• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Benthik dan Substrat Dasar Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian berdasarkan substrat dasar Ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian berdasarkan substrat dasar

dapat dibagi menjadi komponen biotik (karang keras, makroalga dan non karang keras) dan abiotik (pasir, rubble dan DC). Komponen biotik pertama adalah karang keras. Tutupan karang keras di lokasi penelitian berkisar antara 0.84 – 66.30% dengan rata-rata tutupan karang keras adalah 31.34±16.67 % (Gambar 28). Dengan demikian kondisi karang keras dapat dikategorikan buruk sampai baik berdasarkan kriteria Gomez and Yap (1988).

52

Sebanyak tujuh titik pengamatan atau sebesar 31.82% termasuk kategori buruk dan sebanyak sepuluh titik pengamatan atau sebesar 45.45% termasuk kategori sedang serta sebanyak tiga titik pengamatan atau sebesar 13.64% termasuk kategori baik (Gambar 28). Dengan melihat komposisi jumlah titik pengamatan dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi karang keras di lokasi penelitian berada pada kategori sedang.

Bentuk pertumbuhan massive (10.61±7.67%) dan branching (9.39±8.57%) adalah bentuk pertumbuhan karang keras yang dominan (Gambar 29). Kedua bentuk pertumbuhan ini mampu bertahan hidup pada daerah yang berarus kuat. Tipe ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu adalah fringing reef. Salah satu ciri tipe ini adalah berarus kuat. Kepulauan Seribu memiliki dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Kecepatan angin pada saat musim tersebut berkisar antara 0.7 – 20 knots/jam yang berdampak pada kuatnya arus laut di Kepulauan Seribu. Dengan demikian tipe pertumbuhan massive dan branching dapat tumbuh dengan baik.

Gambar 28 Tutupan karang keras di lokasi penelitian (UJ: Untung Jawa, PR: Pramuka, PG: Panggang, SD: Semak Daun, BL: Belanda, KA: Kayu Angin). 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00

UJ1 UJ2 PR1 PR2 PR3 PR4 PG1 PG2 PG3 PG4 SD1 SD2 SD3 SD4 BL1 BL2 BL3 BL4 KA1 KA2 KA3 KA4

% Tutupan

Titik Pengamatan

Gambar 29 Komposisi karang keras berdasarkan

Rendahnya tutupan karang keras di lokasi penelitian diduga akibat dari aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom di masa la

banyak karang-karang keras yang patah atau rusak. Tingginya rata

rubble sebesar 24.15±15.22%

penangkapan yang merusak tersebut. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah faktor lingkungan yaitu sedimentasi dan pengkayaan nutrien. Sedimentasi memberikan pengaruh

suatu perairan (Mukhtasor 2006). Perairan yang keruh menyebabkan cahaya matahari sulit untuk menembus dasar perairan yang merupakan tempat tinggal karang keras sehingga zooxanthellae

Di sisi lain hewan karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae banyak mengeluarkan energi untuk menghalau sedimen yang masuk sehingga hewan karang kekurangan energi untuk bertahan hidup. Hanya beberapa jenis karang keras yang memiliki polip besar (seperti

massive yang mampu bertahan hidup (Veron 1995). Sebanyak 17 genus dan 6 jenis

(Gambar 30). Pramuka dan DKayu Angin merupakan lokasi yang memiliki jumlah genus tertinggi yaitu sebesar 17 genus. Tingginya jumlah genus di kedua lokasi tersebut ditandai dengan tingginya jumlah genus

Disamping itu, genus Acropora

penelitian. Beberapa studi yang dilakukan di Kepulauan Seribu juga

3,68% 3,10%

13,94%

Branching Massive

Komposisi karang keras berdasarkan bentuk pertumbuhan (lifeform

Rendahnya tutupan karang keras di lokasi penelitian diduga akibat dari aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom di masa lalu sehingga karang keras yang patah atau rusak. Tingginya rata-rata tutupan 24.15±15.22% di lokasi penelitian merupakan bukti dari kegiatan penangkapan yang merusak tersebut. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah faktor lingkungan yaitu sedimentasi dan pengkayaan nutrien. Sedimentasi memberikan pengaruh terhadap kejernihan suatu perairan (Mukhtasor 2006). Perairan yang keruh menyebabkan cahaya matahari sulit untuk menembus dasar perairan yang merupakan tempat tinggal zooxanthellae tidak mampu melakukan proses fotosintesis. lain hewan karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae banyak mengeluarkan energi untuk menghalau sedimen yang masuk sehingga hewan karang kekurangan energi untuk bertahan hidup. Hanya beberapa jenis karang keras yang memiliki polip besar (seperti Goniophora) dengan tipe pertumbuhan

yang mampu bertahan hidup (Veron 1995).

Sebanyak 17 genus dan 6 jenis lifeform ditemukan di lokasi penelitian Pramuka dan DKayu Angin merupakan lokasi yang memiliki jumlah genus tertinggi yaitu sebesar 17 genus. Tingginya jumlah genus di kedua lokasi tersebut ditandai dengan tingginya jumlah genus Acropora yang ditemukan.

Acropora merupakan genus yang dominan di lokasi penelitian. Beberapa studi yang dilakukan di Kepulauan Seribu juga

29,66%

33,54% 16,07%

Massive Tabulate Mushroom Encrusting Foliose

lifeform).

Rendahnya tutupan karang keras di lokasi penelitian diduga akibat dari lu sehingga rata tutupan lokasi penelitian merupakan bukti dari kegiatan penangkapan yang merusak tersebut. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah faktor lingkungan yaitu sedimentasi dan terhadap kejernihan suatu perairan (Mukhtasor 2006). Perairan yang keruh menyebabkan cahaya matahari sulit untuk menembus dasar perairan yang merupakan tempat tinggal tidak mampu melakukan proses fotosintesis. lain hewan karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae banyak mengeluarkan energi untuk menghalau sedimen yang masuk sehingga hewan karang kekurangan energi untuk bertahan hidup. Hanya beberapa jenis karang ) dengan tipe pertumbuhan

di lokasi penelitian Pramuka dan DKayu Angin merupakan lokasi yang memiliki jumlah genus tertinggi yaitu sebesar 17 genus. Tingginya jumlah genus di kedua yang ditemukan. genus yang dominan di lokasi penelitian. Beberapa studi yang dilakukan di Kepulauan Seribu juga

54

mengidentifikasi Acropora sebagai genus yang dominan (Aktani 2003; Estradivari

et al. 2007). Acropora merupakan genus karang yang memiliki kemampuan kalsifikasi sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Goureau & Goreau (1959) diacu dalam Supriharyono (2007) memberikan hasil bahwa Acropora

memiliki kemampuan kalsifikasi sebesar 5.90 – 18.90 µCa/mg N/jam pada waktu terang dan 2.20 – 12.20 µCa/mg N/jam pada waktu gelap. Sedangkan genus lainnya berkisar antara 1.22 – 17.50 µCa/mg N/jam. Selain itu, Acropora juga memiliki pertumbuhan yang cepat. Cepatnya pertumbuhan ini dipengaruhi oleh karakteristik morfologi dan struktur tulang Acropora. Karkateristik yang dimilikinya adalah: (1) Kecilnya ukuran coralite Acropora, membuat mereka lebih baik dalam proses kalsifikasi, (2) struktur jaringan tulang yang kuat menambah kekuatan Acropora untuk menahan beban pertumbuhannya (Veron 1995).

Gambar 30 Keanekaragaman karang keras berdasarkan genusdan lifeform.

Faktor biotik kedua adalah makroalga, tutupan makroalga di lokasi penelitian berkisar antara 0.88 – 42.96 % dengan rata-rata tutupan makroalga adalah 6.47±9.40% (Gambar 31). Sebanyak enam titik pengamatan atau sebesar 27.27 % tutupan makroalga berada di atas rata-rata sedangkan sisanya sebanyak enambelas titik pengamatan atau sebesar 73.73% berada di bawah rata-rata. Rata-rata kedua kelompok tersebut berbeda nyata (p = 0.00, t =. 4.81) sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi makroalga di lokasi pengamatan masih di bawah

rata-0 5 10 15 Jumlah GENUS LIFEFORM

rata populasi. Di ekosistem terumbu karang yang sehat tutupan makroalga dapat mencapai 5 – 10% (Hay 1997; Stimson et al. 2001). Tingginya tutupan makroalga di beberapa titik pengamatan disebabkan oleh tingginya aktifitas pembuangan sampah organik di perairan. Untuk lokasi yang dekat dengan pulau utama (Teluk Jakarta) kandungan nutrien cenderung lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar nutrien di tiga muara sungai besar yaitu Periok, Angke dan Marunda. Disamping itu akifitas budidaya udang, pelabuhan perikanan dan industri disekitar teluk Jakarta juga merupakan penyebab tingginya kadar nutrien di perairan (Damar 2003). Untuk titik pengamatan PG1 dan SD 2, tingginya kadar nitrat disebabkan oleh adanya limbah organik dari industri pengolahan ikan bandeng tanpa duri.

