• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR BAGAN

TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA YANG DIGUNAKAN DALAM ANALISIS DATA

4.2 Hasil Analisis Data

4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “ Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta. Yogyakarta

4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur. Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan. Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(1) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju anak-anak kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila dagangan yang dibeli tidak cukup, boleh ditukarkan). (DT 1)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan tampak sebagai berikut.

Data (1) memperlihatkan bahwa penjual (penutur) sedang melakukan transaksi jual beli dengan pembeli (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli berjalan dengan baik dan lancar. Penjual dapat mengerti apa yang diinginkan oleh mitra tuturnya saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (1) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur (penjual) memberikan keuntungan kepada pembeli dengan penekanan tuturannya yakni, Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.” (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). Penekanan tuturan tersebut

merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tuturan tersebut sangat memberikan keuntungan bagi pembeli karena apabila dagangan yang dibelinya tidak cukup (ukurannya) boleh ditukarkan. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Santunnya tuturan data (1) juga ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam

percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Mas” tepat digunakan sebagai sapaan

penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. Sedangkan

sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang ibu-ibu. Data (1) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di dalam data (1).

(2) PJ : Tiga puluh ya? PB : Nawar dua lima, Bu. PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran PB. Jadi tuturan ini termasuk dalam tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 4)

Data (2) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (2) ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun, karena kedua partisipan tutur tersebut dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung dan tuturan penjual (PJ) ini sangat memberikan keuntungan kepada pembeli (PB). Dalam skala biaya-keuntungan, semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Keuntungan yang diperoleh mitra tutur yakni mitra tutur mendapatkan barang dagangan penutur sesuai dengan harga penawarannya. Dengan tuturan, “Ya wis, oke-oke, Dik” menandakan bahwa penutur (PJ) memberikan dagangannya kepada mitra tutur (PB) sesuai dengan harga penawaran dari mitra tutur yang telah disepakati bersama sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa tuturan dari data (2) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tidak lepas dari penutur yang memberikan keuntungan pada mitra tuturnya, kedua partisipan tutur ini juga menggunakan sapaan dalam berkomunikasi. Penutur yang adalah seorang ibu-ibu

tepat disapa dengan sapaan “Bu” oleh mitra tuturnya. Begitu pula sebaliknya,

mitra tutur yang adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan tepat

disapa dengan menggunakan sapaan “Dik” oleh penutur yang jauh lebih tua dari

mitra tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur

dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (2) dirasa menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Terlihat jelas dari tuturan data (2) yang menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada tuturan penutur yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur kode dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan yang sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud dari tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya.

(3) PJ : Ini maksudnya gimana? PB : Yang warna biru.

PJ : Ini campur-campur gitu? PB : Iya, pengennya gitu.

PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh. PB : Hah? (kaget)

PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho! PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas. PJ : Pinter nawar e.

(Pintar menawar ya) PB : Tujuh belas.

PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu. PB : Emoh (merengek)

(Tidak mau) PJ : Dua ribu lagi PB : Dua ribu?

PJ : Ini baru enam belas.

PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi) PJ : Dua ribu!

PB : Seribu! (memaksa) PJ : Ya udah ga papa

(Ya sudah tidak apa-apa)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PB sangat pandai menawar sehingga PJ tidak sanggup lagi untuk menyangkal tawaran

harga dari PB dan pada akhirnya PJ menyetujui hasil tawaran dari PB. Hal tersebut menandakan bahwa tuturan PJ menguntungkan PB). (DT 7)

Data (3) mengindikasikan bahwa penutur (penjual) sedang melakukan transaksi jual beli dengan mitra tutura (pembeli). Saat bertransaksi, mitra tutur (pembeli) sangat pandai menawar sehingga penutur (penjual) tidak sanggup lagi untuk menyangkat tawaran dari mitra tutur. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan, “Pinter nawar e”. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks tawar-menawar dagangan dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari percakapan tersebut termasuk dalam kategori yang santun karena penutur menguntungkan mitra tuturnya, yaitu PB atau pembelinya dan kedua partisipan tutur dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Penekanan pada kata-kata tawar-menawar yang dituturkan oleh mitra tutur seperti mempertegas pertuturan yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian menimbulkan keuntungan antara penutur dan mitra tutur di dalam sebuah percakapan. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa diuntungkan, maka semakin santunlah tuturan itu. Keuntungan yang diperoleh oleh pembeli juga ditekankan pada tuturan penjual sebagai berikut, “Ya udah ga papa”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (3) ingin berbicara bahwa tuturan tawar-menawar yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur sudah menjelaskan bahwa keduanya sudah sama-sama mengetahui konteks jual beli dalam sebuah perdagangan, sehingga penutur dan mitra tutur lancar dalam bertransaksi jual beli. Santunnya tuturan antara penutur

dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Pak” yang diucapkan oleh mitra tutur kepada penutur. Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita ketahui bahwa penutur adalah orang dewasa yang berjenis kelamin laki-laki, jadi sapaan “Pak” memang dirasa sudah sesuai. Dilihat dari jenis kelaminnya juga mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan memang pantas untuk disapa dengan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” ini dirasa tepat

digunakan karena melihat bahwa mitra tutur jauh lebih muda dari penutur. Dari hasil percakapan di atas, terdapat penggunaan campur kode dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur, begitu juga sebaliknya tanggapan mitra tutur kepada tuturan penutur. Percakapan di atas menggunakan campuran bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan kata emoh dan pinter nawar e. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia, namun ada satu percakapan yang dituturkan oleh penutur dan mitra tutur dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini merupakan campur kode, bahasa Indonesia-bahasa Jawa. Memang dalam konteks perdagangan, penutur (pedagang) dan mitra tutur (pembeli) jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan kata-kata baku dalam konteks jual beli. Oleh karena itu, para pedagang selalu menggunakan bahasa sehari-hari. Hal ini dirasa lebih mengakrabkan hubungan antara penjual dan pembeli dalam situasi jual beli. Penggunaan kata yang tidak baku pun juga terlihat dalam percakapan jual beli, seperti pada percakapan di atas yang menggunaan kata gak, ya udah ga papa, gimana, gitu, dan lho. Jadi, percakapan di atas terbilang santun karena penutur sangat menguntungkan diri mitra tuturnya.

(4) PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak. PB: Ini?

PJ : Enam lima. Berapa? PB: Tiga puluh

PJ : Ambil berapa biji? PB: Satu, Pak.

PJ : Udah empat puluh ya? PB: Emoh. Tiga puluh. (Tidak mau. Tiga puluh) PJ : Tambah lima ribu ya? PB: Emoh

(Tidak mau) PJ: Ya udah

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa dan PB adalah wanita muda yang berhijab. PB menawar setengah harga lebih dari yang ditawarkan oleh PJ. PJ mencoba untuk menurunkan harga tawarannya akan tetapi PB tetap pada harga tawarannya. Akhirnya PJ memberikan harga tawaran PB. Hal ini dipandang sebagai tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 11)

Data (4) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena mitra tutur merasa diuntungkan oleh si penutur. Terlihat penutur menawarkan sebuah harga kepada mitra tutur dan mitra tutur langsung menawar setengah lebih dari harga yang ditawarkan oleh penutur. Namun penutur tetap pada harga yang ditawarkan, begitu juga dengan mitra tutur yang tetap pada harga tawarannya. Agar tidak kehilangan pelanggannya, penutur sedikit demi sedikit menurunkan harga tawarannya, akan tetapi mitra tutur tetap tidak mau. Hingga pada akhirnya penutur memberikan dagangannya dengan harga tawaran si mitra tutur. Hal tersebut sangat menguntungkan diri mitra tutur karena penawarannya telah dipenuhi oleh penutur. Tuturan yang menjadi penanda kesantunan dalam data ini dibuktikan dengan tuturan berikut, “Udah empat puluh ya?” dan “Ya udah”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik dan lancar.

Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur mengerti arah tujuan dari pembicaraan tersebut. Tuturan data (4) termasuk dalam kategori santun karena penutur dan mitra tutur sama-sama mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Selain itu, pemilihan dan penggunaan kata-katanya juga tidak membuat diri mitra tutur tersinggung atau dirugikan. Penutur yang mengalah dengan memberikan dagangannya dengan hasil tawaran harga mitra tutur membuat diri mitra tutur merasa senang dan diuntungkan. Tuturan (4) menjadi tidak santun apabila antara penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi ataupun penutur dan mitra tutur memilih kata-kata yang kurang tepat dalam komunikasi. Santunnya tuturan

(4) tersebut juga dilihat dari penggunaan sapaan. Dari data (4), sapaan “Pak” tepat

ditujukan kepada penutur yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan

sapaan “Mbak” tepat ditujukan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang

wanita muda. Sapaan ini sangat santun dan tepat digunakan untuk memanggil penutur yang adalah seorang laki-laki dewasa dan mitra tutur yang adalah seorang wanita muda. Tuturan tersebut menjadi tidak santun apabila sapaan yang digunakan tidak tepat. Pada tuturan (4) menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campuran bahasa Jawa Ngoko

dapat dilihat dari tuturan mitra tutur, yakni “Emoh” yang memiliki arti tidak tahu.

Walaupun campur kode ini sering terjadi dalam komunikasi, hal itu tidak akan mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan yang dikomunikasikan. Pada tuturan (4), penggunaan campur kode ini dirasa santun karena penutur dan mitra tutur sudah sama-sama mengetahui bahasa yang digunakan.

(5) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18)

Data (5) merupakan percakapan antara penjual (penutur) dengan mitra tuturnya (pembeli) dalam suasana jual beli. Dalam data (5) ini terlihat kedua partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti alur pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan penutur (PJ) yang telah dicetak tebal yakni, “Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik?” (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) mempertegas bahwa penutur sangat menguntungkan mitra tutur (pembeli). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (5) ini ingin menjelaskan bahwa tuturan penutur tersebut merupakan sebuah keuntungan yang didapat oleh mitra tutur. Dapat dilihat penutur (PJ) memberikan keuntungan kepada mitra tutur (PB) dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal. Hal ini terlihat sangat

menguntungkan mitra tutur. Sehingga mitra tutur dapat membeli dua pasang sandal dengan harga yang lebih murah, seperti yang sudah dituturkan oleh penutur. Ekspresi tanggapan mitra tutur juga terlihat puas dan senang. Oleh karena itu, tuturan tersebut dinilai santun karena tuturan penutur memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya. Tuturan (5) menjadi tidak santun apabila penutur memaksakan mitra tuturnya (PB) untuk membeli dagangannya sesuai dengan harga tinggi yang diinginkannya tanpa memperhitungkan penawaran dari mitra tutur sehingga hal tersebut dapat merugikan mitra tuturnya. Dan tidak santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur tidak ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah pembicaraan yang tengah berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan guna menghormati seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun tidaknya sebuah tuturan juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan sapaan yang sudah tepat dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah tuturan. Namun apabila sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan tuturan akan jelas terjadi.

Data tuturan (5) ini, sapaan “Pak” tepat digunakan untuk penutur yang adalah

seorang laki-laki dewasa dan sapaan “Dik” tepat digunakan untuk sapaan mitra tutur yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan-sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain Sapaan-sapaan, penggunaan campur kode juga terlihat dari data (5) ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa Jawa Krama identik dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari tanggapan mitra tutur (PB) yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama. Hal

ini lebih membuktikan dan menegaskan bahwa selain menguntungkan mitra tuturnya, penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya.

(6) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem arek piro?

(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini enam mau berapa?)

PB1: Hah?

PJ1: Arek enem arek piro to kaose? (Mau berapa kaosnya?)

PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro. (Eee... Iya yang itu dua) PJ2: Sing endi? Oren? (Yang mana? Jingga?) PB1: Sing ngene iki piro? (Yang begini ini berapa?) PJ1: Telu lima

(Tiga lima)

PB1: Ki telungatus pas ya? (Ini tiga ratus pas ya?)

PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah)

(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)

PB1: Ndelok gambare aku. (Lihat gambarnya aku)

PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku. (Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya) PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.

(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak) PJ1: Wis?

(Sudah)

PJ2: Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1: Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua)

PB2: Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!)

PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1: Lha iyo lima dua ratus to!

PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak)

PJ2: Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos dagadu kepada pembeli. Data diambil dari dua penutur dan dua mitra tutur. Keduanya saling tawar-menawar. Penutur adalah laki-laki dewasa dan wanita dewasa, sedangkan mitra tutur adalah wanita muda dan wanita dewasa. Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)

Data (6) merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur saat bertransaksi jual beli. Pada tuturan (6) tersebut mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan yang diucapkan oleh penutur, baik penutur pertama maupun penutur yang kedua. Mitra tutur menganggap penutur sangat menyindir mitra tutur melalui tuturan yang terucap dan hal itu mengakibatkan diri mitra tutur merasa sangat dirugikan. Dapat dilihat pada tuturan di atas, ada banyak sekali tuturan penutur yang merugikan diri mitra tutur, hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan seperti ini Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki” (sambil marah-marah), Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (nada keras). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan tersebut membuat mitra tutur tersinggung dan menyebabkan mitra tutur menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat

dirugikan dengan tuturan si penutur. Tuturan dari data (6) memperlihatkan bahwa tuturan penutur sangat tidak layak digunakan dalam konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Data (6) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko. Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (6) ini juga menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan kata pink dalam tuturan si mitra tutur (pembeli). Memang suasana komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa