• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL HABIB MUNDZIR AL-MUSAWWA DAN

1. Riwayat Hidup Habib Mundzir Al-Musawwa

Habib Mundzir Al-Musawwa, beliau adalah anak dari seoarang yang bernama Habib Fuad bin Abdurrahman Al-Musawwa, ayah beliau lahir di Palembang, Sumatera Selatan. Habib Fuad dibesarkan di Makkah Al-Mukarramah dan beliau memiliki gelar sarjana dari New York University, bidang Jurnalistik. Kemudian kembali ke Indonesia dan berkecimpung dibidang jurnalis, sebagai wartawan luar negeri di harian Berita Yudha sampai akhirnya pindah bermuara di harian Berita Buana.1

Beliau menjadi wartawan luar negeri selama empat puluh tahun, pada tahun 1996 beliau wafat dan dimakamkan di Cipanas Cianjur Jawa Barat. Habib Mundzir bin Fuad bin Abdurrahman Al Musawwa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa Barat, pada hari jum‟at 23 Februari 1973 bertepatan dengan 19 Muharram 1393 H.

Habib Mundzir dididik dalam hidup dalam kesederhanaan oleh ayahnya di Cipanas Jawa Barat. Ayah beliau lebih senang menyendiri jauh dari ibukota dalam membesarkan anak-anaknya. Dengan jauh dari ibu kota ayah beliau lebih mudah dalam mengajarkan anak-anaknya mengaji, membaca ratib dan shalat berjama‟ah. 2

1

Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I (Jakarta: Nafas 2010), h. 5

2

Habib Hisyam Al-Musawwa (paman dari Habib Mundzir), Wawancara Pribadi, 15 Desember 2012 Tebet Jakarta Selatan

Mundzir yang biasa disapa sangat manja oleh ayahnya. Ayahnya yang selalu memanjakan Mundzir lebih dari anak-anaknya yang lain, namun dimasa baligh justru dialah yang sekolah sampai menengah atas saja sedangkan semua kakaknya menjadi sarjana. Ayah bundanya bangga pada mereka, dan kecewa pada Mundzir saat itu karena malas melanjutkan sekolah lagi kejenjang yang lebih tinggi.3 Dia lebih senang hadir di Majelis maulid Al Arifbillah Al Habib Umar bin Hud Alattas dan Majelis taklim kamis sore di Empang Bogor, Jawa Barat. Masa itu yang mengajar adalah Almarhum Al-Allamah Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dengan kajian Fathul Baari.

Hari-hari beliau dihabiskan untuk bershalawat kepada nabi Muhammad SAW sebanyak 1000 siang dan 1000 malam, serta ditambah dengan zikir ribuan kali. Beliau juga isiqomah untuk berpuasa Nabi Daud AS dan shalat malam sampai berjam-jam. Habib Mundzir saat itu pengangguran yang sangat membuat ayah dan bundanya malu.

Ayahnya malu meliahat Habib Mundzir karena seperti tidak memiliki arah tujuan hidup, sedangkan ayahnya saja dapat menguasai dalam ilmu agama dan ilmu formal lainnya khussnya jurnalistik. Ayahnya belajar agama selama sepuluh tahun di Makkah Al Mukarramah, guru beliau adalah Almarhum Al-Allamah Al-Habib Alwi Al-Maliky, ayah dari Almarhum Assayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliky. Setelah belajar untuk ilmu agama ayahnya juga belajar ilmu Jurnalistik dengan bersekolah di New York University, Amerika Serikat untuk mengambil gelar sarjana.

3

Habib Hisyam Al-Musawwa (paman dari Habib Mundzir), Wawancara Pribadi, 15 Desember 2012 Tebet Jakarta Selatan.

Kecintaan Habib Mundzir Al-Musawwa kepada Rasulullah SAW sangat dalam, sering sekali Habib Mundzir menangis sebab merindukan Rasulullah SAW. Dari dalamnya kecintaan dan kerinduannya ia sering dikunjungi Rasulullah SAW dalam mimpi. Rasulullah SAW sering menghiburnya dalam mimipi jika Habib Mundzir sedang sedih, suatu waktu Habib Mundzir bermimpi bersimpuh dan memeluk lutut Rasulullah SAW dan berkata wahai Rasulullah aku rindu padamu maka jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal aku bisa selalu berjumpa denganmu, aku tersiksa di dunia ini. Rasulullah SAW menepuk bahunya dan berkata Mundzir tenanglah sebelum usiamu mencapai empat puluh tahun kau sudah jumpa denganku maka dirinya terbangun.

Akhirnya, karena ayahnya pensiun maka ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah dengan lima kamar saja. Disewakan pada orang yang memiliki niat baik saja ,bukan untuk kemaksiatan karena untuk biaya hidup sehari-hari keluarganya. Habib Mundzir sendirilah pelayan losmen tersebut. Setiap malam dirinya jarang tidur, duduk termenung di kursi penerimaan tamu. Hanya meja kecil saja dan kursi kecil mirip pos satpam tempatnya berjaga sambil menannti tamu sambil bertafakkur, merenung, melamun, berzikir, menangis dan shalat malam. Demikianlah hari demi hari dan malam-malam dia lewati.4

Habib Mundzdir terus dilanda sakit asma yang parah, maka itu juga semakin membuat ayah ibundanya kecewa. Hingga berkata ibundanya “kata orang, apa bila banyak anak mesti ada satu yang gagal, ibu tidak mau

4

percaya pada ucapan itu tapi apakah ucapan itu kebenaran atau celatukan masyarakat awam saja”, hal ini ditegaskan oleh kakak kandungnya.5

Habib Mundzir menjadi pelayan di losmen yang didirikan ibundanya dalam waktu yang lama. Menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersikan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.

Sampai kakanya lulus sarjana, ia kemudian tergugah untuk pesantren, pesantren pertama yang dituju Habib Mundzir Al-Musawwa untuk memperdalami Ilmu Syariah Islam adalah di Ma‟had Assaqofah Al -Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan. Kemudian mengambil kursus bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur. Habib Mundir belajar di Ma‟had Assaqofah tidak lama hanya dua bulan, hal ini disesabbkan bealiau sakit-sakitan.6

Habib Mundzir privat kursus bahasa Arab di Assalafi setelah keluar dari Ma‟had Assaqofah, pimpinan Habib Bagir Alattas, ayahanda dari Habib Hud Alattas yang selalu hadir di Majelis Raulullah Saw di Al Munawwar. Mundzir saat itu harus pergi ke Jakrata lalu pulang kembali ke Cipanas yang saat itu ditempuh dua sampai tiga jam dengan ongkos sendiri. Demikina setiap dua kali seminggu ongkos tersebut didapat dari hasil losmen tersebut.

Selain belajar ke Jakarta Habib Mundzir juga selalu hadir setiap acara maulid di Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud Alattas

5

Habib Nabil bin Fuad Al-Musawwa, Wawancara PribadiI,(Jakarta: 23 Mei 2013 Tebet Jakarta Selatan)

6

yang saat itu di Cipayung. Jika tidak memiliki ongkos ia sering sekali menumpang truk dan sering pula kehujanan. Sering ia datang ke maulid Habib Umar bin Hud Alattas setiap malam jum‟at dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan, dan ia diusir oleh pembantu dari Habib Umar Alattas, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas ia yang kotor menginjaknnya. Habib Mundzir terpksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu berdatangan. Maka ia duduk diluar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.

Habib Mundzir juga sering melakukan ziarah ke Luar Batang Pasar Ikan Jakarta Utara, makam Al-Habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus. Suatu kali ia datang lupa membawa peci dikarenakan datang langsung dari Cipanas, maka ia berkata dalam hati. Wahai Allah aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, maka tak beradab jika aku berziarah tanpa peci, tapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, jika aku membeli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku berkurang, seraya berkata di dalam hatinya seperti itu.

Karena akhlak maka ia memutuskan untuk membeli peci berwarna hijau, pada saat itu hanya peci tersebutlah yang paling murah diemparan penjual peci, dia membelinya lalu masuk untuk berziarah. Sambil membaca surah Yaasin untuk dihadiahkan kepada almarhum, ia menangisi kehidupannya yang penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh. Mereka berkata semua kakak-kakakmu sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York University kok anaknya centeng losmen. Maka saat sering dicemooh

ia menghindari kerabat-kerabat sekitarnya, saat lebaranpun ia jarang berani datang karena terus dicemooh.7

Dalam tangis ia berkata wahai wali Allah, aku tamumu dan aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shaleh disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang. Lalu dalam hati ia merenung dan tidak lama kemudian datanglah ronmbongan teman-temannya yang dahulu satu pesantren di pondok Sayyidul Walid Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf untuk berziarah. Mereka datang dengan satu mobil, mereka senang jumpa dengannya, dia pun diajak makan bersama teman-temannya, kemudian Mundzir langsung teringat inilah keberkahan dari beradab dimakam wali Allah.8

Lalu ia ditanya dengan siapa dan mau kemana, dia katakana dia sendiri dan ingin pulang ke rumah kerabat ibunya di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jakarta Selatan, teman-teannya lantas memberi tawaran untuk ikut bersama mereka sampai Kebon Nanas. Maka ia pun semakin bersyukur kepada Allah karena memang ongkosnya tak cukup untuk pulang ke Cipanas. Dia sampai larut malam di kediaman bibi dari ibundanya, di Pasar Sawo Kebon Nanas, lalu esok harinya dia diberi uang cukup untuk pulang, dia pun pulang ke Cipanas.

Tak lama dia berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul , maka tak lama dari situ Mundzir

7

Habib Mundzir Al Musawwa, Kenalilah Aqidahmu, edisi I (Jakarta: Nafas 2010), h. 21.

8

masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abu bakar di Bekasi Timur, dan setiap pembacaan maulid tepatnya saat mahal qiyam (yaitu posisi berdiri saat pembacaan sirah nabawi, dimaksudkan untuk menyambut kedatanagan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dilakukan kaum Anshor di Madinah) ia menangis dan berdoa kepada Allah rindu kepada Rasul, dan meminta agar dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul. Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke Pondok itu, kunjungan pertama beliau ke Indonesiapada tahun 1994.

Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau meliriknya dengan tajam, Mundzir ketika itu hanya menangis memandangi wajah sejuk dari Habib Umar bin Hafidh, lalu saat beliau sudah naik kemobil bersama Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela, maka Habib Umar bin Hafidh memanggil Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar Bin Salim, Habib Umar bin Hafidh berkata bahwa beliau ingin sekali Mundzir ketika itu dikirim ke Tarim Hadramaut Yaman untuk belajar dan menjadi muridnya saat itu.9

Guru Mundzir pada saat itu Habib Nagib Bin Syekh Abu bakar mengatakan kepada Habib Umar bin Hafidh bahwa Mundzir belum siap, belum bisa bahasa Arab karena murid baru dan belum mengetahui apa-apa., mungkin beliau salah pilih, maka Habib Umar saat itu jarinya tertuju kepada Mundzir Al-Musawwa, anak muda yang memakai peci hijau itu, dialah yang saya inginkan. Maka gurunya Habib Nagib memanggilnya untuk jumpa dengan Habib Umar, lalu Habib Umar bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih dalam keadaan terbuka, siapa namamu?”dalam

9

bahasa arab tentunya” dia tak bisa menjawab karena tidak faham, maka gurunya Habib Nagib menjawab saat itu, kau ditanya siapa namamu!, maka dia menjawab nama saya Mundzir, dan Habib Umar bin Hafidh tersenyum.

Kemudian keesokan harinya Mundzir bertemu kembali dengan Habib Umar bin Hafidh dikediaman Habib Bagir Alattas, saat itu banyak para Habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Habib Umar bin Hafidh, maka Habib Umar bin Hafidh mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu Habib Umar melihat Mundzir dari kejauhan saat itu, lalu beliau berkata kepada Almarhum Habib Umar Maula Khela itu anak itu, jangan lupa dicatat ya, dia yang memakai peci hijau itu.

Habib Umar kembali ke Yaman, Mundzir pun langsung ditegur gurunya Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar, ia berkata wahai Mundzir, kau harus bersiap-siap dan bersunguh-sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum kau siap.

Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela ke pesantren, dan menanyakan pada Mundzir saat itu, Almarhum Habib Umar Maula Khela berkata pada Habib Nagib mana itu Mundzir anaknya Habib Fuad Al Musawwa, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya, maka Habib Nagib berkata bahwa Mundzir belum siap. Namun Almarhum Habib Umar Maula Khela tidak mau tahu namanya sudah tercantum dan harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar Bin Hafidh, ia harus berangkat dalam dua minggu ini

bersama rombongan pertama.10

Akhirnya dia dipersiapkan pasport dan persiapan lainnya, namun ayahnya keberatan, ayahnya berkata kau ini sakit-sakitan, apabila kau ke Makkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadramaut ayah tak ada kenalan, disanan negri tandus, bagaimana kalau kau sakit dan siapa yang menjagamu.

Mundzir pun datang mengadu kepada Almarhum Arif billah Al-Habib Umar bin Hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh dan bilau berkata, katakana pada ayahmu aku yang menjaminmu berangkatlah.

Kemudian Mundzir mengatakan pada ayahnya, maka ayahnya diam namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan dirinya berangkat, saat ia mesti berangkat kebandara ayahnya tak mau melihat wajahnya Mundzir saat itu, ayahnya memalingkan muka dan hanya memberikan tangnnya tanpa mau melihat wajahnya. Mundzir kecewa namun dengan berat ia tetap melangkah ke mobil travel yang akan dinaikinya, namun saat ia naik terasa ingin berpaling kebelakang, menengong kebelakang ayahnya berdiri dipagar rumah dengan tangis melihat keberangkatannya, beliau melambaikan tangan tanda ridho, ternyata bukan karena ayahnya tidak meridhoinya, akan tetapi karena Mundzir adalah anak yang paling disayanginya dan dimanjaknnya, beliau berat berpisah dengannya dan akhirnya ia berangkat dengan air mata sedih.

Sesampainya di Tarim Hadramaut Yaman Utara, tepatnya dikediaman Habib Umar bin Hafidh, beliau mengabsen nama-nama dari semua alumni pertama saat itu, ketika sampai pada nama Mundzir Habib

10

Umar bin Hafidh tersenyum indah kepadanya.

Tak lama kemudian saat itu terjadi perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan, pasokan makanan berkurang, sehingga makanan sulit, listrik mati, sehingga mereka harus berjalan kaki kemana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk taklim, karena biasanya dengan mobil milik Habib Umar bin Hafidh, namun dimasa perang pasokan bahan bakar untuk kendaraan sangatlah minim.

Suatu hari Mundzir dilirik oleh Habib Umar bin Hfidh dan berkata namamu Mundzir, Mundzir artinya memberi peringatan, ia pun mengangguk, lalu Habib Umar bin Hafidh berkata lagi bahwa kamu Mundzir akan memberi peringatan pada jamanmu kelak, dan Mundzir pun mengaminkannya di dalam hati.

Maka Mundzir tercenung dan terngiang-ngiang dengan ucapan gurunya tersebut, kamu akan memberi peringatan pada jamanmu kelak, lalu Mundzir berkata di dalam hati, saya akan punya jama‟ah, saya miskin begini bahkan untuk mencuci baju pun tidak memiliki uang untuk membeli sabun cuci.

Untuk mencuci bajunya mundzir mau mencucikan baju temannya dengan upah agar ia mendapat bagian dari sabun cuci dari pemilik baju, namun terkadang ia mendapat hardik bahwa cucianmu tidak bersih, orang lain sajalah yang mencuci baju ini. Maka ia terpaksa mencuci bajunya dari air bekas cucian orang lain, air sabun cuci yang mengalir itulah yang Mundzir pakai untuk mencuci bajunya.

Hari demi hari Habib Umar bin Hafidh makin sibuk, maka Mundzir pun mulai berkhidmat pada Habib Umar bin Hafidh, dan lebih

memilih membantu segala permasalahan santri, seperti makan, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, ia tinggalkan pelajaran demi berbakti pada guru mulia yaitu membantu beliau, dengan itu dia lebih sering berjumpa dengan gurunya.

Dua tahun di Yaman, ayahnya Mundzir sakit, dan menelepon ke ma‟had Darul Mustafa, ayahnya menanyakan kapan Mundzir pulang, ayah sudah rindu padamu, Mundzir menjawab dua tahun lagi insya Allah ayah, ayahnya menjawab dengan sedih ditelepon, masih lama sekali ya, tiga hari kemudian ayah dari Mundzir wafat. Mundzir pun menangis sedih dan berkata pada dirinya sendiri sungguh apabila saya tahu bahwa saat pamitan itu adalah terakhir kali saya berjumpa dengan beliau dan beliau memalingkan wajahnya saat saya mencium tangan beliau, namun beliau masih mengikuti saya rupanya, keluar dari kamar, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan dan mengalirkan air mata, dan dirinya menjawab, andai saja saya tahu bahwa itu adalah terakhir kali saya melihatnya, rahimahullah.11

Tahun 1998 Mundzir pulang ke Indonesia, dan memulai dakwahnya sendiri di Cipanas, namun kurang berkembang, maka ia pindah dan memulai dakwahnya di kota Jakarta, ia tinggal dan menginap berpindah-pindah dari rumah-kerumah murid sekaligus temannya, majelis malam selasa saat itu masih berpindah-pindah dari rumah-kerumah, mereka murid-muridnya umumnya berumur lebih tua dari Mundzir, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam. Maka ketika majelis akan dimulai dan Mundzir sudah duduk kemudian siap untuk mengajar, mereka

11

masih ada yang belum datang, mau tidak mau Mundzir pun menannti kedatangan mereka, setibanya mereka yang hanya belasan saja, tidak langsung mengaji akan tetapi, mereka santai-santai terlebih dulu, dengan merokok sambil minum kopi, dengan kesabaran Mundzir menanti sampai mereka puas, barulah dimulai pengajian dengan awal pembacaan Dhiya‟ullami. Hari demi hari jama‟ah semakin bertambah dan semakin banyak, mulai tak cukup dirumah, maka pindah-pindah dari mushola ke mushola, jama‟ah pun terus bertambah dan banyak, tidak mencukupi pula mushola untuk menampung jam‟ah, mulai pindah dari masjid ke masjid.

Jama‟ah yang terus bartambah dan terus semakin banyak, Mundzir pun memutuskan untuk membuka majelis serta ditetapkan waktu dan tempatnya, maka hari selasa ditetapkan waktunya dan masjid Al-Munawwar tempat yang pas untuk menampung jama‟ah, yang saat itu baru seperempat masjid saja yang terpakai dan saat itu Habib Mundzir berkata jama‟ah akan semakin banyak, nanti akan setengah dari masjid ini terpakai, lalu memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah, jama‟ah mengaminkan.

Mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan, namun saat itu majelis belum diberi nama, dan ia merasa bahwa dakwah tak membutuhkan butuh nama, untuk nama jama‟ah menyarankan Majelis Habib Mundzir saja, namun Habib Mundzir menolaknya, Habib Mundzir memutuskan nama untuk majelis adalah Majelis Rasulullah saja.

Kini jama‟ah majelis Rasulullah sudah banyak mencapai jutaan, di JABODETABEK, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, bahkan

sampai ke Jepang. Dari banyak tamu yang hadir salah satunya tamu dari Jepang di majelis Rasulullah pada saat haul badr di Monas, yaitu seorang Profesor, dia datang ke Indonesia ingin mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga didasari ingin jumpa dengan Habib Mundzir Al Musawwa. Karena ia pengunjung setia website www.majelisrasulullah.org yang berbahasa English.

Itulah awal mula majelis Rasulullah berkembang dari satu tempat ke tempat yang lainnya dan pada akhirnya sampai majelis ini demikian besar. Habib Mundzir kini berusia 38 tahun jika dengan perhitungan hijriah dan 37 tahun dengan perhitungan masehi, beliau lahir pada jmu‟at pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 Februari1973 M. perjanjian jumpa dengan Rasulullah Saw sebelum usianya tepat 40 tahun, kini suda 1432 H, beliau berkata dalam hatinya mungkin sebelum sempurna 19 Muharram 1433 H beliau sudah jumpa dengan Rasulullah Saw namun apakah Allah akan menambah usia pendosa ini.12

Dokumen terkait