• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Kaidah „Urf Dalam Hukum Islam

4. Syarat-Syarat „Urf sebagai Sumber Hukum Islam

„Urf dapat dijadikan sumber penemuan hukum Islam harus memenuhi persyaratan-persyartaan tertentu. Apabila dilihat dari nash-nash yang dijadikan sandaran bolehnya menggunakan „urf sebagai metode penemuan hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa „urf tersebut harus merupakan „urf yang mengandung kemaslahatan dan „urf yang dipandang baik.11

Para ahli metodologi hukum Islam (ahli ushul) mensyaratkan beberapa syarat sebagai berikut:

a. „Urf (baik yang bersifat umum atau khusus ataupun yang bersifat perbuatan atau ucapan) berlaku secara umum, artinya

„Urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat.

10 Ibid, 162.

11 Sucipto, “ „Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, Jurnal Asas (IAIN Raden Intan Lampung), Vol. 7 No.1/Januari 2015, 32.

b. „Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya „Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

c. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi, atau dengan kata lain tidak terdapat persyaratan yang mengakibatkan „urf atau adat kebiasaan itu tidak dapat diterapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.

Karena „urf itu secara implisit berkedudukan sebagai syarat.

d. „Urf tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara‟.

Jadi „urf dapat dijadikan sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara khusus melarang melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.12 Dengan persyaratan tersebut para ulama memperbolehkan penggunaan „urf sebagai sumber hukum Islam.

B. Konsep Islam tentang Pergaulan

Pergaulan antara perempuan dan laki-laki pada hakikatnya tidak dilarang. Bahkan interaksi antara keduanya diperbolehkan. Karena sesungguhnya kejasama anatara laki-laki dan perempuan diperlukan dalam kehidupan. Namun dalam pergaulan terdapat batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.13 Batas-batas hukum tersebut antara lain:

12 Sucipto, “ „Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, 32.

13Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, ( Bandung: Jabal, 2014), 107.

1. Menjaga Pandangan

Menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan.Artinya tidak boleh melihat aurat, tidak boeh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa adanya keperluan. Hukum menjaga pandangan adalah wajib bagi setiap muslim.

Sebagimana Allah berfirman dalam Q.S An-Nuur[24]: (30)



mereka menjaga pandangnnya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.14

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memaknai ayat tersebut bahwa Allah mensyariatkan penundukan pandangan terlebih dahulu (menjaga pandangan) karena mata merupakan sarana yang menyebabkan kemaksiatan pada kemaluan. Memandang hanya diperbolahkan untuk kemaslahatan kepentingan untuk kebaikan yang sudah jelas. Namun menjadi haram jika menimbulkan kerusakan.15

14 Departemen Agama Islam RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: Magfirah Pustaka,2006), 353.

15Haya binti Mubarok Al-barik, Wanita Muslimah, cetakan ke-5, (Jakarta : Darul Falah, 2003), 151.

Adapun yang dimaksud pandangan spontan dalah pandangan yang terjadi tanpa adanya niat dari pelakunya. Selama pandangan ini dilakukan tanpa sengaja, maka itu tidak berdosa. Akan tetapi, pandangan kedua yang dilakukan dengan sengaja akan mendapat dosa. Rasululllah memerintahkan untuk memalingkan pandangan pertama, dan tidak melanjutkan pandangan. Karena kelanjutannya sama saja dengan pengulangan.

2. Kasyful Aurat (Menjaga Aurat)

Pada umumnya kata aurat ini memberi arti tidak baik dipandang.

Memalukan dan mengecewakan. Ada juga para ahli tata Bahasa Arab yang mengatakan kata “Aurat” berasal dari “Aaro” artinya menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ini berarti pula, bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapatdipandang. Adapun yang lain berpendapat kata “Aaurat” berasal dari kata “A‟wara” yakni sesuatu yang jika dilihat mencemarkan. Jadi aurat sesuatu anggota yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.16

Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Q.S Al- A‟raf : 26



16Huzaemah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer; (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), 18.

