• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta

DAFTAR BAGAN

PEMAKAIAN GAYA BAHASA

4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta

Data yang kedua ini berbeda dengan data yang pertama. Data kedua ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra tutur adalah penjualnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis

penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan mengenai pendapat Leech (1983:123) tentang lima skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan. Lima skala tersebut terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri atas (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan adanya penggunaan tiga hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini. Dengan menggunakan sapaan, dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak digunakan sudah dapat dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan ketiga skala kesantunan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur. Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan. Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(27) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini. PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya. PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu) PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa.

PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh PB : Ini?

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e.

(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu? PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB sedikit merayu PJ dan hal tersebut dapat menguntungkan mitra tuturnya). (DT 6)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan tampak sebagai berikut.

Data (27) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PB) terhadap mitra tutur (PJ) dalam sebuah percakapan. Penutur (PB) merayu mitra tutur (PJ) dengan ingin memberi barang dagangan mitra tutur dalam jumlah lebih dari satu namun mitra tutur (PJ) diharapkan memberikan pengurangan harga. Tuturan penutur (PB) yang sedikit merayu mitra tutur (PJ) ini dapat menguntungkan diri mitra tutur (PJ) karena penutur (PB) membeli dagangan si mitra tutur lebih dari satu. Terlihat dari percakapan data tuturan (27) di atas, kedua partisipan tutur memiliki pemahaman yang baik atas tuturan yang tengah dilakukan. Kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Maka dari itu, data (27) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Bu” yang diucapkan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ). Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita

ketahui bahwa penutur (PB) lebih muda dari mitra tutur (PJ). Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur memang pantas menyapa penutur dengan sapaan “Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih muda dari mitra tutur. Begitu juga sebaliknya, penutur

tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada mitra tutur yang memang lebih tua dari

penutur. Dari hasil data (27) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur (PJ) kepada penutur (PB). Campur kode ini terlihat pada tuturan mitra tutur yang menggunakan kata iki, sik,

dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, penutur

tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia. (28) PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik. PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan. PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun

(Terima kasih)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang). (DT 17)

Terlihat dari percakapan data (28) yang terjadi, penutur (PB) memberikan keuntungan pada mitra tutur (PJ) dengan menyetujui tambahan harga yang diberikan oleh mitra tutur (PJ). Penutur menambahkan uang sesuai dengan harga penawaran yang diberikan oleh si mitra tutur (PJ). Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur (PB) yang menguntungkan mitra tutur (PJ) dengan menyetujui dan menambah uang sesuai penawaran dari mitra tutur seperti berikut

ini, Iya dua ribu, gak ada lima ratusan. Mitra tutur (PJ) memberikan penawaran harga kepada penutur (PB) dengan menambahkan dua ribu lima ratus pada dagangan yang telah dipilih oleh penutur, namun penutur hanya menambahkan uang sebesar dua ribu rupiah saja. Akan tetapi dilihat dari tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB), hal tersebut sudah menguntungkan diri mitra tutur. Walaupun lima ratus rupiahnya tidak diberikan kepada mitra tutur, dapat dilihat bahwa mitra tutur (PJ) sudah merasa diuntungkan oleh si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Selain itu kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, data (28)memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data

tuturan (28) ini. Sapaan “Dik” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur

yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan dan sapaan “Bu”

dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan (28) ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, mitra tutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si penutur memberi tanggapan atas tuturan mitra tutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan

sebagai berikut, mitra tutur mengatakan Iyo wes gak apa-apa yang kemudian ditanggapi oleh penutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko,

Suwun. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ).

(29) PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang. Dek. Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?

PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan harga tawaran PB). (DT 19)

Data (29) merupakan tuturan yang diucapkan antara penjual dengan pembeli. Ditekankan bahwa pembeli yang notabene adalah sebagai penutur menuturkan tuturan yang dirasa santun kepada mitra tutur (PJ). Hal ini dikarenakan tuturan penutur (PB) sangat menguntungkan diri mitra tutur (PJ). Keuntungan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur dapat dicermati dalam tuturan penutur sebagai berikut, Yang besar tiga lima ya, Bu?. Tuturan penutur (PB) tersebut dirasa memberikan keuntungan bagi si mitra tutur karena pada tuturan mitra tutur (PJ) yang sebelumnya, si mitra tutur (PJ) menjelaskan mengenai harga-harga barang dagangannya kepada penutur kemudian penutur (PB) menawar dagangan si mitra tutur dengan hanya mengurangi lima ribu rupiah saja dari harga awal yang sebesar empat puluh ribu rupiah, jadi penutur (PB) menawar harga dagangan mitra tutur (PJ) dengan sebesar tiga puluh lima ribu rupiah saja. Hal inilah yang dirasa penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Pengurangan harga yang sedikit tersebut tetap membuat diri mitra (PJ) tutur merasa untung dalam transaksi jual belinya dengan penutur. Oleh karena itu,

