• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah Tanya Qonita Wafa Salsabila

Dalam dokumen Air mata dayang sumbi (Halaman 62-66)

M

atahari sudah beranjak ke atas ubun-ubun dan teriknya makin terasa. Jalanan tampak sepi. Tak ada seorang pun, yang ada hanyalah bangunan tua yang masih berdiri kokoh. Sudah hampir seharian penuh aku ditelantarkan lelaki yang sedang menarik gerobak berisi barang tak terpakai.

“Bolehkah saya membelinya?” tanya seseorang. Ah… Sudah lama aku tak mendengar suara bersemangat seperti tadi.

“Maaf, Pak. Tapi, untuk apa? Ini hanyalah buku usang tak terpakai,” lelaki yang membawaku balik bertanya, heran.

Ya, aku memang hanya buku usang yang telah kekuningan dan sobek di sana-sini. Selama ini aku terpuruk. Aku telah dibuang, dipungut, dan ditelantarkan berulang kali. Disumbangkan dari pemilik satu ke pemilik yang lain, tanpa pernah dibaca.

Pak Tua itu tersenyum dan menjawab, “Tak apa, aku hanya ingin membelinya. Berapapun harga yang akan kau tawarkan.”

Lelaki itu tertegun, lalu menggeleng.

“Ini untuk Bapak saja. Tak usah dibayar, tak apa. Sungguh!”

Mata Pak Tua tampak berbinar bahagia, lalu mengucapkan terima kasih berulang kali.

Sejak itu, aku berpindah tangan. Aku dibawa Pak Tua ke negeri yang tak pernah kulihat. Tak ada lagi bangunan tua yang membosankan. Yang ada di sini, ke arah mana pun aku memandang, adalah gedung-gedung tinggi yang juga dipadati pepohonan rindang.

Akhirnya, kami —Aku dan Pak Tua— tiba di depan sebuah toko mungil di sudut kota. Sebuah papan bertuliskan “Buku Cinta”. Hm? Tempat apalagi ini?

Pak Tua menurunkanku dari sepedanya dan membawaku ke dalam toko. Lalu, Pak Tua menyalakan lampu, yang tak lama kemudian menyala malas-malasan.

Aku tertegun. Ruangan ini disesaki sekitar belasan rak menjulang yang dipenuhi segala macam buku. Bau khas buku menguar di ruangan ini. Cat ruangan sudah kusam dan mengelupas. Tapi, tampaknya Pak Tua tak peduli dengan itu.

Kukira aku akan ditempatkan di antara mereka —buku-buku di atas sana yang asyik berceloteh satu sama lain. Namun, rupanya perkiraanku meleset.

Aku dibawa Pak Tua memasuki ruangan lain yang lebih sempit dan tak terawat. Astaga! Mungkinkah aku ditempatkan di sini? Untuk apa aku dibawa, bila akhirnya aku ditelantarkan kembali?

Pak Tua menepuk-nepuk kulitku dan menaruhku di atas meja. Hey, Pak Tua! Apa yang akan kau lakukan kepadaku?

Ah, apa daya? Aku tak dapat berbicara dengan manusia dan Pak Tua takkan pernah mendengar jeritanku. Sia-sia saja.

Pak Tua membolak-balikkan tubuhku, menggunting beberapa sisi, dan menempelkan perekat di mana-mana. Aku membuka mataku takut-takut dan

terkejut. Kini aku telah bersih dari debu yang menjijikkan dan diberi baju berwarna merah serta jaket transparan dari plastik yang terlihat elegan.

Belum selesai aku mengagumi tampilan baruku, Pak Tua membawaku kembali ke ruangan penuh buku tadi. Akhirnya, aku diletakkan di antara buku bersampul biru yang cukup tebal dan buku tipis bersampul kuning.

Pak Tua menuruni tangga yang ia gunakan untuk menaruhku dan pergi ke sebuah kursi di salah satu sudut ruangan.

“Hey, kau anak baru, ya?” tanya buku bersampul biru. Aku mengangguk perlahan. Kami terdiam cukup lama.

“Tempat apa ini?” tanyaku akhirnya, memutuskan untuk menghilangkan rasa penasaranku.

“Ini adalah tempat terindah yang pernah kukunjungi,” aku buku bersampul kuning.

Aku semakin bingung. Tempat terindah? Apa yang begitu istimewa dari toko kecil di sudut kota?

“Apa yang kau maksud?” tanyaku lagi.

Buku bersampul biru tersenyum dan menjawab, “Ya karena di sinilah tempat yang paling nyaman, terutama bagi buku-buku yang sudah lama terbuang karena di sini kami tak pernah diam, selalu ada yang datang dan pergi, pulang dan kembali.”

Aku semakin bingung. Apa maksud dari perkataan mereka? Datang-pergi? Pulang-kembali?

“Lihat saja esok pagi. Kau pasti terkejut dengan apa yang akan terjadi. Kami pun tak pernah sabar menunggu pagi tiba karena saat itulah perjalanan kami dimulai.”

***

Matahari akhirnya muncul ke dunia, sama seperti semangat kami yang menggebu-gebu. Beberapa orang masuk-keluar toko ini, mengembalikan buku dan membawa pergi buku yang lain. Teman-temanku yang dibawa pergi tampak sangat gembira.

Barulah aku paham dan mengakui, ini memang tempat terhebat! Bahkan, tak pernah terpikirkan olehku akan adanya tempat yang seperti ini.

“Pak, saya ingin buku itu,” kata seorang pemuda, menunjuk ke arahku. Aku memekik senang. Akhirnya, setelah sekian lama, aku diperhatikan juga.

Pak Tua meraih tangga dan menaikinya. Sebelah tangan Pak Tua menyentuhku. Ah… aku tak sabar untuk segera dibaca. Namun, tangan Pak Tua justru beralih ke buku bersampul biru dan membawanya turun. Aku tercekat. Mengapa bukan aku yang dipilih?

Wajah pemuda itu terlihat amat bahagia saat menerima buku bersampul biru dari Pak Tua. Lalu, pemuda itu mengucap terima kasih berulang kali. Aku hanya tertunduk lesu di atas rak tua yang amat terawat ini.

Hingga hari beranjak sore, aku tak lagi diperhatikan dan disentuh Pak Tua. Buku bersampul kuning menenangkanku, “Tak apa, Kawan. Masih ada hari esok.” Aku tersenyum kecut.

“Terima kasih. Mungkin kau benar. Selalu ada hari esok.” ***

Nyatanya, tak ada hari esok bagiku. Segalanya terasa sama layaknya kemarin. Aku tak dihiraukan dan hanya dapat memandang iri pada buku yang dibawa pergi. Begitu pula hari esok lainnya dan esok-esok selanjutnya.

Buku bersampul biru sudah kembali tadi sore. Dia tak henti-hentinya bercerita penuh suka cita bagaimana hari-hari indahnya.

“Aku tak berbohong. Sungguh! Aku dibawa ke mana pun dia pergi; tepi danau yang indah, gedung yang tinggi, bahkan di dalam rumahnya pun aku tak henti-hentinya dibaca.”

Aku semakin iri padanya. Kapankah tiba saat aku dibaca dan ditemani secangkir kopi untuk menemani sore hari seseorang?

Krieet….

Pintu tua toko ini berderit pelan, hari sudah sore. Siapa yang datang sesore ini? Kupikir yang baru saja datang adalah Pak Tua, tapi ternyata bukan. Yang muncul dari pintu adalah seorang pemuda lusuh dengan rambut berantakan dan baju kucel.

Pak Tua baru saja keluar dari ruang kerjanya yang amatlah sempit. Beliau tersenyum kepada pemuda itu. Pemuda itu menunduk hormat dan berkata pelan, “Apa di sini harus membayar? Maaf, Pak. Saya ingin membaca, tapi saya tak mempunyai uang sepeser pun.”

Pak Tua menghampiri pemuda itu.

Kami berbisik-bisik. Kira-kira apa yang akan dilakukan Pak Tua? Mengusirnyakah?

Justru Pak Tua tersenyum hangat dan menepuk pundak pemuda itu. “Ambillah buku yang kau suka! Di sini kau tak perlu membayar apapun, tapi kau harus mengembalikannya seusai kau membaca.”

Pemuda itu mengangkat wajahnya dan mengucap syukur. Lalu, ia berkeliling ruangan penuh buku ini. Lalu, ia berhenti di depan rakku.

Aku berdoa dalam hati, semoga aku yang ia pilih. Aku menutup mataku, mengucap doa berulang kali. Berkomat-kamit. Aku berjengit saat ada yang menyentuhku. Mungkinkah?

Aku membuka mataku takut-takut. Ya Tuhan! Ini benar-benar terjadi! Aku diambil oleh pemuda itu. Akhirnya…

Aku menghembuskan napas lega. ***

lusuh. Namun, ternyata hatinya sangat baik. Aku terkejut saat aku dibaca olehnya. Rasanya amat menyenangkan. Aku dibawanya ke berbagai penjuru kota, ke mana pun dia pergi.

Dan kini aku mulai sering dipilih dan dibawa pergi orang-orang. Saat dulu aku yang disemangati oleh temanku yang lain, sekarang akulah yang menyemangati anak-anak yang baru.

Tapi, seberapa lama pun aku di sini, masih ada yang terasa janggal di pikiranku. Apa ya?

Ah…. Itu dia. Aku menemukan pertanyaanku. “Hey, Kawan!” sahutku kepada buku biru.

Buku biru menoleh dan mengangkat alisnya, seakan bertanya —Apa?

“Aku mau bertanya satu hal. Boleh?” Buku biru terkekeh pelan. Giliran aku yang mengernyit bingung.

“Sebetulnya kau baru saja bertanya.” Aku terdiam dan akhirnya mengerti. Aku ikut terkekeh.

“Tapi, kau boleh bertanya satu hal lagi,” ucap buku biru. Aku mengangguk. “Aku mau bertanya…” Aku terdiam sesaat, memilah kata-kata yang tepat. Buku biru turut terdiam, menunggu kelanjutan dari ucapanku.

“Sebetulnya, negara apa ini? Tak pernah kutemukan negara yang dipenuhi wajah-wajah bersemangat, wajah tak kenal letih, di mana pun ku berada. Dan lagi, saat aku dipinjam aku menemukan banyak orang juga sedang membaca. Semuanya terlihat begitu menikmatinya. Negara ajaib apakah ini?” tanyaku panjang-lebar.

Buku biru tersenyum lebar. Tapi, ia tak langsung menjawab. Ia menepuk pundakku pelan.

“Kau tahu? Aku sudah menduga kau akan bertanya tentang hal ini,” sahutnya. Buku biru menarik napas dan berkata, “Ini Indonesia, Kawan! Negara yang kau sebut ajaib itu adalah Indonesia.” [*]

Dalam dokumen Air mata dayang sumbi (Halaman 62-66)