• Tidak ada hasil yang ditemukan

http://www.mail-archive.com/kisunda@yahoogroups.com/msg01155.html

engkus ruswana, Wed,

23 Feb 2005

Ngeunaan Agama Sunda nu dipadungdengkeun, memang kuring ge kantos paadu hareupan sareng kang Rozak (Abdul Rozak ) teh, waktos anjeunna nuju nalungtik pikeun desertasina….

….

Tapi ari ieu nu ku sim kuring kabandungan mung ukur datang 2-3 kali kalayan nyandak sababaraha tulisan/buku teras pleng les terang-terang nonghol di Mangle, padahal ari nalungtik soal ajaran nu nyangkut spiritual mah dugi ka ngartos eusina teh mangtaun-taun, atuh tangtos bae nu katangkepna saukur kulit-kulitna eta ge teu sautuhna.

---

Nalika aya kempelan HBH anggota Milist Urang Sunda urangsunda@yahoogroups.com / kisunda@yahoogroups.com dina Tahun 2006 M, aya Bazar Buku dina acara éta téh, singkat carita kuring meuli buku Teologi Kebatinan Sunda karangan Bapak Abdul Rojak téa. Maklum keur resep ngaguar masalah Kisunda sok sanaos dina akhirna Buku éta patojaiyah jeung pikiran pamahaman Diri sorangan, margi méméhna sim kuring parantos tulas-tulis ngenaan Ringkasan Roh (2002) sareng Tabayyun-I (2003) téa. Tapi keun waé…étang-étang ngalengkepan referensi bacaan sim kuring. Hehehe ☺

Hapunten teu di sundakeun :

Siapa Mei Kartawinatan?

Mei Kartawinata dilahirkan di Kebonjati Kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1897. A. Silsilah dari Ibunda. (Runtuyan Getih Indung)

Ibunya bernama Raden Siti Mariah berasal dari Citeureup Bogor, anak dari Pangeran Sageri dan cucu dari Panembahan Rakean Sake yang masih garis keturunan Pajajaran (Prabu Siliwangi). (Catetan Yusup Kartawinata)

B. Silsilah dari Ramanda. (Runtuyan Getih Bapak)

Ayahanda Mei Kartawinata Raden Kartowidjojo berasal dari Rembang, keturunan Brawijaya-Majapahit, yang juga masih mempunyai hubungan keluarga/kerabat dengan Keluarga R.A. Kartini.

Sejak kecil Mei Kartawinata sangat suka mendalami aspek-aspek yang berkaitan dengan spiritual kebatinan, setelah dewasa dan berkeluarga beliau bertemu dengan Bapak Rasid dan Bapak Sumitra yang kemudia bersahabat. Ketiganya sering terlibat diskusi dan perdebatan yang sengit, hingga puncaknya terjadi pada tanggal 16 September 1927 tengah malam terjadi

suatu peristiwa yang luar biasa yang disaksikan oleh kedua sahabatnya berupa sinar terang memancari tubuh bapak Mei dan turunnya wangsit pada pukul 12 siang keesokan harinya (17 September 1927 /Abad ka-20). Semenjak peristiwa itulah Bapak Mei memiliki banyak kelebihan yang sulit dimengerti oleh akal pikiran manusia biasa. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi titik awal berkembangnya ajaran Bapak Mei Kartawinata yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang selama itu terkubur akibat penjajahan, baik secara lahir mapun batin.

TITI MANGSA. 17 September 1927 /Abad ka-20

Ketika Bapak Mei bekerja di Percetakan P & T Lands Subang bertemu dengan dua orang rekan kerjanya, yaitu Bapak Rasid dari Cirebon dan Bapak Sumitra dari Bandung. Selanjutnya kedua rekan kerja ini menjadi sahabat dekat beliau. Dari persahabatannya itu akhirnya saling mengetahui, bahwa ternyata masing-masing memiliki ketertarikan yang sama yaitu tentang pendalaman ilmu-ilmu kebatinan. Dan saling mengetahui pula bahwa masing-masing memiliki “ilmu”. Sejak saat itu, dikala ada waktu senggang ketiganya sering melakukan diskusi dan saling bertukar fikiran tentang “ilmu-perilmuannya” itu.

