• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Dephut 2006). Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumberdaya yang menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak, tidak sematamata oleh pelaksana langsung di lapangan tetapi oleh pihak-pihak yang berperan dari tahapan perencanaan, monitoring sampai dengan evaluasinya (Dephut 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu adalah:

1. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktifitasnya.

2. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan.

3. Batas DAS tidak selalu bertepatan (coincide) dengan batas wilayah administrasi pemerintahan.

4. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.

Keterpaduan mengandung pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan koordinasi yang berdaya guna dan berhasil guna. Keterpaduan pengelolaan DAS memerlukan partisipasi yang setara dan kesepakatan para pihak

dalam segala hal mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian hasil-hasilnya

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka ( Komisi Brundtland 1987, dalam Fauzi 2006). Konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Keberlanjutan pembangunan dilihat dalam tiga dimensi keberlanjutan sebagaimana dikemukakan oleh Seregeldin (19960 sebagai “a trianguler framework”, yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi. Spangenber (1999) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of sustainability) (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2006). Menurut (Reijntjes, Haverkort dan Bayer 1992, dalam Noy 2005) pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan melestarikan sumberdaya alam. Namun demikian, banyak orang menggunakan definisi yang lebih luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut :

1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dan manusia, tanaman dan hewan sampai oragnisme tanah ditingkatkan. Kedua hal

12

ini akan dipenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah meungkin serta mampu mencegah pencemaran.

2. Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/ atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usaha tani yang langsung, namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.

3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan terdistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.

4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihormati. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.

5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan sebagainya. Hal ini meliputi bukan hanya perkembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam hal sosial budaya.

Menurut Sinukaban (1994) penerapan pertanian konservasi merupakan salah satu alternatif yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian berkelanjutan di lahan kering. Sistem pertanian konservasi (conservation farming system) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air kedalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas (sustainable).

Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri sistem pertanian konservasi (conservation farming system) adalah sebagai berikut :

1. Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya.

2. Pendapatan petani cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dan pendapatan usaha taninya.

3. Teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat diterapkan (sesuai kemampuan) dan diterima oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut dapat diteruskan oleh petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari luar secara terus menerus.

4. Komoditi yang diusahakan adalah komoditi yang sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani, dan laku dipasar.

5. Erosi sangat minimal, sehingga produktivitas dapat dipertahankan/ ditingkatkan (produktivitas cukup tinggi secara lestari).

14

6. Penguasaan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security).

Penggunaan lahan

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) lahan didefinisikan sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya.

Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian se cara garis besar dibedakan kedalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan sebagainya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa jika berbagai aspek lain penggunaan lahan seperti skala usaha atau luas tanah yang diusahakan, intensitas penggunaan input, penggunaan tenaga kerja, orientasi pasar dan sebagainya dipertimbangkan , maka akan didapatkan tipe penggunaan lahan yang memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai penggunaan lahan seperti 1) ladang, 2) tanaman semusim campuran, lahan kering permanen, tidak intensif, 3) tanaman semusim campuran, lahan kering permanen, intensif, 4) sawah beririgasi, satu kali setahun, tidak intensif, 5) sawah beririgasi, dua kali setahun, intensif, 6) perkebunan rakyat

(karet, kopi, coklat, jeruk) tidak intensif, 7) perkebunan besar, intensif, 8) hutan produksi alami, 9) hutan produksi, tanaman pinus, 10) padang penggembalaan, tidak intensif dan lain-lain.

Erosi dan Dampak Erosi

Arsyad (2006) mendefininisikan erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Jadi pada peristiwa erosi tanah atau bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin. Lebih lanjut dikatakan bahwa erosi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut : iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia.

Perkiraan jumlah erosi yang akan terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan dilakukan dengan menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) (Wischmeier and Smith 1978)yaitu : A = R x K x LS x C x P

Dengan pengertian bahwa : A = Jumlah erosi dalam ton/ha/tahun, R = faktor erisivitas hujan, K = faktor erodibilitas tanah, LS = faktor panjang dan kemiringan lereng, C = faktor tanaman (penggunaan tanah), P = faktor teknik konservasi tanah.

Dari kelima faktor yang menentukan nilai prediksi erosi tersebut, faktor-faktor yang memungkinkan untuk dimodifikasi secara teknologi dan ekonomi adalah faktor C dan P. Beberapa cara untuk memodifikasi nilai CP misalnya penanaman secara terus menerus, rotasi tanaman, pergiliran tanaman, tumpang sari, mulsa dan lain-lain. Nilai CP untuk setiap jenis pola tanam ditentukan

16

berdasarkan hasil-hasil penelitian plot erosi, baik di dalam maupun di luar daerah penelitian. Pengaruh pola tanam dan jenis tanaman tidak saja tergantung pada jenis vegetasi, kerapatan, kualitas pertumbuhan, pengelolaan tanaman, tetapi bervariasi antara bulan dan musim. Oleh karena itu, efektifitas tanaman dalam menurunkan tingkat erosi sangat tergantung pada kelebatannya selama perlindungan yang diberikan oleh tanaman dan sistem pengelolaannya yang paling sedikit (Sinukaban 1989).

Erosi merupakan suatu proses alami yang pasti terjadi selama adanya agen pembawa erosi, sehingga tidak dapat dihindari seluruhnya. Upaya pencegahan erosi, berarti upaya mengurangi laju erosi sampai mendekati laju erosi yang terjadi karena proses alami, dengan demikain diperlukan adanya suatu pemahaman yang benar tentang proses terjadinya erosi (Morgan 1986).

Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi adalah perlu oleh karena tidaklah mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian terutama pada tanah-tanah yang berlereng. Akan tetapi suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan tempat untuk menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman sehingga tanaman/tumbuhan dapat tumbuh dengan baik. Laju erosi yang dinyatakan mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan (Arsyad 2006)

Erosi yang terjadi dapat mengakibatkan hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air, sementara itu tanah yang terangkut akan diendapkan ditempat lain. Menurut Arsyad (2006) kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di 2 tempat yaitu 1) pada tanah tempat erosi terjadi dan 2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak yang diakibatkan oleh erosi tersebut dapat langsung maupun tidak langsung.

Dampak langsung erosi di tempat kejadian erosi (on-site) antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, peningkatan penggunaan energi untuk produksi, kemerosotan produktivitas tanah, kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya dan pemiskinan penggarap/pemilik tanah. Dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site) yang secara langsung terjadi antara lain pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya; kerusakan ekosistem perairan dan lain-lain.

Dampak tidak langsung di tempat kejadian erosi (on-site) antara lain berkurangnya alternatif penggunaan lahan, timbulnya dorongan/tekanan untuk membuka lahan baru dan lain-lain, sementara dampak tidak langsung di luar tempat kejadian erosi (off-site) antara lain kerugian oleh memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir.

Pembangunan pertanian dengan intensifikasi pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida yang cukup besar. Bahan pupuk dan pestisida ini tidak diam di dalam

18

tanah atau seluruhnya diangkut tanaman melainkan ada yang larut di dalam aliran permukaan. Bahan ini menjadi sumber polusi setelah memasuki badan air dan dikenal dengan non-point source pollution (NPSP). Dampak non-point source pollution ini dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu (i) dampak yang terjadi pada badan air (in stream impact) dan (ii) dampak di luar badan air (off stream impact) (Sihite 2001).

Lebih lanjut dikatakan bahwa banyak dampak yang terjadi dapat diamati pada badan-badan air yang ada seperti sungai, danau, atau waduk; sehingga dampak yang ditimbulkan disebut dampak instream. Sedangkan dampak yang lain dapat terjadi sebelum partikel-partikel tanah tersebut mencapai badan-badan air atau sesudahnya seperti dijumpai pada kejadian banjir, penggunaan air untuk kebutuhan domestik, irigasi, atau yang lain; sehingga dampak yang ditimbulkan disebut sebagai dampak off-stream.

