• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENGHAYATAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO

A. Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul,

1. Sejarah Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul,

dapat dilepaskan dari sejarah Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari. Sejak tahun 1924 ketika ada baptisan pertama seorang warga Wonosari, umat Katolik semakin berkembang. Didukung kehadiran sekolah-sekolah Katolik yang dikelola oleh Misi Katolik serta hadirnya katekis-katekis dari Yogyakarta, semakin banyak warga Wonosari yang dibaptis. Umat Katolik Wonosari semakin diteguhkan ketika tahun 1952 Wonosari ditetapkan sebagai Paroki dengan nama pelindung Santo Petrus Kanisius dan Romo Vendel SJ sebagai Pastor Paroki yang pertama. Paroki Wonosari ketika itu mencakup seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul, cakupan pastoral yang amat luas.

Dalam reksa pastoral kemudian, yakni tahun 1990, disepakati bahwa wilayah Paroki Wonosari dibagi menjadi tiga bagian penggembalaan, yakni wilayah barat yang berpusat di Bandung, wilayah tengah yang berpusat di Wonosari, dan wilayah timur yang berpusat di Kelor. Pembagian wilayah ini diikuti dengan pembagian tugas dari para romo yang ada di Wonosari. Ternyata pilihan pastoral ini membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Umat Katolik di ketiga wilayah semakin tumbuh

dan berkembang. Bahkan kedua wilayah, yakni Kelor dan Bandung, makin meningkat paguyuban imannya dan diteguhkan dengan status baru sebagai Paroki Administratif pada 1 Januari 1998. Status baru ini membawa konsekuensi tersendiri yang harus dipikul. Di kedua “anak paroki” ini mulai dibentuk Dewan Paroki tersendiri dengan Romo yang mendampingi serta menetap di kedua wilayah tersebut. Tata kelola paroki, termasuk keuangan, dilaksanakan terpisah dari Wonosari.

Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung sendiri saat ini dibagi dalam enam wilayah, yakni Bandung Timur, Bandung Barat, Bogor, Ngijorejo, Beji dan Panggang. Masing-masing wilayah mempunyai sejarah pertumbuhan dan perkembangan yang tidak sama dan tidak berhubungan. Hal ini disebabkan antara lain para katekis yang mewartakan iman berasal dari tempat yang berbeda-beda. Umumnya, para katekis bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah kanisius yang sudah ada dan di luar tugas mengajar mereka mengajar agama bagi para katekumen/magang baptis.

Di antara para baptisan awal, apa yang terjadi di Ngijorejo pantas disebut sebagai momen historis yang penting. Pada tahun 1930 di Ngijorejo sudah ada pondok pesantren kejawen yang diasuh oleh Kyai Mochamad Chaeram yang sekaligus menjadi Dukuh untuk daerah Ngijorejo, Trukan dan Ngasem. Padepokan ini memang dimaksud untuk mendidik kawula muda Ngijorejo dan sekitarnya agar memiliki akhlak yang baik. Tahun 1933 kehadiran Romo Strater SJ di Wonosari sudah terdengar sampai padepokan ini. Romo Strater dianggap sebagai guru ngelmu bule. Maka, terjadilah adu kawruh ilmu antara Kyai Mochamad Chaeram dengan Romo Strater yang didampingi Romo Hardjasuwanda dan katekis Bapak

Sastrapuspita. Adu kawruh ini diadakan dengan perjanjian: siapa yang kalah harus tunduk dan mengikuti yang menang beserta semua pengikutnya. Drama adu kawruh ngelmu ini dimenangkan oleh Romo Strater dan Romo Hardjasuwanda. Maka, sejak itu seluruh penduduk Ngijorejo dan sekitarnya tunduk dan mengikuti Romo Strater. Katekis yaitu Bapak Sastrapuspita mulai rajin datang ke Ngijorejo dan memberikan pelajaran agama Katolik di sana. Pada hari Natal tahun 1934 sekitar 30 orang Ngijorejo akhirnya dibaptis di Gereja Wonosari. Inilah benih awal umat Katolik di Ngijorejo yang sekaligus menjadi cikal bakal umat Katolik di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung. Semua yang terjadi di Ngijorejo ini gemanya segera meluas dan berpengaruh banyak di daerah-daerah sekitarnya. Setahun kemudian tahun 1934 ada seorang yang bernama Petrus Partosentono yang berasal dari Beji dibaptis. Kemudian, dia bersama temannya mulai mengajar agama di Beji sehingga tahun-tahun selanjutnya mulai banyak orang yang minta dibaptis.