Hingga suatu saat, kebiasaan itu mencapai puncaknya pada Tanggal 16 September 1927, bertepatan pada hari Kamis malam Jum’at Kliwon, di rumah milik Pak Unas. Yang mana pada waktu itu terjadilah peristiwa diluar dugaan, bahwasannya Bapak Mei Kartawinata “diuji” dan “digoda” oleh Bapak Rasid yang memaksa Bapak Mei Kartawinata untuk mau menerima ilmu “kanuragan” (Ilmu kekebalan dan kekuatan untuk menjaga diri) yang dimilikinya itu. Namun gayung tak bersambut, maksud Bapak Rasid itu ditolaknya dengan halus dan tegas oleh Bapak Mei Kartawinata, karena bagi Bapak Mei Kartawinata : “Keselamatan diri akan tergantung kepada prilaku/perbuatannya dan telah ditetapkan maha Pengatur”. Mendengar ucapan itu Bapak Rasid semakin bertambah penasaran dan terpacu untuk “mempertunjukan” ilmu yang dimilikinya itu, bahkan tidak cukup sampai disitu, kemudian Bapak Rasid pun mengambil anak Bapak Mei Kartawinata (Mariam) yang baru berusia 40 hari dari pangkuan ibunya yang kebetulan berada tak jauh dari Bapak Rasid. Tanpa rasa ragu di injaknya bayi itu bahkan dilemparkan hingga pingsan tak berdaya sampai nyaris meninggal dunia, Ibu sukinah tak kuasa melihat kejadian itu tapi, apa daya seorang perempuan berhadapan dengan laki-laki terlebih memiliki ilmu yang seperti itu, Ibu Sukinah hanya mampu menangis, sedangkan Bapak Mei Kartawinata hanya terdiam dan tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, beliau hanya duduk bersila dan berdo’a. Kemudian diraihnya bayi perempuannya itu, atas kuasa dan perlindungan dari-NYA, dengan

penuh konsentrasi dan tenang Bapk Mei Kartawinata mengusap-ngusap dan meniup ubun-ubun anaknya, tak beberapa lama anak itu menangis dan sadar kembali. Melihat sikap Bapak Mei Kartawinata seperti itu, rasa penasaran dan marah kian menjadi pada diri Bapak Rasid. Selanjutnya berbagai “ujian” tak henti-hentinya beliau berikan kepada Bapak Mei Kartawinata.

Pertikaian sempat terhenti, karena kelelahan dan waktu sudah hamper mendekati pukul 00.00 WIB. Bapak Mei Kartawinata terlihat kecapaian dan tertidur, sementara Ibu Sukinah, Bapak Rasid dan Bapak Sumitra masih terjaga.

Pada saat itu ketiganya dikejutkan oleh kejadian singkat, yaitu munculnya seberkas sinar terang yang menyoroti tubuh bagian dada Bapak Mei Kartawinata. Melihat peristiwa itu, tanpa disangka oleh Ibu Sukinah, rasa kesal dan penasaran Bapak Rasid timbul kembali, akhirnya pertikaianpun berlanjut hingga waktu mendekati pukul 03.00 WIB, kemudian Bapak Mei Kartawinata akhirnya menghindar berlari keluar rumah menuju hutan dan diikuti oleh ketiganya.

