• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Mengaji Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari

BAB II TRADISI MENGAJI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN

A. Tradisi Mengaji Al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari

Tradisi Mengaji al-Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan bagian dari living Qur’an, Ditinjau dari makna bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang berarti

‘hidup’ dan Qur’an yang berarti kitab suci umat Islam. secara istilah living Qur’an bisa diartikan dengan ‘(teks) al-Qur’an yang hidup di masyarakat’.

1 Living Qur’an yaitu pembahasan atau penelitian ilmuah tentang suatu peristiwa yang terkait dengan al-Qur’an. Ada beberapa fungsi al-Qur’an yang biasa dipraktekkan di tengah masyarakat. Al-Qur’an kerap berfungsi sebagai terapi jiwa dari persoalan hidup. Selain itu, al-Qur’an juga berfungsi sebagai obat untuk mengobati penyakit fisik ataupun penyakit mental. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci bagi umat Islam yang di dalamnya berisi banyak hal yang memuat semua jenis ilmu dan pengetahuan. Atas dasar status itulah al-Qur’an mampu memenuhi berbagai fungsi di dalam kehidupan umat Islam.

Selain fungsi-fungsi yang sudah dijelaskan di muka, al-Qur’an juga sering dijalankan fungsinya dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti sebagai pembela kaum yang tertindas, penyemangat perubahan, penentram hati, dan penyelamat manusia dari malapetaka. Oleh karena itu, selain dibaca al-Qur’an juga dikaji, dipelajari, bahkan dikembangkan kajiannya hingga saat ini, bahkan oleh golongan non-muslim sekalipun.

1 Didi Junaedi, “Living Qur’an; Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur’an”

(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab.

Cirebon) Jurnal Of Qur’an and Hadith Studies Vol.4 No.2 (2015) 172.

Mengingat hubungan antara manusia dengan al-Qur’an sangat beragam, tidak hanya menafsirkang teks al-Qur’an tetapi meperlakukan al-Qur’an sebagai sesuatu yang bernilai tinggi atau disebut dengan living Qur’an.

Ahmad Atabik menjelaskan secara garis besar studi al-Qur’an dibagi menjadi tiga kelompok besar penelitian. pertama, penelitian yang menempatkan al-Qur’an sebagai objek penelitian, sebagaimana yang disebutkan oleh Amin al-Khuli (kemudian diikuti oleh Bint al-Syathi’) dengan istilah dirasat al-nash yang mencakup dua kajian: (a) fahm al-nash (the understanding of text) dan (b) dirasat ma hawl al-nash (study of surroundings of text). Kedua adalah penelitian tentang hasil pembacaan terhadap teks al-Qur’an, baik berwujud teori-teori penafsiran maupun yang berbentuk pemikiran eksegetik. Ketiga ialah penelitian yang mengkaji pendapat atau sikap sosial terhadap Qur’an atau hasil pembacaan al-Qur’an. Penelitian yang ketiga ini kemudian di era kontemporer lebih terkenal dengan istilah studi living Qur’an.2

Syamsudin mengatakan bahwa “teks al-Qur’an yang ‘hidup’ dalam masyarakat itulah yang disebut the Living Qur’an, sementara pelembagaan hasil penafsiran tertentu dalam masyarakat dapat disebut dengan ‘the living tafsir’. Apa yang dimaksudnya dengan “teks al-Qur’an yang hidup dalam masyarakat”? Tidak lain adalah pendapat masyarakat terhadap teks al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Kegiatan sosial terhadap al-al-Qur’an dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi membaca surah atau ayat-ayat tertentu pada acara atau kegiatan sosial keagamaan.3

2 Ahmad Atabik, “The Living Qur’an; Potret Budaya Tahfidz al-Qur’an di Nusantara”

Jurnal Penelitian. Vol.8 No.1 Februari (2014)

3 Sahiron, Syamsudin, Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta:

TH. Press, 2007) 117

23 Penulis lain, M. Mansur, berpendapat bahwa pengertian the Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in everyday life yang tidak lain adalah makna dan fungsi al-Qur’an yang benar dipahami dan dialami oleh masyarakat muslim.4 Penulis menyimpulkan maksudnya sebagai praktik memfungsikan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari di luar kondisi tekstualnya. Fungsi al-Qur’an seperti itu muncul karena adanya praktek pemaknaan al-Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya sendiri, tetapi berlandaskan pada adanya ‘fadhilah’ dari unit-unit tertentu teks al-Qur’an, bagi kepentingan kehidupan keseharian umat.

