• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian

Dalam dokumen Bh4eSo6P1Az8J3Ui Prosiding 2012 (Halaman 94-98)

PERAN LEMBAGA RISET DALAM SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN: ANALISIS BERPIKIR SISTEM

3. MODEL SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN

3.2. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian

+ + -Usahatani yg Gagal Kerugian Petani + Penggunaan Teknologi + Usahatani yg Berhasil Resistensi -+ Produktivitas Hasil + + Kebutuhan Biaya Usahatani + -Penjualan Produk Pertanian + + R1 B1 B2 B3 Sub Model Adopsi Iptek Pertanian -+ R2 Sub Model Permintaan Produk Pertanian Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian

Sumber: Hasil olahan penulis (2012)

Gambar 2. Sub Model Sistem Usahatani

Sub model sistem usahatani memiliki keterkaitan dengan permintaan produk pertanian dan konsepsi iptek pertanian. Selain itu, sub model ini memiliki keterkaitan dengan sub model adopsi iptek pertanian. Ketiga sub model lainnya memiliki peran terhadap keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagai suatu sistem yang saling terhubung dalam satu struktur, perubahan yang terjadi pada suatu unsur baik secara struktur maupun perilaku, berakibat pada perubahan perilaku atau perubahan struktur pada bagian lain dalam struktur.

3.2. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian

Model konsepsi dan adopsi suatu inovasi merupakan bagian dari tatakelola teknologi yang secara khusus menaruh perhatian pada keterlibatan objek-objek teknis dan benda-benda alamiah dalam tatakelola. Dinamika perubahan yang terjadi dalam tatakelola memerlukan upaya untuk mengadaptasinya. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan direspon secara berbeda oleh petani. Fase konsepsi berawal dari problematisasi atas situasi praktis tertentu dan bermuara pada suatu konsepsi atas konfigurasi yang spesifik – konsepsi teknologi (Yuliar, 2009; Setiawan, 2012).

Konsepsi iptek di sektor pertanian sebagian besar di Indonesia masih bersifat konvensional dengan proses yang sangat lama. Pengalaman usahatani dengan kemungkinan peluang berhasil atau gagal merupakan rujukan utama sebagian besar petani dalam menkonsepsi iptek yang berakumulasi yang kemudian diterapkan dalam usahatani yang dilakukannya. Pola ini sudah berlangsung lama dan dalam jangka panjang telah banyak menghasilkan inovasi-inovasi lokal yang sangat adaptif dengan lingkungan. Keberhasilan usahatani akan memberikan efek positif terhadap pembelajaran petani yang terus tumbuh meningkatkan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh petani (lingkar R3). Akan tetapi berbeda dengan pengalaman usaha tani yang gagal, proses pembelajaran akan terhenti ketika telah mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu keberhasilan usaha tani

Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 82

(lingkar B5). Para petani di Indonesia pada umumnya berperilaku seperti yang dijelaskan pada pola kedua, proses pembelajaran baru akan terjadi ketika terjadi kegagalan usaha tani.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan perilaku lembaga riset yang seharusnya menjadi akselerator konsepsi iptek, tidak mampu berbicara banyak pada tataran praktis. Selama ini peneliti melakukan riset cenderung hanya dari pengalaman kegagalan yang dialami oleh petani saja (lingkar B4). Masih sangat jarang suatu riset di sektor pertanian dibuat berdasarkan pada pengalaman keberhasilan. Persoalan yang tidak muncul ke permukaan pada saat suatu usahatani berhasil mengakibatkan sangat sedikit pelaku riset pertanian yang terjun langsung berinteraksi dengan pelaku usahatani atau petani (lingkar R4). Pola pembentukan kebutuhan riset berdasarkan keberhasilan usaha tani memberikan akselerasi yang baik bagi konsepsi iptek pertanian karena tidak akan berhenti pada saat keberhasilan usahatani tercapai. Idealnya, kegagalan-kegagalan yang dialami oleh petani terjadi hanya pada tataran eksperimen riset yang dilakukan oleh peneliti saja sehingga tidak menimbulkan kerugian yang mengurangi pendapatan petani.

Pola perilaku konsepsi melalui riset ini secara prinsip sama dengan pola perilaku konsepsi iptek yang terbentuk secara konvensional atau otodidak. Kebutuhan riset yang merujuk kepada keberhasilan usahatani masih sangat jarang ditemukan, para peneliti baru tergerak untuk melakukan penelitian pada saat terjadi masalah saja seperti kegagalan usahatani. Akibatnya, keberlanjutan akselerasi konsepsi iptek oleh lembaga riset tidak berlangsung lama karena percepatan konsepsi iptek baru terjadi ketika ditemukan persoalan usahatani. Pengalaman Usahatani Pengetahuan Petani Keterampilan Usahatani + Lamanya Usahatani + Pertambahan Pengetahuan + + Kebutuhan Riset Kegiatan Riset PT + Frekuensi Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi Usahatani yg Gagal + + Potensi Usahatani Gagal -Usahatani yg Berhasil -Kebutuhan Biaya Riset Realisasi Anggaran Riset + + Frekuensi Interaksi Petani dgn Peneliti Kecukupan Biaya Riset -+ Alokasi Anggaran + + + + + Tingkat Pembelajaran Petani + + + Produk pertanian Berkualitas Gap Kualitas Produk Pertanian Permintaan Industri Produk Pertanian + + Sub Model Sistem Usahatani Sub Model Adopsi Iptek Pertanian R3 + R4 B4 B5 R5 B6

Sumber: Hasil olahan penulis (2012)

Gambar 3. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian

Kegiatan riset di perguruan tinggi maupun lembaga riset pemerintah atau swasta sebagai salah satu aktivitas vital dalam proses konsepsi iptek tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan biaya yang memadai. Kecukupan biaya riset yang dilihat dari perbandingan antara

Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 83

kebutuhan biaya riset dengan alokasi anggaran adalah faktor pendukung terselenggaranya kegiatan riset (lingkar B6). Apabila alokasi anggaran yang diajukan sesuai dengan kebutuhan biaya riset yang diperlukan, maka struktur pengalokasian anggaran ini merupakan mekanisme yang sangat penting dalam membentuk sistem yang kondusif dalam konsepsi iptek pertanian (lingkar R5). Faktanya sampai saat ini sering kali dasar penentuan alokasi anggaran bukan saja hanya merujuk kebutuhan biaya riset, tetapi kepentingan lain yang menurut pengambil keputusan lebih penting, sehingga relasi antara alokasi anggaran riset dengan kebutuhan biaya riset menjadi tidak kuat (garis patah-patah) dan cenderung lemah. 3.3. Sub Model Permintaan Produk Pertanian dan Sub Model Adopsi Iptek Pertanian

Menurut Yuliar (2009), berbagai sumber sosial dan teknis dikerahkan pada fase adopsi. Aktor-aktor sosial dan objek-objek teknis terlibat dan suatu konfigurasi sosioteknis yang baru terbentuk pada fase adopsi teknologi. Aktivitas adopsi akan menentukan apakah teknologi yang dikembangkan akan digunakan atau tidak.

Indikator utama yang digunakan untuk melihat sejauh mana proses adopsi iptek berhasil adalah tingkat penggunaan teknologi yang diterapkan oleh petani. Sasmojo (2004) menyatakan bahwa yang dikatakan dengan iptek terdiri dari dua aspek, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya adalah pengetahuan ilmiah dan merupakan bagian sub-set dari pengetahuan ilmiah. Perbedaannya, ilmu pengetahuan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem tersebut, sementara teknologi berisikan informasi preskriptif mengenai penciptaan sistem-sistem dan pengoperasian sistem-sistem ciptaan tersebut.

Teknologi pada kondisi nyata yang tampak pada sektor pertanian sejalan dengan yang dikatakan oleh Yuliar (2009), bahwa teknologi berkenaan dengan objek-objek (artefak, mesin, sistem), aktivitas (penerapan sarana, metode, dan pengetahuan teknis) dan pengetahuan (pengetahuan praktis, penalaran). Penggunaan teknologi yang dibahas dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada perpaduan dari objek-objek, aktivitas, dan pengetahuan praktis yang bersumber dari pengetahuan, baik secara ilmiah berasal dari lembaga riset maupun pengetahuan alam yang berasal dari petani atau masyarakat.

Penggunaan teknologi dalam model adopsi iptek pertanian ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu seberapa banyak introduksi teknologi yang disosialisasikan kepada petani dan sejauh mana keterampilan petani yang dimiliki untuk menerapkan teknologi tersebut. Apabila salah satu faktor tersebut tidak terpenuhi, maka penggunaan teknologi tidak terjadi di sektor pertanian (Gambar 4).

Keterampilan usahatani yang dimiliki oleh petani dalam perjalanannya bertumpu kepada pengetahuan petani itu sendiri yang bertambah melalui beberapa cara. Pertama melalui pendidikan dan pelatihan (lingkar R8) dan yang kedua melalui cara konvensional, yaitu pengalaman usahatani (lingkar R6). Selama ini sektor pertanian sangat mengandalkan pertambahan pengetahuan dari cara konvensional (pengalaman usahatani) (lingkar R6). Kelemahan dari cara ini adalah kecepatan proses konsepsi pengetahuan, sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar karena terjadi berulang-ulang. Tetapi kelebihan pola konvensional adalah proses adopsi menjadi lebih mudah diterima oleh petani. Internalisasi proses pencarian, penemuan, penjelasan, sampai kepada penerapan ada di petani itu sendiri sehingga iptek yang dihasilkan lebih adaptif sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam kelembagaan petani itu sendiri.

Berbeda dengan pola pertambahan pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan (R8), cara ini dari aspek waktu berjalan lebih singkat dan efisien secara ekonomi karena kegagalan hanya terjadi pada skala eksperimen yang tidak semua petani mengalaminya. Namun demikian, perlu dicermati bahwa adaptasi dari iptek yang dihasilkan oleh kelembagaan luar akan berjalan lebih lambat karena iptek yang dihasilkan bisa saja dan sangat besar peluangnya berbeda dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat petani. Sebagai contoh adalah penggunaan teknologi mesin perontok padi (threser) yang ditolak di beberapa tempat di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Heryanto, 2010).

Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 84

Penyebabnya adalah penggunaan teknologi mengurangi penggunaan tenaga kerja buruh tani dalam pemanenan padi (lingkar B7).

Produksi Pertanian Pengalaman Usahatani Pengetahuan Petani Keterampilan Usahatani + Lamanya Usahatani + Pertambahan Pengetahuan + + Pendidikan dan Pelatihan + Kebutuhan Riset Kegiatan Riset PT + Frekuensi Kegiatan Sosialisasi dan Diseminasi Usahatani yg Gagal + + Penggunaan Teknologi + Usahatani yg Berhasil Frekuensi Interaksi Petani dgn Peneliti Waktu Pendampingan Resistensi -Gap Pengetahuan + -Pengetahuan yg Diperlukan Petani + + Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan + + + + -Produktivitas Hasil + + Pemakaian TK + + + -Introduksi Teknologi + + + + Tingkat Pembelajaran Petani + + + -Penjualan Produk Pertanian + Produk pertanian Berkualitas + Gap Kualitas Produk Pertanian Permintaan Industri Produk Pertanian -+ Kebutuhan Teknologi + + + + -Intensitas Program Penyuluhan + Sub Model Pembiayaat Riset Iptek Pertanian + R6 R7 R8 R9 B7 B9 Sub Model Sisem Usahatani B8 R10 B10

Sumber: Hasil olahan penulis (2012)

Gambar 4. Struktur Sub Model Permintaan Produk Pertanian dan Sub Model Adopsi Iptek Pertanian

Apabila tidak diperhatikan secara serius, hal tersebut akan berdampak pada resistensi petani dalam menggunakan (adopsi) teknologi (lingkar B8). Walaupun tujuannya baik secara ekonomi (meningkatkan produksi hasil pertanian), tetapi karena teknologi yang diperkenalkan mengganggu tatanan sosial maupun pada masyarakat dan ada sebagian masyarakat yang tidak menerima atas perubahan tersebut, masuknya teknologi yang semula tujuannya baik bergeser menjadi gangguan atau ancaman bagi masyarakat. Akhirnya terjadi penolakan atau keengganan petani dalam menggunakan teknologi tersebut.

Pengenalan teknologi yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses penerapannya. Proses internalisasi sangat diperlukan agar nilai-nilai sosial masyarakat dapat beradaptasi menerima teknologi yang diperkenalkan, bahkan apabila perlu dilakukan suatu intervensi terhadap kelembagaan masyarakat tersebut agar nilai-nilai sosial yang ada bersifat lebih elastis tanpa mengubah prinsip-prinsip yang diyakini. Proses internalisasi juga bisa berlaku sebaliknya, teknologi yang diperkenalkan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya tidak dapat menekan seminimal mungkin gangguan terhadap nilai-nilai sosial dan ekonomi masyarakat.

Sebagai penengah dari konflik tersebut diperlukan waktu pendampingan selama dalam proses adopsi. Pendampingan yang dimaksud untuk sektor pertanian sudah dijalankan di Indonesia sejak lama, yaitu melalui program Penyuluhan Pertanian dan telah dibuktikan keberhasilannya melaui Revolusi Hijau yang berdampak kepada swasembada beras nasional. Lamanya waktu pendampingan mampu mengurangi resistensi petani terhadap penerapan teknologi yang baru yang bukan berasal dari kebiasaan masyarakat petani sendiri

Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 85

(lingkar R9). Sangat disayangkan program semacam itu pada era reformasi sekarang ini dianggap tidak begitu penting ditunjukkan dengan menurunnya jumlah tenaga penyuluh di perdesaan. Akibatnya, banyak terjadi introduksi teknologi berujung kepada teknologi yang

mangkrak (tidak terpakai).

Persoalan lain yang tidak kalah penting menjadi penghambat proses adopsi iptek pertanian adalah minimnya aktivitas sosialisasi dan diseminasi hasil riset yang dilakukan oleh lembaga riset kepada para pelaku sektor pertanian. Banyak hasil riset yang dihasilkan oleh lembaga riset baik di perguruan tinggi maupun pemerintah yang hasilnya hanya berakhir pada laporan saja. Tidak ada tindak lanjut untuk menyampaikan hasil riset tersebut kepada sektor riil (pertanian) untuk kemudian dapat diadopsi dan digunakan (lingkar R7).

Frekuensi interaksi antara pelaku usahatani dengan peneliti merupakan jejaring yang harus dibangun agar terbentuk suatu media komunikasi untuk saling mendengarkan baik dari petani ke peneliti maupun sebaliknya dari peneliti ke petani. Pola-pola jejaring dalam sistem inovasi tersebut juga bisa digunakan sebagai media untuk mensosialisasikan dan diseminasi hasil riset dari lembaga riset kepada para pelaku di sektor pertanian. Aktivitas sosialisasi dan diseminasi hasil riset merupakan langkah penting dengan efek yang besar dalam mempengaruhi sistem. Selain dengan pelaku usahatani, para peneliti di lembaga riset dalam jejaring tersebut juga idealnya berinteraksi dengan industri dan konsumen sebagai pengguna produk pertanian.

Selama ini, interaksi antara peneliti dengan pelaku industri yang menggunakan produk pertanian dilakukan hanya pada saat diperlukan untuk mengantisipasi persoalan seperti adanya gap kualitas antara permintaan dengan produksi yang dihasilkan oleh petani (lingkar B10). Ketika persoalan selesai, maka tidak ada riset yang dilakukan oleh peneliti. Pola-pola seperti ini harus diubah supaya inovasi yang dihasilkan dapat terus berkembang (lingkar R10). Interaksi antara pelaku dengan peneliti hendaknya tetap dilakukan dalam rangka mengembangkan produk pertanian guna mengantisipasi permintaan pasar yang begitu dinamis.

Dalam dokumen Bh4eSo6P1Az8J3Ui Prosiding 2012 (Halaman 94-98)