• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI PENYERTAAN MODAL DI KOPERASI

E. Struktur Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang

Dengan penerapan PBI Nomor : 11/ 28 /PBI/2009 ini diharapkan dapat mencegah pihak-pihak lain yang ingin berupaya menggunakan perbankan sebagai sarana masuknya uang hasil kejahatan dan sebagai pendukung kegiatan untuk memberantas dan mencegah terjadinya tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan melibatkan berbagai komponen yaitu: pihak pelapor (reporting parties-Penyedia jasa keuangan), pengawas & pengatur industr keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, PPATK, aparat penegak hukum (Kepolisian Kejaksaan dan Peradilan) serta pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komit Koordinasi TPPU, Publik, lembaga internasional dan instansi terkait dalam negeri seperti Komis Pemberantasan

96

Penerapan prinsip customer due diligence ini merupakan salah satu cara memberantas dan mencegah bentuk kejahatan yang berhubungan dengan uang pada perbankan di Indonesia. Penerapan peraturan ini secara umum adalah untuk menghindari sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh FATF sebagai Non-Cooperative Countries and Teritories dan masuk dalam daftar black list apabila tidak menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme tersebut.

97 Rikcar G.B. Pakpahan, Tesis : Implementasi Prinsip Custumer Due Dilligence pada Operasional Bank Umum sebagai Upaya Pencegahan Kejahatan Pencucian Uang di Indonesia

Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Kehutanan dan sebagainya. Di bawah ini diuraikan secara singkat peran, tugas dan tanggung jawab setiap komponen tersebut.

1.Pihak Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties)

UU TPPU mendefinisikan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodion, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pension, perusahaan asuransi, dan kantor pos. PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa laporan transaki keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai di atas Rp.500 juta sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU TPPU.

2. Pengawas dan Pengatur Industri Keuangan a. Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah bank sentral yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan kebijakan moneter, memelihara dan mengatur sistem pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, sesuai UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap bank

(Bank Umum dan BPR). Sebagai pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan anti-money laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan KYC principles.

Sesuai dengan amanat Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengalihan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK akan dilaksanakan terhitung mulai tanggal 31 Desember 2013. Mengingat masa transisi yang relatif singkat maka untuk mendukung kelancaran dan efektivitas proses pengalihan fungsi pengawasan bank tersebut, Bank Indonesia telah melakukan berbagai persiapan untuk pengalihan fungsi tersebut melalui Task Force Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank ke OJK (Task Force OJK) terdiri dari 158 orang. Pengawasan Bank bertindak sebagai Pengarah Proyek untuk memantau secara intensif progress kerja Task Force dimaksud.98

Pelaksanaan tugas Task Force OJK di Bank Indonesia mengemban misi Bank Indonesia agar proses pengalihan fungsi pengawasan Bank dapat berjalan lancar agar tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam kegiatan pengaturan, perizinan dan pengawasan bank untuk menghindari kemungkinan terjadinya gangguan pada sistem perbankan/keuangan termasuk di internal pengawasan bank. Sampai dengan tahun 2013, pelaksanaan tugas Task Force tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut: 99

Di bidang pengawasan bank, hal-hal yang telah dilakukan dan disampaikan kepada OJK adalah:

98

laporan deputi gubernur bidang 3 bank indonesia dalam serah terima pengawasan mikroprudensial bank dari bank indonesia kepada otoritas jasa keuangan 31 desember 2013

99 Ibid.

i. Kompilasi seluruh pedoman pengawasan bank dalam bentuk buku yang menceritakan seluk beluk fungsi pengawasan, pengaturan dan perijinan;

ii. Menyempurnakan standard operating procedure (SOP) pengawasan bank untuk digunakan dalam masa transisi s.d. Desember 2013 serta menyusun draft SOP dengan nomenklatur yang telah disesuaikan dengan rancangan struktur organisasi kompartemen perbankan di OJK;

iii. Menyusun rekomendasi struktur organisasi sektor perbankan termasuk struktur yang dapat digunakan pada saat OJK menerapkan integrated supervision. Dalam kaitan dengan integrated supervision ini juga telah dilakukan pemetaan terhadap struktur konglomerasi perbankan Indonesia;

iv. Menyusun mekanisme pengalihan pengawasan Badan Kredit Desa (BKD) dari BI melalui BRI ke OJK

v. Mereview Memorandum of Understanding yang berlaku antara BI dengan berbagai lembaga terkait a.l. PPATK, LPS, BPK, KPK, dan sebagainya, termasuk otoritas pengawasan di luar negeri (cross border superivision) dan selanjutnya menyusun draft Memorandum of Understanding yang akan dilanjutkan oleh OJK. 100

Di bidang pengembangan, pengaturan dan perizinan bank, Bank Indonesia telah melakukan hal-hal berikut:

100 Ibid.

i. Mengkompilasi seluruh daftar ketentuan Bank Indonesia (makroprudensial, mikroprudensial dan bauran) untuk pengaturan, perijinan dan pengembangan perbankan termasuk yang nantinya dinyatakan masih berlaku di OJK sampai dengan dilakukannya perubahan/ pencabutan oleh OJK.

ii. Mengkompilasi data/informasi maupun hal-hal strategis lainnya di bidang pengawasan, pengaturan dan perizinan untuk keperluan serah terima ke OJK. iii. Menyusun Proposal Peraturan Pemerintah mengenai pungutan OJK ke Sektor

Jasa Keuangan.

iv. Menyusun position paper untuk penerapan integrated supervision. Position paper ini telah dipresentasikan kepada Dewan Komisioner OJK pada 11 Desember 2013.

Di bidang organisasi, Bank Indonesia telah menyiapkan struktur organisasi Kompartemen Pengawasan Bank di Kantor Pusat terdiri dari 9 Departemen, 6 Kantor Regional Pengawasan Bank, 29 Kantor Cabang Pengawasan Bank yang diterapkan sejak tanggal 1 Agustus 2013. Pembentukan Kantor Regional dan Kantor Cabang Pengawasan Bank merupakan mirroring fungsi pengawasan bank yang akan dilakukan oleh OJK di daerah mulai hari ini. Selain itu, untuk pelaksanaan tugas Bank Indonesia pasca-pengalihan fungsi pengawasan bank ke OJK juga dibentuk organisasi baru di bank Indonesia antara lain yaitu Departemen Kebijakan Makroprudensial dan Departemen Surveillance Sistem Keuangan yang akan menjadi partner langsung bagi OJK dalam koordinasi makro-mikroprudensial

Di bidang sumber daya manusia, Bank Indonesia telah mempersiapkan pegawai Bank Indonesia yang akan ditugaskan ke OJK sebanyak 1150 pegawai dari total 1269 pegawai Bank Indonesia yang bekerja di sektor perbankan dan total 5819 pegawai organik Bank Indonesia. Jumlah tersebut termasuk 78 pegawai yang telah ditugaskan sejak 1 Januari 2013 untuk membantu bekerjanya Organisasi Support/Shared Function di awal beroperasinya OJK pada bidang SDM, TI, Logistik, Hukum, Keuangan dan Edukasi dan Perlindungan Konsumen dan 16 pegawai sebagai Ketua/Anggota Tim Transisi OJK Tahap II khusus bidang Pengaturan dan Pengawasan Perbankan.

Di bidang sistem informasi, Bank Indonesia telah melakukan pemetaan seluruh sistem informasi serta infrastruktur teknologi infromasi di Bank Indonesia termasuk aplikasi yang akan digunakan oleh OJK atau Bank Indonesia ataupun bersama-sama. Selain itu Bank Indonesia bersama-sama dengan OJK juga sedang menyiapkan infrastruktur jaringan dan teknologi informasi baik di Kantor Pusat, Kantor Regional maupun Kantor Cabang Pengawasan Bank dalam rangka pertukaran informasi dan pemantapan aplikasi perbankan di bidang mikro-makroprudensial.

Di bidang Logistik, dengan segala keterbatasan yang ada, Bank Indonesia telah meminjampakaikan gedung/ruangan kerja di Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Jakarta dan di Kantor Perwakilan Dalam Negeri bagi pegawai OJK khususnya pada sektor perbankan dan sebagian satuan kerja diluar perbankan seperti ruang kerja untuk Edukasi dan Perlindungan Konsumen dan DSSK OJK serta ruang server di Gedung Tipikal Kantor Pusat Bank Indonesia

Selain penyediaan ruangan kerja, Bank Indonesia juga telah menyiapkan dokumen pengawasan bank untuk diserahkan ke OJK dalam bentuk scanning pdf (soft copy) dengan cut-off posisi 1 Januari 2009 s.d 30 Desember 2013, sementara itu untuk dokumen di luar periode dimaksud telah disepakati akan dipinjamkan kepada OJK case by case.

Bidang Mekanisme Koordinasi BI-OJK, secara internal BI telah menyusun konsep mekanisme koordinasi dan kerjasama BI-OJK dalam menjalankan fungsi di bidang makro-mikroprudensial serta menyusun draft Petunjuk Pelaksanaan Bersama makro-mikroprudensial di Bank Indonesia sebagai turunan dari Naskah Keputusan Bersama BI-OJK tanggal 18 Oktober 2013.

