• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA UNTUNG-RUGI

DAFTAR BAGAN

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA UNTUNG-RUGI

TABEL 10

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA UNTUNG-RUGI

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA UNTUNG-RUGI SANTUN (diuntungkan) TIDAK SANTUN (dirugikan) 1. Analisis 27 DT 6 2. Analisis 28 DT 17 3. Analisis 29 DT 19 4. Analsis 30 DT 2 5. Analisis 31 DT 3 6. Analisis 32 DT 14 7. Analisis 33 DT 21 8. Analisis 34 DT 34

4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(35) PB: Ini double? PJ : Ini double XL

PB: Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? PJ : Ini ada yang XL?

PB: XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB: Tiga tahun, ya laki-laki PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba.

PJ : Desainnya sama? PB: Ini tadi kan? PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. PJ : Iya

PB: Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? PJ : L

PB: L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PB: Double XLnya gak ada?

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.

PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini gambarnya apa?

PJ : Gambarnya sama

PB: Coba buka aja gambarnya apa. PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PB: Yang L juga. PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?

PJ : Jadinya 150

PB: Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah. PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain. PB: Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB: Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ). (DT 13)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala pilihan, akan tampak sebagai berikut.

Data (35) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara penjual kaos dengan pembelinya memiliki nilai kesantunan yang baik. Penjual yang notabene sebagai mitra tutur memberikan banyak pilihan kepada si penutur (PB). Dengan diberikannya pilihan-pilihan atas dagangan si mitra tutur, penutur (PB) dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan mitra tutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si penutur (PB) sehingga penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan leluasa. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tuturan si penutur yang memberikan tanggapan baik (dapat memilih) kepada mitra tutur sebagai berikut,

Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. Suasana yang baik dan nyaman dibangun antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) mitra tutur dalam komunikasi transaksi jual beli. Suasana yang

menyenangkan dan nyaman membuat si penutur (PB) membeli dagangan mitra tutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu, jadi data tuturan (35) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada data tuturan di atas bahwa si mitra tutur (PJ) memberikan pilihan-pilihan dagangannya kepada si penutur (PB). Dan penutur pun menanggapi dengan baik dan penutur (PB) dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan nyaman dan leluasa. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah pembicaraannya. Pembeli (penutur) dan penjual (mitra tutur) adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan

“Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur

dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat dalam percakapan data (35) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data (35) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini

sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (35) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (35) ini.

(36) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1)

Data (36) memperlihatkan bahwa pembeli (penutur) sedang melakukan transaksi jual beli dengan penjual (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli yang dilakukan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) berjalan dengan baik dan lancar. Mitra tutur (PJ) dapat mengerti apa yang diinginkan oleh penuturnya

(PB) saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (36) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur diberikan keuntungan oleh mitra tutur (penjual) dengan dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan baik dan leluasa. Diberi keuntungan oleh mitra tutur, si penutur (PB) pun memberikan tanggapan baik kepada si mitra tutur. Penutur bertutur kata dengan menekankan pada tuturannya yakni, Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya). Penutur (PB) dapat memilih dagangan mitra tutur (PJ) dengan enak dan nyaman. Hal ini dapat dilihat pada bukti tuturan yang telah dicantumkan di atas. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, tuturan ini termasuk ke dalam kategori tuturan yang santun. Santunnya tuturan data (36) juga ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan

penutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Sedangkan sapaan

“Mas” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (penjual) yang notabene adalah

seorang laki-laki tengah baya. Data (36) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris

dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di dalam data (36).

(37) PB: Ini berapa? PJ : Empat puluh

PB: Gambare mana lagi? PJ: Gambarnya ini aja!

PB: Gambar ceweknya gak ono?

PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu!

PB: Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas (merengek) PJ : Yang L ya?

PB: Iya

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB tidak dapat memilih dagangan PJ). (DT 32)

Data (37) merupakan tuturan antara penutur (PB) dengan mitra tutur (PJ). Data ini menunjukkan ketidaksantunan penutur (PB) terhadap diri mitra tutur (PJ) dalam sebuah komunikasi jual beli. Dalam hal ini, penutur (PB) tidak dapat memilih dagangan si mitra tutur (PJ). Karena mitra tutur tidak memberikan pilihan sama sekali kepada penutur (PB). Inilah bukti tuturan penutur (PB) yang dianggap kurang santun, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas” (merengek). Penutur (PB) menginginkan adanya pilihan-pilihan atas dagangan mitra tutur, namun mitra tutur sama sekali tidak memberikan pilihan-pilihan mengenai dagangannya kepada si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan

suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan yang diucapkan penutur juga dianggap tidak sopan. Hal ini dikarenakan penutur menuturkan tuturan tersebut dengan merengek. Gaya penuturan dengan merengek dinilai sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan. Karena melihat penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan lebih dewasa dari si mitra tutur tidak sepantasnya merengek seperti itu kepada mitra tutur (PJ). Hal itu dirasa tidak pantas dan tidak sopan. Pada data tuturan (37) ini terlihat penutur dan mitra tutur menggunakan sapaan dalam berkomunikasi satu sama lain. Penutur (PB) tepat

disapa “Bu” oleh mitra tutur (PJ) karena melihat bahwa si penutur adalah seorang wanita dewasa. Dan mitra tutur (PJ) tepat disapa “Mas” oleh penutur karena

melihat bahwa si mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Dalam data tuturan ini, penggunaan sapaan di antara kedua partisipan tutur itu sudah dirasa tepat digunakan dalam berkomunikasi. Selain itu, campur kode juga terdapat dalam data tuturan (37) ini. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngokolah yang digunakan dalam percakapan tersebut di atas. Memang sekilas percakapan itu terlihat menggunakan bahasa Indonesia saja, namun dalam tuturan si penutur terdapat campur kode bahasa Jawa Ngoko seperti kata gak ono.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

TABEL 11

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA