• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP

B. Rekomendasi

1. Kementerian Sosial segera menyelesaikan Rancangan Revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasionan (PBI JKN) yang sudah mendapatkan ijin prakarsa dari Presiden menjadi Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial yang sudah dilakukan rapat Tim Panitian Antar kementerian (PAK) terakhir pada tanggal 16 November 2021, draft RPP PBI Jaminan Sosial bagian PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sudah disampaikan oleh DJSN kepada Biro Hukum Kementerian Sosial.

2. Dalam rangka melaksanakan fungsi sinkronisasi, DJSN agar melakukan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Koordinasi dimaksud dilakukan agar dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan memuat klausul bahwa Asuransi Kecelakaan Kerja dan Asuransi Kehilangan Jiwa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang tentang perlindungan Nelayan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

3. DJSN sebagai Lembaga perumus kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN agar melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menyampaikan hasil kajian kepada Kementerian terkait dan BPJS Ketenagakerjaan.

2) Menyusun draft ketentuan teknis PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

EXECUTIVE SUMMARY...i

DAFTAR ISI ...xVii DAFTAR TABEL ...xix

DAFTAR GAMBAR ...xix

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Ruang Lingkup ... 8

D. Tujuan dan Kegunaan ... 8

E. Metode ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ... 10

A. Kajian Teoritis ... 10

B. Kajian Konsep Tenaga Kerja Formal – Informal dan Tenaga Kerja dalam Hubungan Kerja (TK DHK) – Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK LHK) ... 19

C. Kajian Kriteria Pekerja Miskin dan Pekerja Tidak Mampu yang Berhak Menjadi Peserta PBI JKK, JKM, dan JHT ... 21

D. Kajian Dampak Fiskal ... 22

E. Kajian Praktik Empiris ... 28

1. Program Bantuan Sosial Bagi Masyarakat Miskin dan Tidak Mampu ... 28

2. Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK LHK) ... 29

3. Penerima bantuan iuran dalam Program Jaminan Kesehatan ... 30

4. Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian .. 35

5. Penyelenggaaraan Program Jaminan Hari Tua ... 38

6. Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PBI JKN yang Mengalami Kecelakaan ... 40

7. Perlindungan Kecelakaan Kerja dan Kehilangan Jiwa Bagi Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam... 40

F. Distribusi Pekerja Miskin dan Pekerja Tidak Mampu ... 42

G. Pelajaran Dari Hasil Kajian ... 44

BAB III ANALISA DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ...45

A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Dijadikan Objek Analisis Dan Evaluasi ... 45

B. Analisis dan Evaluasi ... 46

1. Kepesertaan Dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua ... 46

2. Dasar Penetapan Iuran Program JKK dan JKM ... 49

3. Dasar Penetapan Iuran JHT ... 51

4. Cakupan Manfaat Program JKK dan JKM ... 52

5. Cakupan Manfaat Program JHT ... 54

6. Perlindungan Kecelakaan Kerja dan Kehilangan Jiwa Bagi Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam... 55

7. Peraturan Pelaksanaan PBI ... 57

C. Poin Penting Hasil Analisis dan Evaluasi Regulasi ... 59

Daftar

Isi

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS ...60

A. Landasan Filosofis ... 60

B. Landasan Sosiologis ... 62

C. Landasan Yuridis ... 63

BAB V JANGKAUAN, ARAH DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKErJAAN ...66

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan ... 68

1. Regulasi PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 68

2. Kriteria Pekerja Miskin dan Tidak Mampu yang berhak untuk didaftarkan sebagai PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. ... 68

3. Kementerian yang ditugaskan untuk menetapkan kriteria pekerja miskin dan tidak mampu yang berhak didaftarkan sebagai PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 68

4. Sumber Data PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 68

5. Penahapan ... 69

6. Alur pendaftaran PBI Sosial Ketenagakerjaan ... 69

7. Penetapan Jumlah PBI dan Pendaftaran Peserta ... 72

8. Perubahan data Penerima PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 72

9. Strategi Graduasi PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 73

10. Iuran PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 74

11. Sumber pendanaan untuk iuran PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 74

12. Mekanisme pengusulan anggaran PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 74

13. Manfaat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 74

14. Integrasi Program Bantuan Premi Bagi Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam ... 74

B. Ruang Lingkup Materi Pengaturan ... 74

BAB VI PENUTUP ...75

A. Kesimpulan ... 75

B. Rekomendasi ... 76

DAFTAR PUSTAKA ...77

Tabel 1 Kebutuhan Anggaran PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan skema 1 ... vi

Tabel 2 Kebutuhan Anggaran PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan skema 2 ... vi

Tabel 3 Sektor Pekerjaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dengan status Menikah/Sudah Menikah dan Sebagai Kepala Keluarga ... ix

Tabel 4 Data Kepesertaan Program JKK/JKM dan JHT Berdasarkan Segmentasi Peserta Per Oktober 2021 ... 3

Tabel 5 Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Bagi Peserta Penerima Upah . 5 Tabel 6 Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 6

Tabel 7 Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2014 – 2019 ... 7

Tabel 8 Dampak Fiskal Berdasarkan Skema 1 ... 23

Tabel 9 Dampak Fiskal Pertahun Berdasarkan Skema 2 Opsi 1 ... 24

Tabel 10 Dampak Fiskal Pertahun Berdasarkan Skema 2 Opsi 2 ... 24

Tabel 11 Dampak Fiskal Pertahun Berdasarkan Skema 2 Opsi 3 ... 25

Tabel 12 Kelebihan dan Kekurangan dari Masing-Masing Opsi Dampak Fiskal ... 26

Tabel 13 Iuran Program Jaminan Sosial TK LHK Era UU Jamsostek ... 29

Tabel 14 Data Peserta JKN Pada Tahun 2014 ... 32

Tabel 15 Data Perkembangan Kepesertaan PBI JKN Tahun 2015 sd Tahun 2020 ... 32

Tabel 16 Data Perkembangan Besaran Iuran PBI dan PBPU ... 33

Tabel 17 Iuran Program JKK Bagi PPU ... 36

Tabel 18 Tabel Penghasilan dan Iuran Program JKK bagi PBPU ... 37

Tabel 19 Tabel Penghasilan dan Iuran Program JHT bagi PBPU ... 39

Tabel 20 Sektor Pekerjaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan ... 42

Tabel 21 Sektor Pekerjaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dengan status menikah/sudah menikah dan sebagai kepala keluarga ... 43

Tabel 22 Hasil Screening Pentahapan Bantuan Iuran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan .. 43

Tabel 23 Tabel Iuran JHT ... 51

Daftar Tabel Daftar Gambar

Gambar 1 alur pendaftaran prioritas 1 BPU Mandiri (pekerja miskin) untuk program JKK dan JKM ... 69

Gambar 2 alur pendaftaran prioritas 2a BPU Kemitraan (pekerja tidak mampu) untuk program JHT ... 70

Gambar 3 alur pendaftaran prioritas 2b PPU Mikro (pekerja tidak mampu) untuk program JHT ... 71

Gambar 4 alur perubahan data penerima PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ... 72

UUD NRI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional

DJSN Dewan Jaminan Sosial Nasional BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial JKN Jaminan Kesehatan Nasional

JKK Jaminan Kecelakaan Kerja

JHT Jaminan Hari Tua

JP Jaminan Pensiun

JKM Jaminan Kematian

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah PPU Peserta Penerima Upah

PBPU Peserta Bukan Penerima Upah PBI Penerima Bantuan Iuran

TK DHK Tenaga Kerja Dalam Hubungan Kerja TK LHK Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja JAMSOSTEK Jaminan Sosial Tenaga Kerja

PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial BPS Badan Pusat Statistik

UMP Upah Minimum Provinsi BUMN Badan Usaha Milik Negara BUMD Badan Usaha Milik Daerah

DTKS Data Terpadu Kesejahteraan Sosial KHL Kebutuhan Hidup Layak

PHK Pemutusan Hubungan Kerja

Daftar

Singkatan

A. LATAR BELAKANG

Jaminan sosial merupakan salah satu hak dalam Pasal 34 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengamanatkan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Ayat (4) Pasal yang sama menetapkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.”

UUD NRI 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok, memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah dan penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial demi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan aturan-aturan teknis pelaksanaanya diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah dan mencabutnya.2

Adanya ketentuan-ketentuan tersebut merupakan aspek Hak Asasi Manusia (HAM), yang perlindungannya merupakan salah satu ciri dari negara hukum.3 Dalam negara hukum jaminan perlindungan HAM menjadi salah satu bagian yang fundamental untuk dilaksanakan, karena merupakan hak yang paling mendasar dan melekat pada setiap diri manusia dimanapun ia berada. Tanpa adanya hak ini, berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar.

Karena itu, HAM adalah suatu tuntutan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat perlindungan hukum.4

Menindaklanjuti amanat UUD NRI 1945 sebagaimana tersebut diatas, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia dengan payung Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) serta seluruh peraturan turunannya. Pengaturan yang demikian sesuai dengan teori jenjang norma yang menyatakan bahwa norma-norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana norma yang rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma tertinggi yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, dan bersifat hipotesis serta fiktif yaitu norma dasar.5

2 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya (Yogyakarta:

Kanisius, 1998), hlm. 45.

3 Pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri akan adanya: (1) Jaminan perlindungan hak asasi manusia;

(2) Peradilan yang merdeka; (3) Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara, maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. [Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 46-47.

4 Frans Sayogie, Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan Beragama dalam Islam dan HAM Universal (Jakarta: Penerbit Trans Pustaka dengan Yayasan Pusat Kajian dan Advokasi Hak-Hak Minoritas, 2013), hlm. 16.

5 Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2010), hlm.

PENDAHULUAN

BAB I

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada definisi universal mengenai “jaminan sosial” (sosial security), secara umum ia diartikan sebagai penyedia perlindungan yang dilakukan lewat prosedur publik atas berbagai kerugian atau kehilangan penghasilan karena sakit, kehamilan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, cacat, usia lanjut, dan kematian.6

Komitmen pemerintah dalam memperkuat Sistem Jaminan Sosial Nasional diwujudkan dengan membuat perubahan pada beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Perubahan tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana pemerintah menambahkan 1 (satu) program, yaitu Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Melalui program-program jaminan sosial ini setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Enam program jaminan sosial yang ditetapkan dalam UU SJSN meliputi:

a. Jaminan Kesehatan;

b. Jaminan Kecelakaan Kerja;

c. Jaminan Hari Tua;

d. Jaminan Pensiun; dan e. Jaminan Kematian.

f. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Pasal 5 ayat (1) UU SJSN menetapkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang. Untuk menindaklanjuti amanat Pasal 5 tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Undang-Undang BPJS menetapkan BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan untuk menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKM), serta dalam perubahan yang terdapat di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja BPJS Ketenagakerjaan juga diamanatkan dalam menyelenggarakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Semua ini disusun karena negara memiliki kewajiban untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakatnya, seperti yang ditekankan oleh Sodikin bahwa tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakat untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.7

Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan 9 prinsip sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 UU SJSN, yaitu prinsip: kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan 6 Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, (Jakarta:

Trade Union Rights Centre, 2008), hlm 17.

7 Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Jakarta:

Penerbit Djambatan, 2007), hlm. 97.

program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa prinsip kegotongroyongan adalah prinsip kebersamaan dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau penghasilannya. Sedangkan prinsip kepesertaan bersifat wajib adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.

Sistem jaminan sosial di Indonesia bersifat kontribusi (contribution based bukan tax based), dimana seluruh peserta berkewajiban membayar kontribusi kepesertaan program jaminan sosial. Pekerja Penerima Upah (PPU), melakukan kontribusi melalui presentase gaji, sedangkan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) melakukan pendaftaran dan pembayaran iuran secara mandiri. Meskipun begitu, Negara tetap hadir melindungi kelompok fakir miskin dan orang tidak mampu melalui penerima bantuan iuran atau melalui bantuan sosial. Oleh karena itu, sistem perlindungan sosial di Indonesia terdiri dari Social Assistance (Bantuan Sosial) dan Social Insurance (Jaminan Sosial).

Program Jaminan Sosial bidang Ketenagakerjaan (JKK, JKM, JKP, JHT, dan JP) diperuntukkan bagi setiap orang yang bekerja, baik di sektor formal maupun informal, pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja (Peserta Penerima Upah/PPU) maupun pekerja yang bekerja diluar hubungan kerja atau pekerja mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah/PBPU). Khusus Program Jaminan Pensiun hanya diperuntukkan bagi Pekerja Penerima Upah (PPU).

Sampai dengan tahun ke-7 implementasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang diselenggarakan berdasarkan UU SJSN, cakupan kepesertaan masih relatif kecil. Data kepesertaan Program JKK, JKM dan JHT berdasarkan segmentasi Peserta sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel 4 data kepesertaan program jkk dan jkm dan jht berdasarkan segmentasi peserta per Oktober 2021

Jumlah Pekerja/Segmen Peserta Program

JKK dan JKM JHT

Jumlah Pekerja formal = 56,02 (jt) *)

Jumlah PPU (jiwa) 20.451.032 16.092.450

Jakon 7.156.184

-Total PPU + Jakon 27.607.216 16.092.450

Cakupan (%) 39,17% 22,83%

Jumlah Pekerja informal = 70,49 (jt) *) terdiri dari:

1. Jumlah Pekerja informal BPU 43,64 (jt) 2. Jumlah Pekerja informal PU 26,85 (jt)

Jumlah PBPU (jiwa) 3.037.322 263.828

Cakupan (%) 6,96% 0,60%

Sumber Data : Sakernas diolah dari Data DJSN

*) Sakernas

Peserta Penerima Upah (PPU) pada umumnya bekerja di sektor formal, sehingga cakupan kepesertaan PPU dalam hal ini menggunakan jumlah pekerja di sektor formal sebagai acuan. Demikian juga dengan Peserta Bukan Penerima Upah, yang pada umumnya bekerja di sektor informal. Oleh karena itu cakupan kepesertaan PBPU dalam hal ini menggunakan

jumlah pekerja di sektor informal. Dalam kenyataannya pada sektor informal juga terdapat orang yang bekerja dengan menerima upah, sebagai contoh adalah pada usaha warung tegal atau usaha rumah tangga yang mempekerjakan 1 sampai dengan 4 orang tenaga kerja. Dalam skala industri kelompok ini termasuk pada jenis usaha mikro.

Pada Tabel 4 sebagaimana tersebut diatas terlihat bahwa Jumlah PBPU Program JKK, JKM dan JHT masih relatif kecil. Data kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan per Oktober 2021 menunjukan bahwa cakupan kepesertaan program JKK, JKM peserta PBPU sebesar 6,96% lebih kecil dibanding cakupan kepesertaan PPU yang telah mencapai 39,17%. Demikian juga dengan Program JHT sebesar 0,60% dibandingkan dengan PPU yang telah mencapai 22,83%. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah pekerja informal (55,72%) yang merupakan bagian yang lebih besar dibanding pekerja formal (44,28%). Pada awal penyelenggaraan SJSN upaya perluasan kepesertaan Program Jaminan Sosial memang lebih difokuskan pada sektor formal. Hal ini sesuai dengan amanat UU SJSN yang dimuat dalam penjelasan umum, yang menjelaskan tentang prinsip kepesertaan wajib, yaitu; “Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.

Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahap pertama dimulai dari pekerja sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat”.

Beberapa pasal dalam UU SJSN menunjukkan bahwa pendanaan penyelenggaraan Program Jaminan Sosial bersumber dari iuran, sehingga seseorang dapat dikatakan telah menjadi peserta jika telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Terkait dengan pembayaran iuran, Pasal 17 ayat (4) dan ayat (5) memuat ketentuan bahwa iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.

Pada tahap pertama pembayaran iuran oleh Pemerintah adalah untuk program Jaminan Kesehatan. Kemudian pada ayat (6) dinyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 17 ayat (6) sebagaimana tersebut diatas, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

Sampai dengan tahun ketujuh impelementasi penyelenggaraan SJSN, penerima bantuan iuran Program Jaminan Sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu masih terbatas pada Program Jaminan Kesehatan. Belum ada regulasi yang mengatur penerima bantuan iuran untuk program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan. Pada kenyataannya cukup banyak masyarakat yang berstatus sebagai pekerja yang layak atas bantuan iuran program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan karena memenuhi kriteria sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu, namun karena belum ada regulasinya maka penerima bantuan iuran tersebut belum dapat diimplementasikan.

Ketentuan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) menetapkan bahwa tahap pertama PBI jaminan sosial adalah untuk Program Jaminan Kesehatan yang diatur lebih lanjut dengan PP 101 Tahun 2012 jo PP 76 Tahun 2015 tentang PBI Jaminan Kesehatan. Untuk tahap selanjutnya dibutuhkan regulasi

berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan PBI program jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN. Olehkarena itu peraturan pelaksana PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan perlu segera diterbitkan, mengingat bahwa telah ditetapkannya target jumlah cakupan PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sampai dengan tahun 2024 sebanyak 20.000.000 yang diatur dalam Lampiran 1 BAB IV point 8 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 - 2024.

Pada tahap awal, program PBI jaminan sosial ketenagakerjaan dapat dimulai dari program JKK dan JKM. Secara rasional, program yang bersifat jangka pendek seperti program JKK dan JKM lebih dibutuhkan agar setiap orang mendapatkan perlindungan dan bisa mempertahankan derajat hidup yang layak. Selain pertimbangan hal tersebut, besaran iuran program JKK dan JKM relatif kecil dibandingkan iuran JHT dan JP. Besaran iuran ini harus menjadi pertimbangan dalam penahapan PBI, mengingat bantuan iuran bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang tentunya akan menambah pengeluaran keuangan negara.

Selain pertimbangan hal tersebut, besaran iuran program JKK dan JKM relatif kecil dibandingkan iuran JHT dan JP. Besaran iuran ini harus menjadi pertimbangan dalam penahapan penerima bantuan iuran, mengingat bantuan iuran bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang tentunya akan menambah beban keuangan negara. Besaran iuran program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan bagi Peserta Penerima Upah (PPU) sebagaimana pada Tabel 1.2 dibawah ini:

Tabel 5 iuran program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi peserta penerima upah

No. Program Besaran Iuran

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa iuran Program JKK bervariasi sesuai dengan tingkat risiko lingkungan kerja, mulai dari tingkat risiko sangat rendah dengan iuran sebesar 0,24%

dari upah, sampai dengan tingkat risiko sangat tinggi dengan iuran sebesar 1,74% dari upah.

Iuran untuk tingkat risiko sangat tinggi masih jauh lebih kecil dibanding iuran program jaminan sosial jangka panjang (JHT dan JP). Demikian juga dengan iuran JKM yang hanya sebesar 0,3% dari upah.

Iuran program jaminan sosial bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) ditetapkan berdasarkan jumlah nominal. Peserta Bukan Penerima Upah hanya dapat mengikuti 3 program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan selain Program Jaminan Pensiun, dengan besaran iuran sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel 6 iuran program jaminan sosial ketenagakerjaan

No Program Besaran Iuran (Rp) Keterangan

1 JKK

2 JKM 6.800 Sama untuk semua peserta

3 JHT 20.000

414.000

Terendah Tertinggi

Iuran Program JKK untuk PBPU bervariasi sesuai tingkat penghasilan yang dilaporkan pada saat pendaftaran, mulai dari yang terendah sebesar Rp.10.000;- (sepuluh ribu rupiah) per bulan, yaitu untuk PBPU yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 1.000.000;- (satu juta rupiah) per bulan. Iuran yang tertinggi adalah sebesar Rp. 207.000;- (dua ratus tujuh ribu rupiah), yaitu untuk yang berpenghasilan sebesar Rp. 20.200.000;- (dua puluh juta dua ratus ribu rupiah) atau lebih per bulan. Besaran iuran yang dipilih berkorelasi langsung dengan besaran manfaat santunan cacat total tetap dan santunan kematian akibat kecelakaan kerja yang diterima. Santuan cacat total tetap adalah sebesar 56 kali penghasilan yang dipilih, dan santuan kematian akibat kecelakaan kerja adalah sebesar 48 kali penghasilan.

Pentahapan selanjutnya dalam PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah program JHT.

Program JHT dibutuhkan untuk mempertahankan derajat hidup yang layak bagi peserta pada saat mencapai usia pensiun, catat total tetap, meninggal dunia, atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Berdasarkan proyeksi demografi, Indonesia akan memasuki era populasi menua (ageing population) setelah tahun 2030. Oleh karenanya, urgensi dari program perlindungan hari tua harus dipersiapkan sedini mungkin. Di sisi lain, kepesertaan wajib program JHT masih belum diamanatkan kepada pekerja penerima upah pada skala usaha mikro dan pekerja bukan penerima upah yang pada umumnya termasuk kategori pekerja tidak mampu, sehingga menjadi rentan bagi mereka di hari tuanya terutama ketika Indonesia sudah memasuki era ageing population. Dengan demikian, perlindungan hari tua melalui pembayaran iuran JHT oleh Pemerintah kepada pekerja tidak mampu sebagai PBI Program JHT menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendasar.

Variasi iuran PBPU pada Program JKK dan JKM juga berlaku pada Program JHT, mulai dari yang terendah sebesar Rp. 20.000;- (dua puluh ribu rupiah) bagi PBPU yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 1.000.000;- (satu juta rupiah) per bulan, sampai dengan yang tertinggi sebesar Rp. 414.000;- (empat ratus empat belas ribu rupiah) bagi PBPU yang berpenghasilan sebesar Rp. 20.700.000;- (dua puluh juta tujuh ratus ribu rupiah) per bulan. Besaran iuran

Variasi iuran PBPU pada Program JKK dan JKM juga berlaku pada Program JHT, mulai dari yang terendah sebesar Rp. 20.000;- (dua puluh ribu rupiah) bagi PBPU yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 1.000.000;- (satu juta rupiah) per bulan, sampai dengan yang tertinggi sebesar Rp. 414.000;- (empat ratus empat belas ribu rupiah) bagi PBPU yang berpenghasilan sebesar Rp. 20.700.000;- (dua puluh juta tujuh ratus ribu rupiah) per bulan. Besaran iuran

Dokumen terkait