan diri. Semakin tinggi efikasi diri (self efficacy), maka semakin tinggi tujuan yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang memiliki efikasi diri (self efficacy) yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang memberikan petunjuk positif dan

(50)

dukungan terhadap performa. Individu yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.Dalam proses kognitif, banyak perilaku individu yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang dipikirkan. Penetapan tujuan individu dipengaruhi oleh penilaian kemampuan diri. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan.

b. Motivational Processes (Proses Motivasional)

Efikasi diri (self efficacy) memiliki peran penting dalam motivasi yang mana merupakan hasil kognitif. Individu memotivasi dirinya dan membimbing tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki efikasi yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efikasi yang rendah menghubungkan kegagalan dengan kemampuan yang rendah. Dalam teori expectancy value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil tindakannya.

(51)

Efikasi diri (self efficacy) berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.

c. Affective Processes (Proses Afektif)

Keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami pada situasi atau kondisi yang sulit. Individu yang tidak yakin terhadap kemampuannya dalam mengontrol ancaman, memandang lingkungan sebagai sesuatu yang berbahaya. Individu memperbesar tingkat kemungkinan keparahan dan khawatir terhadap hal yang jarang terjadi, sedangkan individu yang memiliki

self efficacy yang tinggi memiliki keberanian dalam melakukan

kegiatan yang beresiko. Kecemasan tidak hanya dipengaruhi oleh koping efikasi, namun juga keyakinan untuk mengontrol pemikiran yang mengganggu. Efikasi diri yang dirasakan yang berkaitan dengan mengontrol proses pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory efficacy yang dimiliki individu, maka semakin besar kesuksesan dalam mengurangi kebiasaan yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta

(52)

mengintegrasikan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya hidup rutin. Proses afektif dalam upaya berhenti merokok dilakukan melalui keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya dalam mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami pada situasi atau kondisi yang sulit untuk berhenti merokok.

d. Selection Processes (Proses Selektif)

Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan koping mereka, namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat, individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan adalah salah satu contoh kekuatan efikasi diri untuk mempengaruhi jalan kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi efikasi diri yang dirasakan maka semakin luas pilihan karir, semakin besar minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka. Proses selektif dalam upaya berhenti merokok dilakukan melalui pembentukan lingkungan yang kondusif dalam berhenti merokok dan individu

(53)

berupaya mempertahankannya. Proses seleksi ditentukan oleh tipe aktifitas dan lingkungan yang dipilihnya dalam upaya berhenti merokok.

4. Pengaruh Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Tingkah Laku

Efikasi diri (self efficacy) merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku. Selain itu, efikasi diri (self efficacy) juga memiliki manfaat yang cukup besar dalam kehidupan individu, diantaranya sebagai berikut (Bandura, 1994; 1995):

a. Tindakan individu, efikasi diri (self efficacy) menentukan kesiapan individu dalam merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan diri tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus dilakukannya.

b. Usaha, efikasi diri (self efficacy) mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan individu untuk mencapai tujuannya.

c. Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan dan kegagalan. Individu dengan efikasi diri (self efficacy) yang tinggi memunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan serta dengan mudah mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan.

d. Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman, individu dengan efikasi diri (self efficacy) tinggi menganggap perilaku tertentu sebagai suatu tantangan, bukan

(54)

merupakan sesuatu yang harus dihindari dan tetap berkonsentrasi penuh pada tujuan yang ingin dicapai.

e. Pola piker: individu yang memiliki efikasi diri (self efficacy) yang tinggi, memiliki pola pikir yang positif. Saat menghadapi permasalahan ia mampu membuat perencanaan untuk penyelesaian masalah dan menganggap kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda serta tidak menyesali kegagalannya tersebut.

f. Motivasi diri: individu yang memiliki efikasi diri (self efficacy) yang tinggi akan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dalam melakukan segala usahanya dan tidak mudah menyerah dalam mencapai keinginannya.

g. Pembentukan perilaku: individu yang memiliki efikasi diri (self

efficacy) yang tinggi akan selalu menerapkan apa yang dapat

dilakukannya dalam menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

h. Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan. Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

(55)

D. Tinjauan Umum tentang Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu

Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku

Terpadu merupakan integrasi dari Theory of Reasoned Action dan

Theory of Planned Behavior. Theory of Reasoned Action pertama kali

dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980. Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam Theory of Reasoned Action ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards

behavior) dan yang kedua berhubungan dengan pengaruh sosial

yaitu norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs).

Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan pengembangan

lebih lanjut dari TRA. Ajzen (1988) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu kontrol perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan dalam

(56)

upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain, dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut (control beliefs).

Faktor penentu yang paling penting dari perilaku dalam

Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu

adalah niat untuk berperilaku. Tanpa niat, seseorang tidak mungkin melaksanakan perilaku yang diharapkan. Ada empat komponen dalam Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu yang secara langsung mempengaruhi perilaku. Empat komponen tersebut menentukan apakah niat berperilaku dapat mempengaruhi kinerja perilaku. Dengan demikian, perilaku tertentu yang paling mungkin terjadi jika (1) seseorang memiliki niat yang kuat untuk melakukan itu dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk melakukannya, (2) tidak ada kendala lingkungan yang serius dalam mencegah kinerja, (3) perilaku tersebut penting, dan (4) orang tersebut telah melakukan perilaku itu sebelumnya.

Semua komponen dan interaksi tersebut penting untuk dipertimbangkan ketika merancang intervensi untuk meningkatkan perilaku kesehatan. Dengan demikian, untuk merancang intervensi

(57)

yang efektif untuk mempengaruhi niat berperilaku, lebih dulu perlu ditentukan sejauh mana niat ditentukan oleh:

a. attitude / sikap (experiential and instrumental attitude) adalah keseluruhan sifat menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dirasakan seseorang untuk menjalankan perilaku.

b. norma subjektif (perceived norm : injunctive and descriptive) mencerminkan tekanan sosial yang dirasakan seseorang untuk menjalankan atau tidak menjalankan perilaku tersebut. Konsep ini menyangkut identitas sosial yang kuat dalam budaya tertentu yang merupakan indikator pengaruh normatif.

c. self-efficacy diuraikan sebagai pengaruh seseorang untuk bertahan pada fungsinya sendiri dan peristiwa lingkungan,

Selain itu ditambahkan bahwa niat ditentukan pula oleh:

a. Adanya lingkungan yang membatasi akan mempengaruhi suatu perilaku untuk dilaksanakan.

b. Perilaku harus penting (salient) bagi orang tersebut.

c. Pengalaman menjalankan perilaku dapat menjadi kebiasaan sehingga dalam hal ini niat menjadi hal yang kurang penting. Jadi, pada Integrated Behavioral Model (IBM) atau Model Perilaku Terpadu bahwa semakin kuat keyakinan seseorang dalam menjalankan suatu perilaku akan memberikan pengaruh terhadap hasil positif dan mencegah hasil negatif, maka akan semakin menyenangkan sikapnya menjalankan perilaku tersebut (Glanz, Rimer, Viswanath, 2008).

(58)

E. Tabel Sintesa

NO. PENELITI

(TAHUN)

JUDUL KARAKTERISTIK TEMUAN

SUBJEK INSTRUMEN METODE

DESAIN

1 Nurhidayati Fawzani, Atik Triratnawati (2005)

Terapi Berhenti Merokok (Studi Kasus 3 Perokok Berat)

Perokok wawancara Studi kasus Modal utama sukses berhenti merokok adalah niat dan tekad perokok itu sendiri. Alasan untuk berhenti merokok adalah faktor kesehatan (hipertensi, demam tinggi, batuk-batuk, dan nyeri dada), organisasi keagamaan, dan keluarga (keluarga informan yang mengikuti jejaknya sebagai perokok). Di samping itu, informan juga memunyai balita yang seharusnya tidak boleh terkena asap rokok.

2 Saeksan Siriphadung (2006)

Self-efficacy, personality and smoking behavior among male outpatients at Paholpolpayuhasena General Hospital, Kanchanaburi, Thailand pasien rawat jalan yang merokok, mantan perokok dan tidak merokok kuesioner cross sectional

prevalensi merokok di kalangan pasien rawat jalan laki-laki adalah 30,95%. Efikasi diri ditemukan secara signifikan berhubungan dengan perilaku merokok. Faktor sosiodemografi (usia pasien, prestasi pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan bulanan) ditemukan secara signifikan terkait dengan perilaku merokok.

3 S.O. Momoh, H.O. Imhonde, E. Omagbe (2008)

The Role of Gender,

Self-Efficacy, Age and

Extroversion on Smoking Behaviour among Ambrose Alli University Students, Ekpoma, Nigeria

Mahasiswa perokok

kuesioner Multi analisis

Penelitian ini menguji peran gender, efikasi diri, usia dan keterbukaan terhadap perilaku merokok di kalangan Mahasiswa Ambrose Alli. 250 mahasiswa berpartisipasi dalam studi dimana salah-satu hasil menunjukkan bahwa efikasi diri signifikan ketika mempertimbangkan sikap terhadap perilaku merokok (t = 3,256, df = 248, P = <.05). Berdasarkan temuan penelitian ini direkomendasikan bahwa efikasi diri dan gender dianggap penting dalam mempertimbangkan berhenti merokok.

4 Rachel A. Scheiding (2009)

The relationship between smoking cessation and self-efficacy

perokok dewasa

Kuesioner cross sectional

efikasi diri adalah indikator yang baik untuk program sukses berhenti merokok di masa depan, dan efikasi diri yang tinggi juga mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar untuk berhenti merokok.

Referensi

Dokumen terkait

dari materi pelatihan, trainer, metode pelatihan, ketertarikan pribadi peserta pelatihan dan self-efficacy peserta pelatihan secara keseluruhan/secara bersarna-

Artinya dalam suatu projek itu kan tidak yang melulu berhasil adakalanya juga gagal Gini kalau secara pribadi 2 tahun saya bekerja sama saya nggka pernah melihat itu tapi kalo

Sehingga kebiasaan orang tua merupakan faktor penguat responden untuk merokok. Iklan rokok dan perilaku merokok berhubungan secara

Sebagai orang tua, peran mereka sangat penting dalam menentukan arah masa depan kehidupan anaknya, karena anak merupakan pribadi yang tumbuh dari hasil pengalaman

“hijrah meninggalkan ya sedangkan secara istilah seseorang meninggalkan kebiasaan yang buruk menuju kebiasaan yang baik atau diam berhijrah dari hal-hal yang dilarang

merasa tidak melakukan dosa (1 Yoh 1:9), maksudnya adalah mereka yang menganggap mereka sudah hidup suci dan berbuat baik setiap saat.. Dosa berdampak buruk pada komunitas

Hasil penelitian pada variabel pemahaman dampak buruk rokok ini dapat digambarkan secara sederhana dari hasil pengkategorian tersebut pada 57 responden, didapatkan

Itu juga ditemukan bahwa kinerja akademik siswa yang memiliki kebiasaan belajar yang baik dan yang buruk berbeda secara dan kebiasaan belajar yang baik menghasilkanprestasi akademik