Di tempat lain terjadi pula baptisan pertama pada tahun 1935 di daerah Bogor. Waktu itu ada empat orang yang menerima baptisan pertama di daerah ini. Namun, keempat orang itupun segera menyebar dan bertempat tinggal di daerah lain. Sementara itu umat yang paling dekat dengan gereja induk terdiri dari dari dua wilayah, yakni Bandung Barat dan Bandung Timur. Perkembangan umat di kedua wilayah tersebut ditentukan oleh para katekis yang menjadi guru di Sekolah Dasar Kanisius yang ada di kedua wilayah itu. Mulai tahun 1950 terdapat baptisan baru yang semakin lama semakin berkembang. Baptisan itu terjadi pada tahun 1952, yang dibaptis ada dua orang, Yusup Suwardiyono dan Yusup Sarisman. Keduanya berdomisili di Bandung. Tahun 1955, kembali dibaptis tujuh orang dari Pager

(wilayah Bandung Timur). Mereka mendapat pelajaran agama dari Bapak DJono seorang guru dari Kalasan. Selanjutnya tahun demi tahun, umat semakin meningkat dan tersebar di beberapa kring (tahun 1957, baptisan di Banaran; tahun 1966 baptisan dari Nogosari).

Khusus untuk wilayah Bandung sendiri, iman katolik berawal dari kehadiran Sekolah Dasar Kanisius Beji yang khusus hanya untuk anak kelas 4-6. Anak-anak ini kemudian membuat kegiatan belajar yang tergabung dalam Himpunan Siswa Bandung di bawah pimpinan Yusup Sarisman. Pelajaran agama Katolik segera diberikan oleh para katekis yang sekaligus menjadi guru di SD waktu itu (Bapak Djono, Bapak Wardo, Bapak Lusman dan Bapak Dwijo Susanto) dalam bimbingan Romo Vendell dari Wonosari. Dari kegiatan belajar itulah, ada 15 anak yang segera minta dibaptis. Salah satu anak tersebut bernama Yohanes Saeran Setyosudarmo. Dalam perkembangan selanjutnya, Bapak Saeran inilah yang akan meneruskan perkembangan umat Katolik di Bandung. Tempat ibadah yang ada waktu itu hanyalah di komplek Sekolah Dasar. Semakin lama semakin dirasakan kebutuhan untuk memiliki tempat ibadah yg lebih memadai. Lalu dipilihlah suatu pekarangan milik Ibu Harjodinomo di Bandung yang segera dibangun untuk menjadi kapel. Misa pun rutin diadakan di kapel ini sebulan sekali. Pada tahun 1964, Romo Dibyo Wardoyo membeli tanah milik Bapak Saeran untuk didirikan kapel baru. Pada tahun 1969 Bapak Saeran dipanggil Tuhan. Kepemimpinan Gereja diteruskan oleh Bapak Yohanes Baptis Sukino. Bergantinya tokoh awam berganti pula romo paroki yang melayani. Maka, datanglah Romo Zanweh, SJ yang kemudian mulai membeli sebidang tanah dan segera didirikan Gereja yang lebih besar. Pendirian Gereja ini

dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh umat. Inilah cikal bakal Gereja Bandung. Dalam perkembangannya, Gereja tersebut semakin tidak memadai untuk menampung seluruh umat. Penambahan di sana-sini pun dilakukan seiring pertambahan jumlah umat. Berdirinya gedung Gereja menuntut penataan tata organisasi-kepemimpinan umat. Maka, tahun 1979 mulai ditetapkan kepengurusan Dewan Stasi yang diketahui oleh Bapak Yohanes Baptis Sukino. Pelindung Stasi yang dipilih adalah Santo Yusup. Hingga sekarang berkembang menjadi Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

2. Situasi Umum Umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul,

Dokumen terkait