• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan ini menguraikan hasil penelitian mengenai profil petani dan peran kelompok tani di Desa Gempol Sari Tangerang. Pada penelitian ini profil individu dilihat dari karakteristik individu dan karakteristik usahatani. Penelitian ini berkaitan dengan pelaksanaan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang melibatkan kelompok tani sebagai kelembagaan yang menyalurkan dana bantuan modal usaha kepada petani anggota. Pada peran kelompok tani yang merujuk pada Departemen Pertanian (2007) meliputi peran kelompok sebagai kelas belajar, peran kelompok sebagai wahana kerjasama, dan peran kelompok sebagai unit produksi.

Karakteristik Individu

Umur responden laki-laki maupun perempuan berada pada kelompok umur dewasa pertengahan dengan persentase 67 persen laki-laki dan 64 persen perempuan. Meskipun demikian, terdapat sembilan persen laki-laki dan 18 persen perempuan pada umur dewasa awal. Dari sisi pendidikan formal, laki-laki dan perempuan berada pada ketegori rendah dengan persentase 76 persen laki-laki dan 100 persen perempuan. Kategori tingkat lama bertani mayoritas laki-laki berada pada kategori tinggi sebesar 40 persen sedangkan perempuan pada kategori rendah sebesar 60 persen.

Tabel 3 Profil petani menurut karakteristik individu Desa Gempol Sari, 2014

No. Karakteristik individu Laki-laki Perempuan

n % n %

1 Umur

Dewasa awal (18-29 tahun) 3 9 3 18

Dewasa pertengahan (30-50 tahun) 22 67 11 64

Dewasa tua (≥50 tahun) 8 24 3 18

Total 33 100 17 100

2 Tingkat pendidikan formal

Rendah (0-6 tahun) 25 76 17 100

Sedang (7-12 tahun) 8 24 0 0

Tinggi (≥ 13 tahun) 0 0 0 0

Total 33 100 17 100

3 Tingkat lama bertani

Rendah (≤ 8 tahun) 9 27 10 60

Sedang (9-14 tahun) 11 33 1 5

Tinggi (≥ 15 tahun) 13 40 6 35

Tabel 3 menunjukan bahwa mayoritas petani di Desa Gempol Sari berada pada kelompok umur dewasa pertengahan. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan umur dewasa pertengahan termasuk kedalam usia kerja (15-64 tahun). Oleh karena itu petani di Desa Gempol Sari masih produktif untuk melakukan usahatani. Meskipun demikian terdapat delapan orang laki-laki dan tiga orang perempuan yang berada pada kelompok umur dewasa tua. Hal tersebut terjadi karena menurut mereka, bagi laki-laki bertani sudah menjadi bagian hidup mereka sejak kecil dan hanya dengan bertani mereka dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Pada perempuan yang berumur dewasa tua mereka berstatus janda sehingga perlu bekerja untuk mendapatkan penghasilan agar terpenuhi kebutuhan sehari-hari. Para perempuan mengatakan bahwa menjadi kuli cabut merupakan pekerjaan yang cocok untuk mereka yang sudah berumur dewasa tua karena mudah untuk melakukannya.

Pada tingkat pendidikan formal, laki-laki dan perempuan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Meskipun demikian, pendidikan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebesar 100 persen perempuan berpendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa akses pendidikan laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Selain itu juga menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasikan dalam hal pendidikan. Adanya anggapan bahwa setinggi-tingginya pendidikan perempuan nanti akan kembali ke dapur juga, menurut Fakih (1996) merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam rumah tangga.

Pada tingkat lama bertani, laki-laki lebih lama bekerja sebagai petani dibandingkan perempuan. Sebanyak 13 orang laki-laki bekerja sebagai petani lebih dari 15 tahun. Pada perempuan hanya sebanyak enam orang yang bekerja lebih dari 15 tahun. Mayoritas perempuan lama bertani kurang dari delapan tahun. Hal tersebut terjadi karena perempuan mulai bertani sejak mereka menikah karena untuk membantu pendapatan rumah tangga. Selain itu perempuan mulai bertani ketika anak-anak mereka sudah tidak pada umur balita sehingga sudah dapat ditinggal pergi ke sawah, karena mengurus anak merupakan tanggung jawab perempuan (istri). Hal itu menunjukkan bahwa perempuan berada peran transisi, yaitu mengutamakan wanita pada fungsi reproduksi (Elizabeth 2007).

Karakteristik Usahatani

Laki-laki dengan persentase terbesar 79 persen memiliki lahan garapan yang sempit. Perempuan dengan persentase terbesar 94 persen juga memiliki lahan yang sempit. Pada tingkat pendapatan usahatani sebanyak delapan orang laki-laki berada pada tingkatan rendah dan tinggi, sedangkan sebanyak 17 orang dari 33 orang pada tingkatan sedang. Perempuan lebih banyak pada pendapatan usahatani yang rendah yaitu sebesar 59 persen, sedangkan laki-laki pada tingkatan pendapatan yang sedang. Pada karakteristik tingkat akses dan penerapan teknologi, terdapat 67 persen responden laki-laki tingkat akses dan penerapan teknologi yang yang sedang yaitu menggunakan cangkul dan traktor. Pada responden perempuan sebanyak 59 persen menggunakan tingkat akses dan penerapan teknologi yang masih rendah yaitu menggunakan arit.

Tabel 4 Profil petani menurut karakteristik usahatani Desa Gempol Sari, 2014 No. Karakteristik usahatani Laki-laki Perempuan

n % n %

1 Luas lahan garapan

Sempit (< 0,5 Ha) 26 79 16 94

Menengah ( 0,5-1 Ha) 4 12 1 6

Luas (> 1 Ha) 3 9 0 0

Total 33 100 17 100

2 Tingkat pendapatan usahatani

Rendah (< Rp.1.635.000) 8 24 10 59

Sedang (Rp.1.636.000-

Rp.3.334.000) 17 52 5 29

Tinggi (> Rp.3.335.000) 8 24 2 12

Total 33 100 17 100

3 Tingkat akses dan penerapan teknologi

Rendah (cangkul,arit dan kerbau) 1 3 9 53

Sedang (cangkul dan traktor) 22 67 7 41

Tinggi (traktor dan triseda) 10 30 1 6

Total 33 100 17 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki lahan garapan yang sempit. Luas lahan garapan mereka mayoritas dibawah 0,5 hektar dan lahan yang mereka garap merupakan lahan sewa. Perempuan hanya satu orang yang memiliki luas lahan garapan menengah yaitu sekitar 0,5-1 hektar karena suami perempuan tersebut juga melakukan usahatani. Sebagian dari responden laki-laki yang memiliki lahan sempit karena mereka juga memiliki pekerjaan selain usahatani, seperti berdagang bahkan berdagang merupakan pekerjaan utama sebagian dari mereka. Selain itu, juga karena laki-laki tidak hanya menjadi petani pemilik tetapi juga penggarap. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pendapatan usahatani perempuan lebih rendah dibandingkan pendapatan usahatani laki-laki. Hal tersebut terjadi karena perempuan dalam kegiatan usahatani hanya bekerja sebagai buruh tani dengan dibayar sebesar Rp.25.000,- per hari. Jika dihitung dalam jangka waktu satu bulan perempuan hanya memiliki pendapatan sebesar Rp.750.000,- per bulan. Angka pendapatan tersebut masih dibawah angka UMR (Upah Minimum Regional) di Kabupaten Tangerang yaitu sebesar Rp 2.442.000,-.

Tingkat akses dan penerapan teknologi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena perempuan hanya sebagai kuli cabut sehingga peralatan yang digunakan masih peralatan tradisional yang sederhana seperti arit. Berbeda dengan laki-laki yang melakukan kegiatan usahatani mulai dari mempersiapkan lahan, menanam hingga memasarkan. Seperti dikutip dari Hubeis (2010) yang menyatakan bahwa pada aktivitas pertanian kegiatan membajak atau menggunakan mesin merupakan peran laki- laki, sedangkan pekerjaan menanam, menyiangi dan pekerjaan lainnya yang dianggap ringan merupakan peran perempuan.

Pendapat Responden tentang Peran Poktan

Hasil penelitian memberikan data mengenai tingkat kapasitas dalam pembelajaran pada laki-laki dan perempuan. Kategori tinggi pada tingkat kapasitas dalam pembelajaran terdapat pada responden laki-laki yaitu sebesar 58 persen, sedangkan perempuan hanya sebesar 12 persen. Responden perempuan paling besar pada kategori rendah sebesar 59 persen dibandingkan laki-laki yang hanya sembilan persen. Pada tingkat kapasitas dalam kerjasama terdapat 53 persen perempuan pada kategori rendah, sedangkan laki-laki 73 persen berada pada kategori sedang. Setelah itu, pada tingkat kapasitas sebagai unit produksi, perempuan juga berada pada kategori rendah sebesar 59 persen, sedangkan laki- laki sebesar 58 persen pada kategori sedang.

Tabel 5 Profil kelompok tani menurut pendapat responden tentang peran kelompok tani Desa Gempol sari, 2014

No.

Peran kelompok Laki-laki Perempuan

n % n %

1 Tingkat kapasitas dalam pembelajaran

Rendah (skor 10-26) 3 9 10 59

Sedang (skor 27-43) 11 33 5 29

Tinggi (skor 44-60) 19 58 2 12

Total 33 100 17 100

2 Tingkat kapasitas kerjasama

Rendah (skor 10-26) 1 3 9 53

Sedang (skor 27-43) 24 73 8 47

Tinggi (skor 44-60) 8 24 0 0

Total 33 100 17 100

3 Tingkat kapasitas sebagai unit produksi

Rendah (skor 10-26) 2 6 10 59

Sedang (skor 27-43) 19 58 6 35

Tinggi (skor 44-60) 12 36 1 6

Total 33 100 17 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa kelompok tani sebagai kelas belajar lebih dirasakan oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Hal tersebut terjadi karena perempuan sering tidak mengikuti kegiatan rapat bulanan yang diadakan kelompok tani setiap bulan. Perempuan tidak mengikuti rapat karena waktu rapat yang diadakan pagi hari, sedangkan perempuan pada pagi hari sibuk dengan aktivitas domestik dan bertani sehingga perempuan lebih memilih untuk tidak mengikuti rapat. Perempuan berangapan bahwa sudah ada laki-laki atau suami mereka yang mewakili untuk mengikuti rapat. Perempuan juga jarang yang melakukan diskusi tentang pertanian antar sesama anggota. Perempuan lebih sering membicarakan urusan rumah tangga mereka.

Peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama kurang dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena perempuan hanya bekerja sebagai kuli cabut sehingga dalam bekerjasama untuk kegiatan usahatani

seperti membantu anggota lain untuk mengetahui cara budidaya yang baik jarang dilakukan atau bahkan tidak dilakukan. Hal tersebut membuat perempuan merasa peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama masih rendah.Pada responden laki-laki peran kerjasama cukup dirasakan dengan baik walaupun tidak semua anggota merasakannya. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukan tingkatan sedang dengan persentase tertinggi pada laki-laki. Laki-laki saling membantu dalam berusahatani seperti membantu mendapatkan pupuk atau bibit yang baik, dan membantu memasarkan produksi pertanian. Tabel juga menunjukkan bahwa peran kelompok tani sebagai unit produksi kurang dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Laki-laki dapat dapat dikatakan cukup merasakan peran kelompok tani sebagai unit produksi. Laki-laki lebih merasakan kelompok tani sebagai unit produksi karena laki-laki yang bekerja sebagai petani sedangkan perempuan hanya bekerja sebagai kuli cabut. Laki-laki lebih mengetahui keuntungan yang didapatkan dan peningkatan atau kemajuan usahatani mereka. Berdasarkan pemaparan diatas, ketiga peran poktan lebih dirasakan oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Laki-laki lebih berperan dalam segala kegiatan atau aktivitas yang diadakan poktan, sedangkan perempuan hanya berperan pada pelaksanaan kegiatan pelatihan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi dalam kelompok tani, karena perempuan ditempatkan pada posisi atau peranan yang kurang penting dalam kelompok (Fakih 1996).

Ikhtisar

Pada karakteristik inidividu laki-laki dan perempuan berada pada kategori umur dewasa pertengahan (30-50 tahun). Kategori umur tersebut berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan termasuk kedalam kategori usia kerja.Selain itu, laki-laki dan perempuan juga berada pada tingkat pendidikan formal yang rendah. Namun, tingkat lama bertani laki-laki lebih lama dibandingkan perempuan. Pada karakteristik usahatani, luas lahan garapan laki- laki dan perempuan memiliki luas lahan yang sempit. Tingkat pendapatan usahatani laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan begitu juga pada tingkat akses dan penerapan teknologi. Pada peran kelompok sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan sebagai unit produksi juga lebih dirasakan oleh laki-laki dibandingkan perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasikan dalam aspek kegiatan usahatani, pendidikan, maupun kelompok tani. Perempuan masih berada pada posisi yang kurang penting karena masih adanya stereotipe di masyarakat yang menyatakan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami (Fakih 1996).

TINGKAT SENSITIVITAS GENDER DALAM