Malam berganti siang, “ujian”, godaan dan hinaan terus menerpa diri Bapak Mei Kartawinata. Bahkan kali ini atas kemampuan ilmu yang dimiliki Bapak Rasid, Bapak Sumitra pun terpengaruhi untuk menyerang. Hingga akhirnya aksi kejar-kejaran pun terjadi dan pertikaian ketiga sahabat itu pun kian sengit. Namun untuk yang kesekian kalinya Bapak Mei Kartawinata memilih untuk menghindar, sampai disuatu tempat dikala cauaca terang benderang dipinggir sungai Cileuleuy, kampung Cimerta, akhirnya Bapak Mei Kartawinata beristirahat karena kelelahan, sambil melepaskan lelah beliau terpana dan merasa takjub dan memperhatikan aliran airnya, pikir dan rasanya kian menyatu dengan apa yang dilihatnya itu, hingga akhirnya perenungan itu semakin menukik kedalam kalbu. Disaat-saat perenungan itulah Bapak Mei Kartawinata menerima “wangsit”, sekalipun beliau sempat berlari-lari merasa ketakutan setelah mendengar dan menyadari apa yang terjadi, suara yang berbisikan “wangsit pitutur luhur” it uterus terdengar/ada dan mengikutinya kemanapun beliau pergi.

Dari peristiwa itu Bapak Mei Kartawinata seolah-olah disadarkan dan dibangkitkan “jati dirinya” sebagai “maunisa” yang wajib mendarma baktikan seluruh kemampuan yang dimilikinya itu (Lahir-Batin-Kuring) bagi sesama mahluk-NYA (“migawe Kamanusaan”).

Sejak peristiwa itu kepercayaan dan harga diri beliau bangkit. Beliau pun seingkali menolong dan membantu terhadap sesama, bahkan tidak sedikit pula atas ijin dan kuasa-NYA, banyak orang yang disembuhkan dari sakitnya melalui “perantara” Bapak Mei Kartawinata. Semnetara Bapak Rasid dan Bapak Sumitra yang sebelumnya bertikai dengan

beliau, akhirnya justru dihari-hari selanjutnya persahabatan ketiganya menjadi lebih erat bahkan saling berikrar untuk mengakui sebagai saudara satu sama lainnya.

Cerita dari mulut ke mulut semakin meluas, akhirnya semakin banyak masyarakat yang tertarik dan ingin mengetahui tentang “ilmu” yang dimiliki oleh Bapak Mei Kartawinata, pada masa itu di Subang, cerita tentang beliau ramai dibicarakan dan bermacam-macam pula komentarnya, sampai-sampai dijuluki “dukun gobreg”, tapi lain halnya bagi mereka (“jawara”) yang merasa “Tertantang” untuk mencoba mengadu ilmunya itu, namun apa yang terjadi, maksud hati ingin mengalahkannya namun perasaan mereka mendadak luluh dan tak berdaya (“leungit daya-pangawasa, lir ibarat kapuk ka ibunan, kapas kahujanan”), dan banyak diantara mereka pun akhirnya menjadi pengikutnya.

Hampir setiap saat semakin banyak saja orang yang datang dengan maksud untuk menemuinya dengan bermacam-macam kepentingan. Hal ini dijadikan kesempatan oleh beliau untuk memberikan penjelasan tentang ajaran-ajarannya (“pamendakna”) yang tiada lain adalah ajaran tentang tuhanan, manusiaan, bangsaan, rakyatan dan Ke-adilan yang kesemuanya itu harus diawali serta dilandasi oleh pemahaman dan kajian yang benar terhadap diri /”dunya leutik” (Lahir-Batin-Kuring), Alam Semesta /”dunya gede”, Budaya dan Tradisi Bangsanya.

Disaat itu kondisi bangsa sedang dijajah, hal ini pulalah yang menjadi tekad dan semangat beliau untuk menyebarkan rasa patriotisme dan nasionalisme yang menimbulkan perlawanan terhadap kaum penjajah. Kapan dan dimanapun beliau berada tekad yang kuat itu beliau tularkan kepada para sahabat dan kawan seperjuangannya.

---

Di masa-masa terakhir, Bapak Mei Kartawinata menghabiskan waktunya di Suka sirna – Cicadas – Bandung, dan saat menginjak usianya yang ke-70 tahun, beliau meninggal dunia (“mulih ka jati mulang ka asal”), pada Tanggal 11 Februari 1967 dan dikebumikan di Karangpawitan, Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.