Artinya : “Wahai anak adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu.Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.Demikianlah sebagaian

tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat”.17 Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-„aurat) syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat.Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit.18Seorang wanita bebas menentukan model pakaiannya menurut kebudayaan dan tingkat peradaban masyarakatnya, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip pokok yang telah ditetapkan syariat.Dengan demikian, wanita muslimah Indonesia dapat saja merancang model busana yang sesuai dengan budaya dan tradisi Indonesia.tanpa meninggalkan prinsip menutup aurat, sehingga busana yang dikenakan member kesan keIslaman dan keIndonesiaan.Busana muslimah tidak identik model busana Arab, sebab yang penting menurut Islam ialah tertutupnya aurat.19

Islam mengharamkan wanita mengenakan pakaian yang dapat menunjukkan dan mengungkapkan tubuh yang ada dibaliknya karena tipis.Begitu pula pakaian yang menunjukkan lekuk-lekuk bagian tubuh, khususnya bagian-bagian yang sensitive mendatangkan fitnah, seperti payudara, paha, pinggul, dan sebagainya.

17Departemen Agama Islam RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: Magfirah Pustaka,2006), 153.

18Ibid, 18.

19Muhammad Sudirman Sesse, „Aurat Wanita dan Hukum Menutupnya Menurut Hukum Islam, Jurnal Al-Maiyyah, Vol 9 No.2 Juli-Desember, 2016, 327.

3. Pengertian Ikhtilat dan Khalwat

Ikhtilat yakni pergaulan campur laki-laki dengan perempuan dan khalwat yakni berduan-duaan laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya.20Atau berkumpulnya beberapa orang perempuan dengan beberapa orang lelaki pada suatu tempat yang memungkinkan untuk saling bertemu pandang atau bercakap-cakap secara langsung, maka keberadaan seorang lelaki dangan seorang perempuan ditempat yang sunyi, dan diantaranya tidak ada hubungan muhrim, bagaimanapun hal tersebut dianggap ikhtilat.21

Dari „Umar bin Al-Khattab, ia berkhutbah di hadapan muslim di Jabiyah, lalu ia membawakan hadits nabi berikut:

َ اَ ن ااُط أيَّشَ أَ ناإَف َحاأُر ْامَُ َمَْكادَحَأَ انَوُ اخَْ ّ َال

َ نْرُؤَرَ انَهاإََهَتائْ ط ايسََهُتاءن اساوََهَتان اساحََهُتأ اسََ ُناراوَنامَ َثُْل اثَ

Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.”

Menurut pandangan Dr Abdul Karim Zaidan yang dikutip oleh Irfan Hekmi dalam karyanya Mufshal Fii Ahkami Mar‟ah.

Sesungguhnya asal hukum dalam masalah berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan adalah haram. Namun diperolehkan

20Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, Cetakan ke-3 (Jakarta: Maf Media Kreativa, 2017), 242.

21Haya binti Mubarok Al-barik, Wanita Muslimah, cetakan ke-5, (Jakarta : Darul Falah, 2003), 153.

berikhtilat antara laki-laki dan perempuan jika memang terdapat dharurah syariah, hajat syariah, maslahah syariah atau karena hukum adat dalam beberapa keadaan berikut:

a. Ikhtilat yang diperbolehkan sebab dharurat:

Seorang laki-laki yang menolong seorang perempuan pada saat perempuan tersebut dikejar oleh seseorang yang akan menganiayanya.

b. Ikhtilat yang dibolehkan sebab hajat syariah:

1) Berikhtilatnya laki-laki dan perempuan untuk bermuamalah syariah seperti jual beli, gadai dan lainnya.

2) Beriktilatnya laki-laki dan perempuan untuk menghormati tamu.

3) Beriktilatnya laki-laki dan perempuan dalam kendaraan umum untuk memenuhi hajat kebutuhan hidup sehari-hari seperti belanja dan sebagainya).

c. Ikhtilat yang sudah menjadi hukum adat bersifat positif:

Berikhtilatnya laki-laki dan perempuan disalah suatu tempat berkumpul seperti lapangan upacara, auditorium atau saat mengujungi salah seorang sahabat dengan catatan pakian dan adab harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan hukum syariat, pandangan antara peran laki-laki dan perempuan tersebut tidak terdapat syahwat dan tidak ada khalwat antara seorang laki-laki dan perempuan.

Menurut Imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimmyati ulama dari mazhab Syafi‟I dalam karyanya “Hasyiah I‟anah Tholibin” beliau mengungkapkan pendapatnya yaitu: “adapun hukum berkumpulnya seorang wanita dan seorang lelaki pada perayaan yang tidak melanggar hukum syari‟ah di akhir Ramadhan perayaan malam takbiran) adalah makhruh selama tidak terdapat persentuhan badan antara lawan jenis yang ajnaby secara sengaja dan tanpa kebutuhan dharurat. Maka jika terjadi persentuhan yang disengaja dan tidak kebutuhan dhorurat adalah haram hukumnya.”