Dalam melaksanakan tugasnya, Task Force senantiasa bekerjasama dan berkoordinasi dengan Tim Transisi yang dibentuk oleh OJK. Seluruh kegiatan tersebut di atas dipayungi dengan Naskah Keputusan Bersama antara OJK-BI yang ditandatangani tanggal 18 Oktober 2013 dalam rangka “Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas BI dan OJK”. Keputusan Bersama ini merupakan landasan untuk lebih memperlancar dan mengoptimalkan koordinasi pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang BI dan OJK baik pada masa transisi maupun dalam pelaksanaan tugas di masa depan. Ruang lingkup keputusan bersama tersebut meliputi: 101

a. kerjasama dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas sesuai kewenangan masing-masing;

b. pertukaran informasi lembaga jasa keuangan serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan oleh Bank Indonesia dan OJK;

101 Ibid.

c. penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank Indonesia oleh OJK;

d. pengelolaan pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yang dialihkan untuk dipekerjakan pada Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya, untuk melaksanakan amanat Undang-Undang OJK, maka pada hari ini, Selasa, 31 Desember 2013 Bank Indonesia yang diwakili oleh Gubernur Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan yang diwakili oleh Ketua OJK, akan melaksanakan upacara penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Dalam upacara serah terima ini, Bank Indonesia juga akan menyerahkan Buku Laporan Pelaksanaan Tugas BI di Bidang Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Bank sebagai gambaran pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan bank oleh BI selama ini.

b. BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency)

Pedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal menjadi tanggung jawab BAPEPAM agar kegiatan pasar modal dilaksanakan secara adil dan efisien serta dapat melindungi kepentingan investor dan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam juga turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri pasar modal.

Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di

sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio.102

Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang tepat, Undang-Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa

102

Pada hakikatnya organisasi terbentuk dari sekelompok orang, kerja sama dan tujuan bersama. Terdapat 5 (lima) cara seseorang menjadi anggota kelompok formal (Filley at al., dalam Puxty 1990: 183), yakni (1)karena ditunjuk oleh pimpinan (2)Dipilih oleh kelompok (3)Dipilih oleh orang dari perwakilan kelompok (4)alas an sebagai volunteer/sukarela (5)karena ex-officio suatu jabatan dalam kelembagaan. Sumber: Alnoor Bhimania*,“Accounting enlightenment in the age of reason” European Accounting Review, Volume 3, Issue 3, 1994.

keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut:103

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; 3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

103

Dapat dilihat pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang No 21 Tahun 2011, OJK melaksanakan tugas dan pengaturan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal. Hal ini berarti OJK tetap harus memperhatikan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Kehadiran OJK adalah menggusur BAB Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Dasar penggantian Bapepam ke OJK adalah BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 55 ayat (1): “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”.

c. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK)

DJLK adalah direktorat jenderal dibawah Menteri keuangan yang bertanggung jawab dalam mengawasi lembaga keuangan non bank seperti perusahaan asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun. Selain sebagai pengawas dan pengatur, DJLK bertanggung jawab pula terhadap pelaksanaan KYC Principles yang telah dikeluarkan bagi lembaga keuangan non bank.

2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (“PPATK”)

PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di bidang keuangan (financial intelligence unit- FIU) yang dipimpin oleh seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam melakukan analisis, agar analisis memiliki nilai tambah maka PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK.

UU TPPU memberi tugas kepada PPATK (pasal 26 dan pasal 27) antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh dari penyedia jasa keuangan; membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan; memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesuai ketentuan UU TPPU; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian

uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan; membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Sedangkan kewenangan PPATK, antara lain : meminta dan menerima laporan dari PJK; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate offences).

Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima laporan, yaitu:

a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (pasal 1 angka 6 dan pasal 13 UU TPPU),

b. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yan dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (pasal 13 UU TPPU)

c. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (pasal 16). Disamping itu menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan juga dapat menerima informasi dari orang perseorangan mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang. Laporan butir a dan c, terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses placement pada perbuatan pencucian uang, sementara laporan butir b terutama dimaksudkan untuk mendeteksi proses layering. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa, (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporannya kepada pihak Penyidik dan Penuntut (Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK menjalin kerjasama dengan penyedia jasa keuangan dan instansi terkait lainnya atau dengan Financial Intteligence Unit (FIU) dari negara lain.

Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain. Di dalam praktek saat ini berdasarkan kewenangan yang tertuang di dalam Keppres No. 82 Tahun 2003, PPATK dapat pula menerima informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

3. Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)

Penyidik Tindak Pidana Asal sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yait

Narkotika Nasional (BNN), sert asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal (predicate crimes) sesuai kewenangannya.104

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satu institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.105 Selain dalam KUHAP, kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.106

Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan terhadap tugas pokok kepolisian sebagai yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- kepolisian sebagai yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.107

104

Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana

105

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

106

Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

107

Jika dikaitkan dengan UU PPTPPU yang baru, terdapat perubahan yang mendasar terkait penyidikan yaitu diberikannya wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (lazimnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS) di bawah koordinasi PPATK untuk melakukan penyidikan TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana asalnya (misalnya tindak pidana kepabeanan). Pemberian wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah tentu berpotensi menimbulkan