• Tidak ada hasil yang ditemukan

seputar tabiat kita dalam belajar agama

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khathab—radhiyallahu ‘anhuma: Kami menjalani hidup dalam jenak waktu yang masing-masing dari

kami diberi (pengajaran) iman sebelum (pengajaran) al-Qur’an. (Bilamana) surat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ,

kami pun mempelajari perkara halal dan haramnya, juga apa yang semestinya dipahami darinya seperti kalian belajar al-Qur’an saat ini.

(Akan tetapi) sungguh hari ini aku telah melihat orang-orang yang diberi (pengajaran) al-Qur’an sebelum (pengajaran) iman. Lantas dia membaca mulai dari pembukaan hingga penutup tanpa mengetahui

perintah dan larangan yang terkandung di dalamnya, juga bagaimana seharusnya dia memahami hal itu. Dia ibarat orang yang

menaburkan kurma yang buruk (tidak mendapat faedah darinya). HR al-Baihaqi; HR al-Hakim

Terlebih lagi di masyarakat kita zaman ini, apa yang disebut mengaji ternyata sangat identik dengan ‘belajar membaca al-Qur’an’—yakni ‘belajar aksara arab dan melantunkan bacaan al-Qur’an’. Tadarus al-Qur’an menjadi agenda utama (bahkan satu-satunya) dalam pengajian rutin di kompleks perumahan atau perkampungan. Sedari kalangan ibu-ibu hingga anak-anak dengan program TPA-nya. Kadang bacaannya dilombakan, ditampilkan di panggung, televisi, atau sebagai penghias seremoni.

184 | IKHTISAR RISALAH

Semangat keagamaan yang tampaknya bagus. Namun sungguh perlu dicermati kembali ketika ini seolah menjadi satu-satunya bentuk kegiatan belajar agama— atau setidaknya yang paling mendominasi. Yakni ketika al-Qur’an dilantunkan dengan bagus dan bisa

dikhatamkan berkali-kali, tapi tafsir serta kajian tentang makna dan isinya hampir ditinggalkan dan bukan menjadi agenda yang lazim.

Sementara itu, di sebagian pesantren, para santri mengkhatamkan kitab-kitab fikih (yang bahkan beraksara arab gundul). Membuatnya pandai mengenai tata cara ibadah serta pelbagai urusan syariat Islam dengan segala hukumnya: halal-haram, wajib-sunnah, dsb. Sementara itu, kajian tentang tauhid tak cukup banyak didalami dan seolah cukup ala kadarnya.

Begitu pula sirâh (kisah nabi) yang walaupun sering dituturkan, namun hanya menjadi cerita angin lalu, tanpa diperdalam dan dihayati ibrâh dan hikmahnya. Sejarah Islam tak banyak disinggung kecuali sangat sedikit—itu pun cuma di taraf permukaan. Tak lebih dari wawasan yang tak memadai, dan hampir tak menghasilkan maslahat apapun.

Begitu pula di sekolah-sekolah, hampir setiap anak muslim mengikuti matpel PAI (Pendidikan Agama Islam), tapi sayang itu seringkali cuma lewat sebagai syarat lulus ujian—formalitas.

ۮ

Belajar Islam dan pergi mengaji, tapi agama ini seolah tak berdampak banyak dalam keseharian. Padahal panduan kehidupan ini sesungguhnya telah sempurna. Gelagat nyata bahwa

sepertinya memang ada yang kurang

tepat dengan bagaimana cara kita mengaji

ada yang perlu dibenahi dalam cara kita mengaji.

Memangnya apa yang salah? Bagaimana pula cara mengaji yang semestinya? Apa pula yang semestinya menjadi acuan?

Tentu sudah sepantasnya lah kita mengikuti kaidah yang dijalankan Nabi ﷺ kala mengajarkan Islam kepada para sahabat sebagai muslim generasi pertama. Termasuk bagaimana tahapannya, prioritasnya, porsinya, cara dan prosesnya, serta keutuhan khazanah ilmu yang dipelajari. Sungguh hikmah yang besar bahwa selama 13 tahun periode pertama di Makkah, Nabi ﷺ sangat berfokus pada urusan akidah. Selama itu para sahabat jauh lebih banyak dibekali fondasi keimanan, agar keyakinan akan kebenaran Islam betul-betul menghujam terlebih dulu dalam jiwa mereka.

186 | IKHTISAR RISALAH

Ihwal keimanan ini di antaranya secara langsung dipelajari melalui bacaan al-Qur’an yang diajarkan Nabi ﷺseiring tahapan turunnya ayat. Yakni ayat-ayat yang diturunkan selama periode Makkah (ayat-ayat makkiyah) dengan kekhasannya yang sangat kental mengulas keimanan (akidah).

Selama periode ini, Nabi ﷺ juga sangat banyak menyampaikan kisah umat terdahulu, yang juga banyak terkandung di ayat-ayat makkiyah. Maka, sejarah menjadi alat pengajaran yang sangat penting selama periode awal ini. Keimanan para sabahat terus mengokoh seiring hikmah-hikmah kisah yang mereka petik.