Mencegah terjadinya erosi di daerah rawan erosi (kemiringan lereng terjal, pinggir sungai) atau ditempat dimana praktek-praktek pertanian dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, adalah usaha yang paling ekonomis dan efektif untuk dilaksanakan dalam rangka menurunkan laju erosi (Asdak, 2004)

Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan

Sumberdaya alam, selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung juga menghasilkan manfaat ekologi. Permasalahan yang sering muncul dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya penggunaan lahan adalah adanya berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh pemanfaatan lahan yang tidak tepat sehingga menimbulkan

dampak negatif yang besar, seperti banjir, hilangnya mata air dll. Dengan demikian manfaat yang diperoleh dari penggunaan lahan tidak sebanding dengan biaya sosial yang harus ditanggung akibat kerusakan sumber daya alam yang telah terjadi.

Kebijakan lingkungan banyak dipengaruhi oleh ekonomi lingkungan. Kebijakan mengurangi suatu dampak lingkungan akan dipengaruhi oleh perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi (preventif) atau memperbaiki dan manfaat yang akan diperoleh kemudian (Spash, 1997 dalam Sihite 2001). Preventif dipahami sebagai perlakuan sebelum terjadinya dampak (ex-ante) sedangkan perbaikan merupakan perlakuan setelah dampak terjadi ( ex-post). Pengambilan kebijakan ataupun keputusan apakah preventif atau perbaikan harus dibuat terutama untuk melihat besar investasi yang dikeluarkan untuk tindakan preventif maupun biaya untuk memperbaiki dampak yang sudah terjadi (Barrett dan Segerson, 1997 dalam Sihite 2001).

Permasalahan utama dalam pengelolaan DAS adalah bahwa keuntungan dari program pengelolaan DAS seperti fungsi hidrologis yang baik, erosi yang rendah dan berkurangnya dampak ikutan di hilir (banjir, sedimentasi) tidak mempunyai nilai ekonomi atau tidak mempunyai nilai pasar langsung. Oleh karena itu, perlindungan ini tidak mempunyai nilai moneter langsung. Di dalam ekonomi hal ini dikenal dengan eksternalitas.

Metode yang umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan kepada interaksi dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur

20

pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal ini ada beberapa pendekatan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak (pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan (misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan hara dalam erosi tanah) (Sihite 2001).

Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis biaya dan manfaat (ABM) merupakan salah satu teknik valuasi ekonomi yang koheren untuk mengorganisasi dan mengemukakan informasi yang diinginkan dalam terminologi nilai moneter. Sama dengan teknik lainnya, pemahaman akan interaksi lingkungan dan ekonomi tetap diperlukan (Enters, 1998). Langkah utama yang diperlukan dalam ABM antara lain adalah (i) identifikasi semua komponen yang relevan dengan analisis; (ii) kuantiifikasi dampak fisik dan (iii) valuasi dampak dalam nilai moneter.

Perencanaan Penggunaan Lahan dan Pengelolaan DAS

Permasalahan pengelolaan DAS yang berupa semakin rusaknya kondisi DAS yang ditandai dengan terganggunya siklus hidrologi, penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam di DAS berupa tanah, air, vegetasi dan lain-lain yang mengakibatkan penurunan produktivitas lahan, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian didalam menganalisis sebab dan akibat serta usaha-usaha penanggulangannya, adalah wajar bila disepakati dengan diagnosis ekologi disamping ekonomi sehingga manfaat dari pembangunan DAS yang diorientasikan kepada segi-segi pengawetan tanah dan air, dengan titik berat kepada peningkatan kesejahteraan

masyarakat dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat (Alrasyid dan Heryati 2002).

Dephut (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan akhir pengelolaan DAS yaitu terwujudnya kondisi yang optimal dari sumber daya tanah, air dan vegetasi, maka kegiatan pengelolaan DAS meliputi empat upaya pokok, yaitu:

1. Pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti yang luas. 2. Pengelolaan air melalui pembangunan sumber daya air.

3. Pengelolaan vegetasi, khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air.

4. Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan serta pada upaya pengelolaan DAS.

DAS sebagai satu ekositem berimplikasi pada setiap kegiatan yang akan dilakukan perlu mengikuti suatu perencanaan yang tidak merusak lingkungan hidup atau sumber daya alam sehingga tetap dapat menjaga kondisi keseimbangan berbagai unsur yang membentuk ekosistem DAS tersebut. Unsur utama yang ada di dalam DAS antara lain terdiri dari komponen-komponen vegetasi, tanah, termasuk tanah pertanian dan pemukiman, air (sungai), makhluk hidup termasuk manusia dan segala upaya yang dilakukan di dalam DAS (Alrasyid dan Heryati 2002).

Menurut LP3ES (2006) Pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang dilakukan masyarakat pada dasarnya merupakan resultan dari berbagai faktor sosial, ekonomi dan kondisi sumberdaya lahan yang dihadapi. Secara umum

22

terdapat 4 kelompok faktor yang memiliki pengaruh terhadap pola pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yaitu : (1) faktor lingkungan sosial ekonomi, (2) karakteristik rumah tangga petani, (3) teknologi dan (4) faktor lingkungan fisik yang dihadapkan pada petani.

Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor lingkungan sosial ekonomi meliputi 4 komponen utama yaitu: (1) kebijakan pemerintah seperti penyaluran kredit bersubsidi, pengendalian harga, pengaturan tata niaga komoditas yang diusahakan petani, dan seterusnya; (2) kelembagaan yang terkait dengan kegiatan produksi pertanian seperti lembaga penyuluhan, lembaga keuangan desa, kelompok tani dan koperasi unit desa; (3) budaya masyarakat seperti norma dan orientasi kegiatan produksi, pola kerja sambatan, pola bawon dalam kegiatan panen; dan (4) infrastruktur ekonomi dan pertanian seperti sarana transportasi dan jaringan irigasi. Karakteristik petani dapat berupa penguasaan lahan garapan, pemilikan modal usahatani, ukuran rumah tangga, sumber pendapatan rumah tangga, dan pola konsumsi rumah tangga. Faktor teknologi meliputi metoda, alat dan kualitas input yang digunakan dalam kegiatan pertanian. Sedangkan faktor lingkungan fisik dapat berupa kesuburan lahan yang dimiliki petani, kondisi topografi lahan garapan, kondisi iklim (seperti curah hujan) dan tata air setempat.

Keempat kelompok faktor tersebut bekerja secara simultan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan yang dimiliki petani, kegiatan produksi pertanian, kualitas usahatani, pola usahatani yang dilakukan petani, dan pemanfaatan sumberdaya alam lainnya. Dinamika faktor-faktor tersebut akan menentukan output yang dihasilkan petani baik dalam kuantitas maupun kualitas.

Lebih lanjut output yang dihasilkan petani dapat diwujudkan menjadi pendapatan rumah tangga petani. Dalam hal ini besarnya pendapatan yang diperoleh kembali dipengaruhi oleh bekerjanya faktor sosial ekonomi melalui mekanisme pembentukan harga baik pada pasar input maupun pasar output. Tingkat pendapatan yang diperoleh selanjutnya akan mempengaruhi pola pemanfatan lahan dan sumberdaya alam lainnya, kegiatan produksi pertanian, kualitas usahatani dan pola usahatani yang dilakukan petani melalui aktivitas konsumsi rumah tangga dan investasi.

Dalam jangka panjang interaksi keempat kelompok faktor di atas bersifat dinamis. Kebijakan pemerintah dapat diubah dan disesuaikan dengan tujuan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan. Begitu pula faktor teknologi dapat berubah sejalan dengan temuan teknologi yang senantiasa berkembang. Sedangkan kondisi lingkungan fisik seperti kondisi iklim juga dapat mengalami perubahan dalam jangka panjang akibat perubahan ekosistem baik yang terjadi secara lokal atau secara global seperti anomali iklim El Nino dan La Nina yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pada skala mikro perubahan kondisi lingkungan fisik dapat berupa turunnya kesuburan lahan akibat erosi. Dinamika jangka panjang seluruh faktor di atas pada gilirannya akan berpengaruh terhadap dinamika pola pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan, yang pada gilirannya hal ini akan berpengaruh besar terhadap tata air setempat (LP3ES 2006).

Dokumen terkait