• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kerangka Teori

II.1.2 Proses Kebijakan Publik

Adapun proses pembuatan kebijakan publik menurut Anderson dalam Subarsono (2009:12) yaitu:

a. Formulasi Masalah (Problem Formulation)/Agenda Setting

Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijkan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah? Proses ini juga berkitan dengan cara suatu masalah bisa mendapat perhatian pemerintah.

b. Formulasi Kebijakan (Formulation)

Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpatisipasi dalam formulasi kebijakan? Hal ini berkaitan dengan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

c. Penentuan Kebijakan (Adoption)

Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti aa yang harus dipenuhi? Siapa yang melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari dari kebijakan yang

telah ditetapkan? Hal ini berkaitan dengan proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.

d. Implementasi (Implementation)

Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Hal ini berkaitan dengan proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

e. Evaluasi (Evaluation)

Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevauasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?

Hal ini berkaitan dengan proses memonitorir atau menilai hasil atau kinerja kebijakan melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

II.I.3 Implementasi Kebijakan

II.1.3.1 Pengertian implementasi kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang paling penting di dalam kebijakan publik. Menurut Jones (1996), mungkin tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Menurut Lineberry dalam Fadillah Putra (2001:81) menyatakan bahwa sproses implementasi setidak-tidaknya memiliki beberapa elemen sebagai berikut:

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (Standart Operating Proceduress/SOP)

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran;

pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

II.1.4 Evaluasi Kebijakan

II.1.4.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan

Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan.

Evalausi baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu.

Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan suatu kebijakan harus dievaluasi. Untuk dapat mengetahui outcome dan dampak suatu kebijakan sudah tentu diperlukan waktu tertentu, misalnya 5 tahun semenjak kebijakan tersebut diimplementasikan. Sebab apabila evalausi dilakukan terlalu dini, maka outcome dan dampak dari suatu kebijakan belum tampak.

Menurut Badjuri dan Yuwono dalam Tangkisilan (2003:25) evaluasi kebijakan merupakan tahapan yang cukup penting dan sering terlupakan efektivitasnya dalam konteks kebijakan publik Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagaian besar kebijakan publik di Indonesia secara formal telah dilakukan evaluasi dengan baik, namun demikian, substansi kebijakan tersebut ternyata tidak tercapai secara efektif, bahkan sebagian lagi mengalami kegagalan.

Oleh karenanya studi evaluasi ini penting, khususnya dalam rangka penanaman urgensi pencapaian tujuan substansial dari sebuah kebijakan, dan bukan formalitas

semu semata. Berbicara mengenai jenis atau tipe kebijakan, Heath dalam Tangkisilan (2003:27) membedakan evaluasi kebijakan publik atas tiga bagian yaitu sebagai berikut:

1. Tipe evaluasi proses (proses evaluasi), dimana evaluasi dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan?

2. Tipe evaluasi dampak, dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program?

3. Tipe evaluasi strategi, dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding program-program lain yang ditujukan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

II.1.4.2 Tujuan Evaluasi

Evaluasi memiliki beberapa tujuan (Subarsono 2009:120) yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui beberapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur beberapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

6. Sebagai bahan masukan untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar menghasilkan kebijakan yang lebih baik.

II.1.4.3 Pendekatan terhadap Evaluasi

Menurut William N. Dunn dalam Subarsono (2009:611-612) ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi yakni:

1. Evaluasi Semu adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskritif untuk menghasilkan informasi yang terpecaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan, tanpa menanyakan manfaat atau nilai dari hasil kebijakan tersebut pada individu , kelompok atau masyakat.

2. Evaluasi Formal adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskritif untuk menghasilkan informasi yang terpecaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan berdasarkan sasaran program kebijakan yang telah ditetapkan secara formal oleh pembuat kebijakan.

3. Evaluasi Proses Keputusan Teoritis adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskritif untuk menghasilkan informasi yang

terpecaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai stake holders.

II.1.4.4 Indikator Evaluasi

Menurut Subarsono (2005), untuk menilai suatu keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator atau kritera evaluasi yang dikembangkan oleh William N. Dunn mencakup lima indikator sebagai berikut:

1. Efektivitas : apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

2. Efisiensi : seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

3. Kecukupan : seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah?

4. Pemerataaan : apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda?

5. Responsivitas : apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka?

6. Ketepatan : apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

II.1.4.5 Metode Evaluasi

Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2005:28) untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni:

1. Single program after-only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan

2. Single program before-after informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan 3. Comparative after-only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan

keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan

4. Comparative before-after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan

II.1.4.6 Model evaluasi yang digunakan peneliti

Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan metode penelitian dengan menggunakan model Single program after only. Peneliti hendak melihat perubahan keadaan kelompok sasaran sesudah program kebijakan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa secara elektronik diimplementasikan.

