• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab. Pembagian tersebut dilakukan secara sistematis sesuai denga tahapan-tahapan uraiannya, sehingga tidak berdiri sendiri dan saling berhubungan satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh.

Adapun isi dari tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab I mengenai Pendahuluan. Dalam bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Telaah Pustaka, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II mengenai Gambaran Umum tentang Perjanjian dan Perjanjian Pinjam Meminjam. Dalam bab ini membahas mengenai gamabaran umum dari perjanjian yang meliputi Pengertian Perjanjian, Syarat Syahnya Perjanjian, Asas-asas Hukum Perjanjian, Jenis-jenis Perjanjian, Unsur-unsur dalam Perjanjian, Berakhirnya Perjanjian, Wanprestasi dalam Perjanjian. Dalam bagian Tinjauan umum tentang Perjanjian Pinjam Meminjam meliputi Pengertian Perjanjian Pinjam-meminjam, Subjek dan Objek Perjanjian Pinjam MeminjamHak dan Kewajiban, Peminjaman Dengan Bunga.

Bab III mengenai Aspek Hukum Perjanjian Pinjam-meminjam Uang.

Dalam su bagiannya terdiri atas Perjanjian Pinjam-meminjam Uang dalam KUHPerdata, Akibat Perjanjian Pinjam Meminjam Uang, Perjanjian Pinjam-meminjam dengan jaminan dalam KUHPerdata.

Bab IV mengenai Pelaksanaan Perjanjian Pinjam-meminjam Uang dengan Jaminan Buku Pemilik Kedaraan Bermotor di PT.PRIORITAS RAKYAT SEJAHTERA MULTI FINANCE, Cab. Medan Petisah). Bagian ini terdiri dari Perjanjian Antara Nasabah Dengan PT. PRIORITAS RAKYAT SEJAHTERA (PRS) MULTI FINANCE, Cab. Medan Petisah) Dalam Hal Pinjam Meminjam Uang Dalam Kaitannya Dengan KUHPerdata,Hubungan Hukum Nasabah Dengan PT.PRIORITAS RAKYAT SEJAHTERAMULTI FINANCE, Cab. Medan Petisah, danPenyelesaian Sengketa Wanprestasi di PT.PRIORITAS RAKYAT SEJAHTERAMULTI FINANCE, Cab. Medan Petisah).

Bab V mengenai Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan ditutup dengan memberikan saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Istilah kontrak atau perjanjian dalam praktik terkadang masih dipahami secara rancu. BurgerlijkWetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul BukuIII titel kedua tentang “Perikatan-Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (Bahasa Belanda), yaitu :

“Van verbintenissen die uit contract of overeeenkomst geboren worden”.15 Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Di berbagai perpustakaan dipergunakan bermacam-macam istilah seperti dalam KUH Perdata digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst, Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia menggunakan istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst, Ikhsan dalam bukunya Hukum Perdata Jilid I menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.16

Mengenai istilah perjanjian dan persetujuan ini menurut ahli ada pendapat yang berbeda. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Beliau berpendapat bahwa persetujuan dalam perundang-undangan Hindia Belanda dinamakan “overeenkomst”, yaitu suatu kata sepakat

15AgusYudhaHemoko, HukumPerjanjianAsasProporsionalitas dalam KontrakKomersial, Kencana,Jakarta, 2013, Hal. 13

16R.Soeroso, PerjanjianDiBawahTanganPedomanPraktisPembuatan dan AplikasiHukum, SinarGrafika,Jakarta, 2010, hal. 3

antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian menurut beliau adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antar dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.17

Menurut para ahli hukum, setiap perjanjian haruslah berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Subekti memberikan defenisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.19

MenurutSetiawan, rumusan Pasal 1313 BW selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan ‘perbuatan’ tercakup juga perwakilan Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber perikatan yang lain adalah undang-undang. Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

17 A.Qirom Syamsudin Milala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 8.

18Subekti,HukumPerjanjian, Cet.XVI, Intermasa,Jakarta, 1996, hal. 1

19AgusYudhaHernoko, op.cit.,hal. 16

sukarela dan perbuatan melawan hukum. Terhadap defenisi Pasal 1313 BW ini PurwahidPatrik menyatakan beberapa kelemahan, yaitu20

1. Defenisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebihnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”;

:

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedad). Hal ini menunjukkan makna

“perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum;

3. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht)

Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, ialah 21

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum

:

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkankan dirinya” dalam Pasal 1313 BW

20Ibid.,hal. 17

21Ibid.,hal. 16

c. Sehingga perumusannya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”

Selain itu, terhadap defenisi perjanjian yang tercantum pada Pasal 1313 KUHPerdata ini dianggap kurang begitu memuaskan karena memiliki kelemahan.

Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :22 1) Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berasal dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya. Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”.

2) Kata perbuatan mencakup juga kata consensus/kesepakatan

Pengertian kata “perbuatan” berarti termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan” itu sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”.

3) Pengertian perjanjian terlalu luas

Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku Ketiga KUHPerdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dianggap

22AbdulkadirMuhammad, HukumPerikatan,Bandung,CitraAdityaBakti, 1990, hal. 88.

terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga.

4) Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri.

Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.23

Di dalam suatu perjanjian itu harus ada pihak, dimana kedua belah pihak ini harus membuat kata sepakat untuk menghasilkan akibat hukum tertentu.

Berdasarkan pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal yang diperjanjikan adalah :24

a) Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misalnya: jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain-lain)

b) Perjanjian berbuat sesuatu (misalnya: perjanjian perburuhan dan lain-lain) c) Perjanjian tidak berbuat sesuatu (misalnya: tidak membuat tembok yang

tinggi-tinggi, dan lain sebagainya).

23AgusYudhaHernoko. Op.Cit, hal.18.

24LukmanSantoso AZ, HukumPerjanjianKontrak, Yogyakarta, Cakrawala, 2012, hal. 12.

2. Syarat Syahnya Perjanjian

Dilihat dari struktur perjanjian, maka Asser membedakan bagian-bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan essensialia, sedangkan bagian non inti dibedakan atas naturalia dan accindentalia.25

Essensialia: bagian ini merupakan sifat yang harus ada dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Seperti persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.26

Naturalia: bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).27

Accidentalia: bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian jika secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya domisili para pihak. 28

Syarat pertama dan kedua yang disebutkan di atas dinamakan syarat subjektif, karena menyangkut soal orang-orang yang mengadakan perjanjian, sedangkan

Mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal.”

25Ibid., hal. 107

26Mariam Darus Badrulzaman dkk, Komplikasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 74

27Ibid.,hal. 75

28Ibid.,

syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek dari peristiwa yang dijanjikan itu.29

1. Sepakat

Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak saling dapat diterima satu sama lain.

Kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Dengan adanya kata sepakat maka perjanjian itu telah terjadi atau terwujud. Sejak saat itu pula perjanjian menjadi mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.30

Sebelum adanya kesepakatan diantara para pihak, biasanya para pihak terlebih dahulu mengadakan negosiasi atau komunikasi diantara para pihak.Sebab tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak-pihak yang saling berkomunikasi, atau menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau a meeting of the minds agar bisa tercapai kata sepakat secara bebas. Biasanya dalam komunikasi tersebut pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang objek perjanjian Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata pada prinsipnya kekuatan mengikat perjanjian setelah tercapainya kata sepakat sangat kuat sekali, karena perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang.

29Ibid., hal. 73

30GatotSupramono, Perbankan dan MasalahKreditSuatuTinjauandi Bidang Yuridis, RinekaCipta,Jakarta, 2009, hal. 166

dan syarat-syaratnya dan pihak yang lain menyatakan kehendaknya, sehingga tercapailah kesepakatan diantara para pihak.31

Kekhilafan (dwaling) menyangkut hal-hal pokok dari yang dijanjikan itu.

Kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona dan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia. Paksaan dalam hal ini harus berupa paksaan rohani (bukan fisik) dan bukan paksaan absolut. Penipuan (bedrog) dinyatakan dalam Pasal 1328 KUH Perdata yang dalam hal ini satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.

Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka KUH Perdata menyebutkan tiga (3) sebab kesepakatan tidak diberikan secara sukarela yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Hal ini diatur dalam Pasal 1321 yang menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

32 Untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan ternyata KUH Perdata tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat sejumlah teori, yaitu:33

a. TeoriKehendak (wilshtheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian.

b. TeoriKepercayaan (vetrouwenstheorie)

31I. G.RaiWidjaya. MerancangSuatuKontrak, Jakarta, KesaintBlanc, 2008, hal. 46

32I Ketut Oka Setiawan, op.cit., Hal. 62

33GatotSupramono, log.cit.,

Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara objektif oleh pihak lainnya. Pada umumnya pernyataan yang dipercaya berasal dari pihak debitur setelah kreditur mengetahui semua informasi yang berhubungan dengan debitur.

c. TeoriUcapan (uitingstheorie)

Menurut teori ini landasan kata sepakat didasarkan pada ucapan atau jawaban pihak debitur. Kata sepakat dianggap telah terajdi pada saat debitur mengucapkan persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan oleh kreditur. Apabila jawaban dilakukan dengan tulisan atau surat maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat menulis surat jawaban.

d. TeoriPengiriman (verzendingstheorie)

Dalam teori pengiriman, kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengirimkan surat jawaban terhadap penawaran kreditur. Apabila pengirimannya dilakukan melalui pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat surat jawaban itu diberi cap atau distempel oleh kantor pos.

e. TeoriPenerimaan (onvangstheorie)

Menurut teori ini, kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur menerima surat jawaban atau jawaban lisan melalui telepon dari debitur yaitu pada saat kreditur membaca atau mendengar jawaban dari debitur karena pada waktu itu kreditur mengetahui kehendak debitur.

f. TeoriPengetahuan (vernemingstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kredit mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima penawarannya. Teori pengetahuan

tampak lebih luas dari teori penerimaan karena dalam teori pengetahuan memandang kredit mengetahui baik secara lisan maupun tulisan.