Kala itu para sahabat tak terburu-buru menghafal dan mempelajari al-Qur’an. Cukup sepuluh ayat demi sepuluh ayat secara bertahap, konsisten dan penuh kesabaran. Mereka tak lanjut beranjak sebelum per sepuluh ayat tersebut benar-benar dapat dimaknai dan berusaha diamalkan.

Kemudian, jauh setelah proses awal tersebut, fikih dengan segala detail urusan syariat barulah banyak disampaikan di periode Madinah. Yakni setelah belasan tahun sebelumnya membangun fondasi keimanan. Dengan keimanan yang telah menghujam, segala aturan syariat yang sifatnya lebih ketat pun bisa mudah diterima. 143

Meneladaninya dan berusaha mencontek setiap inchi kesehariannya, bahkan mencari-cari tau apa yang dilakukan Nabi ﷺ dalam rumahnya, dsb.

ۮ

Dari cuplikan di atas, secara sederhana tersimpulkan bahwa memang ada yang tak tepat dengan cara kita belajar Islam. Ada banyak hal mendasar yang malah terlewatkan. Ada masalah dengan prioritas dan tahapan kita dalam mengaji.

Sangat jelas bahwa Islam memang seharusnya dibangun dengan fondasi keimanan yang kokoh. Tauhid adalah prioritas, mutlak, tak bisa ditolelir—harus benar-benar ditempatkan paling awal dan porsinya paling intens. Agama ini jadi terombang-ambing karena ternyata penganutnya belum berdiri di atas keimanan yang kokoh. Dan dalam menempa keimanan, kisah dan sejarah juga ternyata menempati porsi sangat besar. Bukan saja kaya akan ibrâh dan hikmah, tapi juga merupakan salah satu instrumen utama dalam pengajaran tentang iman.

ۮ

Tak dimungkiri bahwa belajar membaca al-Qur’an serta membaguskan bacaannya adalah hal yang

sangat-188 | IKHTISAR RISALAH

sangat-sangat-sangat penting. Tapi mendalami hakikat tauhid sesungguhnya jauh lebih penting dari itu, harus jauh lebih diprioritaskan di awal dan bukan cuma ‘sekadar tau’. Dan jika mengacu pada bagaimana proses al-Qur’an turun, kita akan tau bahwa mempelajari makna kandungan al-Qur’an pun nyatanya memang mesti selalu diiringi dengan mempelajari sirâh—tidak bisa tidak. Selama tauhid, sirâh dan sejarah masih menjadi topik yang dianak-tirikan dan tak jadi prioritas dalam kegiatan mengaji, maka segala ilmu yang dibangun di atasnya akan rapuh. Begitu pula ketika akhlak dan adab cuma diterapkan secuplik-secuplik dan tak jadi perhatian utuh, maka umat ini pun akan tetap terhinakan dan tak pantas mengampu peradaban.

Hal lain yang juga perlu dicatat adalah tentang betapa luasnya khazanah ilmu dalam Islam. Bahwa belajar Islam bukan melulu hanya berfokus tentang belajar shalat, bacaan al-Qur’an dan hafalan doa dan dzikir. Isi dari kegiatan mengaji sepatutnya jauh-jauh lebih luas dari itu. Meliputi setiap sisi kehidupan—tanpa kecuali.

Islam ialah sebuah panduan hidup yang sempurna, sangat memadai dan sangat mencukupi. Ini karena agama ini diturunkan langsung oleh Sang Khalik, Sang Maha Pencipta yang menciptakan manusia, yang paling mengerti bagaimana manusia semestinya menjalani kehidupan. Ini bukan ajaran atas reka-rekaan manusia

sebuah kemestian. Agar agama ini tak jadi serpihan-serpihan yang sekadar menghiasi keseharian.

Belajar Islam bukan hanya mendalami di satu-dua sisi, sementara sisi-sisi yang lainnya terabaikan. Jika hanya dicomot sepotong-sepotong, maka agama ini akan pincang dan tak berfungsi dengan semestinya—bahkan jikapun potongan-potongan itu dipelajari secara mendalam.

Walau begitu luasnya khazanah ilmu Islam bukan berarti kita harus menelan semuanya—ini adalah hal yang tak mungkin. Melainkan, setidaknya kita mestilah mencerap hal-hal terpenting di setiap sisinya. Kemudian terus mendalami tiap sisi tersebut secara bertahap dan terarah, sistematis dan menurut skala prioritas, serta sesuai kemampuan (kapasitas diri).

Seperti halnya kisah gajah dalam kurungan yang telah kita baca di awal buku ini, semoga kita tidaklah demikian dalam memandang Islam dan menghidupi keislaman kita. Semoga Islam kita memanglah Ibarat ‘gajah’ yang seutuh-utuhnya, bukan belalai atau kuping gajah saja.

190 | IKHTISAR RISALAH

#

Agama