• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di TPA Pasir Sembung yang berada di Kabupaten Cianjur. Penelitian ini hanya difokuskan pada limbah padat yaitu sampah yang ditimbun di TPA. Jumlah sampah di TPA ini meningkat setiap waktu sehingga menjadi permasalahan baik dalam pengelolaannya maupun bagi masyarakat.

Keterbatasan penelitian ini adalah hanya mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di TPA Pasir Sembung menggunakan pendekatan model IPAT. Evaluasi perubahan dalam sistem pengelolaan TPA dari open dumping menjadi control landfill sesuai dengan amanat UU Persampahan hanya dengan melihat aspek finansialnya. Aspek finansial tersebut dilihat dari beberapa faktor yaitu NPV, BCR, dan IRR. Terakhir adalah merumuskan kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan TPA Pasir Sembung sehingga pengelolaan tersebut dapat lebih optimal dengan menggunakan analisis deskriptif.

9 II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah

Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya tersebut, manusia akan menghasilkan limbah padat atau disebut juga sampah. Sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat organik maupun anorganik ini bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga langsung dibuang ke lingkungan (Nandi 2005).

Menurut UU No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia berbentuk padat yang karena konsentrasi dan volumenya sehingga membutuhkan pengelolaaan yang khusus. Penguraian sampah sendiri disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Pembusukan sampah ini akan menghasilkan gas metana (CH4 dan H2S) yang bersifat racun bagi tubuh makhluk hidup. Sampah yang tidak dapat membusuk adalah sampah yang berbahan dasar plastik, logam, gelas, dan karet.

Sampah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomi. Volume sampah yang terus meningkat di TPA dapat ditinjau dari sistem pengelolaan sampah. Sistem pengolahan sampah dan manajemen pengelolaan sampah dapat mempengaruhi volume akhir sampah. Metode pengelolaan sampah diantaranya dibakar, digunakan sebagai bahan pembuat pupuk kompos, makanan ternak, bahan bakar, dan langsung dibuang begitu saja.

10 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Timbunan Sampah

Sistem pengelolaan sampah terpadu adalah sistem manajemen yang mengintegrasikan aspek perencanaan pengelolaan sampah dengan berbagai bidang. Perencanaan pembangunan perkotaan mempertimbangkan semua aspek terkait, seperti aspek ekonomi, lingkungan, sosial, institusi, politik, keuangan, dan aspek teknis secara simultan. Selain itu, memberi peluang bagi semua pemegang kepentingan yang terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan (Damanhuri 2007).

Jumlah sampah yang meningkat berkaitan dengan perubahan jumlah populasi, tingkat urbanisasi, dan kekayaan (pendapatan per kapita). Seorang arkeolog menyatakan bahwa rata-rata peningkatan jumlah sampah dapat berkorelasi dengan bermacam-macam indikator, yaitu kekayaan termasuk Gross Domestic Product (GDP) per kapita, konsumsi energi, dan konsumsi masing-masing individu per kapita (Bogner dan Matthews dalam Bogner 2007).

Peningkatan populasi, kemakmuran, dan urbanisasi di beberapa negara maju dan berkembang merupakan sebuah tantangan bagi daerah tersebut. Semakin tinggi peningkatan tersebut, maka semakin banyak sampah yang dihasilkan. Sehingga tantangannya adalah dalam proses mengumpulkan, mendaur ulang, dan mengatur kualitas dan kuantitas sampah yang dihasilkan.

Landasan pembangunan berkelanjutan adalah menetapkan kegiatan yang efektif dalam pelaksanaan pengelolaan sampah yang berkelanjutan di negara berkembang. Hal ini harus ditekankan, karena pada akhirnya tujuan dari pelaksanaan kegiatan pengelolaan yang efektif adalah menghasilkan hubungan antara kesehatan masyarakat, keamanan, dan kelestarian lingkungan sebagai

11 keuntungan tambahan. Selain itu, pelaksanaan pengelolaan sampah yang efektif secara bersamaan akan mengurangi emisi dari green house gas (GHG) dan memperbaiki kualitas hidup, meningkatkan kesehatan, menjaga kualitas lingkungan (air dan tanah), konservasi sumberdaya alam, dan menjaga keberadaan dari sumber energi yang dapat diperbaharui (Bogner 2007).

