• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, peneliti bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor yang melatarbelakangi Calon Pengantin Melakukan Foto Prewedding di Desa Simpang Pematang Kabupaten Mesuji.

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan atau manfaat penelitian yang diharapkan peneliti ini adalah:

a. Secara Teoritis, yaitu menjelaskan bahwa hasil penelitian untuk memperluas pemahaman terhadap ilmu pengetahuan kepada pembaca maupun mahasiswa/i jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah).

b. Manfaat praktis, yaitu menjelaskan bahwa hasil penelitian bermanfaat terutama kepada masyarakat yang melakukan foto prewedding di Desa Simpang Pematang Kabupaten Mesuji.

D. Penelitian yang Relevan

Penelitian foto prewedding telah banyak dilakukan, penelitian ini tentu tidak terlepas dari peneliti terdahulu yang dijadikan sebagai pandangan dan referensi diantaranya:

Skripsi Irfan Helmi (2016) skripsi yang ia tulis berjudul “Budaya Foto Prewedding Dalam Hukum Islam” (Studi Kasus Aris Fotografer, Jl. Harvest Citi Blok Ob IV No.15, Cibubur). Dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah faktor yang paling puncak yang menyebabkan banyaknya calon pengantin untuk mendatangi saudara Aris untuk di potret dalam bentuk foto prewedding. Dalam syariat Islammemandang haram kegiatan dalam pemotretan gambarnya selalu memunculkan perilaku khalwat, ikhtilat, dan khasyaful aurat.19

Sharif Hidayat (2017) skripsi yang ditulis berjudul “Foto Prewedding Dalam Perspektif Ulama Palangka Raya”. Dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa ulama Palangka Raya memiliki pendapat berbeda-beda dalam menempatkan hukum foto prewedding, di antaranya ada yang membolehkan dan ada yang melarang secara mutlak. Kelompok yang membolehkan foto preweding hanya sebatas dalam keadaan model foto prewedding yang telah sah menjadi suami istri menurut hukum Islam, sehingga halal apabila bersentuhan. Adapun kelompok kedua yang melarang adanya foto prewedding, berpendapat bahwa foto prewedding haram apabila dilakukan sebelum akad nikah dengan alasan keadaan para model yang belum ada ikatan

19Irfan Helmi, “Budaya Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam”, (Jakarta:

UIN Syarif Hidayatullah, 2016).

sebagai suami istri memiliki peluang besar terjadinya khalwat dan ikhtilat.

Dalam hal apabila foto prewedding mengandung unsur membuka aurat, bertabarruj, dan tujuan yang tidak diperbolehkan dalam Islam para ulama sepakat untuk melarangnya.20

Agustina Dwi Cahyati (2018) Skripsi yang ia tulis berjudul

“Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam” ( Studi Kasus di Desa Rukti Harjo Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah). Peneliti tersebut membahas bahwa foto prewedding yang dilakukan oleh para calon pengantin di Desa Rukti Harjo Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah dalam perspektif fiqih hukumnya, dilihat dari dua perspektif haram dan boleh. Dilihat dari beberapa aspek: yang pertama pakaian, dalam melakukan foto prewedding calon pengantin menggunakan pakaian yang tidak sopan dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Kedua pose, dalam melakukan foto prewedding pose yang dilakukan calon pengantin berlebihan, dan mengandung unsur Ikhtilat, Khalawat, Kasyful aurat. Dan yang ketiga, pendampingannya dalam melakukan foto prewedding calon pengantin tidak didampingi oleh mahromnya ketika dalam perjalanan menuju lokasi sampai kembali lagi kerumah.21

Skripsi Dian Prita Devi (2015) skripsi yang ia tulis berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Foto Prewedding”. Dalam penelitian tersebut membahas pelaksanaanfoto prewedding dalam prespektif hukum

20Sharif Hidayah, “Foto Prewedding Dalam Perspektif Ulama Palangka Raya”, (Palangka Raya: IAIN Palangka Raya), Vol.8, No. 1 juni 2018.

21Agustina Dwi Cahyati, “Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam”, (Metro:

IAIN Metro, 2018).

