• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi sistematis, maka penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematikanya adalah sebagi berikut:

Bab pertama adalah Pendahuluan yaitu Pembahasan mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah yang berisi Identifikasi Masalah dan Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian yang berisi Manfaat Akademis, dan Manfaat Praktis, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian berisi tentang Jenis dan Model Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan yang terakhir Sistematika Penulisan.

Bab kedua adalah Tradisi Mengaji al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat yang berisi tentang Keutamaan Membaca al-Qur’an, Mengaji sebagai bagian dari Tradisi Masyarakat berisi tentang Tradisi Tahlilan di Masyarakat, Tradisi Maghrib Mengaji dan Tradisi Pembacaan al-Qur’an di Masa Kehamilan

30 M. Alfatih Suryadilaga,dkk, Metodelogi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 76.

31 Ronny Kountur, Metode Penelitian: Untuk Penelitian Skripsi dan Tesis, (Jakarta:

Penerbit PPM, 2004), 186.

Bab ketiga Profil Wilayah Condet Kelurahan Balekambang yang berisi tentang Profil Kelurahan Condet Balekambang, Data Sosial dan Data Keagamaan, Profil Lembaga yang Diteliti berisi tentang SMK Adi Luhur yang di dalamnya berisi Sejarah SMK Pariwisata Adi Luhur, Jurusan dan Ekstrakulikuler dan Sarana dan Prasarana, TPA Al-Irfan dan Majelis Ta’lim Al-Irfan berisi tentang Sejarah Berdirinya TPA dan Majelis Ta’lim Al-Irfan, Masjid Nurul Huda berisi tentang Sejarah Berdirinya Masjid Jami’ Nurul Huda, Visi dan Misi, Struktur Kepengurusan dan Program Kegiatan

Bab keempat Kegiatan Wajib Mengaji Kelurahan Balekambang di dalamnya terdapat Kegiatan Wajib Mengaji di Kelurahan Balekambang, pada bagian Sub bab terdapat Kegiatan Tadarus al-Qur’an di SMK Pariwisata Adi Luhur di dalamnya berisi Praktik Kegiatan Tadarus, Manfaat Kegiatan Tadarus al-Qur’an dan Faktor Pendukung dan Penghambat Kegiatan Tadarus a al-Qur’an l-Qur’ān di SMK Pariwisata Adi Luhur.

Kegiatan Belajar Mengaji di TPA Al-Irfan di dalamnya berisi Praktik Kegiatan Mengaji al-Qur’an, Manfaat Kegiatan Mengaji di TPA Al-Irfan, Faktor Penghambat dan Pendukung Kegiatan Mengaji di TPA Al-Irfan.

Kegiatan Mengaji di Majelis Ta’lim Ibu-Ibu Al-Irfan berisi tentang Praktik Kegiatan Mengaji di Majelis Ta’lim al-Irfan, Manfaat Kegiatan Majelis Ta’lim al-Irfan, Faktor Pendukung dan Penghambat Kegiatan Mengaji di Majelis Ta’lim al-Irfan. Kegiatan Mengaji di Masjid Nurul Huda berisi tentang Praktik Kegiatan Membaca Yāsin dan Tahlil , Manfaat Kegiatan Yāsin dan Tahlil di Masjid Nurul Huda dan Faktor Pendukung dan Penghambat Kegiatan Mengaji di Masjid Nurul Huda

Bab kelima Penutup, dalam bagian ini terdapat kesimpulan menjawab semua masalah yang diangkat dan saran untuk penggunaan praktis dan penelitian selanjutnya. Terdapat juga Bibliografi dan Lampiran

21 BAB II

TRADISI MENGAJI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

A. Tradisi Mengaji Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari

Tradisi Mengaji al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan bagian dari living Qur’an, Ditinjau dari makna bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang berarti

‘hidup’ dan Qur’an yang berarti kitab suci umat Islam. secara istilah living Qur’an bisa diartikan dengan ‘(teks) al-Qur’an yang hidup di masyarakat’.

1 Living Qur’an yaitu pembahasan atau penelitian ilmuah tentang suatu peristiwa yang terkait dengan al-Qur’an. Ada beberapa fungsi al-Qur’an yang biasa dipraktekkan di tengah masyarakat. Al-Qur’an kerap berfungsi sebagai terapi jiwa dari persoalan hidup. Selain itu, al-Qur’an juga berfungsi sebagai obat untuk mengobati penyakit fisik ataupun penyakit mental. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci bagi umat Islam yang di dalamnya berisi banyak hal yang memuat semua jenis ilmu dan pengetahuan. Atas dasar status itulah al-Qur’an mampu memenuhi berbagai fungsi di dalam kehidupan umat Islam.

Selain fungsi-fungsi yang sudah dijelaskan di muka, al-Qur’an juga sering dijalankan fungsinya dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti sebagai pembela kaum yang tertindas, penyemangat perubahan, penentram hati, dan penyelamat manusia dari malapetaka. Oleh karena itu, selain dibaca al-Qur’an juga dikaji, dipelajari, bahkan dikembangkan kajiannya hingga saat ini, bahkan oleh golongan non-muslim sekalipun.

1 Didi Junaedi, “Living Qur’an; Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur’an”

(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab.

Cirebon) Jurnal Of Qur’an and Hadith Studies Vol.4 No.2 (2015) 172.

Mengingat hubungan antara manusia dengan al-Qur’an sangat beragam, tidak hanya menafsirkang teks al-Qur’an tetapi meperlakukan al-Qur’an sebagai sesuatu yang bernilai tinggi atau disebut dengan living Qur’an.

Ahmad Atabik menjelaskan secara garis besar studi al-Qur’an dibagi menjadi tiga kelompok besar penelitian. pertama, penelitian yang menempatkan al-Qur’an sebagai objek penelitian, sebagaimana yang disebutkan oleh Amin al-Khuli (kemudian diikuti oleh Bint al-Syathi’) dengan istilah dirasat al-nash yang mencakup dua kajian: (a) fahm al-nash (the understanding of text) dan (b) dirasat ma hawl al-nash (study of surroundings of text). Kedua adalah penelitian tentang hasil pembacaan terhadap teks al-Qur’an, baik berwujud teori-teori penafsiran maupun yang berbentuk pemikiran eksegetik. Ketiga ialah penelitian yang mengkaji pendapat atau sikap sosial terhadap Qur’an atau hasil pembacaan al-Qur’an. Penelitian yang ketiga ini kemudian di era kontemporer lebih terkenal dengan istilah studi living Qur’an.2

Syamsudin mengatakan bahwa “teks al-Qur’an yang ‘hidup’ dalam masyarakat itulah yang disebut the Living Qur’an, sementara pelembagaan hasil penafsiran tertentu dalam masyarakat dapat disebut dengan ‘the living tafsir’. Apa yang dimaksudnya dengan “teks al-Qur’an yang hidup dalam masyarakat”? Tidak lain adalah pendapat masyarakat terhadap teks al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Kegiatan sosial terhadap al-al-Qur’an dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi membaca surah atau ayat-ayat tertentu pada acara atau kegiatan sosial keagamaan.3

2 Ahmad Atabik, “The Living Qur’an; Potret Budaya Tahfidz al-Qur’an di Nusantara”

Jurnal Penelitian. Vol.8 No.1 Februari (2014)

3 Sahiron, Syamsudin, Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta:

TH. Press, 2007) 117

23 Penulis lain, M. Mansur, berpendapat bahwa pengertian the Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in everyday life yang tidak lain adalah makna dan fungsi al-Qur’an yang benar dipahami dan dialami oleh masyarakat muslim.4 Penulis menyimpulkan maksudnya sebagai praktik memfungsikan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari di luar kondisi tekstualnya. Fungsi al-Qur’an seperti itu muncul karena adanya praktek pemaknaan al-Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya sendiri, tetapi berlandaskan pada adanya ‘fadhilah’ dari unit-unit tertentu teks al-Qur’an, bagi kepentingan kehidupan keseharian umat.

Living Qur’an juga dapat diartikan sebagai fenomena yang hidup di tengah masyarakat muslim dengan al-Qur’an sebagai objek studinya. Oleh karena itu, kajian tentang living Qur’an dapat diartikan sebagai kajian tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di sebuah komunitas muslim tertentu. Dengan pengertian seperti ini, maka dalam bentuknya yang paling sederhana living Qur’an pada dasarnya sudah sama tuanya dengan al-Qur’an itu sendiri secara historis. Meskipun demikian, praktek-praktek tersebut belum menjadi objek kajian penelitian mengenai al-Qur’an, sampai ketika para ilmuwan Barat tertarik untuk meneliti fenomena living Qur’an tersebut.5

Dari beberapa pendapat di atas, tidak nampak adanya perbedaan dengan pendapat Abdul Mustaqim. Dalam tulisannya ia menyatakan bahwa kajian living Qur’an mempunyai beberapa arti penting. Menurutnya, terdapat tiga arti penting yang di utarakannya. Pertama, memberikan kontribusi yang