Ketersediaan dan kualitas data tahunan merupakan masalah utama dalam sektor pengelolaan sampah. Data mengenai sampah baik padat maupun cair cukup tersedia di beberapa negara, kualitas data bervariasi, definisi yang tidak seragam, dan faktor-faktor tahunan lain yang tidak dapat dikuantifikasikan. Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan jumlah sampah secara global, yaitu: (1) menggunakan data statistik nasional mengenai sampah atau melakukan survey, termasuk metodologi IPCC; (2) mengestimasi berdasarkan jumlah populasi (contoh dengan menggunakan SRES skenario); dan (3) menggunakan alat atau proxy yang menggambarkan hubungan variabel demografi atau ekonomi sebagai indikator yang diperoleh dari kumpulan data tahunan nasional (Bogner dan Matthew 2003).

2.3 Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Menurut UU No. 18 Tahun 2008, tempat pengelolaan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Tahapan pemrosesan akhir sampah adalah mengembalikan kembali sampah ke media lingkungan, namun harus aman bagi manusia dan lingkungan.

Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir atau

12 pengolahan. Tahapan kegiatan tersebut merupakan suatu sistem, sehingga masing-masing tahapan dapat disebut sebagai sub sistem. Tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Nandi 2005) :

Sumber: Nandi 2005

Gambar 2. Tahapan Pengelolaan Sampah Sistem Open Dumping

Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Tahapan ini menggunakan sarana berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara. Pengumpulan (tanpa pemilahan) umumnya melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu. Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju tempat pembuangan akhir atau pengelolaan. Tahapan ini juga melibatkan tenaga yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke TPA. Selain itu, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia, maupun biologis sampai seluruh proses selesai. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sampah, yaitu: (1) metode open dumping; (2) metode control landfill; (3) metode sanitary landfill; (4) metode improved sanitary landfill; dan 5) metode semi aerobic landfill.

Sampah

Pengumpulan Pengangkutan Pembuangan atau pengolahan

Lingkungan sanitasi yang dituju atau tempat pembuangan akhir

13 Sampah yang telah ditimbun di TPA dapat mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah (Nandi 2005):

1. Teknologi pembakaran (Incenerator). Cara ini dapat mengahasilkan produk sampingan berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari teknologi ini adalah:

a. Dapat mengurangi volume sampah ± 75 %-80 % dari sumber sampah tanpa proses pemilahan.

b. Abu dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan sehingga dapat langsung dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa, atau pun daerah rendah sebagai bahan pengurug.

c. Pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas ± 300 ton/hari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik (± 96 000 MWH/tahun) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya dalam proses pengelolaan.

2. Teknologi composting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah.

3. Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti kertas, plastik, logam, dan kaca atau gelas.

2.4 Upaya Mengatasi Permasalahan Sampah

Mengatasi masalah sampah memerlukan integrasi semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Hal yang terpenting adalah perubahan paradigma bahwa sampah bukanlah sesuatu yang tidak ada gunanya, melainkan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai. Pengelolaan sampah bukan hanya

14 sekedar mengangkut dan membuang hingga ke TPA, tetapi harus dipilah dan diolah agar menjadi sesuatu yang bermanfaat sejak dari sumbernya. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah bahwa prinsip dalam mengelola sampah adalah Reduce, Reuse, dan Recycle yang dikenal sebagai 3R atau mengurangi, menggunakan kembali, dan mengolah. Ada pun upaya untuk mengatasi masalah sampah adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang- Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Penyusunan UU ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kehidupan yang baik dan sehat kepada masyarakat Indonesia sebagaimana terdapat dalam

pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

(KNLH 2008). 2. Implementasi 3R

Penumpukan sampah di TPA yang banyak diprotes masyarakat, mendorong pemerintah untuk menerapkan pengelolaan sampah dengan sistem 3R yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle pada skala kota. Pola pemilahan ini juga selain dapat menangani masalah sampah diharapkan pula dapat memberikan manfaat bagi pembukaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi masyarakat. Selain itu, dalam lima tahun mendatang pemerintah akan mendorong dilakukannya sistem sanitary landfill. Sistem ini akan menutup pengelolaan sampah di TPA dengan sistem open dumping.

15 Penanganan dan pengolahan sampah dapat dilakukan sejak dari sumbernya melalui pemilahan sampah organik dan nonorganik. Berdasarkan sifatnya sampah dapat dibedakan menjadi sampah organik dan nonorganik. Implementasi program 3R dalam pengelolaan sampah tersebut dapat dilakukan juga oleh pemerintah. Program 3R pemerintah antara lain dalam bentuk penyediaan dana operasional fasilitas pengolahan sampah skala kota, penyediaan lahan sebagai lokasi, kegiatan pemetaan lapangan dan pemberian data dan informasi (KNLH 2008).

3. Penerapan Instrumen Ekonomi

Permasalahan lingkungan, termasuk yang berhubungan dengan solid waste management (SWM), secara tradisional atau turun temurun telah menggunakan perintah dan kontrol peraturan (CAC). Peraturan tersebut langsung dilakukan dengan penentuan kebijakan yang spesifik dan ketentuan yang berlaku. Selain itu, harus dicapai dengan menerapkan sangsi dan hukuman (Perman et al. dalam Nahman dan Godfrey 2009).

Perubahan terjadi dalam pengelolaan sampah. Perubahan tersebut dilihat berdasarkan perubahan harga yang relatif bagi masyarakat maupun industri. Instrumen ini dalam konteks SWM menyediakan insentif bagi penghasil sampah baik produsen maupun konsumen dan penyedia jasa untuk mengurangi sampah yang dihasilkan. Instrumen ekonomi yang diterapkan, misalnya pajak dan subsidi adalah suatu upaya untuk mencari perubahan secara tidak langsung. Selain itu instrumen ekonomi dalam SWM ini yaitu, penetapan pajak untuk input dan output, skema pengembalian deposit, dan penetapan batas dasar jumlah sampah (Nahman dan Godfrey 2009).

16 Dewasa ini instrumen ekonomi menjadi sesuatu yang penting sejak tahun 1980an, dimana penelitian telah menunjukan bahwa instrumen ini dapat menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan kelestarian lingkungan, misalnya mengurangi volume peningkatan sampah, dan mengolah sampah dari pembuangan untuk di daur ulang. Perhatian terhadap instrumen ini terus tumbuh. Instrumen ini digunakan juga di negara berkembang, dimana instrumen ini memperlihatkan keuntungan atau manfaaat yang lebih dibandingkan CAC (Bell and Russell dalam Nahman dan Godfrey 2009).

17 III.KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengelolaan sampah di TPA Pasir Sembung. Penelitian ini didasarkan pada beberapa teori yang digunakan sebagai dasar metode yang akan digunakan dalam analisis. Teori yang digunakan adalah untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah dan mengevaluasi pengelolaan TPA Pasir Sembung secara finansial. 3.1.1 Hubungan Antara Populasi Penduduk dan Lingkungan

Model IPAT ini menggambarkan hubungan dampak (I) yang dipengaruhi

oleh jumlah penduduk atau populasi (P), pendapatan atau kekayaan “affluence

(A), dan teknologi (T) (Daily dan Erchlic 1992). Model ini sering digunakan untuk studi mengenai lingkungan. Model ini bukan merupakan persamaan matematika formal tetapi merupakan konsep atau kerangka konseptual. Model IPAT ini merupakan perluasan dari persamaan IPF oleh Erchlic and Holdren pada tahun 1971. Persamaan IPF ini pada awalnya digunakan untuk melihat perubahan per kapita yang dapat menentukan dampak terhadap lingkungan.

Peningkatan jumlah populasi akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan semakin banyak pula residu atau sampah yang dibuang ke lingkungan. Model ini digunakan untuk menilai pengaruh dari populasi, tingkat pendapatan masyarakat, dan teknologi terhadap jumlah sampah yang dihasilkan. Model IPAT ini sangat berguna sebagai titik awal untuk membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi dampak lingkungan. Persamaan ini juga dapat menunjukan bahwa selain dengan melihat kepentingan

18 bagi masa depan, dampak juga dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (Schulze 2001).

Model ini juga menolak anggapan bahwa populasi merupakan faktor yang memberikan kontribusi terkecil terhadap perubahan lingkungan. Hubungan antara penduduk, pendapatan, dan teknologi dapat menunjukan interaksi yang sangat kompleks, yang disederhanakan di dalam persamaan (Giambona et al. 2004). 3.1.2 Pemodelan Volume Timbunan Sampah di Tempat Pembuangan

Akhir Pasir Sembung

Peningkatan jumlah sampah akan terus terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kondisi atau umur teknis TPA untuk dapat menampung sampah yang dihasilkan perlu diperhatikan agar tidak terjadi over capacity atau melebihi daya tampung. Pemodelan dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat pertumbuhan sampah di waktu yang akan datang berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pemodelan adalah suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan manusia. Jika tindakan manusia ini dilakukan secara langsung terhadap sistem sebenarnya (alam), maka konsekuensinya akan mahal, merusak dan sukar dipelajari (Nababan 2001).

Menurut Goodman dalam Nababan (2001) model tidak pernah terdiri dari semua aspek realita atau sistem sebenarnya, melainkan hanya karakteristik yang esensial sesuai dengan konteks pemecahan masalah. Pemodelan ekosistem harus mengandung unsur yang menjadi perhatian bagi permasalahan manajemen atau ilmiah dimana model tersebut digunakan sebagai alat pemecah masalah yang akan digunakan.

19 Pemodelan ini akan menggambarkan tingkat pertumbuhan volume sampah sampai sepuluh tahun ke depan. Faktor peningkatan jumlah penduduk, konsumsi, dan pengolahan sampah dapat memberikan pengaruh terhadap volume sampah yang ditimbun di TPA. Peramalan dapat digunakan juga sebagai ukuran dalam pengelolaan TPA.

3.1.3 Kelayakan Finansial Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Evaluasi kelayakan merupakan alat yang komperhensif yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu kebijakan dimana semua manfaat dan biaya dapat dikuantifikasikan dan dinilai secara moneter. Evaluasi ini dilakukan untuk menilai keoptimalan dari pengelolaan TPA sebagai tempat pembuangan akhir karena adanya peningkatan volume sampah. Perhitungan ini digunakan untuk menilai kelayakan pengelolaan TPA dengan sistem control landfill yang sebelumnya diterapkan sistem open dumping. Hasil evaluasi ini juga diberikan bagi pembuat keputusan dengan indikasi yang jelas dari nilai suatu kebijakan yang efisien dan memberikan keuntungan bersih yang besar bagi publik (Woodruff dan Holand 2008). Selain itu dapat menjadi alat valuasi dari program-program masyarakat yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya alam, seperti pengendalian banjir, irigasi PLTA praktek pembuangan sampah, dan lainnya. Evaluasi finansial diperoleh dari perhitungan manfaat dan biaya suatu program atau proyek yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan harga pasar untuk menilai keoptimalan proyek tersebut dilihat dari segi anggaran.

3.1.3.1Indikator Kelayakan Finansial

Indikator yang digunakan untuk menilai keoptimalan pengelolaan TPA adalah melihat kelayakan finansial dari sistem pengelolaannya. Ada beberapa

20 indikator yang mempengaruhi kelayakan suatu program atau usaha. Indikator tersebut adalah (Gitinger dan Willis 1999):

1. Manfaat sekarang neto (Net Present Value)

Manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Manfaat sekarang neto dihitung dengan mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya.

2. Perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio)

Perbandingan manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Benefit-Cost Ratio merupakan ukuran berdiskonto yang pertama dikenal.

3. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate Return)

IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasional, investasi, dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal. Hal tersebut merupakan tingkat pengembalian atas kapital yang belum selesai tiap periode sementara kapital tersebut masih diinvestasikan pada proyek.

4. Payback Period (PP)

Payback period adalah jangka waktu atau periode yang diperlukan untuk membayar kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback period merupakan perbandingan antara biaya investasi yang diperlukan dengan benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahun.

21 3.2 Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Cianjur meningkat setiap waktu dengan laju pertumbuhan penduduk adalah sebesar 1.09 % per tahun. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi baik kegiatan rumah tangga maupun industri juga semakin meningkat sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing. Kegiatan ekonomi masyarakat tersebut akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dimana konsumsi tersebut akan menghasilkan residu yang disebut sebagai sampah.

Peningkatan jumlah penduduk akan memberikan dampak terhadap peningkatan volume sampah dan kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan pada umumnya timbul karena (Nandi 2005): (1) urbanisasi yang cepat dan penggunaan teknologi yang kurang bijaksana; (2) tingkat konsentrasi sampah yang melebihi daya dukung lingkungan yang disebabkan oleh kemunduran mutu lingkungan hidup untuk kehidupan biologis termasuk manusia; (3) pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kegiatan pembangunan yang mengakibatkan terjadinya pergeseran pada pola penggunaan lahan; (4) pertumbuhan ekonomi dan industri yang menyebabkan terjadinya kecenderungan perubahan siklus alami lingkungan.

Sampah yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi tersebut diangkut dan dikumpulkan di tempat pembuangan akhir yaitu TPA Pasir Sembung. Volume sampah yang dihasilkan mencapai 450-500 m3 per hari. Penumpukan sampah ini jika tidak diimbangi dengan adanya pengolahan sampah maka semakin lama akan menyebabkan pembusukan sampah. Hal ini akan menghasilkan gas metana (CH4 dan H2S) sehingga menyebabkan lahan TPA diperluas dengan menggunakan

22 sebagian lahan milik warga sekitar untuk mengurangi penumpukan sampah. Volume timbunan sampah di TPA meningkat setiap tahun yang dengaruhi oleh beberapa faktor. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume timbunan sampah dilakukan agar dapat mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut dan hubungan antar faktor-faktor tersebut terhadap volume timbunan sampah.

Volume timbunan sampah yang semakin meningkat menyebabkan perlu adanya perbaikan dalam sistem pengelolaan sampah. Pada tahun 2006, sistem pengelolaan TPA dirubah menjadi sistem control landfill. Perubahan ini sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Persampahan. UU ini menyaratkan bahwa pada tahun 2013 semua TPA harus menutup pengelolaan TPA dengan sistem open dumping dan mengganti minimal dengan sistem control landfill. Evaluasi kelayakan finasial terhadap sistem pengelolaan ini dilakukan untuk menilai keoptimalan sistem tersebut. Evaluasi ini dapat melihat apakah penerimaan dari pemerintah (APBD) dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan TPA ini sudah sebanding. Evaluasi ini penting dilakukan, karena keoptimalan sistem pengelolaan TPA akan mempengaruhi kualitas dari TPA dalam mengelola sampah.

Selain dari APBD, biaya untuk pengelolaan sampah juga diperoleh dari retribusi daerah. Pemberlakuan adanya retribusi daerah ini sesuai dengan Perda No. 10 Tahun 2005, namun besaran retribusi ini belum mencukupi biaya untuk pengelolaan sampah secara keseluruhan. Biaya pengelolaan yang tinggi dan belum adanya penerimaan lain karena tidak ada pengolahan atau proses mendaur ulang sampah. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya suatu kebijakan pemerintah

23 yang mementingkan kepentingan masyarakat dan juga lingkungan. Alur pemikiran operasional ini dapat dilihat pada Gambar 3.

3.3 Hipotesa

Hipotesa dari penelitian ini, diduga bahwa peningkatan jumlah populasi akan mempengaruhi jumlah sampah yang dihasilkan karena semakin banyak populasi semakin tinggi pula kegiatan yang dilakukan. Hal ini akan menyebabkan residu atau sampah yang dihasilkan semakin banyak. Kegiatan yang dilakukan masyarakat tergantung dari pendapatan (affluence) yang diperoleh. Pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi masyarakat. Semakin tinggi pendapatan akan semakin tinggi pula konsumsi masyarakat, sehingga volume sampah yang dihasilkan akan meningkat. Selain itu, pengolahan sampah juga akan mempengaruhi volume sampah yang dihasilkan. Teknologi yang digunakan dalam pengolahan sampah akan mengurangi volume sampah jika pengolahannya optimal. Namun, jika pengolahan sampah kurang optimal maka volume sampah akan tetap meningkat.

24

Sumber: Penulis, 2011

Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan menyebabkan konsumsi

masyarakat semakin meningkat

Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

volume timbunan sampah di TPA

Mengevaluasi kelayakan finansial pengelolaan

TPA dengan sistem control landfill

Merumuskan kebijakan pemerintah daerah dalam

pengelolaan TPA

Rekomendasi bagi pemerintah setempat dalam pengelolaan TPA

Jumlah sampah semakin meningkat sehingga terjadi penumpukan sampah di TPA

Perluasan lahan TPA dan perubahan sistem pengelolaan sampah dari open

25 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di TPA Pasir Sembung yang berada di Kabupaten Cianjur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena wilayah ini hanya memiliki satu TPA. Volume sampah yang ditimbun di TPA meningkat setiap waktu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga dibutuhkan lahan TPA yang lebih luas. Hal ini menjadi permasalahan baik bagi masyarakat maupun dinas terkait dalam pengelolaannya karena jumlah sampah yang ditimbun di TPA ini semakin meningkat. Selain itu, adanya perubahan sistem pengelolaan menjadi sistem control landfill dalam pengelolaan sampah di TPA. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2011.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara dengan pengelola TPA dan aparat pemerintah Kabupaten Cianjur. Data primer yang digunakan yaitu hasil wawancara dengan pengelola TPA mengenai bagaimana