walaupun penutur (PB) menawar harga dagangan si mitra tutur, namun tuturan yang diucapkan penutur kepada mitra tutur (PB) tetap menguntungkan diri di mitra tutur. Hal ini juga terlihat dari mitra tutur (PJ) yang memberikan tanggapan baik kepada si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Selain tuturan penutur yang terlihat dalam percakapan di atas, penggunaan kata sapaan juga terlihat di dalamnya. Penutur (PB) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan

tepat diberikan sapaan “Dik” oleh mitra tutur. Dan juga mitra tutur (PJ) yang

notabene adalah seorang wanita dewasa tepat diberikan sapaan “Bu” oleh penutur,

karena penutur memang jauh lebih muda dari mitra tutur. Tetap pada data tuturan (29) namun beralih pada penggunaan campur kode yang ternyata juga terdapat dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan dalam data tuturan ini adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Kedua bahasa itu digunakan oleh mitra tutur (PJ) dalam bertransaksi jual beli dengan penutur (PB). Berbeda dengan penutur (PB) yang tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Campur kode yang digunakan dalam data tuturan (29) ini tidaklah memengaruhi maksud dan tujuan penutur dan mitra tutur dalam bertransaksi jual beli di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Jadi, data tersebut tetaplah masuk ke dalam kategori tuturan yang santun.

(30) PB : Berapaan? Nawar ya, Pak? PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.

PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu) PJ : Jadiinya tadi dua...

PB : Dua ratus sepuluh

(PB menyerahkan uang ke PJ) PJ : Uang kembali...

PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB) PJ : Ini, makasih ya.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memperlihatkan rasa kecewa dan merasa dirugikan terhadap tuturan PJ sehingga dapat dilihat dari tuturannya, PB terlihat marah. Seharusnya walaupun PB merasa kecewa atau dirugikan tidak berkata demikian). (DT 2)

Data (30)merupakan percakapan antara penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi jual beli kaos dagadu di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Pada tuturan (30) tersebut, si pembeli yang sebagai penutur tampak tidak terima dengan tuturan si mitra tutur yang secara langsung memberikan harga pas pada dagangannya. Mitra tutur (PJ) tidak memberikan kesempatan penutur (PB) untuk menawar dagangan si mitra tutur terlebih dahulu. Mitra tutur (PJ) langsung memberikan harga pas sesuai dengan keinginannya sendiri. Penutur (PB) terlihat kecewa namun walaupun kecewa terhadap tuturan si mitra tutur (PJ) seharusnya penutur tidak bertutur kata demikian. Tuturan yang diucapkan penutur dinilai tidak santun dan tidak layak untuk dituturkan. Karena tuturan penutur (PB) terlihat terpaksa dan terlihat berat untuk membeli dagangan si mitra tutur (PJ). Ditambah dengan gaya tutur yang menggerutu. Gaya tutur ini dirasa kurang sopan karena dengan begitu akan memperlihatkan bahwa penutur (PB) tidak memiliki wibawa dan sopan santun saat berkomunikasi dengan orang lain yang tengah diajak berkomunikasi. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan penutur (PB) berikut ini, Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!” (sambil menggerutu). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Oleh karena itu, tuturan yang diucapkan penutur

(PB) dirasa tidak santun untuk dituturkan dalam komunikasi transaksi jual beli. Dalam sebuah komunikasi sudah pasti menggunakan kata sapaan untuk saling menghormati satu sama lain, baik penutur maupun mitra tutur. Pada data (30) ini sapaan yang digunakan sudah jelas dan tepat untuk digunakan dalam komunikasi.

Penutur (PB) tepat memberikan sapaan “Pak” kepada mitra tutur yang notabene

adalah seorang laki-laki dewasa. Begitu pula dengan mitra tutur (PJ) yang tepat

dan pas memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur (PB) yang notabene

adalah seorang wanita tengah baya. Sapaan yang diberikan mitra tutur kepada penutur sudah tepat karena penutur (PB) lebih muda dari si mitra tutur. Selain penggunaan sapaan, dari data (30) di atas terdapat pula campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi terdapat satu tuturan penutur (PB) yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Ya wis iki wae, inilah contoh tuturan penutur yang menggunakan campur kode bahasa Jawa Ngoko yang dituturkan oleh si penutur (PB).

