• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR BAGAN

TIDAK SANTUN (dirugikan)

4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(11) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini. PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya. PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu) PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa.

(Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu) PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh PB : Ini?

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e.

(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu? PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang dompet kepada pembeli. Penutur adalah orang dewasa berjenis perempuan, sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. PJ dan PB sama-sama berjenis kelamin perempuan. Hanya usia saja yang membedakan di antara keduanya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sedang memberikan pilihan-pilihan atas dagangannya kepada PB). (DT 6)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, akan tampak sebagai berikut.

Data (11) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PJ) terhadap mitra tutur (PB) dalam sebuah percakapan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. Penutur memberikan banyak pilihan atas dagangannya kepada mitra tutur seperti pada tuturan berikut, “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur menginginkan sebuah dompet yang harganya murah. Oleh karena itu, penutur memberikan pilihan-pilihan mengenai harga dagangannya. Dengan banyaknya pilihan yang diberikan penutur, mitra tutur akan mengetahui dan memikirkan dompet mana yang akan ia beli sehingga pemahaman tuturan atas keduanya terjalin dengan baik. Maka, data (11) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Mbak” yang diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Sapaan tersebut sudah sesuai

digunakan karena dapat kita ketahui bahwa mitra tutur lebih muda dari penutur. Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan penutur memang pantas menyapa mitra tutur dengan sapaan

“Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih tua dari mitra tutur. Begitu juga

sebaliknya, mitra tutur tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada penutur yang

memang lebih tua dari mitra tutur. Dari hasil data (11) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Campur kode ini terlihat pada tuturan penutur yang menggunakan kata iki, sik, dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, mitra tutur tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia.

(12) PB : Ini double? PJ : Ini double XL

PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? PJ : Ini ada yang XL?

PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB : Tiga tahun, ya laki-laki PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba.

PJ : Desainnya sama? PB : Ini tadi kan? PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. PJ : Iya

PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? PJ : L

PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini. PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya?

Yang ini gambarnya apa? PJ : Gambarnya sama

PB : Coba buka aja gambarnya apa. PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PB : Yang L juga. PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?

PJ : Jadinya 150

PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah. PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain. PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan-pilihan ukuran kaosnya kepada PB). (DT 13)

Data (12) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara penjual kaos dengan mitra tuturnya memiliki nilai kesantunan yang baik. Hal ini ditunjukkan pada tuturan penjual (penutur) yang memberikan banyak pilihan kaos kepada pembelinya seperti berikut, “Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan penutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si mitra tutur (PB) sehingga mitra tutur dapat memilih dagangan si penutur dengan leluasa. Penutur dengan lihai dan bersemangat memberikan pilihan-pilihan kaos dagangannya kepada mitra tutur.

Karena kelihaiannya, mitra tutur jadi merasa nyaman saat transaksi jual beli berlangsung. Hingga pada akhirnya, mitra tutur (PB) membeli dagangan penutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu, jadi data tuturan (12) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada data tuturan di atas bahwa penutur memberikan pilihan-pilihan dagangannya kepada mitra tutur. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah pembicaraannya. Penjual (penutur) dan pembeli (mitra tutur) adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya

menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah

tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat dalam percakapan data (12) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data (12) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang

menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (12) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (12) ini.

(13) PJ : Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?

PJ : (mengangguk) Yang mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dek.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB). (DT 19)

Data (13) merupakan tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya. Dalam data tuturan ini, penutur (PJ) memberikan pilihan-pilihan mengenai ukuran beserta harganya kepada mitra tutur (PB). Bahkan penutur memberikan pilihan bahwa harga dari dagangannya masih bisa dikurangi. Tuturan penutur dapat dipaparkan sebagai berikut, “Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur pun dapat memilih dagangan penutur dan memberi tanggapan baik atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh penutur. Oleh karena itu, data (13) ini dapat digolongkan sebagai tuturan yang santun. Tuturan tersebut terlihat santun juga dilihat dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-baik saja dan

berjalan dengan lancar. Komunikasi yang lancar ini terjadi karena penutur dan mitra tutur mengerti alur pembicaraan mereka. Dapat dibuktikan pada data tuturan (13) di atas bahwa transaksi jual beli berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil (mitra tutur dapat memilih serta membeli dagangan penutur dengan baik). Sapaan yang digunakan dalam data tersebut di atas dirasa sudah tepat. Sapaan

“Bu” tepat ditujukan pada penutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa

dan sapaan “Dik” juga dirasa tepat digunakan pada mitra tutur yang notabene

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan yang digunakan sudah tepat dan layak digunakan dalam transaksi jual beli di atas. Penggunaan

sapaan yang kurang tepat apabila mitra tutur memberikan sapaan “Dik” kepada

penutur yang jauh lebih tua darinya. Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan ketidaksantunan dalam komunikasi yang terjalin. Pada data (13) ini juga timbul campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada kata iki yang dalam bahasa Indonesianya berarti ini. Penggunaan campur kode dalam data ini tidak mengubah maksud dari tuturan yang terjadi. Jadi, walaupun terdapat campur kode bahasa Jawa, tuturan (13) tetap tergolong dalam tuturan yang santun.

(14) PB: Umur lima tahun

PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras)

(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik)

PB: Berapa ini?

PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.

(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya)

PJ: Telung puluh ya? (Tiga puluh ribu ya?)

PB: Dua lima aja ya?

PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali!

(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada PB). (DT 28)

Data (14) menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan. Hal ini dikarenakan penutur (PJ) mengharuskan mitra tutur (PB) untuk membeli dagangan penutur dengan pilihan yang seadanya saja, sehingga mitra tutur tidak dapat memilih dagangan PJ dengan leluasa dan sesuai dengan keinginannya. Analisis tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan penutur berikut ini, Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane”. Penekanan kata „nyoh dalam tuturan inilah yang menimbulkan efek keharusan mitra tutur untuk membeli dagangan penutur tanpa adanya pilihan-pilihan lain yang sesuai dengan keinginan mitra tutur (PB). Penutur hanya memberikan pilihan seadanya saja (tidak banyak) kepada mitra tutur. Ketidaksantunan terjadi pula pada tuturan penutur yang terlihat kasar kepada mitra tutur seperti, Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le” (nada keras). Tuturan tersebut

dirasa tidak santun karena tuturan penutur dengan penekanan „Iki delokken sik.

Ora diwolak-walik, Le‟ menimbulkan efek yang tidak baik terhadap diri mitra tutur (PB). Penutur menuturkan kalimat tersebut dengan nada keras dan tinggi,

serta raut wajah yang „sinis‟ dan jutek (tidak enak untuk dipandang). Mitra tutur

yang awalnya ingin memilih-milih dagangan PJ kini hanya dapat melihat saja. Karena tuturan penutur (PJ) yang melarang mitra tutur (PB) untuk memilih-milih dagangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur yang mengatakan

Ora diwolak-walik, Le‟. Pernyataan seperti inilah yang membuat mitra tutur tidak leluasa memilih dagangan si penutur (penjual). Agar tuturan pada data (14) menjadi santun, kata-kata yang terlihat kasar dan kurang tepat digunakan diganti dengan kata-kata yang sopan. Misalnya, „anane iki nyoh‟ diubah menjadi „maaf, warnanya tinggal ini saja, yang lain sudah habis‟ dan „iki delokken sik‟ diubah

menjadi „mungkin ini bisa dilihat dulu, siapa tahu cocok‟. Dengan diubah seperti

itu, akan telihat sopan dan dapat menghargai mitra tutur yang ingin membeli

dagangan si penutur. Tuturan penutur, „Ora diwolak-walik, Le‟ lebih baik

dihilangkan saja, karena tuturan tersebut dianggap tidak layak dan tidak pantas untuk dituturkan kepada seorang konsumen (mitra tutur). Dari data (14) di atas,

penggunaan sapaan “Bu” yang ditujukan untuk diri penutur sudah tepat karena

penutur adalah seorang ibu-ibu jadi pantas dan tepat untuk disapa “Bu”. Hal ini

juga dilihat bahwa mitra tutur sangat menghormati diri penutur yang notabene lebih tua darinya. Oleh karena itu, mitra tutur tepat memberikan sapaan tersebut kepada penutur. Berbeda dengan penutur yang kurang tepat dalam memberi

sapaan kepada diri mitra tutur. Sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole

diberikan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang anak-anak dengan jenis kelamin laki-laki. Sapaan tersebut dirasa kurang santun dan kurang tepat digunakan untuk menyapa seorang pembeli. Memang mitra tutur hanyalah

seorang anak laki-laki, akan tetapi seharusnya penutur yang usianya jauh lebih tua dari mitra tutur dapat menyapa mitra tutur dengan sapaan yang terlihat lebih

sopan. Sapaan “Le” biasanya digunakan seorang ibu kepada anak laki-lakinya dan

itu terlihat adanya suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan dalam transaksi jual beli ini tidak ada hubungan kedekatan yang intim antara penutur (PJ) dengan

mitra tutur (PB). Jadi, sapaan “Le” yang ditujukan penutur kepada mitra tutur

dianggap kurang tepat. Agar sapaan tersebut menjadi sopan dan terlihat pas,

sapaan “Le” dapat diganti dengan “Dik”. Sapaan “Dik” terlihat lebih sopan dan

lebih layak digunakan daripada sapaan “Le”. Lain halnya dengan penggunaan

sapaan, data tuturan (14) terdapat pula adanya campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Contoh campur kode bahasa Jawa Ngoko dalam data tuturan ini dapat dilihat pada tuturan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode ini tidak merubah maksud dari pertuturan tersebut di atas. Hal ini dikarenakan kedua patisipan tutur mengerti dan paham akan arah tuturan mereka. Kedua partisipan tutur tersebut juga tidak merasa kesulitan dalam hal memahami penggunaan bahasa yang digunakan satu sama lain. Sehingga pertuturan antara penutur dengan mitra tutur berjalan dengan baik.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

TABEL 4

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA