• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUTRW Pesisir Provinsi NAD Pasca Tsunami III - 108

Dalam dokumen Buku Analisa (Halaman 153-157)

3. Piram ida Penduduk Wilayah Kabupaten/Kota Pesisir Provinsi NAD

Piramida penduduk digunakan untuk menggambarkan profil penduduk ditinjau dari kelompok usia dan jenis kelaminnya. Piramida penduduk di w ilayah pesisir Provinsi NAD menunjukkan bahw a kelompok usia balita dan usia sekolah relatif besar, baik dari jenis kelamin laki- laki maupun perempuan. Penyediaan sarana-prasarana kesehatan dan pendididikan dalam jangka pendek sangat penting, disamping penyediaan lapangan kerja dan pengembangan aktivitas ekonomi produktif dalam jangka menengah dan panjang.

(150,000 ) (1 00,000) (50,000) - 50,000 100,000 15 0,000 0 - 4 5 - 9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 >6 5 L aki la ki P ere mpuan

Gambar 3.9.1. Piramida Penduduk di Wilayah Pesisir NAD

3.9.7. Angkatan Pekerjaan

Jumlah angkatan kerja di w ilayah Kabupaten/Kota yang ada di w ilayah pesisir Provinsi NAD seluruhnya adalah 1.500.237 orang. Jika total penduduk saat ini 4.031.589 jiw a maka jumlah angkatan kerja yang ada di w ilayah pesisir NAD adalah 37,21%. Dengan jumlah angkatan kerja yang begitu besar per masalahan yang muncul adalah diperlukan lapangan usaha yang mampu menampung angka angkatan ker ja tersebut. Kabupaten yang memiliki tingkat angkatan kerja tertinggi adalah Kabupaten Pidie sebesar 218.388 jiw a atau 14,56 % dari jumlah total angkatan kerja. Sedangkan angkatan kerja terendah yaitu pada Kota Langsa sebesar 13.247 jiw a atau 0,88 % dari jumlah total angkatan kerja.

3.10. Analisis Kecenderungan Perkem bangan Sosial Budaya 3.10.1. Norm a dan Nilai Sosial Masyarakat

Masyarakat Aceh diperkirakan merupakan campuran dari bangsa Champa, Mon Khemer dan berbagai unsur pendatang dari Timur Tengah, India, dan Parsi. Nama Aceh berasal dari kata “Atja” yang berarti indah atau bagus. Nama tersebut menurut pakar sejaraw an berasal dari orang hindu yang terkagum melihat keindahan daerah Aceh pada w aktu mereka pertamakali mendatangi Aceh. 1. Suku Asli Masyarakat di Wilayah Provinsi NAD

Di Provinsi NAD ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul, budaya dan bahasa yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Sub etnis Aceh berada di sepanjang pantai utara, timur dan barat Provinsi NAD dan sebagian di pedalaman disela bukit dan pinggir hutan, pola per mukiman membentuk komunitas kecil semacam kampung disebut Gampong. Subetnis Alas bertempat tinggal di Kab. Aceh Tenggara dimana pola tempat tinggal dalam satu Kute dan berkelompok, setiap Kute memiliki Meunasah. Subetnis Aneuk Jamee merupakan

pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mirip dengan budaya etnis Minangkabau. Subetnis Gayo berasal dari Samudera Pasai Kabupaten Aceh Utara. Budaya dan kesenian Gayo menunjukkan adanya kesamaan dan pertalian dengan budaya Samudera Pasai. Subetnis Singkil berdiam di Kecamatan Singkil, Simpang Kanan, Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Orang Singkil adalah pembauran dari orang Mandailing, Aceh, Nias dan Minangkabau. Subetnis Kluet berdiam di Kecamatan Kluet Utara dan Selatan, terletak di pedalaman 20 km di jalan raya, 50 km dari Kota Tapaktuan atau 500 km dari Banda Aceh. Suku Simeulue berdiam di Pulau Simeulue. Subetnis Tamiang mendiami pantai timur yaitu daerah bekas Kew edanan Tamiang sampai batas Provinsi Sumatera Utara serta merupakan etnis melayu (sumber : RTRW Provinsi NAD, 2006).

2. Struktur Masyarakat Provinsi NAD

Lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara adalah pemerintah atau pejabat pelaksana pemer intah dalam satu unit w ilayah kekuasaan. Pejabat-pejabat dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniaw ian, atau kelompok elite sekuler. Golongan ulama yang mengurusi masalah keagamaan (hukum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan ( masuk kelompok elite religius). Selain itu terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed, bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki, sehingga ada golongan hartaw an dan rakyat biasa (sumber : RTRW Provinsi NAD, 2006).

3.10.2. Perkembangan Sosial Budaya 1. Perkembangan Budaya Aceh

Etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak aw al abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Aceh yang pertama dan memerintah pada tahun 1496 -1528, kemudian Sultan Ali Mughayatsyah. Pembentukan ini diaw ali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi lebih kos mopolitan (sumber : RTRW Pr ovinsi NA D, 2006).

2. Periodisasi Sejarah Kota Banda Aceh

a. Masa Sebelum Islam (Sebelum 1205). Sebelum tahun 1205, di Banda Aceh berkembang Kerajaan Lamuri yang memeluk agama Hindu-Budha. Ibukota Kerajaan Aceh pra-Islam terletak di pedalaman yakni di Indrapuri, sesuai dengan konsep Kerajaan-kerajaan Hindu di Jaw a yang menempatkan ibukota agak ke pedalaman. Wilayah kekuasaan meliputi sekitar Indrapuri hingga ke arah pantai. Yakni ke lokasi Indrapatra di Krueng Raya dan Indrapurw a di Ujung Pancu.

b. Masa Tamaddun Islam (1205 – 1873). Pada tahun 1205, muncul Kerajaan Aceh yang didirikan oleh Sultan Johansyah sebagai raja pertama yang beragama Islam. Budaya Islam mencapai puncaknya pada abad ke 16 dan 17 ketika perdagangan lada Aceh mengekspor separuh dari kebutuhan lada dunia. Masa kegemilangan Aceh berubah drastis ketika Belanda datang menyerang Aceh pada tahun 1873.

Buku Analisa

RUTRW Pesisir Provinsi NAD Pasca Tsunami III - 110

c. Tahun (1873 – 1945).

Tepatnya tanggal 26 Maret 1873 Kerajaan Belanda mengatakan maklumat perang melaw an Sultan Aceh dan baru diterima oleh Sultan Aceh tanggal 1 April 1873. Sultan menyatakan Perang melaw an Belanda berupa perang sabil atau perang fisabilillah yaitu perang untuk menegakkan agama Allah (Islam). Dalam perang sabil tersebut Kerajaan Islam Aceh Darussalam hanya ada dua pilihan: “memperoleh kemenangan atau mati syahid”, tidak ada istilah menyerah kepada Belanda atau bangsa-bangsa eropa lanilla. Perang berlangsung selama 30 tahun sampai tahun 1903.

d. Masa Post Kolonial (1945 – sekarang). Pemerintah Indonesia sangat berperan dalam membangun Aceh. Karya arsitektur di masa ini merupakan karya individu atau kelompok tertentu, bukan karya kolektif. Pemerintah di jaman kemerdekaan berupaya mengem-balikan citra w arisan Tamaddun Aceh dengan memberi nama dan gelar-gelar yang diambil dari khasanah masa lalu. Namun dalam tatanan dan produk karya arsitekturnya terlihat lebih banyak melanjutkan ide-ide kolonial dalam membangun kota darat.

3. Indeks Pem bangunan Sosial di Aceh

Angka Indeks Pembangunan Sosial (IPS) yang paling tinggi di Pr ovinsi NAD adalah di Kota Sabang (100,0), Kota Banda Aceh (89,5) dan Kota Lhokseumaw e (8,10), sedangkan angka IPS terendah adalah di Kabupaten Bener Meriah (0,0), Kabupaten Aceh Timur (11,8) dan Kabupaten Nagan Raya (15,5). Hal ini menunjukkan indikasi adanya ketimpangan pembangunan sosial dan

human development, khususnya pada pembangunan infrastruktur bidang pendidikan, kesehatan dan transportasi antar w ilayah di Provinsi NAD. Indikasi ketimpangan pembangunan sosial terutama terjadi antara Kabupaten/Kota yang ter letak di w ilayah Pantai Utara-Timur NA D dengan Pantai Barat-Selatan dan Tengah (pedalaman NA D), serta antar kota-kota dan antara kota-desa. (Dapat dilihat pada Peta 55)

3.10.3. Adat, Budaya dan Warisan Budaya

Aceh memiliki beragam kekayaan budaya, antara lain: sastra lisan, sastra tulis, dan kesenian rakyat. Kesenian rakyat umumnya berupa hikayat (jumlah hikayat di Aceh sebanyak 79 buah) naskah, pantun, syair, cerita rakyat, dan tarian. Kesenian rakyat di Aceh diantaranya adalah Seudati, Daboh, Saman, Didong, Rateb dan Rukon.

1. Per mainan Tradisional.

Per mainan tradisional di Aceh antara lain: Geulayang Tunang, Peh Kayee ( meuen gok atau meuen sungkeet), Geudeue-geudeue (due-due) dan Peupok Lemo. Permainan tradisional tersebut memiliki ciri dan karakter yang berbeda-beda.

2. Kesenian.

Kesenian yang ada di Provinsi NAD ditunjukkan dalam bentuk tari-tarian, yaitu: Tari Saman, Tari Law eut (berasal dari kata salaw at). Tari Pho (berasal dari kata peuba-e), Tari Seudati (dari kata syahadati).

3. Senjata Khas Aceh. Berdasarkan penggunaanya senjata-senjata tradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu: senjata yang berfungsi untuk menyerang, untuk membela diri dan senjata yang bergerak sendiri.

a. Reuncong (Rencong)

Rencong dibagi menjadi empat macam, yaitu: reuncong meucugek, reuncong meupucok, reuncong pudoi, dan reuncong meukuree.

b. Siw aih

Siw aih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bagian dar i perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.

c. Peudeung (Pedang)

Bagi masyarakat Aceh dikenal beberapa macam pedang, sebagai berikut : Peudeung On Teubee, Peudeung On Jok, Peudeung Tumpang Jingki, Peudeung Ulee- Meu-Apet, Peudeung Ulee Tapak Guda, Peudeung Ulee Iku Mie, Peudeung Ulee Iku Itek, Peudeung Ulee Babah Buya, Peudeung Zulfaka.

4. Pola Kekerabatan

Secara budaya, terlihat adanya kemiripan adat-budaya semua subetnis di Aceh w alaupun dengan beberapa variasi lokal seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat. Berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kaw om (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kaw om atau sukee tersebut, yaitu :

a. Kaw om atau Sukee Lhee Reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.

b. Kaw om atau Sukee Imuem Peut ( kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.

c. Kaw om atau Sukee Tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.

d. Kaw om atau Sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.

5. Indeks Pembangunan Budaya (IPB) di Aceh

Daerah yang memiliki IPB tertinggi adalah Kab. Simeulue (100) dan Kab. Aceh Tengah (95,5). Sedangkan daerah dengan IPB terendah adalah Kab. Aceh Tamiang (0) dan Kab. Aceh Timur (16,6). Namun demikian, beberapa daerah yang tertinggal secara ekonomi seperti Kab. Simeulue, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Gayo Lues dan Kab. Bener Mer iah justru memiliki angka Indeks Pembangunan Budaya yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan daerah yang mempunyai karakter kaw asan perkotaaan seperti : Banda Aceh, Lhokseumaw e, Langsa dan Aceh Tamiang memiliki angka IPB yang relatif kecil. Dengan demikian dapat dijelaskan bahw a daerah pedalaman yang masih tertinggal dan terisolasi secara ekonomi justru karakterisitik masyarakatnya masih sangat menjunjung tinggi nilai budaya, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramah-tamahan sosial dan kear ifan lokal. Sedangkan di daerah perkotaan sebagian besar masyarakatnya mengalami krisis budaya, semakin pudar kebersamaan, menguatnya materialis me dan kecenderungan individualis me. ( Dapat dilihat pada Peta 56)

Buku Analisa

RUTRW Pesisir Provinsi NAD Pasca Tsunami III - 112

Dalam dokumen Buku Analisa (Halaman 153-157)