Rasulullah SAW bersabda:

ََالََُّلْ اتََلًَ َحاأُرشَ أسامايَ َُ َحَ ُنْرََ الََ ُيْاخَفكيْكادَ ُنْرَفطاطُخْمْبَفلَجارَ ْسْحارَ ْفَِاناع ُاَيَ َُ َلأ

Artinya: “ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik daginya, daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.”(HR. Thobroni dalam Mu‟jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadist ini shahih).22

Betapa bahayanya perilaku ikhtilat, sehingga baginda Nabi Muhammad saw. pun mengibaratkan bahwa tertusuk oleh pasak yang berbuat dari besi, masih lebih baik di bandingkan harus menyentuh lawan jenis yang bukan mahram. Ini menunjukkan ketegasan dari baginda Nabi Muhammad saw. kepada umatnya untuk menjauhi perilaku ikhtilat dan khalwat.

22Irfan Helmi, “Budaya Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2016), 13-14

4. Berpergian Tanpa Didampingi Mahram

Penjajah barat telah membuat masyarakat kita menjadi tuli terhadap peraturan Allah dan Rasul-Nya.Orang-orang seperti ini yang kebanyakan para pemimpin, memaksa kita untuk memberikan kebebasan terhadap wanita untuk menyatakan diri, mengembangkan kerpribadiannya, menikmati hidupnya, dan kefiminimannya. Mereka ingin mereka bergaul dengan beberapa pria secara bebas,bergaul dekat dimana wanita bisa bersama-sama dengan beberapa pria dan berdua-duaan, berjalan bersama para pria.23

Wanita tidak boleh berpergian dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Jika tidak ada mahramnya atau ada tapi tidak mau pergi bersamanya maka ia boleh dibayar dari harta wanita itu (sebagai bayaran pergi bersamanya). Apabila tidak ada yang mendampingi wanita tersebut hendaknya tetap menetap dirumah.Wanita dilarang berpergian kecuali ditemani bersama mahramnya yang menjaganya dari gangguan-gangguan orang jahat dan orang-orang fasik.

Seorang laki-laki diharamkan untuk berpergian dengan seorang perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan karena keduanya belum dihalalkan secara syara‟ sehingga hubungan keduanya belum sah.Jika tidak ditemani oleh mahramnya ditakutkan akan terjadi sesuatu yang tidak diperblehkan.24

23Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, ( Bandung: Jabal, 2014), 106.

24Agusina Dwi Cahyati, “Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam”(Metro:

IAIN Metro, 2018), 82.

Seorang laki-laki dan perempuan hendaklah untuk tidak berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya, karena dikhwatirkan akan mendorong keduanya untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

5. Konsep Hukum Islam tentang Foto Prewedding

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengatakan bahwa hukum melakukan foto prewedding adalah haram. Prof. Dr.

Abdullah, MA. Menjelaskan bahwa foto prewedding yang dimaksud adalah foto mesra calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang dilakukan sebelum akad nikah.Foto prewedding diharamkan karena saat pengambilan foto belum ada ikatan sebagai suami istri.25

Berdasarkan penjelasan lain terkait bahwasannya hukum melakukan foto prewedding adalah haram menurut Fatwa yang dikeluarkan oleh Forum Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur ke 12 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan hal ini diakui oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Ridwan , yang setuju karena hal ini selaras dengan ajaran Islam.

Pengharaman pembuatan foto prewedding ini setidaknya didasarkan 2 hal yaitu pada pasangan mempelai dan fotografer yang melakukannya.Untuk mempelai diharamkan apabila dalam melaksakan

25Ibid, 39.

foto prewedding terdapat ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), khalwat (berduaan), kasyaful aurat (membuka aurat).26

Seluruh Ulama ahli fiqih sepakat bahwa hukum foto prewedding itu haram jika terjadi : Iktilath dan Khalwat, persentuhan dengan lawan jenis, tabarruj dan bermesraan. Hukum haram ini tidak hanya berlaku terhadap calon pengantin saja, melainkan fotografer terkena hukum haram karena pada umumnya fotografer melihat dan bahkan menyentuh bagian anggota tubuh calon mempelai wanita untuk menata dandanan dan penampilannya agar tampak lebih indah dan menarik. Atau minimal para fotografer itu rela terhadap tindakan foto prewedding yang merupakan perbuatan terlarang tersebut.