2. Kecakapan

Yang dimaksud dengan kecakapan adalah kemampuan para pihak bertindak membuat perjanjian. Pada prinsipnya semua orang mampu membuat perjanjian karena para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian secara lisan atau tertulis.

Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 18 tahun atau sudah menikah, hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris).

Dalam KUH Perdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara hukum, namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki kecakapan. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang di bawah pengampuan, perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu34

Menurut hukum nasional, perempuan bersuami sudah dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, sehinga tidak lagi harus seijin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan perempuan tersebut sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Hal ini sesuai dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 (selanjutnya disebut SE

.

34GatotSupramono, Ibid., Hal. 168

MA No. 3 Thn 1963). Oleh karena itu, bagi mereka yang dianggap belum dewasa (minderjarig/underage) diwakili oleh walinya, sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent/intoxicated person) diwakili oleh pengampunya karena dianggap tidak mampu (onbevoegd) untuk bertindak sendiri.35

Mengenai ketidakcakapan subjek hukum dalam melakukan perjanjian seperti yang telah diuraikan sebelumnya dapat dibedakan menjadi36

a. Ketidakcakapan untuk bertindak (handeling onbekwaamheid), yaitu orang-orang sama sekali tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum yang sah.

Orang-orang ini disebutkan Pasal 1330 KUH Perdata.

:

b. Ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoegheid), yaitu orang yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah.

Orang-orang ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1467, 1601i, dan 1678 KUH Perdata.

3. HalTertentu

Syarat ketiga mengenai sahnya perjanjian adalah hal tertentu. Adapun yang dimaksud dengan suatu hal atau objek tertentu (een bepaald onderwerp) dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat 3, adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal

35AbdulkadirMuhammad. op.cit.,hal. 92.

36I Ketut Oka Setiawan, op.cit., hal. 66

demi hukum).37

a. Pasal 1332 KUH Perdata yang menegaskan;

Lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUH Perdata sebagai berikut :

Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.

b. Pasal 1333 KUH Perdata menegaskan;

Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan sejenisnya.

Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

c. Pasal 1334 KUH Perdata menegaskan;

Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengann sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 169, 176, dan 178.

Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa

“tertentu” tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit harus sudah ada ketika kontrak dibuat adalah dimungkinkan untuk hal atau objek tertentu tersebut sekadar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian hari.38

4. Sebab (causa) yang halal

Perkataan “sebab” yang dalam bahasa Belanda disebut oorzaak, dan dalam bahasa Latin disebut causa, merupakan syarat keempat dari suatu perjanjian yang

37AgusYudhaHernoko, op.cit.,hal.191

38Ibid., hal. 192

disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagai “sebab yang halal”.

MenurutBadrulzamancausa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causaliteit, bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian. Karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian.39 Soal “causa” dalam hukum perjanjian dipersulitkan oleh Pasal 1335 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu persetujuan yang diadakan tidak dengan causa (zonder oorzaak) atau dengan suatu causa yang palsu atau yang tidak diperbolehkan adalah tidak mempunyai kekuatan. Dengan pasal ini disebabkan seolah-olah mungkin ada persetujuan yang terjadi tidak dengan causa.40

Untuk mengetahui syarat sebab yang halal adalah dengan melihat dasar timbulnya sebuah perjanjian. Bagaimana sebuah perjanjian dapat terjadi. Apa yang menjadi latar belakang sampai terjadinya perjanjian. Hal yang ini dimaksud oleh KUH Perdata, padahal yang sesungguhnya adalah persoalan itikad baik dalam perjanjian. Sehubungan dengan syarat keempat, dalam ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata telah memerinci adanya perjanjian tanpa sebab, perjanjian yang dibuat dengan sebab yang palsu, atau perjanjian yang dibuat karena sebab yang terlarang. Dari ketentuan tersebut telah menggambarkan apa yang disebut dengan sebab yang tidak halal.41

Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan

39I Ketut Oka Setiawan, op.cit., hal. 68

40WirjonoProdjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 37

41GatotSupramono, op.cit., hal. 170

(Pasal 1337KUHPerdata). Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang halal diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal, tidak diperbolehkan.

Perjanjian yang bercausa tidak halal (dilarang undang-undang) contohnya adalah jual-beli candu, ganja, dan lain-lain. Perjanjian yang bercausa tidak halal (bertentangan dengan ketertiban umum) misalnya perdagangan manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang ber-causa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan) misalnya membocorkan rahasia perusahaan.

Setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga perjanjian yang dibuat tanpa sebab,ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata).42

3. Asas-asas Hukum Perjanjian

Dalam membuat suatu perjanjian, dikenal adanya beberapa asas umum yang diberlakukan yaitu :

1) AsasKebebasanBerkontrak

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting karena merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak manusia.

Kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualism yang secara embrional lahir di zaman Yunani, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas

42AbdulkadirMuhammad. op.cit., hal. 95.

untuk memperoleh apa yang dikehendakinya, dalam Hukum Perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez

untuk memperoleh apa yang dikehendakinya, dalam Hukum Perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez