• Tidak ada hasil yang ditemukan

12. Tulisan tersebut adalah semboyan dari Lembaga Cornelis Chastelein,

Dalam dokumen Air mata dayang sumbi (Halaman 44-47)

Misteri Jembatan PANUS Jeremias Hasintongan Tjahyo Adyasmoro

Samuel 7: 12. Tulisan tersebut adalah semboyan dari Lembaga Cornelis Chastelein,

suatu lembaga komunitas Belanda Depok.

“Pak, apakah marga ketujuh dari ke-duabelas marga tersebut adalah marga Laurens? Dan apakah di sekitar sini ada orang yang bernama Samuel Laurens!”, kataku tiba-tiba yang disambut tatapan bingung ke-lima anggota Pasukan Merdeka yang lain.

Castelein dan tinggal di sana. Kebetulan dia adalah saudara jauh saya dan kemarin dia sudah ditanyai polisi tetapi dia mengelak. Saya juga sebetulnya sudah lama curiga padanya, karena tingkahnya aneh dan sering sekali keluar malam-malam!”, sambung pak Bernard pula.

“Tapi walau bagaimanapun kita tidak boleh terlalu cepat menuduh orang. Kita tanyai saja dulu baik-baik. Itu tindakan yang paling bijaksana menurutku!”, kata Adesya menengahi.

“Wah, Adesya memang paling bijaksana diantara kita ya!” seruku sambil tersenyum simpul. Muka Adesya jadi merah karena malu.

Saat di perjalanan Ica membuka mulut, “Bagaimana kau bisa tahu siapa nama orang itu, Ri. Apakah kamu sudah berubah menjadi Sherlock Holmes?” kata Ica bingung

“Ah, aku kan cuma memperkirakannya saja. Saya pikir-pikir ayat itu yaitu 1 Samuel 7:12 pasti berhubungan dengan nama hantu gadungan itu, yaitu Samuel yang bermarga ke 7 dari 12 marga yaitu marga Laurens. Yang membuat Jembatan Panus sebenarnya kan Andre Laurens dan bukan Stephanus Leander. Aku berpikir, kemungkinan keturunan Andre Laurens merasa tidak adil karena selama ini yang dikenal sebagai pembuat jembatan adalah Stephanus Leander bukan Andre Laurens. Itu menurutku lho!” kataku dengan senyum bangga karena disebut mirip Sherlock Holmes detektif terkenal itu.

“Saya juga menduga hal yang sama dengan Ari. Sudah lama memang, Bapak Samuel Laurens memperjuangkan fakta tentang leluhurnya ini, tapi banyak pihak yang tidak perduli dan sudah merasa nyaman dengan fakta bahwa jembatan itu adalah jembatan buatan Stephanus Leander, bukan Andre Laurens. Satu lagi saya tahu betul bahwa Pak Samuel Laurens suka menulis inisial Ebenhaezer di setiap barang miliknya, seperti topi dan baju. Itu yang membuat saya semakin curiga padanya!”, tukas Pak Bernard.

Tidak terasa ternyata mereka sudah di dekat Lembaga Cornelis Castelein. Pak Bernard yang sudah mengenali tempat itu langsung mencari Pak Samuel. Ketika tiba, Pak Bernard memanggil saudara jauhnya itu, “Samuel dimana kau? Apakah kamu yang telah menakut-nakuti semua orang di Jembatan Panus sampai meninggal. Mengakulah, kami sudah punya buktinya.”

“Aku tidak menakut-nakuti orang sampai meninggal!”, kata Bapak Samuel yang tiba-tiba muncul

“Semua bukti telah mengarah kepadamu, ayolah mengaku!” kata Bapak Bernard lembut.

Akhirnya Bapak Samuel mengaku karena merasa terpojokkan,

“Saya mengaku, memang sayalah yang sudah menakut-nakuti orang-orang, tapi saya tidak berniat membuat mereka meninggal. Mereka tergelincir karena kaget melihat saya, dan karena tebing Jembatan Panus yang licin akibat sampah.

Tapi saya tidak mau masuk penjara, saya tidak sengaja membuat mereka meninggal, Bernard! Saya sering kesana malam hari karena kesal. Jembatan itu buatan Opa saya, bukan Opa kamu. Opa saya yang membangun jembatan itu dengan sepenuh hati, tetapi orang tidak mengenal Opa saya, Andre Laurens. Sudah begitu, jembatan itu juga sekarang tidak terawat dan penuh sampah. Saya kesal, satu satunya kenangan dari opa saya dirusak orang-orang!”, seru Pak Samuel tersedu-sedu.

“Tapi sebaiknya bapak tetap harus melaporkan hal ini kepada polisi, Pak!”, bujuk Dimas yang diikuti dengan anggukan setuju semua orang.

Akhirnya setelah dibujuk oleh Pak Bernard, Pak Samuel mau menyerahkan dirinya ke kantor polisi. Keenam anggota Pasukan Merdeka senang dan bangga sekali karena penyelidikan dan tugas mereka selesai. Namun yang pasti, banyak sekali fakta yang dapat mereka tuliskan dalam karya tulis mereka. Fakta-fakta itu adalah Jembatan Panus itu bukan buatan arsitek Belanda, tetapi orang Indonesia suku Belanda Depok yang bernama Andre Laurens pada tahun 1917. Suku atau kaum Belanda Depok adalah orang Indonesia asli, budak Cornelis Chastelein yang diangkat anak dan diberi marga. Fakta lain adalah bahwa di Depok itu dulunya berdiri suatu negara yaitu Republik Depok.

***

“Kalian tahu tidak, Bapak Samuel Laurens hanya ditahan beberapa hari saja dan sekarang sudah lepas dari tahanan?” Tiba-tiba Adesya membuka pembicaraan di kelas pagi itu.

Adesyapun menceritakan bahwa ayahnya yang seorang pengacara dan anggota DPRD Depok akhirnya membantu keluarnya Pak Samuel Laurens, setelah Adesya bercerita panjang lebar tentang Pak Samuel Laurens pada ayahnya. Ayah Adesya akhirnya terketuk hatinya untuk memberi bantuan hukum pada Pak Samuel Laurens. Menurut ayah Adesya, Sejarah Kota Depok memang harus diteliti dan dikaji ulang lagi dan yang pasti harus dilestarikan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Ayah Adesya juga akan mengajukan usul ke DPRD Depok agar Sejarah Kota Depok bisa dipelajari di sekolah-sekolah yang ada di wilayah kota Depok.

“Oh ya, ayahku juga mengingatkan agar kita tidak lupa menjaga bangunan-bangunan bersejarah, terutama di kota kita ini, dan jangan membuang sampah sembarangan!” sambung Adesya lagi.

“Setujuuuuuuuuuuuu!”, keenam anggota Pasukan Merdeka berseru serempak. Kriiiinggg... Kriiiinggg... Kriiiinggg suara bel masuk tanda pelajaran dimulai. Pelajaran pertama adalah pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

“Anak-anak nilai karya tulis kalian akan diumumkan!”, kata Bu Aisyah. Ketika disebutkan oleh Bu Aisyah bahwa nilai kelompok kami yang mendapat nilai tertinggi, seolah bom meledak di kelas itu karena keenam Anggota Pasukan Merdeka bersorak, “Hoorrreeeeee!! Karya tulis kita mendapatkan nilai tertinggi”.

Dalam dokumen Air mata dayang sumbi (Halaman 44-47)