• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA LAPANGAN

TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA

A. Terapi Menyulam

3. Proses Pemberian Terapi Menyulam

Berdasarkan hasil temuan lapangan yang didapatkan oleh peneliti mengenai tahapan pemberian terapi menyulam ada beberapa yang perlu dicermati terkait pemberian program baik dalam tahapan penelitian, assesmen, intervensi dan terminasi.

a. Tahapan Penelitian (study phase)

Dalam pengamatan dan studi dokumentasi yang telah dilakukan oleh peneliti perihal tahapan penelitian (study phase) dalam kegiatan tersebut adalah.

Seperti yang telah diungkapakan Ibu Sri Mayanti, bahwa:

“Pada tahap awal ini kami pasti memberikan beberapa pertanyaan mengenai latar belakang ternifeksi HIV perilaku resikonya apa, apakah pecandu ataupun seorang freesex hal inibertujuan untuk mebentuk relasi kepada ODHA yang datang kesini. ODHA yang ada di YPI ini berasal dari rujukan beberapa rumah sakit, dari RSCM, Fatmawati, RSPI, dan RSPAD atau dari teman-teman LSM lain, yang sebelumnya telah datang ke klinik YPI untuk mendapatkan perhatian ataupun informasi HIV.”16

Hal ini juga diungkapkan oleh informan WN

“penerimaan awal di YPI itu saya mencari informasi HIV di internet dan dari teman-teman karena istri saya ternyata positif HIV/AIDS dan infeksi itu ditularkan melalui hubungan intim dengan saya mas, awalnya saya diminta menceritakan mengenai latar belakang saya sebagai pecandu.”17

Sama halnya yang diungkapkan oleh informan WD

“awalnya gw lagi di RSCM, dateng orang-orang dari YPI kasih kartu nama dan no telepon, selanjutnya saat gw udah agak mendingan gw ke YPI, lalu mengisi identitas gitu dan dikonseling deh tuh..”18

Dari hasil temuan diatas bahwa tahapan awal study phase ini ODHA di YPI dilaksanakan melalui pendekatan individu dahulu untuk mengetahui faktor resiko individu terinfeksi HIV/AIDS hal ini adalah penanganan pertama untuk

16

Wawancara dengan Ibu Sri Mayanti pada tanggal 27 Juli 2011 17

Wawancara dengan informan WN pada tanggal 13 Juli 2011 18

melindungi ODHA dari depresi19. Pada tahap inilah ODHA untuk pertama kali menjalin hubungan dengan Ohida.

b. Tahap Pengkajian (Assesment Phase)

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti setidaknya memberikan gambaran mengenai penggalian kebutuhan ODHA yang dilakukan di YPI. Pada proses assesmen kebutuhan ODHA di YPI dalam hal informasi dan pengobatan baik secara fisik maupun psikologis, pengurus berusaha memberikan pelayanan yang baik kepada ODHA berdasarkan kebutuhan yang diperlukan.

Hal tersebut dijelaskan dalam petikan wawancara dengan ibu Sri Mayanti berikut ini,

“Kalau untuk prosesnya sendiri itu memberikan pelayanan konseling secara kontinuitas untuk memnggali kebutuhan yang diperlukan oleh ODHA, pada saat ditemukan kesamaan antara ODHA WD dan WN mengenai masalah mata pencaharian mereka oleh sebab itu disini diberikan alternative terapi menyulam sebagai upaya untuk menguatkan diri mereka dalam hal pendapatan.”20

Sama halnya yang dikatakan oleh Ibu Sundari, berikut ini,

“untuk hal ini kita berikan konseling dukungan untuk memahami kebutuhan-kebutuhan yang ODHA perlukan, banyak hal seperti pengobatan ARV, rujukan, Gizi untuk Anak-anaknya selain terapi menyulam yang menjadi alternative utama ini.”21

