• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DESA TANJUNG PASIR

3.1. Kesehatan Ibu Dan Anak

3.1.4. Proses Menjelang Persalinan

Kebanyakan masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir masih mempercayakan cara-cara tradisional demi proses kelancaran persalinan. Terdapat ritual-ritual yang menurut mereka harus dijalankan baik oleh si ibu maupun si ayah yang dipercaya dapat membantu persalinan dan menghindari dari hal-hal buruk yang bisa menggangu nyawa ibu dan juga si calon bayi yang baru lahir. Ritual-ritual tersebut biasa dilakukan ketika si ibu dirasa sudah waktunya melahirkan atau menjelang waktu persalinan. Ritual tersebut antara lain:

1) Menebarkan daun jerangau dan bunglai serta garam di sekitar tempat ibu akan melahirkan. Kedua daun yang juga biasa digunakan untuk jimat dan juga garam dipercaya dapat mengusir perakang. Biasanya orang tua atau suami dari istri yang menebarkannya.

2) Mandi dengan bidan kampung. Ibu biasanya ketika mulas datang akan dimandikan oleh bidan kampung. Airnya pun diberikan mantra-mantra sebelumnya agar ibu tidak diganggu roh halus, bisa juga ditambahkan kedua daun di atas agar lebih afdol. Selain itu mandi juga dianggap dapat menambah tenaga ibu dan membuat ibu lebih segar dan tidak mengantuk. Bayi di dalam pun dianggap akan bangun jika disiramkan air terlebih dahulu.

3) Perut ibu dilangkahi terlebih dahulu oleh keluarga terdekat. Langkahan ini dilakukan sambil membaca shalawat. Setiap orang yang melangkahi melakukannya sebanyak 3 kali, dimana pada saat terakhir kaki harus sedikit menyentuh perut si ibu. Orang-orang yang melangkahkan kaki biasanya orang-orang terdekat yang dianggap bisa tersakiti hatinya oleh si ibu, seperti sang suami ataupun orangtua dan mertua. Langkahan kaki disini bisa diibaratkan sebagai pemberian maaf dari orang yang tersakiti tersebut. Jika saatnya persalinan bayi tidak kunjung keluar hal ini bisa dilakukan lagi dan ditambah orang-orang lain yang mungkin punya dendam atau pernah memiliki masalah dengan sang ibu.

4) Meminum air celupan jari suami. Sebelumnya air tersebut dicelupkan jari sang suami hingga 7 kali dan lalu diminumkan ke istrinya.

5) Membuatkan ramuan dari jahe dan gula merah. Ramuan ini agar ketuban cepat pecah sehingga proses persalinan tidak akan memakan waktu yang terlalu lama.

6) Menutup pintu depan rumah. Hal ini untuk menghindari adanya roh-roh halus yang masuk ke dalam rumah, selain itu takut mendatangkan keramaian yang bisa menggangu proses persalinan.

7) Suami mengganti celananya dengan sarung. Dengan menggantinya dengan sarung maka proses persalinan akan lancar, karena bentuk sarung yang terbuka akan membuka jalan lahir si ibu. Jika suaminya masih memakai celana akan menyulitkan ibunya pada saat bersalin. 8) Menyiapkan tempat persalinan. Biasanya proses

melahirkan di rumah ibu bersalin dan dilakukan di dalam kamar atau di ruang belakang. Proses persalinan di rumah dipilih oleh hampir semua ibu karena ibu merasa lebih nyaman dan lebih mudah untuk bersalin jika dibandingkan harus pergi ke fasilitas kesehatan yang menurut mereka lebih merepotkan. Selain itu bersalin di luar rumah rentan gangguan orang halus baik untuk ibu ataupun bayi pada saat setelah dilahirkan. Masyarakat juga pantang melahirkan di tempat yang pernah mengalami kematian ibu ataupun bayi. Jika pernah ada ibu atau bayi yang meninggal di rumah tersebut maka persalinan lebih baik dilakukan di rumah lain, seperti di rumah orang tua atau mertua si ibu.