Living Qur’an juga dapat diartikan sebagai fenomena yang hidup di tengah masyarakat muslim dengan al-Qur’an sebagai objek studinya. Oleh karena itu, kajian tentang living Qur’an dapat diartikan sebagai kajian tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di sebuah komunitas muslim tertentu. Dengan pengertian seperti ini, maka dalam bentuknya yang paling sederhana living Qur’an pada dasarnya sudah sama tuanya dengan al-Qur’an itu sendiri secara historis. Meskipun demikian, praktek-praktek tersebut belum menjadi objek kajian penelitian mengenai al-Qur’an, sampai ketika para ilmuwan Barat tertarik untuk meneliti fenomena living Qur’an tersebut.5

Dari beberapa pendapat di atas, tidak nampak adanya perbedaan dengan pendapat Abdul Mustaqim. Dalam tulisannya ia menyatakan bahwa kajian living Qur’an mempunyai beberapa arti penting. Menurutnya, terdapat tiga arti penting yang di utarakannya. Pertama, memberikan kontribusi yang

4 M. Mansyur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH. Press, 2007) 5

5 Heddy Shri Ahimsa Putra, “The Living al-Qur’an; Beberapa Prespektif Antropologi”

Jurnal Walisongo Vol.20 No.1 Mei (2012) 236-237

signifikan bagi pengembangan wilayah objek kajian al-Qur’an, di mana tafsir bisa bermakna sebagai respons masyarakat yang diinspirasi oleh kehadiran al-Qur’an. Kedua, kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat lebih maksimal dan tepat dalam mengapresiasi al-Qur’an. Ketiga, memberi paradigma baru bagi pengembangan kajian al-Qur’an kontemporer, sehingga studi al-Qur’an tidak hanya pada wilayah kajian teks saja.6

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa living Qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi al-Qur’an yang meneliti dialektika antara al-Qur’an dengan kondisi realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an yang dilakukan oleh umat Islam tidak melalui pendekatan teks atau bahasa al-Qur’an, tetapi secara langsung berinteraksi memperlakukan dan menerapkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi semacam ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat membentuk pola prilaku tertentu. Pola prilaku ini berdasarkan pada anggapan masyarakat terhadap al-Qur’an yang pada akhirnya dapat merubah pola pikir mereka. Living Qur’an dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat.

Living Qur’an juga berarti praktek-praktek pelaksanaan ajaran al-Qur’an di masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seringkali praktek-praktek yang dilakukan masyarakat, berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an itu sendiri. Metode living Qur’an tidak diajukan untuk mencari kebenaran yang selalu melihat

6 Abdul Mustaqim, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsudin (ed) Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH.

Press, 2007) 68-70

25 konteks, tetapi semata-mata melakukan pembelajaran terhadap fenomena keagamaan yang terkait dengan al-Qur’an.7

Sudah semestinya masyarakat Muslim berprilaku sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadits. Namun fenomena yang muncul tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang semestinya dipraktekkan dan diamalkan.

Kajian living Qur’an semakin menarik seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Islam terhadap ajaran agamanya. Kegiatan-kegiatan keagamaan, baik di tempat-tempat tertentu. Seperti kegiatan wajib mengaji di sekolah, majelis ta’lim, masjid ataupun di taman pendidikan al-Qur’an (TPA) dan lembaga pendidikan al-Qur’an lainnya. Dalam kegiatan masyarakat tersebut di atas al-Qur’an senantiasa dibaca dan menjadi bagian dari hidup keseharian mereka.