• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Jumlah Energi 103.00 kal

2.4 Senyawa Antimikroba

Senyawa antimikroba didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Reid dan Pelczar, 1979 dalam Winarno (1991). Menurut Winarno (1991) senyawa antimikroba adalah jenis bahan tambahan makanan yang digunakan dengan tujuan untuk mencegah kebusukan atau ketidak amanan oleh mikroorganisme pada bahan pangan.

Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba menurut Winarno (1991) adalah sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sorbat, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil dikarbonat dan dietil bikarbonat, antimikroba alami baik dari produk hewani, tanaman maupun mikroorganisme, misalnya bakteriosin. Senyawa antimikroba dalam biji picung adalah asam sianida dan tanin. (Gimlette 1929 dalam Burkil 1935, Hilditch & Williams et al. 1964).

Selain asam sianida, biji picung juga mengandung tanin. Keistimewaan senyawa-senyawa tersebut adalah kemampuannya untuk mengobati lepra, kudis dan beberapa penyakit sejenis (Hilditch & Williams 1964) serta mempunyai peranan dalam pengawetan ikan karena bersifat antibakteri sehingga mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan (Gimlette 1929 dalam Burkill 1935).

Biji picung sebagai bahan baku dari kluwak telah diteliti dan ternyata biji picung mempunyai manfaat lain selain dapat dikonsumsi setelah dihilangkan racunnya. Penelitian Indriyati (1989) melaporkan bahwa biji picung segar mempunyai aktivitas antibakteri pembusuk ikan yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp. dan coliform yang tumbuh pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang membusuk. Bakteri yang paling sensitif adalah Micrococcus sp. dan yang paling resisten adalah coliform. Esktrak biji picung sebanyak 3% (b/v) mampu menghambat keempat bakteri tersebut, sedangkan pada konsentrasi 5% ekstrak biji picung lebih bersifat bakterisidal.

Menurut Emmawati (1998) dan Kristikasari (2000), biji picung memiliki aktivitas antimikroba, sedangkan menurut Indriyati (1989) biji picung memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri pembusuk ikan secara in vitro seperti bakteri Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus. Indriyati (1989) menduga bahwa komponen antibakteri pada biji picung adalah asam sianida, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam gorlat dan tanin.

2.4.1 Sianogenik Glukosida

Daftar sianogenik glukosida yang menyangkut toksisitasnya pada manusia telah dibuat Wong (1989) ada 3 jenis. Salah satunya adalah amigdalin pertama kali diidentifikasi dalam almond pahit dan juga terdapat dalam biji buah-buahan lainnya. Pada umumnya sianida yang dihasilkan oleh bahan-bahan nabati tersebut bervariasi antara 10 – 800 mg per 100 g. Biji almond pahit mengandung 250 mg HCN per 100 g.

Gambar 5 (A) Amygdalin (B) Linamarin (C) Dhurrin

Amigdalin dari biji buah adalah suatu glukosida dari benzaldehid sianohidrin (mandelonitril), yang apabila dihidrolisis sempurna akan menghasilkan glukosa, benzaldehid dan hidrogen sianida. Apabila hidrolisis tersebut dilakukan secara enzimatis yang terkontrol, maka glukosa akan dilepaskan dalam dua tahap. Dengan alkali atau asam pekat, akan dihasilkan asam amigdalinat. Selanjutnya sianida yang terbebaskan oleh aktivitas hidrolisis enzimatik mikroba, larut dalam air dan terbuang pada proses pencucian berikutnya. Bila dari proses tersebut masih tersisa sianida di dalamnya, akan menurun atau hilang dalam proses pemanasan dalam pengolahannya Sianida

A B C O O C O H C ≡ O O C O H3C CH3 C ≡ O C O H C ≡ OH

dalam jumlah sedikit sekali tersebar luas dalam tanaman, terutama dalam bentuk sianogenik glukosida, konsentrasi yang relatif tinggi ditemukan dalam rumput- rumputan tertentu, kacang-kacangan, umbi-umbian dan biji buak. Tetapi perlu diingat bahwa glukosida tersebut bukan satu-satunya sumber sianida dan juga sianida tersebut bukan hanya berasal dari tanaman, tetapi kapang, bakteri dan bahkan beberapa jenis hewan dapat memproduksi sianida (Paris 1913 dalam Muchtadi 1989). Biji picung merupakan tanaman yang banyak mengandung ginokardin glukosida yang mudah melepaskan asam sianida dengan bantuan enzim ginokardase. Pelepasan asam sianida tersebut dapat dicegah dengan pemanasan yang menghancurkan enzim ginokardase (Burkill 1935). Ginokardin glukosida dan enzim ginokardase sekarang masing-masing dikenal dengan nama sianogenik glukosida dan enzim glukosidase (Muchtadi 1989).

Gambar 6 Memperlihatkan Struktur Amigdalin dan Produk-Produk Hidrolisisnya.

Menurut Wong (1989) glikosida sianogenetik merupakan senyawa yang terdapat pada bahan makanan nabati dan secara potensial sangat beracun karena dapat terurai dan mengeluarkan hidrogen sianida. Hidrogen sianida dikeluarkan apabila komoditi tersebut dihancurkan, dikunyah, diiris atau dirusak. Dalam saluran pencernaan HCN mudah terserap usus dan masuk ke dalam peredaran darah. Akibatnya keracunan sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian, bergantung kepada jumlahnya. Dosis yang mematikan dari HCN adalah 0,5 - 3,5 mg/kg berat badan. C HO H C ≡ N α-Glucosidase + 2 Glucose CYANOHYDRIN Hydroxynitrile lyase HCN + H C O HYDROCYANIC ACID BENZALDEHYDE AMYGDALIN O O C O H C N O

Kandungan sianida dalam ketela pohon (singkong) sangat bervariasi. Kadar sianida rata-rata dalam singkong manis di bawah 50 mg/kg. Menurut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih aman untuk dikonsumsi. Pengupasan kulit, pengirisan tipis-tipis, pengeringan, perendaman dan fermentasi dalam pengolahan singkong dapat menurunkan atau menghilangkan kandungan sianida yang ada.

Tanda-tanda keracunan HCN umumnya antara lain; sakit kepala, pusing, mata melotot, muntah, mencret, sesak nafas, badan menjadi lemah dan mengalami sianosis, yaitu seluruh badan kebiru-biruan. Sianosis merupakan tanda spesifik keracunan HCN.

Ion fero banyak terdapat dalam darah sebagai komponen hemoglobin. Apabila ion sianida terdapat dalam darah maka ion fero dalam darah akan bereaksi dengan ion sianida sehingga hemoglobin kehilangan kemampuannya untuk mengangkut oksigen. Pada konsentrasi rendah asam sianida tersebut dapat mengakibatkan pusing, mual dan muntah pada orang, sedangkan pada konsentrasi tinggi (>50 mg) dapat mengakibatkan kematian (Wong 1989).

Asam sianida adalah suatu asam lemah yang berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai bau khas dan apabila terbakar mengeluarkan nyala biru. Senyawa sianida dapat bereaksi dengan beberapa ion logam membentuk senyawa Fe(CN)42- atau Fe(CN)63- (Winarno 1991).

Semua senyawa tersebut adalah beta – glukosida, yang kurang larut dalam air. Karena sifatnya tersebut senyawa ini merupakan tempat penyimpanan yang baik dari senyawa lain seperti sianida, sampai tiba saatnya untuk digunakan. Diduga bahwa kepentingan senyawa tersebut bagi tanaman adalah sebagai alat pertahanan terhadap serangan insekta (Con 1969 dalam Muchtadi 1989).

Meskipun asam sianida yang berada dalam biji picung sangat beracun akan tetapi asam sianida ini dengan mudah dapat dihilangkan karena sifatnya yang mudah larut dalam air dan menguap pada suhu 26oC, sehingga biji picung dapat digunakan sebagai bahan makanan. Secara alami buah dan biji picung menjadi makanan kelelawar dan tikus, biji picung apabila telah dihilangkan racunnya dapat digunakan sebagai bumbu masakan dan dapat juga dibuat menjadi

terasi pucung didaerah Madiun (Jawa timur), kecap pangi di kepulauan Saparua serta dapat dibuat dage di Jawa barat (Vooderman 1899 dalam Heyne 1987).

Menurut Burkill (1935) penghilangan racun pada biji picung dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : (1) biji picung dikupas dan direbus, kemudian direndam sehari dalam air mengalir, selanjutnya direbus lagi. Hasilnya dikenal dengan nama “dage”, (2) seperti cara pertama dan setelah perebusan kedua dibiarkan kurang lebih satu minggu supaya terjadi fermentasi, (3) merendam biji picung yang telah direbus dan dibungkus dengan abu, dibiarkan kurang lebih 40 hari supaya terjadi fermentasi. Cara ini menghasilkan cita rasa terbaik yang dikenal dengan “kluwak”, seperti cara ketiga, tetapi hari ke –15 direbus dan direndam dalam air mengalir dan akhirnya dibiarkan terjadi fermentasi lebih lanjut, yaitu kurang lebih 4 hari.

Dosis mematikan minimal dari HCN melalui mulut telah diperkirakan antara 0,5 sampai 3,5 mg/kg berat badan (Wong 1989). Dosis mematikan sianida alkalis kira-kira 2 kali lipatnya HCN. Suatu dosis yang relatif sangat tinggi dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit, tetapi pada dosis yang lebih rendah telah dilaporkan bahwa penderita dapat bertahan hidup sampai 3 jam. Gejala yang timbul mula-mula adalah mati rasa pada sekujur tubuh dan pusing- pusing. Hal ini diikuti oleh kekacauan mental dan pingsan, sianosis, kejang- kejang dan sawan (menggelepar-gelepar), dan akhirnya koma (pingsan yang lama). Dosis yang lebih rendah (non fatal) dapat mengakibatkan sakit kepala, sesak pada tenggorokan dan dada, berdebar-debar, serta kelemahan pada otot-otot.

Hidrolisis terhadap sianogenik glukosida dapat terjadi apabila bahan dihancurkan dengan adanya air, sehingga terjadi pelepasan HCN. Untuk menghilangkan HCN yang terbentuk secara tradisi dilakukan pencucian dengan air mengalir setelah pengupasan. Senyawa HCN mudah teruapkan selama perebusan, tetapi bila dilakukan dalam wadah tertutup maka HCN akan berkondensasi lagi dan larut dalam air perebus.

Telah diketahui bahwa enzim glukosidase inaktif pada pH cairan lambung atau saliva dan juga inaktif bila terdapat selulosa atau glukosa. Dengan demikian kemungkinan terjadinya hidrolisis tersebut selama pencernaan sangat kecil sekali. Akan tetapi secara teoritis kemungkinan tersebut ada, misalnya pada orang yang

kekurangan makan dimana keasaman perutnya sangat rendah (pH tinggi), otolisis dapat berlangsung terus dalam perut untuk beberapa lama, sampai perut terisi oleh cairan lambung. Salah satu percobaan menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat enzim glukosidase dalam jumlah cukup, cairan saliva atau HCl encer pada suhu tubuh tidak dapat melepaskan HCN dalam jumlah yang nyata dari kacang

Phaseolus lunatus (Muchtadi 1989).

Pencegahan keracunan oleh sianida dapat dilakukan dengan penghilangan HCN yang terbentuk selama pengupasan/penghancuran bahan dan dengan cara pencucian serta perebusan dan menghilangkan air perebusannya.

2.4.2 Tanin

Tanin merupakan senyawa polifenol alami yang mengandung gugus hidroksi fenolik dan gugus karboksil dengan bobot molekul yang cukup tinggi (500 – 3000 Dalton) sehingga dapat membentuk ikatan yang stabil dengan protein dan makromolekul lain dalam kondisi yang sesuai (Hidayat 2003). Senyawa ini terdapat sebagai serbuk amorf yang berwarna kekuningan sampai coklat terang dan akan menjadi gelap bila dibiarkan di udara terbuka, mempunyai bau yang khas dan berasa sepat. Senyawa polifenol ini larut dalam senyawa polar tetapi tidak larut dalam senyawa non polar (Hidayat 2003).

Berdasarkan struktur kimia dan reaksinya, tanin digolongkan menjadi tanin terhidrolisis (hidrolyzable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Tanin terhidrolisis yang dibagi menjadi galotanin dan elagitanin (Hidayat 2003) dapat dihidrolisis oleh enzim dan asam menjadi senyawa polifenolat dan gula. Tanin terkondensasi yang sering disebut proantosianidin merupakan polimer katekin dan epikatekin yang banyak terdapat dalam tanaman leguminosa.

Sifat kimia tanin yang utama sebagai zat antinutrisi adalah interaksi dengan protein yang membentuk ikatan yang sangat kuat. Interaksi ini disebabkan adanya ikatan kovalen, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik (Hidayat 2000). Ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk polimer kuinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus amino pada molekul protein menggantikan atom oksigen dari senyawa polikuinon. Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O baik dari protein atau tanin. Ketiga interaksi

hidrofobik yang terjadi antara gugus nonpolar dari protein (dari asam amino yang memiliki rantai samping non polar) dan tanin (cincin benzena). Adapun yang mendominasi kekuatan ikatan ini adalah ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik.

Interaksi tanin-protein sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan. Interaksi yang optimal terjadi pada pH isoelektrik protein (Hidayat 2000). Nilai pH yang rendah akan menurunkan kekuatan ikatan tanin-protein sebagai akibat adanya efek elektrostatik dari protein.

Senyawa tanin biasanya terdapat pada tanaman dan dapat bereaksi dengan kulit hewan mengakibatkan warna coklat, oleh karena itu sering digunakan untuk menyamak kulit. Tanin membentuk warna kehitaman dengan beberapa ion logam misalnya ion besi, kalsium, tembaga dan ion magnesium. Senyawa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin dan asam galat, asam kafeat dan khlorogenat serta ester dari asam-asam tersebut yaitu 3 - galloilepikatekin, 3 - galloilgallokatekin, fenilkafeat dan sebagainya. (Muctadi 1989). Adanya tanin tersebut dapat menyebabkan warna daging biji picung menjadi coklat. Reaksi tersebut dikenal dengan reaksi “browning enzymatic”, yang terjadi jika dikatalis oleh enzim polifenolase dengan substrat berupa senyawa fenolik (Winarno 1991).

Efektivitas antimikroba dalam mengawetkan bahan makanan terjadi baik dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme (Winarno 1991).

Mekanisme zat antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain : (1) merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya oleh senyawa fenolik, (3) menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol dan (4) menghambat kerja enzim di dalam sel (Reid dan Pelczar 1977 dalam Winarno 1991).

Dokumen terkait