9) Pentingnya kehadiran seorang suami. Dalam budaya masyarakat Etnik Laut kehadiran suami pada saat istri melahirkan sangat penting. Bahkan mereka dilarang untuk pergi melaut, sehingga biasanya ketika istri sudah menginjak kandungan 9 bulan para suami cenderung mengurangi waktu melaut mereka dan memilih berjaga-jaga di rumah. Mereka percaya bahwa aktivitas suami di laut akan membahayakan proses persalinan karena suami mungkin saja melakukan kegiatan nelayan yang dapat

mengganggu para roh halus yang akhirnya berdampak terganggunya proses persalinan yang terjadi di rumah. 3.1.5. Proses Persalinan Tradisional

Proses persalinan dengan cara tradisional masih menjadi pilihan utama para ibu yang akan bersalin. Persalinan tradisional dibantu oleh bidan kampung atau mereka biasanya hanya menyebutnya dengan sebutan bidan saja. Istilah bidan malah lebih sering mereka pakai untuk menyebut bidan kampung dibandingkan dengan bidan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas ataupun di Puskesmas pembantu desa. Bidan nakes biasanya mereka sebut dengan panggilan “ibu” saja atau dengan sebutan suster.

Pada saat persalinan biasanya bidan kampung biasanya membawa satu orang yang biasanya membantunya atau lebih mudahnya peneliti sebut dengan asisten bidan. Asisten yang dibawa oleh bidan kampung pada saat membantu persalinan tidak selalu sama, jadi satu bidan kampung bisa saja memiliki lebih dari 1 asisten di desa yang sama. Biasanya asisten yang dipilih pada saat persalinan adalah orang yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah si ibu yang akan bersalin. Tentunya hal ini akan lebih mudah dibandingkan jika harus memilih yang rumahnya berjauhan dan membutuhkan waktu yang lama.

Persalinan dipimpin bidan kampung yang memposisikan diri di depan jalan lahir ibu. Posisi ibu tidur dengan menaruh 1 bantal di bagian untuk menyangga badan ataupun kepala; atau biasanya suami duduk di belakang si istri dan istri dapat menaruh kepalanya di pangkuan si suami. Ketika proses persalinan pun biasanya ketika mengedan sang istri akan menggantungkan tangan ke leher suaminya.

Ketika rasa mulas dan ketuban sudah pecah maka bidan

kampung akan meraba perut ibu untuk melihat posisi bayi yang

ada di dalam perut. Jika dirasa tidak sesuai maka sebelumnya akan diputar atau diposisikan ke posisi yang benar dan menghadap ke jalan lahir. Untuk merubah posisi bayi di dalam perut bidan kampung hanya menggunakan tangannya saja.

Kain yang menjadi bawahan ibu tidak boleh disingkap sebelum ketuban pecah. Kain itu sebelumnya akan diinjak oleh

bidan kampung sampai waktunya ketuban pecah. Ketika ketuban

sudah pecah maka kain yang dipakai ibu akan disingkap dan

bidan kampung langsung bersiap di jalan lahir sedangkan

asistennya akan berada di samping si ibu. Masyarakat Desa Tanjung Pasir, baik masyarakat Etnik Laut, melihat ada 3 jenis ketuban yang membuat proses persalinan juga berbeda-beda. Tiga jenis ketuban itu adalah:

1) Ketuban junjung. Ketuban pecah dan air semburan besar sehingga bayi akan segera keluar.

2) Ketuban jantung. Ketuban agak sedikit lama keluar sehingga bayi akan keluar kurang lebih selama 15 menit. 3) Ketuban lipas. Ketuban ini airnya sangat lambat keluarnya

sehingga biasanya proses bayi keluar akan memakan waktu selama kurang lebih 1 jam.

Ketika ketuban sudah pecah ibu akan memandu si ibu untuk mengedan untuk mengeluarkan bayinya secara perlahan. Asisten bidan kampung yang berada di sebelah ibu akan membantu ibu dengan cara mendorong perut si agar bayi di dalam lebih cepat menuju jalan lahir. Namun seringkali ibu di Desa Tanjung Pasir menurut bidan kampung tidak memiliki uwat atau tenaga pada saat mengejan. Hal ini mengakibatkan seringkali tidak cukup bantuan dari 1 asisten tersebut.

Masyarakat Desa Tanjung Pasir memiliki kebiasaan untuk mendorong perut si ibu hamil pada saat bersalin. Selain memang ibu tidak memiliki uwat menurut mereka pendorongan tersebut akan mempercepat proses persalinan. Ada bidan kampung yang memilih dibantu oleh 1 hingga 2 orang saja. Namun ada juga

bidan kampung yang beranggapan bahwa semakin banyak orang

maka akan semakin baik. Oleh karena itu berdasarkan wawancara dengan para ibu yang sudah pernah melahirkan, ada yang dibantu oleh 3-5 orang sekaligus untuk mendorong perut tersebut. Menurut mereka proses pendorongan dengan beramai-ramai tersebut tidak berbahaya karena malah memudahkan proses persalinan dan bayi bisa cepat keluar. Bayi yang lambat keluar akan berbahaya dan bisa membahayakan nyawa bayinya.

Biasanya berapa banyak orang dan siapa-siapa yang akan melakukan pendorongan ditentukan oleh si bidan kampung. Kalau dirasa 2 orang cukup maka tidak akan ditambah lagi, jika tidak maka bisa ditambahkan lagi. Hasil wawancara peneliti paling banyak ada yang dibantu sampai 5 orang. Karena biasanya

bidan kampung hanya membawa 1 asisten maka keluarga yang

ada di rumah akan disuruh untuk membantu. Biasanya yang diutamakan adalah para laki-laki, baik itu suami ataupun bapak atau mertua dari si ibu yang sedang bersalin. Laki-laki dipilih lebih karena dianggap memiliki tenaga yang lebih besar. Jika keluarga yang membantu tidak ada maka memungkinkan untuk memanggil tetangga yang ada di sekitar rumah.

Jika bayi mengalami kesulitan keluar maka ada cara-cara tradisional yang biasa dilakukan oleh bidan kampung agar bayi segera keluar, yaitu antara lain:

1) memberikan air selusuh. air selusuh ini berguna untuk memperlancar persalinan. biasanya hanya air putih yang sudah diberikan mantra oleh bidan kampung ataupun air yang sebelumnya didoakan oleh tokoh agama yang ada di

desa. Ada juga yang mengatakan bahwa air selusuh juga baik bila didoakan oleh suami si ibu itu sendiri.

2) ramuan campuran tembakau, limau dan kapur yang dibalurkan di belakang pantat si ibu bersalin.

3) air campuran daun pandan dan cuka makan yang diminumkan.

Setelah bayi keluar maka bayi tidak boleh diputus tali pusatnya, namun harus diputus menunggu uri (bahasa lokal untuk menyebut plasenta atau ari-ari) keluar. Hal ini dilakukan karena uri dianggap kakak dari si bayi. Selain itu jika diputuskan sebelum keduanya keluar maka uri akan naik ke atas dan sulit untuk mengeluarkannya. Ketika bayi sudah keluar tali pusat akan diberikan ramuan berupa jeruk nipis dan kapur agar mati (tali pusat dan uri dianggap hidup) dan tidak lari ke atas. Terkadang tali pusat juga diikatkan ke jempol si bidan kampung agar tertahan dan tidak lari ke atas.

Jika uri tidak kunjung keluar maka bidan kampung akan menepuk-nepuk bagian pantat si ibu. Selain itu bayi yang sudah keluar tadi akan ditepuk-tepuk agar menangis kencang sehingga tangisannya tersebut didengar oleh “kakak”nya tersebut dan akhirnya bisa segera keluar menyusul adiknya.

Jika uri sulit untuk dikeluarkan para bidan kampung yang ada di desa ini mengaku sudah tidak berani lagi memasukkan tangan ke dalam jalan lahir ibu. Selain mereka merasa tidak mampu, mereka juga takut jika dimarahi oleh para tenaga kesehatan. Jika tidak mau keluar juga biasanya mereka langsung memanggil tenaga kesehatan.

Ketika bayi dan uri sudah keluar maka barulah proses pemotongan tali pusat dilakukan. Dahulu memang bidan

kampung memakai sembilu (bambu) untuk memotongnya,

namun kini setelah para bidan kampung mendapat penyuluhan dari Puskesmas maka kini mereka menggunakan gunting. Selain

itu karena keadaan geografis mereka yang di atas lautan membuat mereka kesulitan juga untuk menemukan bambu yang bisa digunakan untuk memotong tali pusat tersebut. Setelah itu tali pusat akan diikat dengan menggunakan benang jahit, biasanya berwarna hitam atau putih.