19

Observasi pada tanggal 11 Juli 2011

20

Wawancara dengan Ibu Sri Mayanti pada tanggal 27 Juli 2011 21

Begitupun dengan statment Informan WN, adalah,

“dalam hal prosesnya ini lebih menekankan kepada penggalian kebutuhan, dan kebutuhan saya adalah masalah pendapatan, kadang saya narik ojeg fisik saya gak kuat kalau terlalu lama.hal ini menjadi masalah buat saya, karena saya menghidupi 3 anak.”22

Sama halnya dengan statement Informan WD,

“sekarang gw sih jadi konselor adiksi di Puskesmas, tapi untukmenghidupi dua anak itu berat banget buat gw, jadi gw ikut terapi ini sebagai alternatif jika nanti hasilnya bisa dipasarkan itu kan lumayan banget.”23

Proses assesmen ini sendiri pada dasarnya adalah penggalian kebutuhan yang dilakukan Ohida dalam memberikan pelayanan kepada ODHA di Yayasan Pelita Ilmu (YPI). Prosesnya sendiri berdasarkan hasil wawancara di atas dengan mengadakan konseling dukungan yang berkelanjutan pada tiap minggunya, tepatnya setiap 2 minggu disaaat ada pertemuan Obrass, kumpul bocah dan terapi menyulam24. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Informan WD dan WN masuk kedalam peserta terapi menyulam karena latar belakang masalah yang sama yakni pendapatan sehari-hari. c. Tahap Intervensi

Dalam pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa jenis terapi ini pada dasarnya dikembangkan berdasarkan kebutuhan dari ODHA sebagai seorang klien.

22

Wawancara dengan Informan WN pada tanggal 13 Juli 2011

23

Wawancara dengan informan WD pada tanggal 11 Juli 2011 24 Obsevasi pada tanggal 11 juli

Dalam prosesnya terapi yang dikembangkan melakukan proses diskusi untuk melakukan pemilihan alternatif pemecahan masalah, seperti hasil wawancara yang disampaikan oleh Ibu Sundari berikut ini,

“setelah melakukan assesmen untuk mengetahui kebutuhan klien, ohida mengelompokkan dan memberikan terapi yang sesuai dengan kebutuhan ODHA, jenisnya itu, ada menyulam dan membuat aksesoris dan yang membantu untuk menjadi tutor disini ada mahasiswa yang sedang magang, relawan, pengurus ataupun kami undang dari LSM lain.”25

Hal sama seperti yang telah diungkapkan informan WD, bahwa:

“pada terapi ini setelah gw berempat diberikan konseling dukungan dan materi untuk lebih memotivasi gw, selanjutnya gw diajarkan untuk membuat sulaman dari benang wool yang pertama itu membentuk pita HIV, disini prosesnya sendiri menurut gw bener-bener membantu kemandirian.”26

Sama halnya yang diungkapkan oleh informan WN

“iya, terapi ini jatohnya itu kita dilatih untuk membuat aksesoris sulaman, latihan nari juga ada. Jadi yang ditanamkan yang paling utama itu bahwa kita ini ODHA, bisa kok menghasilkan sesuatu, dan kita juga bukan individu yang istilahnya tinggal nunggu meninggalnya aja gitu mas. Tapi ya gitu karena kebanyakan yang ikut terapi dan yang bergabung disini adalah ODHA perempuan, saya suka canggung mas, kadang datangnya itu jarang pas ada terapi. Jadi saya gak optimal untuk ikut nih terapi.”27

Jadi, dari gambaran hasil temuan diatas dapat dikatakan bahwa jenis program terapi kreatif yang dilaksanakan oleh YPI adalah berupa pemberian keterampilan kepada para ODHA,

25

Wawancara dengan Ibu Sundari pada tanggal 5 Juli 2011 26

Wawancara dengan informan YL pada tanggal 13 Juli 2011 27

untuk lebih mandiri dan kuat secara mental bahwa ODHA layaknya orang normal dan tidak ada pebedaan sedikit pun.

Namun, disini terjadi perbedaan hasil dimana informan WN menjadi agak tidak nyaman karena umumnya ODHA yang bergabung di YPI adalah ODHA perempuan, dan Informan WN tergabung dalam kelompok terapi yang mayoritas perempuan.

Selain itu, dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti bahwa ODHA diikut sertakan dalam kegiatan yang bersifat terbuka, contohnya saat ada penyuluhan di Kecamatan se-Kota Depok yang bekerja sama dengan Dinkes Depok, YPI menurunkan beberapa ODHA sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sundari, bahwa:

“nanti penyuluhan di Depok para ODHA jadi narasumber, ataupun mendampingi staff YPI, hal ini tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada ODHA juga, bahwa mereka juga dilibatkan dalam acara-acara yang sifatnya umum seperti ini, kan banyak sebagian masyarakat yang beranggapan kalau ODHA itu fisiknya lemah.”28

Hal ini dibenarkan oleh Informan WN, dalam pengakuannya sebagai berikut,

“iya waktu ada penyuluhan HIV/AIDS di Depok bulan lalu, saya dan beberapa temen-temen ODHA diminta oleh YPI menjadi narasumber untuk penyuluhan kepada remaja tentang

28

HIV/AIDS dan juga testimoni sebagai ODHA, saya berceritera saat saya pakai narkoba sampai pada akhirnya saya terinfeksi HIV/AIDS ini.”29

Jadi, dalam menguatkan diri dan mental ODHA tidak hanya melakukan konseling dukungan dan terapi menyulam sebagai proses intervensi, di sini ODHA juga dilibatkan dalam kegiatan yang bersifat umum yang bertujuan untuk memperbaiki kepercayaan diri ODHA dalam hal sosialisasi diri di masyarakat.

Jika diambil kesimpulan setelah pada tahap awal YPI memberikan konseling dukungan, advokasi, bantuan nutrisi dan layanan kesehatan untuk memulihkan kondisi psikologis ODHA.

d. Tahap Terminasi

Pada tahapan ini peneliti mendapatkan gambaran dari manfaat suatu program dalam sebuah organisasi adalah tercapainya suatu tujuan ataupun target yang diharapkan dari adanya program tersebut. Di sini dari hasil temuan yang didapati oleh peneliti terkait proses terminasi pada program terapi kreatif ini meliputi beberapa aspek terkait pemberdayaan ODHA di YPI, antara lain aspek ekonomi, psikologis, dan sosial. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Sri Mayanti yang mengungkapkan, bahwa:

29

Dalam hal ekonomi ini terkait pendapatan atau penghasilan keluarga, jadi apa yag telah kita ajarkan mengenai keterampilan membuat aksesoris diharapkan ODHA dapat memasarkan hasil karya mereka. Dari sosialnya sendiri dalam hal penguatan diri, yang kami tekankan itu mereka kami rangkul, kita libatkan dalam berbagai kegiatan yang bersifat terbuka atau umum, selain bertujuan untuk membangkitkan kepercayaan diri disisi lain kami juga bangun kondisi psikologisnya dengan melibatkan ODHA untuk berinteraksi dengan lingkungannya dengan status yang baru.”30

Dalam penelitian yang peneliti lakukan mengenai tujuan program terapi kreatif yang berfokus pada ekonomi ODHA tidaklah berjalan dengan mulus. Hal ini dibenarkan oleh infoman WN yang menyatakan bahwa;

“untuk pemasarannya masih belum luas, karena kita buat aksesoris ataupun handmade lainnya, dijualnya hanya kalau ada acara-acara tertentu aja, tidak setiap hari ada barang yang terjual, kita memang masih bingung dalam hal pemasarannya.”31

Untuk hal ini YPI melakukan berbagai pembenahan salah satunya dengan adanya bantuan pinjaman modal kepada ODHA untuk mengambangkan usahanya, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Sundari berikut ini,

“ada peminjaman modal untuk pengembangan usaha mereka, tapi hal itu tidak berjalan mulus, karena dari saat kita melakukan survey lapangan, usahanya ada yan berjalan dengan baik ada pula yang tidak berhasil, hal ini dikarenakan manajemen pengelolaan modalnya masih kurang dikuasai oleh ODHAnya, dari sekitar 10 ODHA yang kita kasih pinjaman yang besarnya mencapai Rp. 1.200.000,- hanya 5% nya saja pinjaman yang kembali.”32

30

Wawancara dengan Ibu Sri Mayanti pada tanggal 27 Juli 2011 31

Wawancara dengan Informan WN pada tanggal 13 Juli 2011 32

Dalam hal psikologis dan sosial ODHA sebagai penerima manfaat dari program terapi menyulam bisa dibilang cukup baik dibandingkan dengan perbaikan kondisi ekonomi atau income generating yang bersifat kewirausahaan, hal tersebut seperti petikan wawancara dengan Ibu Sri Mayanti berikut ini:

“Kalau saya kasih contoh kongkretnya, jika digambarkan itu ODHA yang datang kesini diibaratkan dengan gelas yang masih kosong karena status barunya sebagai ODHA. Kemudian mereka gabung dengan kita, mereka kita berikan konseling, motivasi, kita ikutkan dalam pelatihan-pelathan yang bekerjasama dengan LSM lain, ataupun share dengan ODHA lain pada akhirnya mereka secara bertahap mereka dapat membangun kepercayaan dirinya. Alhamdulillah sekarang ada ODHA yang menjadi trainer, konselor adiksi puskesmas, ataupun evaluator di PKBI.”33

Hal ini dibenarkan oleh informan WD, bahwa

“sekarang gw jadi konselor adiksi di UPT puskesmas tanah abang dan di Salemba, hal ini gw peroleh dari manfaat aktif di YPI dan mngikuti kegiatan disana, salah satunya terapi menyulam, gw pernah jadi narasumber di Kolombo, Sri Langka pada 2007 untuk menjelaskan bagaimana program terapi kreatif ini membangun psikologis dan kondisi ODHA dengan statusnya yang baru.”34

Dalam hal income generating ODHA yang telah mengikuti terapi kreatif ini tidaklah berjalan dengan baik, YPI sendiri pernah memberikan pinjaman modal untuk namun hanya beberapa ODHA yang mampu mengambalikan modal pinjaman tersebut, hal itu disebabkan karena buruknya sistem

33

Wawancara dengan Ibu Sri Mayanti pada tanggal 27 Juli 2011 34

manajemen keuangan dalam mengatur modal usaha yang telah diberikan oleh YPI.

Tahap terminasi ini adalah proses pemutusan relasi yang dilakukan oleh ohida kepada ODHA atas dasar tercapainya kebutuhan ataupun tecapainya tujuan yang diharapkan oleh kedua belah pihak. hal ini terbukti dengan adanya beberapa ODHA yang bekerja sebagai konselor adiksi di beberapa puskesmas di Jakarta, evaluator di sebuah LSM ataupun dikembalikan ke keluarganya (rujukan) sebagai bentuk disengagement antara Ohida dan ODHA.

Dari proses tahapan pemberian terapi menyulam di atas di dapati beberapa temuan yakni, hasil yang berbeda dari dua informan yang dijadikan sumber data oleh peneliti, di sini proses terapi menyulam informan WN didapati tidak berjalan optimal karena mayoritas ODHA perempuan yang tergabung dalam kelompok terapinya, hal ini di siasati dengan diikutsertakannya informan WN sebagai narasumber penyuluhan di Depok. Namun, hal tersebut tidaklah berjalan secara berlanjut karena kerjasama Dinkes Depok dan YPI hanya beberapa waktu saja. Penguatan diri yang dilakukan pada terapi menyulam ini adalah penguatan non verbal dengan pendekatan kegiatan yang menyenangkan, yakni terapi

menyulam dan kegiatan sebagai pembicara pada penyuluhan HIV/AIDS.

Perbedaan pencapaian hasil adalah bentuk tidak optimalnya teknis pada saat pemberian terapi menyulam karena mayoritas di huni oleh ODHA perempuan, sedangkan WN merasa tidak fokus dalam berkomunikasi satu sama lain karena perbedaan tersebut.