4 M. Mansyur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH. Press, 2007) 5

5 Heddy Shri Ahimsa Putra, “The Living al-Qur’an; Beberapa Prespektif Antropologi”

Jurnal Walisongo Vol.20 No.1 Mei (2012) 236-237

signifikan bagi pengembangan wilayah objek kajian al-Qur’an, di mana tafsir bisa bermakna sebagai respons masyarakat yang diinspirasi oleh kehadiran al-Qur’an. Kedua, kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat lebih maksimal dan tepat dalam mengapresiasi al-Qur’an. Ketiga, memberi paradigma baru bagi pengembangan kajian al-Qur’an kontemporer, sehingga studi al-Qur’an tidak hanya pada wilayah kajian teks saja.6

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa living Qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi al-Qur’an yang meneliti dialektika antara al-Qur’an dengan kondisi realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an yang dilakukan oleh umat Islam tidak melalui pendekatan teks atau bahasa al-Qur’an, tetapi secara langsung berinteraksi memperlakukan dan menerapkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi semacam ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat membentuk pola prilaku tertentu. Pola prilaku ini berdasarkan pada anggapan masyarakat terhadap al-Qur’an yang pada akhirnya dapat merubah pola pikir mereka. Living Qur’an dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat.

Living Qur’an juga berarti praktek-praktek pelaksanaan ajaran al-Qur’an di masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seringkali praktek-praktek yang dilakukan masyarakat, berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an itu sendiri. Metode living Qur’an tidak diajukan untuk mencari kebenaran yang selalu melihat

6 Abdul Mustaqim, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH.

Press, 2007) 68-70

25 konteks, tetapi semata-mata melakukan pembelajaran terhadap fenomena keagamaan yang terkait dengan al-Qur’an.7

Sudah semestinya masyarakat Muslim berprilaku sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadits. Namun fenomena yang muncul tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang semestinya dipraktekkan dan diamalkan.

Kajian living Qur’an semakin menarik seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Islam terhadap ajaran agamanya. Kegiatan-kegiatan keagamaan, baik di tempat-tempat tertentu. Seperti kegiatan wajib mengaji di sekolah, majelis ta’lim, masjid ataupun di taman pendidikan al-Qur’an (TPA) dan lembaga pendidikan al-Qur’an lainnya. Dalam kegiatan masyarakat tersebut di atas al-Qur’an senantiasa dibaca dan menjadi bagian dari hidup keseharian mereka.

B. Keutamaan Membaca al-Qur’an

Menurut sebagian ulama kata al-Qur’an adalah bentuk masdar dari fi’il qara’a-yaqra’u qira’atan qur’anan yang secara harfiah berarti bacaan.

Dalam al-Qur’an sendiri memang terdapat beberapa kata Qur’ān yang digunakan untuk pengertian bacaan, di antaranya

)۱٨( ُهَنآْﺮُ ق ْعِّبَّتﺎَف ُهَنَّْأَﺮَ ق اَذِّإَف

Artinya : “Maka apabila Kami (Allah) telah selesai membacakannya, maka hendaklah kamu (Muhammad) ikuti bacaan itu. (Q.S. al-Qiyamah [75]:18)

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam dengan perantara malaikat Jibril a.s yang tertulis pada mashahif, diriwayatkan dengan cara mutawatir.

Pertama kali al-Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan usia Nabi Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam yang ke 40 tahun. Ketika itu beliau sedang beribadah di Gua Hira’ tiba-tiba datang malaikat Jibril a.s

7 Mirna Fidiana, Metodelogi Penelitian The Living Qur’an dan Hadits, Artikel Institut Agama Islam Negeri Metro Lampung. 2 (2017).

membawa wahyu. Ia memeluk kemudian melepaskan Nabi Ṣalla Allāh

‘alaihi wa sallam demikian sampai berulang tiga kali. Setiap kali Jibril berkata ‘Bacalah!’ dan Nabi menjawab ‘Aku tidak bisa membaca’.

Kemudian pada kali yang ketiga, Jibril berkata kepada Nabi Ṣalla Allāh

‘alaihi wa sallam.8 :

)۳( ُمَﺮْكَْلْا َكُّبَرَو ْأَﺮْ قا )٢( قَلَع ْنِّﻣ َنﺎَسْنِّْﻹا َقَلَخ )۱( َقَلَخ يِّذَّﻟا َكِّٰبَر ِّمْﺳِّبِ ْأَﺮْ قا )٥( ْمَلْﻌَ ي َْلَ ﺎَﻣ َنﺎَسْنِّْﻹا َمَّلَع )٤( ِّمَلَﻘْﻟِّبِ َمَّلَع يِّذ َّﻟا

Artinya: “Bacalah, dengan nama Tuhanmu Dzat Yang Menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan perantara kalam. Dia mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui” (QS.

al-‘Alaq 1-5)

Ayat di atas adalah ayat yang pertama turun sebagai tanda bahwa Rasulullah Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Perintah pertama dari Allah untuk Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril a.s adalah ‘bacalah’ yang bisa berarti perintah untuk membaca secara tekstual, yang bisa diartikan sama dengan membaca buku, membaca kitab al-Qur’an, dan semua yang bersifat bacaan atau tulisan. Dapat juga diartikan secara kontekstual yaitu membaca alam, mengamati proses penciptaan manusia, bumi, gunung, mengobservasi penelitian untuk kebaikan manusia, sehingga juga dapat diartikan belajarlah, berilmulah, berusahalah, bukalah wawasan yang luas. Perintah ‘bacalah’ menunjukkan kepada manusia untuk menguasai sesuatu haruslah belajar dan membacanya terlebih dahulu, termasuk dalam mempelajari al-Qur’an. Kitab suci yang Allah turunkan ini membacanya termasuk ke dalam ibadah dan mendapatkan pahala, dapat memberikan ketentraman jiwa, mengobati penyakit, memberikan

8 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta, Pustaka Amani,2001), 12.

27 kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bahkan menjadi penolong umat Muslim di akhirat nanti.

Allah Subḥanahu wa ta‘ālā menurunkan al-Qur’an kepada semua umat muslim sebagai bentuk rasa kasih sayang Allah agar manusia hidup terarah dengan membaca dan berpedoman pada al-Qur’an dalam kehidupan sehari-harinya.9 Al-Qur’an sebagai firman Allah Subḥanahu wa ta‘ālā yang diturunkan kepada Nabi dengan lafaz dan maknanya yang membacanya dijadikan sebagai ibadah dan membuat umat manusia tidak mampu menandinginya. Allah Subḥanahu wa ta‘ālā telah memasukkan segala sesuatu di dalam al-Qur’an sehingga ia mengandung hukum, syari’at, kisah-kisah, tamsil (perumpaan), hikmah, nasihat, dan pandangan-pandangan yang benar tentang alam semesta, kehidupan dan manusia. Seperti hadits Imam Bukhari: Dari Abu Umamah ia berkata bahwa aku telah mendengar Rasulullah Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi yang membacanya.” (HR. Bukhari) 10

Mempelajari al-Qur’an adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, mengenai ‘memahami al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan’. Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.11

Orang-orang tua yang terdahulu telah mengetahui keutamaan al-Qur’an, maka mereka berkonsentrasi mempelajari dan membacanya di waktu siang

9 Muhammad Ilham Nur, Ketika al-Qur’an Tak Lagi Diagungkan (Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 2007) 48-50.

10 Ibrahim Eldeed, Be A Living Qur’an; Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-ayat al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-hari (Tangerang: Lentera Hati, 2009) 118.

11 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta: Mizan) 33.

dan malam, dan mengajarkan anak-anak mereka menghafal al-Qur’an sejak usia dini agar lidah mereka fasih membaca al-Qur’an dan agar mereka bisa mengetahui dalil-dalil aqidah, pokok-pokok syariah, prinsip-prinsip akhlak yang bersumber dari al-Qur’an.

Dari Abdullah bin Ma’ud RA, ia berkata: Rasulullah Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka ia akan memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat, aku tidak mengatakan alif lām mīm satu huruf, tetapi alif satu huruf, lām satu huruf dan mīm satu huruf.” (HR.

Tirmidzi).

Pembaca al-Qur’an beragam, tidak mengenal batas usia dan jenis kelamin, juga tidak sama sekali terdikotomikan oleh berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Semua orang, dari berbagai jenis kelamin usia, serta dari berbagai disiplin ilmu dan ragam seni, tidak akan pernah kehabisan semangat untuk membaca al-Qur’an. Dari anak usia batita hingga pakar yang teramat sangat ahli dalam bidangnya masing-masing merasakan kenikmatan dalam mempelajari al-Qur’an.

Artinya: “Dari Ali berkata: telah bersabda Rasulullah Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam “Yang paling baik di antara kamu ialah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya” [H.R al-Darimi]

Pendidikan al-Qur’an hendaknya ditanamkan kepada anak sedini mungkin terutama dalam hal membaca, karena belajar al-Qur’an merupakan suatu proses berawal dari mengeja huruf-huruf hijaiyah sampai dengan cara membaca secara menyeluruh, padahal sebenarnya dalam al-Qur’an amat menekankan pentingnya proses belajar, perintah pertama

29 Allah adalah belajar”. (Rahman, 2007;55). “Mempelajari al-Qur’an hukumnya fardhu kifayah, membacanya secara sesuai ilmu tajwid hukumnya fardhu’ain, untuk lebih bisa memahami dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an, maka seorang muslim harus memiliki kemampuan membaca al-Qur’an”. (Surasman, 2002;19-20).12

Al-Qur’an bisa dibaca sambil diam, dengan bersuara, bahkan dengan lirik lagu (nagham) yang sangat merdu dan indah. Pendeknya, al-Qur’an memiliki segalanya dan memberikan kepuasan kepada semua pembacanya.

Kenyataan menunjukkan, bahwa di kolong langit ini, selain al-Qur’an tidak ada satupun, buku apapun, yang di dalam usianya yang telah mencapai lebih dari 14 abad yang silam masih tetap saja original dan fungsional. Termasuk dalam kapasitasnya sebagai bacaan indah yang indah dibaca. Bagi umat muslim al-Qur’an adalah bacaan indah yang enal dibaca. Mulai dari pembaca tunggal di awal-awal penurunannya yakni Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam. Di tahun pertama dari kenabiannya (571 M) hingga saat ini.

C. Mengaji sebagai bagian dari Tradisi Masyarakat

Tradisi merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada dipercaya merupakan suatu kebenaran. Selain itu, diartikan pula sebagai adat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.13 Dalam sebuah tradisi terdapat elemen-elemen penting yang dihadapkan pada realita keragaman masyarakat itu sendiri.

12 Sunansih, “Kemampuan Membaca Al-Qur’an Bagi Anak Usia Dini Bagian dari Kemampuan Bahasa”, Artikel: Seminar Nasional Kedua Pendidikan Berkemajuan dan Mengembirakan, 642.

13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama,2008), 1.483.

Keragaman tersebut meliputi sekte, interpretasi atau mazhab pemikiran yang terdapat di dalam masyarakat. 14

Masyarakat Indonesia memiliki banyak sekali tradisi beragam di setiap sudut daerah salah satunya adalah tradisi keagamaan. Pada dasarnya tradisi keagamaan senantiasa menjadi rutinitas masyarakat Indonesia. Akan tetapi Di jaman modern seperti sekarang ini banyak hal-hal penting yang semakin pudar, baik secara sadar maupun tidak sadar, banyak yang ditinggalkan karena dirasa tidaklah penting, padahal banyak di antara hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang sakral menyangkut kehidupan sehari-hari. Seperti halnya tradisi mengaji, yang dimaksud mengaji di sini ialah kegiatan rutin membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Mengaji memiliki arti belajar atau mempelajari. Dalam membaca kitab suci al-Qur’an dapat mempelajari, membaca, dan memahami isi dan makna dari tiap ayat al-Qur’an yang baca, perlu mengenal setiap huruf-huruf hijaiyah, dan mempelajari ilmu tajwid yakni tanda-tanda baca dalam tiap ayat-ayat al-Qur’an.

Mengaji al-Qur’an sejak dulu telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Namun, akhir-akhir ini mengaji al-Qur’an sudah mulai ditinggalkan Umat Islam, terutama generasi muda lebih memilih sibuk bermain media sosial, game dan sibuk dengan urusan pendidikan di sekolah daripada membaca al-Qur’an. Di era yang modern ini orang tua sangatlah mempunyai peran penting akan minat seorang anak dalam belajar mengaji.

Orang tua haruslah bisa memberikan penjelasan terhadap anak bahwa selain pendidikan sekolah pendidikan mengaji di luar sekolah juga sangatlah penting. Orang tua harus tahu bahwa mengaji akan memberikan dampak positif akan perkembangan anak di masa depan. Mereka dapat

14 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang:Pustaka Alvabet dan Indonesian Institute For Society Empowerment (INSEP), 2009), 12.

31 menyekolahkan anaknya di lembaga atau TPA (Taman Pendidikan al-Qur’an)15

Kegiatan mengaji selain mengajarkan anak untuk dapat membaca al-Qur’an, juga untuk memberikan pelajaran-pelajaran tentang agama Islam.

Kegiatan mengaji selain mengajarkan anak untuk dapat membaca al-Qur’an, juga untuk memberikan pelajaran-pelajaran tentang agama Islam.