Turf algae merupakan kelompok makroalga yang dominan di lokasi penelitian. Persentase tutupan turf algae berkisar antara 0.26 – 37.85% dengan rata-rata tutupan sebesar 4.38±6.99% dan persentase tutupan fleshy algae berkisar antara 0.00 – 6.45% dengan rata-rata 1.55±1.80% dan persentase tutupan crustose algae berkisar antara 0.00 – 2.38% dengan rata-rata 0.54±0.68%. Komposisi makroalga tertinggi dilokasi penelitian adalah turf algae sebesar 67.63% (Gambar 32). Turf algae adalah kelompok makroalga yang memiliki thalli lunak berbentuk filamen halus seperti rambut dengan jaringan tubuh yang sederhana. Turf algae

banyak ditemukan di daerah dangkal (Hay 1997). Dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi proses fotosintesis oleh turf algae akan semakin sering sehingga turf algae mampu tumbuh dengan sangat cepat walaupun dalam kondisi dimana proses grazing tinggi (Diaz-Pullido & McCook 2008).

Gambar 31 Tutupan makroalga di lokasi penelitian (UJ: Untung Jawa, PR: Pramuka, PG: Panggang, SD: Semak Daun, BL: Belanda, KA: Kayu Angin).

Gambar 32 Komposisi

Komponen biotik ketiga karang keras yaitu soft coral, sponge

karang keras dilokasi penelitian tutupan sebesar 2.07±1.75% Panggang dengan tutupan 5.90 %

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 UJ1 UJ2 PR1 % tutupan makroalga 23,98% Turf Algae

Tutupan makroalga di lokasi penelitian (UJ: Untung Jawa, PR: Pramuka, PG: Panggang, SD: Semak Daun, BL: Belanda, KA: Kayu

Komposisi kelompok makroalga di lokasi penelitian.

ketiga dalam ekosistem terumbu karang adalah non

soft coral, sponge dan zoaanthid. Persentase tutupan non dilokasi penelitian berkisar antara 0.36 – 5.90% dengan rata

2.07±1.75%. Tutupan tertinggi berada pada lokasi pengamatan Panggang dengan tutupan 5.90 % (Gambar 34). Komposisi antara tutupan non

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 PR2 PG1 PG2 SD1 SD2 BL1 BL2 KA1 KA2 Makroalga NO3 PO4

67,63% 8,39%

Turf Algae Fleshy Algae Crustose Algae

56

Tutupan makroalga di lokasi penelitian (UJ: Untung Jawa, PR: Pramuka, PG: Panggang, SD: Semak Daun, BL: Belanda, KA: Kayu

dalam ekosistem terumbu karang adalah non-Persentase tutupan non 5.90% dengan rata-rata Tutupan tertinggi berada pada lokasi pengamatan Komposisi antara tutupan non

0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08

karang keras dan makroalga menunjukkan bahwa kedua faktor biotik tersebut berkompetisi dalam pemakaian tempat untuk penyerapan nutrien. Sebagai contoh, sponge merupakan salah satu organisme pada ekosistem terumbu karang yang mampu menyerap nutrien dan mengendapkan nutrien tersebut didalam jaringan tubuhnya (www.sciencedaily.com 2009).

Gambar 33 Tutupan non karang keras di lokasi penelitian (UJ: Untung Jawa, PR: Pramuka, PG: Panggang, SD: Semak Daun, BL: Belanda, KA: Kayu Angin).

Faktor biotik pada ekosistem terumbu karang berasosiasi satu dengan lainnya, terutama dalam pemakaian ruang dan tempat. Gambar 34 memperlihatkan bagaimana komposisi yang terjadi antara karang keras, makroalga dan non-karang keras dimana karang keras dan macroalga merupakan kelompok mayor dalam pemakaian tempat pada lokasi penelitian, sebaliknya non karang keras merupakan kelompok minor dalam pemakaian tempat. Karena hampir diseluruh lokasi penelitian tutupan karang keras dan macroalga selalu lebih tinggi daripada non karang keras. Hal ini sesuai dengan penelitian Benayahu & Loya (1981) menginformasikan bahwa soft coral merupakan faktor biotik minoritas dalam pemakaian tempat di ekosistem terumbu karang.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00

UJ1 UJ2 PR1 PR2 PR3 PR4 PG1 PG2 PG3 PG4 SD1 SD2 SD3 SD4 BL1 BL2 BL3 BL4 KA1 KA2 KA3 KA4

Tutupan Makroalga (%)

Tutupan Non Karang Keras (%)

Gambar 34

4.4 Hubungan antara Parameter