II.2 Hasil Penelitian Terdahulu

5Jurnal 1

Penerapan Dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Di Kabupaten Malang (Studi Pada Bidang Asset Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Malang)

Oleh Amelia Iftitah Damayanti, Tjahjanulin Domai, Abdul Wachid

5 Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol 1, No.2, hal. 139-146

Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang

e-mail: Queen_theeta@yahoo.com

1. Tujuan Penelitian : Mengetahui bagiamana penerapan dalam proses pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Malang di Bidang Asset Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keaungan Dan Asset Kabupaten Malang.

2. Metode Penelitian : Pada penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian kualitatif pendekatan deskriptif

3. Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka secara garis besar peneliti menyimpulkan :

a. Mekanisme pada pengadaan barang/jasa secara elektronik yaitu e-Procurement menggunakan tata cara yang efektif bagi para pegawai khususnya di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset (DPPKA) Kabupaten Malang, mengingat tata cara pada e-Procurement tersebut lebih menghemat waktu serta biaya.

b. Kemudian untuk proses pengawasan, monitoring serta evaluasi pengadaan barang/jasa melalui yang dilaksanakan oleh DPPKA khususnya bidang asset dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang diperantarai oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sudah berjalan dengan baik dengan diadakannya kegiatan tersebut disetiap akhir tahun.

c. Dalam penerapan berdampak pada proses pengadaan barang/jasa.

Dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif yang sangat membantu para pegawai khususnya panitia pengadaan barang/jasa

dalammelaksanakan tugasnya, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.Kemudian dampak negatif untuk pihak rekanan yaitu adanya sebagian rekanan yang belum memahami dan biasa menggunakan sistem elektronik utamanya menggunakan internet.

Kendala dalam pengadaan barang/jasa melalu adalah:

a. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) Khususnya Panitia Pengadaan Yang Tidak Mengerti Tentang Sistem Elektronik;

b. Sistem Aplikasi Pelaksanaan e-Procurement Yang Kurang Berfungsi Dengan Baik.

6Jurnal 2

Efektivitas Dalam Pengadaan Barang/Jasa (Studi terhadap Penerapan dalam Pengadaan Barang/Jasa di Kabupaten Bojonegoro)

Oleh Arindra Rossita Arum Nurchana, Bambang Santoso Haryono, Romula Adiono

Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang

E-mail: renataputri12@gmail.com

1. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui tingkat efektivitas dalam pengadaan barang dan jasa di kabupaten Bojonegoro.

2. Metode Penelitian : Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

6 Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 2, Hal. 355 -359

3. Hasil penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka secara garis besar peneliti menyimpulkan :

a. Di Kabupaten Bojonegoro dapat dikatakan kurang efektif. hal ini dikarenakan bahwa terdapat satu tujuan yang belum tercapai secara maksimal, yaitu peningkatan persaingan usaha yang sehat.

b. Di Kabupaten Bojonegoro, telah ditemukan adanya indikasi peluang “main mata”. Indikasi tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi nilai keefektifan penerapan dalam pengadaan barang/jasa.

c. Diperlukan pengawasan atau pemantauan yang intensif dari masyarakat dan LSM seperti ICW (Indonesia Corruption Watch). Perlunya pengawasan masyarakat dan LSM tersebut, karena dua aktor tersebut memiliki peran yang dianggap paling bagus dan netral dalam pengadaan barang/jasa, sehingga tujuan nantinya dapat berjalan dengan baik dan tanpa ada kecurigaan.

Jurnal 3

Evaluasi Electronic-Procurement Dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kota Surabaya

Oleh Sherlya Ayu Nidya Sari

1. Tujuan Penelitian : Mengetahui manfaat maupun dampak penggunaan Electronic-Procurement Dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kota Surabaya.

2. Metode penelitian : Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

3. Hasil penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka secara garis besar peneliti menyimpulkan : Pelaksanaan di Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan dengan konsep Weiss tentang evaluasi mengandung unsur penting. Terdapat 4 (empat) unsur penting dalam evaluasi menurut Weiss antara lain : Untuk mengukur dampak (to measure the effects) dengan bertumpu pada metodologi riset yang digunakan, Dampak (effects) tadi menekankan pada suatu hasil (outcomes) dari efisiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-aturan atau standar, Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan (goals) menekankan pada penggunaan kriteria (criteria) yang jelas dalam menilai bagaimana suatu kebijakan telah dilaksanakan dengan baik, Memberikan kontribusi pada pembuatan keputusan selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa mendatang sebagai tujuan sosial (the social purpose) dari evaluasi.

Pelaksanaan dalam sistem pengadaan barang dan jasa mempunyai faktor pendukung dan penghambat. Pelaksanaan mempunyai faktor pendukung yakni ada faktor teknis maupun non-teknis, yang dimaksud faktor teknis disini meliputi server, kapasitas server serta bandwitch, sedangkan non-teknis disini meliputi, lingkungan , persons disini dimaksud adalah mempunyai spesifikasi lulusan informatika, selain itu adanya spesifikasi admin dari pihak LPSE.

Selain terdapat faktor pendukung dalam pelaksanaan terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala-kendala ataupun menjadi faktor penghambat selama proses pelaksanaannya yakni: Penyedia barang dan jasa masih banyak yang belum memahami alur sistem Full Electronics, Penyedia barang dan jasa masih banyak yang belum memahami bahwa di Pemerintah Kota Surabaya

merupakan suatu aplikasi desktop yang berarti bahwa keberhasilan ataupun kegagalan proses pemasukan penawaran tergantung pada kondisi desktop masing-masing, Tingkat kelalaian yang sangat tinggi dalam penggunaan password dan kunci kerahasiaan lainnya oleh user, Kelompok kerja belum sepenuhnya dapat mengikuti range jadwal state lelang tepat waktu sesuai dengan apa yang ditetapkan, Keterlambatan psroses berita acara Aanwijzing dan Addendum, Ketersediaan fasilitas koneksi internet dan fasilitas pendukung lainnya masih sangat terbatas untuk penyedia barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, Terbatasnya bandwitch yang menyebabkan kegagalan dalam aplikasi .

7Jurnal 4

Jurnal Adiministrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 2, Hal 344-349

Akuntabilitas Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Melalui Sistem (Studi Pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik Pemerintah Kabupaten Kediri)

Oleh Qori Lusi Pratiwi, Choirul Saleh, Abdul Wahid

Jurusan Administrasi Publik. Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang

E-mail: qorylusy@gmail.com

1. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui tingkat akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui sistem di Layanan Pengadaan Secara Elektronik Pemerintah Kabupaten Kediri.

7 Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 2, Hal. 355 -359

2. Metode Penelitian : Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan hanya dibatasi pada dua fokus penelitian, yaitu: (1) Akuntabilitas administratif dan akuntabilitas profesional sebagai bagian dari akuntabilitas publik; (2) Faktor pendorong dan Faktor penghambat akuntabilitas publik dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

3. Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka secara garis besar peneliti menyimpulkan : Sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik dapat meminimalisir terjadinya KKN jika dijalankan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan dengan berpedoman pada SOP LPSE. Akuntabilitas administratif LPSE Kabupaten Kediri dilaksanakan dengan berpedoman pada SOP LPSE yang disusun oleh LKPP sedangkan akuntabilitas profesional ditujukan dari jumlah pegawai LPSE yang memiliki sertifikat pengadaan. Mekanisme pengawasan akuntabilitas dilakukan dengan menggunakan aplikasi e-Audit oleh APIP yang dibentuk oleh LKPP pusat.

Jurnal 5

Evaluasi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Secara Elektronik ( E-Procuremen Pada Lpse Kementerian Keuangan

Oleh Sitih Patimah Nasution(1006791814)

Fakultas Ekonomi Program Magister Perencanaan Dan Kebijakan Pablik ( Jakarta Juli 2012 )

1. Tujuan Penelitian : menyelidiki presepsi pelaku pengdaaan barang dan jasa pemerintah terhadap pelaksanaan e-procurement dalam mewujudkan tujuan

dari e-procurement yang diatur dalam pasal 107 peraturan presiden ri no. 54 tahun 2010.

2. Metode penelitian : Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif.

Variabel penelitian:

1. transparansi; mengukurjelas dan diketahui secara luasnya ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah.

2. Akutanbilias; mengukur kesesuaian pelaksanaan e-procuremnt dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah

3. Akses pasar dan persaigan yang sehat; mengukur peningkatan akses pasar, perolehan barang dan jasa dengan harga yang kompetitif, dan tidak ada intervensi yang menganggu.

4. Evesiensi proses pengadaan; mengukur pengurangan biaya dan waktu proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.

5. Dukungan prose s monitoring dan audit; mengukur kemudahan monitoring dan audit.

6. Akses informasi yang real time; mengukur pemenuhan kebutuhan akses informasi yang real time.

3. Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka secara garis besar peneliti menyimpulkan :

1. di Indonesia, khususnya pada LPSE Kementerian Keuangan baru diterapkan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan

dengan cara E-Tendering. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap di instansi kementerian keuangan seluruh indonesia.

2. Standard Operational Procedur (SOP) sendiri masih mengikuti ketentuan pengadaan manual sehingga terkesan kalau di indonesia baru sampai pada tahap mengelektronikkan pengadaan manual.

3. dapat meningkatkan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah disetujui oleh panitia dan penyedia barang dan jasa pemerintah. Namun masih terdapat beberapa permasalahan di dalamnya, yaitu pada tahap aanwizjing belum di maksimalkan oleh panitia dan penyedia sebagai sarana komunikasi serta proses penilaian pada tahap evaluasi yang masih manual.

4. meningkatkan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa pemerintah disetujui oleh panitia dan penyedia barang dan jasa pemerintah. Indikator akuntabilitas dibuat dengan menuangkan ketentuan-ketentuan dalam Perpres No.54 tahun 2010 dan Perka LKPP No.1 tahun 2011 dalam sistem.

Beberapa temuan sehubungan dengan peningkatan akuntabilitas adalah kurangnya pemahaman panitia dan penyedia atas ketentuan yang berlaku.

5. meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat bagi kalangan usaha disetujui oleh panitia dan penyedia pengadaan barang dan jasa pemerintah pada LPSE. Kementerian keuangan: dapat diikuti oleh semua penyedia berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas serta memberikan kesempatan kepada usaha kecil, menengah, dan perusahaan lokal serta pelaksanaan yang bisa membuat persaingan harga penawaran semakin ketat dan tidak bisa intervensi pihak lain dalam proses pengadaan.

Masalah yang masih ada pada akses pasar dan persaingan usaha masih terjadinya lelang ulang karena kurang/ tidak adanya penyedia.

6. dengan karakteristiknya sebagai sistem yang berbasis web mengubah proses bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan bantuan teknologi, sehingga meningkatkan efisiensi waktu dan biaya dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Masukan dari panitia maupun penyedia menyatakan bahwa proses aanwizjing masih belum efisien sebagai media untuk menjelaskan tentang pengadaan yang dilakukan serta masih ada panitia dan penyedia yang belum sepenuhnya sadar bahwa procurement harus diimbangi dengan perubahan mind set atas proses pengadaan itu sendiri.

7. mendukung proses monitoring dan audit proses pengadaan disetujui oleh panitia dan penyedia. Semua proses pengadaan dan alur dokumen serta sistem administrasi telah tersistematis sehingga memudahkan monitoring serta audit bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dari sisi panitia sebagai pelaksana pengadaan menganggap memberikan keamanan dan kemudahan dalam monitoring dan audit sepanjang mengikuti prosedur dan aturan yang telah ditetapkan.

8. dengan sistemnya dapat memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time. Proses pengadaan barang dan jasa yang mempunyai batasan waktu yang sangat padat memerlukan suatu sarana untuk menyalurkan informasi secara cepat dan tepat. Kendala utama dari adalah infraksturktur komunikasi yang menjadi tulang punggung sistem tersebut.

II.3 Kebijakan Pengadaan Barang Dan Jasa

II.3.1 Transparansi

Transparasi publik adalah suatu keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipatif aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik (Adriyanto, 2007:21)

Dalam KepMenPAN No.26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menjelaskan pengertian transparansi penyelenggaraan publik merupakan pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, dan pengawasan ataupun pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi.

Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi berbagai proses, kelembagaan dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan informasi harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.

Transparansi dalam konteks pelayanan publik harus terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti (Ratminto,Winarsih, 2005: 19). Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima kebutuhan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II.3.2 Akuntabilitas

Menurut Kumurotomo akuntabilitas adalah ukuran yang menuujukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nlai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Menurut UU No. 28 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/ badan hukum/ pimpinan suatu organisasi kepada yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan.

Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh sektor publik terdiri dari beberapa dimensi. Ellwood (dalam Mardiasno, 2002:226) menjelaskan terdapat empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh orang sektor publik yaitu:

1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum 2. Akuntabilitas proses

4. Akuntabilitas kebijakan

Lembaga Administrasi Negara (2007:57) memberikan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan prinsip akuntabilitas adalah sebagai berikut:

1. Akuntabel pengelolaan anggaran yang dikeluarkan 2. Pertanggungjawaban kinerja

3. Intensitas penyimpangan

4. Upaya tinak lanjut penyimpangan

II.3.3 Pengertian Electronik Governance

E-Goverment, sebagai sebuah konsep memiliki prinsip – prinsip dasar yang universal, tetapi pengertian maupun penerapannya di sebuah negara tidak dapat di pisahkan dari sejarah, budaya, pendidikan, padangan politik, kondisi ekonomi masing masing negara. E- Goverment didefinisikan sebagai suatu

E-Goverment, sebagai sebuah konsep memiliki prinsip – prinsip dasar yang universal, tetapi pengertian maupun penerapannya di sebuah negara tidak dapat di pisahkan dari sejarah, budaya, pendidikan, padangan politik, kondisi ekonomi masing masing negara. E- Goverment didefinisikan sebagai suatu