• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap atas Pemikiran Ignaz Goldziher

Dalam dokumen KAJIAN ORIENTALIS THD AL QURAN HADIS (Halaman 120-123)

Untuk menanggapi beberapa anggapan yang dilontarkan Goldziher di atas, berikut ini akan dipaparkan catatan kritis sebagai analisis dengan menyuguhkan beberapa argument. Pertama, sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad Saw memegang hak

prerogatif keagamaan setelah Allah Swt, terbukti dengan dijadikannya beliau sebagai tempat rujukan dari masalah-masalah yang muncul di kalangan para sahabat dengan berbagai sabda dan perbuatannya, yaitu hadis. Dengan begitu, walaupun penulisan dan pengkodifikasian hadis baru dilakukan jauh dari kehidupan Nabi Muhammad Saw, bukan berarti autentisitas dan validitas hadis menjadi suatu yang diragukan, karena ulama belakangan berupaya secara serius dalam melakukan verifikasi, terbukti dengan banyak karya yang memuat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya sebagai upaya membentengi hadis-hadis palsu.

Pada pertengahan abad kedua, perhatian ulama lebih banyak tercurahkan pada penghimpunan hadis-hadis Nabi di luar fatwa sahabat dan tabi’in dalam bentuk musnad.

Adapun kitab pertama adalah karya Abu Daud al-Thayalisi dan musnad Ahmad bin Hanbal. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersusunnya kitab “Al-Kutub al-Sittah,”

sementara pada generasi berikutnya lebih bersifat men-jarah dan men-ta’dil kitab-kitab

yang telah ada.234

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib menunjukkan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadis. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh

kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hafalan dalam

proses transmisi hadis. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddith dari masuknya hadis

palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddith dalam tradisi periwayatan. Keempat,

terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadis-hadis. Kelima, adanya

majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadis. Keenam, adanya ekspedisi ke

berbagai wilayah untuk menyebarkan hadis. Dan ketujuh, sikap komitmen para

muhaddith dalam meriwayatkan hadis dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi.235

Begitu juga John L. Esposito menguatkan bahwa meskipun hadis pada mulanya disampaikan secara lisan, namun ada sebagian perawi yang mulai menuliskannya. Selanjutnya penghimpunan hadis bertujuan agar tidak merusak teks yang telah diterimanya dari para ahli yang telah diakui periwayatanya, dan penghimpunan ini mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadis merupakan contoh prosa terbaik dari prosa Arab di masa awal Islam.236 Sebab itulah, maka pelarangan penulisan hadis sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas bukanlah karena mengadopsi aturan-aturan agama-agama terdahulu.

Argumen ini sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan penulisan di sini karena adanya kekhawatiran apabila hadis bercampur

234 Shubhi al-Shalih,

Ulum al-Hadis wa al-Muhhadtisun (Beirut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1988), h. 47.

235

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 122. 236

Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 121

dengan al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Dan perlu diketahui, bahwa Ignaz mempunyai semangat yang sangat luar biasa dalam mencari titik kelemahan ajaran Islam, terutama berkaitan dengan hadis. Rupanya ia menjadikan hadis Abu Sa’id al-Khudri sebagai dasar pijakan pelarangan penulisan hadis dan hadis Abu Hurairah sebagai dasar pijakan pembolehan penulisan hadis. Namun sayangnya, Goldziher menyikapi kedua hadis ini sebagai sesuatu yang kenyataannya saling bertentangan. Padahal menurut ilmu hadis, kedua hadis di atas dapat dikompromikan, yaitu dengan menggabungkan atau mentarjih keduanya, sebagaimana metode yang telah diterapkan oleh Yusuf Qardhawi237 dan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib ataupun ulama-alama lain yang intens dalam ilmu hadis. Berangkat dari riwayat yang kontradiktif tersebut, maka Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut:238

1. Bahwasannya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri adalah tergolong hadis yang mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

2. Dengan metode al-jam’u wa al-taufiq, larangan penulisan hadis berlaku khusus,

yaitu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama, sehingga ditakutkan akan terjadi iltibas (bercampurnya al-Qur’an dan al-hadis). Jadi, jika dilihat dari

mafhum mukhalafah-nya,apabila ilat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut

tidak berlaku lagi.

4. Larangan penulisan hadis ini berlaku bagi para penghafal (huffaz) hadis yang

sudah diketahui kuwalitas hafalannya, sehingga ditakutkan mereka akan tergantung pada teks-teks tertulis. Sebaliknya, penulisan hadis ini tetap berlaku bagi para sahabat yang tidak mampu menghafal dengan baik, seperti kasusnya Abu Syah.

5. Larangan penulisan hadis ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadis itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.

Kedua, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hafalan mereka, bukan berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan-pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab, terutama di kalangan penyair, walaupun harus diakui mereka lebih membanggakan kekuatan hapalan dan menganggap tabu tradisi tulisan ini,239 bahkan ketabuan itu juga berimbas pada penulisan hadis yang berlanjut pada periode tabi’in dan telah menjadi fenomena umum. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi

237 Yusuf Qardhawi,

Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, (Bandung: penerbit Kharisma, 1999), h. 117.

238

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 150-152. 239

Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 122

Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan.240 Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadis dari tulisan tangan sendiri.241

Bahkan M. M. Azami telah memaparkan secara rinci tentang bukti adanya tradisi tulis-menulis pada masa awal Islam.242 Menurutnya, beberapa sahabat yang telah melakukan tradisi penulisan hadis, misalnya Ummu al-Mu’minin Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-’Asy, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.243 Namun kesadaran umum kaum muslimin untuk menulis ini baru mencuat ke permukaan setelah terinpirasi oleh kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz. Pada periode inilah, pentingnya penulisan hadis Nabi Muhammad Saw baru terasa. Fenomena ini juga diperkuat oleh statemen orientalis lainnya, seperti Fuad Sezgin yang telah memberi ulasan tentang problem autentisitas hadis. Menurutnya, di samping tradisi oral hadis, sebenarnya juga telah terjadi tradisi tulis hadis pada zaman Nabi Muhammad, kendatipun para sahabat sangat kuat hafalannya.244

Ketiga, alasan Ignaz Goldziher di atas sangatlah tidak representatif, tidak jujur

dan terkesan mengada-ada. Kalaupun Nabi Muhammad Saw mendapatkan pengetahuannya dari orang Yahudi dan Kristen, bukan berarti Nabi Muhammad Saw juga serta merta menjiplak gagasan Yahudi. Jika pada kenyataannya ada guru yang mengajari Nabi Muhammad Saw tentang ajaran-ajaran Yahudi, tentunya guru tersebut akan menggugat bahkan menolak mentah-mentah hadis Nabi Muhammad Saw itu.

Keempat, tuduhan Ignaz Goldziher terhadap perawi hadis sangat tidak beralasan,

karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadis terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bi al-lafdzi dan periwayatan bi al-ma’na. Jenis periwayatan yang kedua

yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadis yang menggunakan tradisi periwayatan bi al-ma’na dicurigai telah meriwayatkan lafaz-lafaz

yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bi al-ma’na ini dikarenakan sahabat Nabi

Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, tradisi ini tidak dikecam oleh Nabi Muhammad Saw, mengingat redaksi hadis bukanlah al-Qur’an yang tidak boleh diubah susunan bahasa dan maknanya, baik itu dengan mengganti lafaz-lafaz yang muradif (sinonim) yang tidak terlalu mempengaruhi isinya,

berbeda dengan al-Qur’an sebab ia merupakan mu’jizat dari Allah yang tidak mungkin diubah.245

240 Manna’ Khalil al-Qattan,

Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 66.

241

Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa al-Muhhadtisun (Beirut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1988), h. 24. 242

M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3. lihat pula dalam Sa’ad al-Murshafi, al-Mustasyriqun wa al-Sunnah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan), h. 132. 243

M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3. lihat pula dalam Sa’ad al-Murshafi, al-Mustasyriqun wa al-Sunnah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan), h. 132. 244 Statemen ini dikutip dari Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadis menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami,” dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 56.

245

Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 123

Dalam dokumen KAJIAN ORIENTALIS THD AL QURAN HADIS (Halaman 120-123)