(31) PJ2: Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1: Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua)

PB2: Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!)

PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1: Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!) PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak)

PJ2: Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!)

PB1: Tambahi piro to? (Tambah berapa?)

PJ1: Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae. (Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja) PB1: 2.000 ya?

PJ1: Ya Allah...

PB1: Pun niki (sambil merengek) (Sudah ini)

PJ1: Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.

(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak)

PB1: Iya. Enem wae susuk lima ribu. (Iya. Enam saja kembalian lima ribu)

PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)

(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok).

PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu. (Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju) PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro!

(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua) PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel)

(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada) PJ2: Selawe loro, sing ngene no!

(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)

PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa)

(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L)

PB1: Ngge langganan lho, Pak. (Buat langganan, Pak)

PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh

gedhe cilik tak kek‟i.

(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)

Data (31) merupakan tuturan dari seorang penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Pada tuturan (31) ini penutur (PB) merugikan si mitra tutur (PJ). Penutur (PB) memaksa si mitra tutur (PJ) untuk memberikan barang dagangannya sesuai dengan keinginan dan penawaran si penutur (PB). Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat sebagai berikut ini, Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok

(sambil marah-marah) dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L” (marah-marah dan sedikit memaksa). Tuturan ini memperlihatkan penutur (PB) yang tengah emosi, sehingga tuturan yang terucap menjadi kasar dan tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ). Apalagi penutur mengucapkan tuturan itu dengan memaksa. Tuturan tersebut membuat mitra tutur (PJ) tersinggung dan menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan dengan tuturan si penutur. Selain itu suasana pertuturan yang tidak harmonis ini selain mitra tutur (PJ) yang merasa dirugikan oleh penutur (PB), juga disebabkan karena tuturan penutur (PB) yang kasar dan memaksa. Tuturan dari data (31) memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) sangat tidak layak digunakan dalam

konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur (PJ) menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Tuturan penutur (PB) seperti inilah yang tergolong tuturan tidak santun. Data (31) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko. Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (31) ini juga menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan kata pink dalam tuturan si penutur (pembeli). Memang suasana komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan penutur (PB) membuat mitra tuturnya (PJ) marah dan merasa dilecehkan. Penggunaan bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang memang layak digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua. Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan,

yakni sapaan “Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene

adalah seorang wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama

dan pembeli kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa),

dan yang terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang

notabene adalah seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari penggunaan sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena

sangat jelas terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB) dapat merugikan diri mitra tuturnya (PJ).

(32) PB : Empat puluh ya?

PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju) PB : Berarti sama ya ini?

PJ : Beda, Bu

PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu? PJ : (menunjukkan bajunya)

PB : Ini paling gede? PJ : Iya L

PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama? PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa

mengejek)

PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun. Selain marah karena tuturan dari PJ yang mengejek, tuturan PB juga terlihat memaksakan PJ untuk menyamakan harga dagangannya. Hal itu dinilai merugikan mitra tuturnya). (DT 14)

Data (32) memperlihatkan bahwa tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) ternyata merusak suasana komunikasi jual beli. Penutur (PB) yang marah akibat tuturan mitra tutur (PJ) yang mengejek, menanggapi dengan tuturan yang dinilai tidak patut untuk dituturkan. Ini efek dari tuturan si mitra tutur (PJ) sebelumnya yang merugikan diri si penutur (PB). Akan tetapi terlepas dari itu, tidak seharusnya penutur (PB) menanggapi tuturan mitra tutur dengan tuturan yang memaksa. Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat seperti berikut ini, “Harusnya samalah!” (nada memaksa dan langsung pergi). Penutur seolah-olah tidak memperdulikan mitra tutur. Tuturan penutur tersebut memaksakan si mitra tutur (PJ) untuk menyamakan harga dagangan sesuai dengan penawaran si penutur (PB) tanpa memperdulikan penawaran yang telah diberikan oleh mitra tutur. Tuturan penutur (PB) ini masuk ke dalam kategori tuturan yang tidak santun

karena merugikan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan (32) ini, penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) sama-sama seorang wanita dewasa. Maka, sapaan “Bu”

tepat digunakan dalam percakapan di atas. Jika dilihat dari penggunaan sapaan ini, keduanya saling menghormati satu sama lain, namun memang dalam percakapan tersebut antara penutur dengan mitra tutur tidak dapat mengontrol emosi masing-masing sehingga dalam bertransaksi jual beli, baik penutur mapun mitra tutur sama-sama menuturkan tuturan yang saling merugikan satu sama lain. Dalam data