Namun, perbuatan foto prewedding itu tidak mutlak haram, melainkan ada peluang untuk diperbolehkan jika dalam proses pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, tidak mengandung unsur perbuatan mungkar. Hal ini bisa ditempuh, misalnya dengan cara kedua calon mempelai melakukan pengambilan foto secara berpisah, dan juga dipajang atau dipasang secara terpisah, atau pengambilan gambar dilakukan setelah akad nikah, sebelum resepsi pernikahan, yang berarti keduanya sudah halal. Walaupun demikian, si perempuan tetap harus berpakaian sopan, Islami, dan tidak ber-tabarruj.

Akan tetapi, jika diyakini foto prewedding tersebut dapat memunculkan

26Adindha Putri Arifianing Kasih, Pandangan Masyarakat Terhadap Foto Prewedding Dalam Undangan Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2019), 6.

penilaian negatif dari masyarakat, maka foto prewedding tersebut dilarang, meskipun dilaksanakan sesudah akad nikah.27

C. Foto Prewedding pada Calon Pengantin 1. Calon Pengantin

a. Pengertian Calon Pengantin

Calon pengantin Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan.28 Pengertian lain calon pengantin adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang akan dan sedang mengajukan permohonan kehendak nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).29Pasangan yang belum mempunyai ikatan, baik secara hukum agama maupun Negara dan pasangan tersebut berproses menuju pernikahan disebut sebagai calon pengantin.

Berdasarkan uraian tersebut dapat peneliti pahami bahwa calon pengantin adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum sah menjadi suami istri baik secara agama ataupun negara yang akanmelangsungkan pernikahan.

b. Syarat Menjadi Calon Pengantin

Calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam Islam harus memenuhi rukun dan syarat-syarat. Rukun dan syarat keduanya

27Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, cetakan ke-3 (Jakarta: Maf Media Kreativa, 2017), 243-245.

28 Calon pengantin: kamus, 2012. pada kbbi, diambil 16 Nov 2020, dari https://kbbi.web.id/pengantin.html

29Titin Lestari, “Presepsi Masyarakat Tentang Pengaruh Kursus Calon Pengantin Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah”, (IAIN Metro, 2019), 20.

mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa. Rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya.

Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan kedua calon mempelai dan berhubungan denan kesaksian. Menurut syafi‟iyyah, syarat perkawinan itu adakalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud (saksi). Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, yakni calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Selanjutnya menurut Malikiyyah, rukun ada lima, yakni wali, mahar, calon suami-istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi berbeda dalam detailnya.Malikiyyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan syafi‟iyyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.30

Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Yakni:

1.) Calon suami, dengan syarat: beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan.

30Ach Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Islam dan Undang-Undang No.1 Thun 1974”, Jurnal Yustitia Vol. 19 (Universitas Wiraraja : 2018), 90.

2.) Calon Istri, dengan syarat: beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya, dan tidak terdapat halangan perkawinan.

3.) Wali nikah, dengan syarat: laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian, dan tidak terdapat hak perwalian.

4.) Saksi nikah, dengan syarat: minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab Kabul, dapat mengerti maksud akad, Islam, dan desawa.

5.) Ijab Qabul, dengan syarat: adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon memepelai pria, memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, adanya ijab dan qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orangnya terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah dan majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.31

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)Rukun dan syarat pernikahansebagai berikut:

Rukun Pasal 14 Untuk melaksanakan pernikahan harus ada:

a. Calon suami b. Calon istri

3131Ibid, 91.

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan qabul .

1. Syarat calon suami

a. Pasal 15 ayat 1: sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.Untuk kemasalahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.32

b. Pasal 17 ayat 1: adanya keinginan sendiri (tidak dipaksa)

Sebelum berlangsungnya perkawinan pegawai pencatat nikah menanyakan lebih dulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah.

c. Pasal 17 ayat 2: bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.33

2. Syarat calon istri

a. Pasal 15 ayat 1: sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

32Kompilasi Hukum Islam(KHI) (Bandung: VC.Nuansa Aulia, 2017), 5.

33Ibid, 6.

.Untuk kemasalahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

b. Pasal 16 ayat 2: tidak adanya paksaan.persetujuannya berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Menurut mazhab Syafi‟i dalam syarat-syarat calon pengantin tidak terdapat perbedaan.34Mazhab Hanafi yang membolehkan akad dengan paksaan, seluruh ulama mazhab sepakat bahwa akad harus dilakukan secara sukarela dan atas kehendak sendiri.

Sedangkan Syafi‟i dan Hambali menyatakan usia baligh untuk laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun,sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan Sembilan belas tahun.35

Sebagaimana telah diuraikan rukun dan syarat-syarat untuk menjadi seorang calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tersebut agar pernikahan sah.

34Muhammad Syaikul Fikry, “Tinjauan Fikih Empat Mazhab Terhadap Kebolehan Perkawinan Janda Hamil Dalam Menetapkan Nomor: 0238/Pdt.P/2016/PA.TA” (Surabaya:UIN Sunan Ampel Surabaya), 32-33.

35 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2011), 253-255.

2. Foto Prewedding

a. Pengertian Foto Prewedding

Kata foto prewedding berasal dari bahasa Inggris yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti foto, sebelum pernikahan. Akan tetapi hingga saat ini menganggap bahwa foto ini berarti foto disuatu lokasi, dengan konsep serta pakaian yang memang dipersiapkan.

Maraknya kegiatan foto prewedding ini tidak hanya melibatkan calon pengantin namun juga melibatkan fotografer sebagai fasilisator, baik dari peralatan, ide atau konsep yang kemudian hasil dari foto prewedding akan ditampilkan dalam resepsi pernikahan.36

Foto prewedding sudah menjadi life style (gaya hidup) bagi pasangan-pasangan yang akan menikah. Foto hasil prewedding itu digunakan untuk berbagai keperluan pesta pernikahan. Seperti undangan souvenir, hingga sampai dekorasi ruangan.37

Sesi foto prewedding yang dilakukan saat ini sering menampakkan keintiman yang sudah jelas diharamkan untuk kedua calon pengantin, karena saling melihat, menatap dan bersentuhan adalah perbuatan-perbuatan yang mendekati zina.

Foto prewedding sudah menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan calon pengantin sebelum pernikahan. Bahkan hingga saat ini foto prewedding tidak dipermasalahkan.

36Agustina Dwi Cahyati, “Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam” (Metro:

IAIN Metro, 2018),69.

37Adindha Putri Arifianing Kasih, “Pandangan Masyarakat Terhadap Foto Prewedding Dalam Undangan Pernikahan Perspektif Hukum Islam”(Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2019), 5.

b. Tujuan dan Kegunaan Foto Prewedding

Sesi foto prewedding merupakan aktivitas pengambilan gambar yang dilakukan oleh seorang fotografer dan kemudian diserahkan kepada kline dalam wujud file foto, album dan juga frame. Disini merupakan pendapat dari sudut pandang seseorang calon pengantin terhadap foto prewedding .

Sebagaimana telah dijelaskan di atas calon pengantin yaitu seorang laki-laki dan perempuan yang akan melakukan pernikahan dikemudian hari, untuk mengisi waktu kekosongan. Calon pengantin melakukan foto prewedding dengan tujuan dan kegunaan sebagai berikut:

a. Sebagai Media Kenangan

Memberikan kenangan yang sangat berharga bagi calon pengantin, keluarga, dan teman-temannya. Dengan adanya foto-foto tersebut maka pasangan pengantin dan siapapun juga dapat membuka kembali album bersejarah tersebut dan mengenang peristiwa sakral dan membahagiakan dalam hidup tersebut.

b. Sebagai Referensi

Foto prewedding dapat menjadi referensi bagi keluarga atau teman yang hendak melangsungkan pernikahan. Bagi yang akan merencanakan pernikahan dan masih bingung memikirkan konsep pernikahan, model baju pernikahan dan sebagainya, maka foto-foto

tersebut dapat memberikan ide atau konsep yang sama seperti yang mereka lihat di dalam foto prewedding ide dari foto-foto tersebut.38 c. Jenis-jenis Foto Prewedding

1. Tempat Pengambilan FotoPrewedding

Pengambilan foto prewedding biasanya dilakukan 1-2 bulan sebelum hari pernikahan.Tempat pengambilan foto prewedding yang bisa dipilih calon pengantin yaitu outdoor atau indoor. Outdoor, calon pengantin bisa memilih tempat-tempat eksotis yang lokasinya dapat menghasilkan gambar yang unik seperti pantai, taman, puncak, atau hutan.39Indoor, foto prewedding ini dilakukan di dalam studio foto

Pengambilan foto prewedding biasanya dilakukan 1-2 bulan sebelum hari pernikahan.Tempat pengambilan foto prewedding yang bisa dipilih calon pengantin yaitu outdoor atau indoor. Outdoor, calon pengantin bisa memilih tempat-tempat eksotis yang lokasinya dapat menghasilkan gambar yang unik seperti pantai, taman, puncak, atau hutan.39Indoor, foto prewedding ini dilakukan di dalam studio foto