Islam itu dilarang secara muktlak.Kegiatan foto prewedding di dalam Syari‟at Islam maupun menurut ijtihad para ulama di Indonesia berpendapat pelaksanaan foto prewedding sebelum adanya ijab qabul maka diharamkan.Sebagian ulama di Indonesia ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan foto prewedding itu haram disebabkan kedua calon mempelai belum dapat dikatakan pasangan suami istri karena belum dilakukannya akad nikah sehingga kedua calon mempelai tersebut masih bukan mukhromnya.22

Berdasarkan keempat penelitian di atas, dapat diketahui bahwa penelitian yang dilakukan memiliki kesamaan, kajian dalam penelitian tersebut menjelaskan hukum foto prewedding dalam prespektif fiqih dilihat dari segi poseikhtilat, khalawat, dan kasyful aurat. Akan tetapi terlihat adanya perbedaan yang mendasar dalam penelitian ini maka peneliti lebih menekankan pada faktor-faktor yang melatar belakangi calon pengantin melakukan foto prewedding.

Maka dalam hal ini peneliti akan mengkaji mengenai Faktor-Faktor Calon Pengantin Melakukan Foto prewedding Dalam Perspektif Hukum Islam di Desa Simpang Pematang Kabupaten Mesuji.

22Dian Prita Devi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Foto Prewedding”, (Jember: IAIN Jember, 2015).

1. Pengertian ‘Urf

„Urf atau disebut juga adat secara bahasa berasal dari kata „arafa-ya‟rufu-ma‟rufin yang diartikan sebagai sesuatu yang dikenal. Namun secara istilah „urf dimaknai sebagai sesuatu yang dikenal oleh masyarakat, telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka yang berupa perkataan dan perbuatan.1 Definisi „urf menurut para ahli fiqh adalah:

“Sesuatu yang sudah dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.”

Hakikat adat dan „urf adalah sesuatu yang sama-sama dikenal oleh masyarakat dan telah berlaku secara terus-menerus sehingga diterima keberadaannya ditengah umat.2

Secara etimologi (bahasa) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟ dan fa‟ yang berarti kenal, dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal), ta‟rif (definisi), kata ma‟ruf (kebiasaan), dan kata

„urf (kebiasaan yang baik).3 „Urf secara bahasa berarti sesuatu yang telah dikenal dan dipandang baik serta dapat diterima akal sehat.4 „Urf yang

1Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam (Kuningan: Hidayatul Qur‟an, 2019), 100.

2Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2014), 71.

3 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 209.

4Musnad Rozin, Ushul Fiqh 1, (Yogyakarta, Amzah, 2015), 165.

bermakna terbuat baik dapat ditemukan dalam firman Allah SWT surah

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.5

Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutnya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular diantara mereka.6 Dengan kata lain

„urf (kebiasan masyarakat) adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh masyarakat daerah tertentu, dan terus dijalani oleh mereka.7

„Urf lahir dari sebuah kebiasaan (al-adah), yaitu sesuatu yang telah bersemayam didalam jiwa yang berupa hal-hal rasional yang dilakukan secara berulang-ulang menurut akal yang sehat. Bagi seseorang, „urf (adat istiadat) mempunyai kekuasaan yang besar, yang harus ditaati.

2. Macam-macam ‘Urf

Adat yang sudah berlangsung lama, dalam hubungannya dengan hukum syara‟ yang datang, terdiri dari tiga macam:

1. Adat yang sebelum datangnya agama Islam, karena dianggap baik oleh hukum syara‟ dinyatakan berlaku untuk umat Islam, baik dalam bentuk diterimanya dalam Al-Qur‟an maupun

5 Departemen Agama Islam RI, Al-qur‟an dan Terjemah (Jakarta: Magfirah Pustaka, 2006), 176.

6 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 209.

7 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 161.

mendapat pengakuan dari nabi. Adat dalam bentuk ini dengan sendirinya diamalkan dalam Islam karena telah dikukuhkan dalam nash Al-Qur‟an.

2.Adat yang berlaku sebelum datangnya Islam, namun karena adat tersebut dianggap buruk dan merusak bagi kehidupan umat, dinyatakan Islam sebagai suatu yang terlarang, maka dalam hal ini ulama telah bersepakat bahwa adat dalam bentuk ini tidak boleh dilakukan.

3.Adat atau kebiasaan yang terdapaat ditengah masyakat belum diserap menjadi hukum Islam, namun tidak ada nash syara‟ yang melarangnya. Adat dalam bentuk ini dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟. Kaidah yang digunakan dalam fiqh adalah al‟addah al muhakkamah.8

3. Kedudukan ‘Urf

para ulama mazhab fiqh, pada dasarnya bersepakat untuk menjadikan „urf secara global sebagai dalil hukum Islam (hujjah syar‟iyyah). Perbedaan pendapat diantara mereka terjadi mengenai batasan dan lingkup aplikai dari „urf itu sendiri.9 Dalam kaitan ini, perlu dkemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Perihal kebiasaan masyarakat Arab terdauhu yang kemudian dikonfirmasikan secara positif oleh syariat sehingga ia menjadi hukum syara‟. Mengenai hal ini, para ulama bersepakat bahwa

8Alfiani Eka Nurlaili, “Tinjauan Urf Terhadap Praktik Khitbah Perempuan” (Ponorogo:

IAIN Ponorogo, 2020), 44.

9 Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011). 161.

kebiasaan tersebut mengikat secara syar‟i segenap kaum muslim.

Kebiasaan semacam ini tetap kukuh valid, tidak berubah sebagaimana berubahnya waktu dan tempat.

b. Perihal kebiasaan masyarakat Arab terdahulu yang kemudian dinegasikan secara ekspilit oleh syariat sehingga ia menjadi haram hukumnya. Mengenai hal ini, para ulama sepakat bahwa kebiasaan semacam ini harus dijadikan oleh segenap kaum muslim. Inilah ang disebut „urf fasid.10

4. Syarat-Syarat ‘Urf Sebagai Sumber Hukum Islam

„Urf dapat dijadikan sumber penemuan hukum Islam harus memenuhi persyaratan-persyartaan tertentu. Apabila dilihat dari nash-nash yang dijadikan sandaran bolehnya menggunakan „urf sebagai metode penemuan hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa „urf tersebut harus merupakan „urf yang mengandung kemaslahatan dan „urf yang dipandang baik.11

Para ahli metodologi hukum Islam (ahli ushul) mensyaratkan beberapa syarat sebagai berikut:

a. „Urf (baik yang bersifat umum atau khusus ataupun yang bersifat perbuatan atau ucapan) berlaku secara umum, artinya

„Urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat.

10 Ibid, 162.

11 Sucipto, “ „Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, Jurnal Asas (IAIN Raden Intan Lampung), Vol. 7 No.1/Januari 2015, 32.

b. „Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya „Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

c. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi, atau dengan kata lain tidak terdapat persyaratan yang mengakibatkan „urf atau adat kebiasaan itu tidak dapat diterapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.

Karena „urf itu secara implisit berkedudukan sebagai syarat.

d. „Urf tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara‟.

Jadi „urf dapat dijadikan sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara khusus melarang melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.12 Dengan persyaratan tersebut para ulama memperbolehkan penggunaan „urf sebagai sumber hukum Islam.

B. Konsep Islam tentang Pergaulan

Pergaulan antara perempuan dan laki-laki pada hakikatnya tidak dilarang. Bahkan interaksi antara keduanya diperbolehkan. Karena sesungguhnya kejasama anatara laki-laki dan perempuan diperlukan dalam kehidupan. Namun dalam pergaulan terdapat batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.13 Batas-batas hukum tersebut antara lain:

12 Sucipto, “ „Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, 32.

13Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, ( Bandung: Jabal, 2014), 107.

1. Menjaga Pandangan

Menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan.Artinya tidak boleh melihat aurat, tidak boeh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa adanya keperluan. Hukum menjaga pandangan adalah wajib bagi setiap muslim.

Sebagimana Allah berfirman dalam Q.S An-Nuur[24]: (30)



mereka menjaga pandangnnya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.14

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memaknai ayat tersebut bahwa Allah mensyariatkan penundukan pandangan terlebih dahulu (menjaga pandangan) karena mata merupakan sarana yang menyebabkan kemaksiatan pada kemaluan. Memandang hanya diperbolahkan untuk kemaslahatan kepentingan untuk kebaikan yang sudah jelas. Namun menjadi haram jika menimbulkan kerusakan.15

14 Departemen Agama Islam RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: Magfirah Pustaka,2006), 353.

15Haya binti Mubarok Al-barik, Wanita Muslimah, cetakan ke-5, (Jakarta : Darul Falah, 2003), 151.

Adapun yang dimaksud pandangan spontan dalah pandangan yang terjadi tanpa adanya niat dari pelakunya. Selama pandangan ini dilakukan tanpa sengaja, maka itu tidak berdosa. Akan tetapi, pandangan kedua yang dilakukan dengan sengaja akan mendapat dosa. Rasululllah memerintahkan untuk memalingkan pandangan pertama, dan tidak melanjutkan pandangan. Karena kelanjutannya sama saja dengan pengulangan.

2. Kasyful Aurat (Menjaga Aurat)

Pada umumnya kata aurat ini memberi arti tidak baik dipandang.

Memalukan dan mengecewakan. Ada juga para ahli tata Bahasa Arab yang mengatakan kata “Aurat” berasal dari “Aaro” artinya menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ini berarti pula, bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapatdipandang. Adapun yang lain berpendapat kata “Aaurat” berasal dari kata “A‟wara” yakni sesuatu yang jika dilihat mencemarkan. Jadi aurat sesuatu anggota yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.16

Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Q.S Al- A‟raf : 26



16Huzaemah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer; (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), 18.

Artinya : “Wahai anak adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu.Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.Demikianlah sebagaian

tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat”.17 Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-„aurat) syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat.Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit.18Seorang wanita bebas menentukan model pakaiannya menurut kebudayaan dan tingkat peradaban masyarakatnya, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip pokok yang telah ditetapkan syariat.Dengan demikian, wanita muslimah Indonesia dapat saja merancang model busana yang sesuai dengan budaya dan tradisi Indonesia.tanpa meninggalkan prinsip menutup aurat, sehingga busana yang dikenakan member kesan keIslaman dan keIndonesiaan.Busana muslimah tidak identik model busana Arab, sebab yang penting menurut Islam ialah tertutupnya aurat.19

Islam mengharamkan wanita mengenakan pakaian yang dapat menunjukkan dan mengungkapkan tubuh yang ada dibaliknya karena tipis.Begitu pula pakaian yang menunjukkan lekuk-lekuk bagian tubuh, khususnya bagian-bagian yang sensitive mendatangkan fitnah, seperti payudara, paha, pinggul, dan sebagainya.

17Departemen Agama Islam RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: Magfirah Pustaka,2006), 153.

18Ibid, 18.

19Muhammad Sudirman Sesse, „Aurat Wanita dan Hukum Menutupnya Menurut Hukum Islam, Jurnal Al-Maiyyah, Vol 9 No.2 Juli-Desember, 2016, 327.

3. Pengertian Ikhtilat dan Khalwat

Ikhtilat yakni pergaulan campur laki-laki dengan perempuan dan khalwat yakni berduan-duaan laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya.20Atau berkumpulnya beberapa orang perempuan dengan beberapa orang lelaki pada suatu tempat yang memungkinkan untuk saling bertemu pandang atau bercakap-cakap secara langsung, maka keberadaan seorang lelaki dangan seorang perempuan ditempat yang sunyi, dan diantaranya tidak ada hubungan muhrim, bagaimanapun hal tersebut dianggap ikhtilat.21

Dari „Umar bin Al-Khattab, ia berkhutbah di hadapan muslim di Jabiyah, lalu ia membawakan hadits nabi berikut:

َ اَ ن ااُط أيَّشَ أَ ناإَف َحاأُر ْامَُ َمَْكادَحَأَ انَوُ اخَْ ّ َال

َ نْرُؤَرَ انَهاإََهَتائْ ط ايسََهُتاءن اساوََهَتان اساحََهُتأ اسََ ُناراوَنامَ َثُْل اثَ

Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.”

Menurut pandangan Dr Abdul Karim Zaidan yang dikutip oleh Irfan Hekmi dalam karyanya Mufshal Fii Ahkami Mar‟ah.

Sesungguhnya asal hukum dalam masalah berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan adalah haram. Namun diperolehkan

20Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, Cetakan ke-3 (Jakarta: Maf Media Kreativa, 2017), 242.

21Haya binti Mubarok Al-barik, Wanita Muslimah, cetakan ke-5, (Jakarta : Darul Falah, 2003), 153.

berikhtilat antara laki-laki dan perempuan jika memang terdapat dharurah syariah, hajat syariah, maslahah syariah atau karena hukum adat dalam beberapa keadaan berikut:

a. Ikhtilat yang diperbolehkan sebab dharurat:

Seorang laki-laki yang menolong seorang perempuan pada saat perempuan tersebut dikejar oleh seseorang yang akan menganiayanya.

b. Ikhtilat yang dibolehkan sebab hajat syariah:

1) Berikhtilatnya laki-laki dan perempuan untuk bermuamalah syariah seperti jual beli, gadai dan lainnya.

2) Beriktilatnya laki-laki dan perempuan untuk menghormati tamu.

3) Beriktilatnya laki-laki dan perempuan dalam kendaraan umum untuk memenuhi hajat kebutuhan hidup sehari-hari seperti belanja dan sebagainya).

c. Ikhtilat yang sudah menjadi hukum adat bersifat positif:

Berikhtilatnya laki-laki dan perempuan disalah suatu tempat berkumpul seperti lapangan upacara, auditorium atau saat mengujungi salah seorang sahabat dengan catatan pakian dan adab harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan hukum syariat, pandangan antara peran laki-laki dan perempuan tersebut tidak terdapat syahwat dan tidak ada khalwat antara seorang laki-laki dan perempuan.

Menurut Imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimmyati ulama dari mazhab Syafi‟I dalam karyanya “Hasyiah I‟anah Tholibin” beliau mengungkapkan pendapatnya yaitu: “adapun hukum berkumpulnya seorang wanita dan seorang lelaki pada perayaan yang tidak melanggar hukum syari‟ah di akhir Ramadhan perayaan malam takbiran) adalah makhruh selama tidak terdapat persentuhan badan antara lawan jenis yang ajnaby secara sengaja dan tanpa kebutuhan dharurat. Maka jika terjadi persentuhan yang disengaja dan tidak kebutuhan dhorurat adalah haram hukumnya.”

Rasulullah SAW bersabda:

ََالََُّلْ اتََلًَ َحاأُرشَ أسامايَ َُ َحَ ُنْرََ الََ ُيْاخَفكيْكادَ ُنْرَفطاطُخْمْبَفلَجارَ ْسْحارَ ْفَِاناع ُاَيَ َُ َلأ

Artinya: “ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik daginya, daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.”(HR. Thobroni dalam Mu‟jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadist ini shahih).22

Betapa bahayanya perilaku ikhtilat, sehingga baginda Nabi Muhammad saw. pun mengibaratkan bahwa tertusuk oleh pasak yang berbuat dari besi, masih lebih baik di bandingkan harus menyentuh lawan jenis yang bukan mahram. Ini menunjukkan ketegasan dari baginda Nabi Muhammad saw. kepada umatnya untuk menjauhi perilaku ikhtilat dan khalwat.

22Irfan Helmi, “Budaya Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2016), 13-14

4. Berpergian Tanpa Didampingi Mahram

Penjajah barat telah membuat masyarakat kita menjadi tuli terhadap peraturan Allah dan Rasul-Nya.Orang-orang seperti ini yang kebanyakan para pemimpin, memaksa kita untuk memberikan kebebasan terhadap wanita untuk menyatakan diri, mengembangkan kerpribadiannya, menikmati hidupnya, dan kefiminimannya. Mereka ingin mereka bergaul dengan beberapa pria secara bebas,bergaul dekat dimana wanita bisa bersama-sama dengan beberapa pria dan berdua-duaan, berjalan bersama para pria.23

Wanita tidak boleh berpergian dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Jika tidak ada mahramnya atau ada tapi tidak mau pergi bersamanya maka ia boleh dibayar dari harta wanita itu (sebagai bayaran pergi bersamanya). Apabila tidak ada yang mendampingi wanita tersebut hendaknya tetap menetap dirumah.Wanita dilarang berpergian kecuali ditemani bersama mahramnya yang menjaganya dari gangguan-gangguan orang jahat dan orang-orang fasik.

Seorang laki-laki diharamkan untuk berpergian dengan seorang perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan karena keduanya belum dihalalkan secara syara‟ sehingga hubungan keduanya belum sah.Jika tidak ditemani oleh mahramnya ditakutkan akan terjadi sesuatu yang tidak diperblehkan.24

23Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, ( Bandung: Jabal, 2014), 106.

24Agusina Dwi Cahyati, “Foto Prewedding Dalam Pandangan Hukum Islam”(Metro:

IAIN Metro, 2018), 82.

Seorang laki-laki dan perempuan hendaklah untuk tidak berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya, karena dikhwatirkan akan mendorong keduanya untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

5. Konsep Hukum Islam tentang Foto Prewedding

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengatakan bahwa hukum melakukan foto prewedding adalah haram. Prof. Dr.

Abdullah, MA. Menjelaskan bahwa foto prewedding yang dimaksud adalah foto mesra calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang dilakukan sebelum akad nikah.Foto prewedding diharamkan karena saat pengambilan foto belum ada ikatan sebagai suami istri.25

Berdasarkan penjelasan lain terkait bahwasannya hukum melakukan foto prewedding adalah haram menurut Fatwa yang dikeluarkan oleh Forum Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur ke 12 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan hal ini diakui oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Ridwan , yang setuju karena hal ini selaras dengan ajaran Islam.

Pengharaman pembuatan foto prewedding ini setidaknya didasarkan 2 hal yaitu pada pasangan mempelai dan fotografer yang melakukannya.Untuk mempelai diharamkan apabila dalam melaksakan

25Ibid, 39.

foto prewedding terdapat ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), khalwat (berduaan), kasyaful aurat (membuka aurat).26

Seluruh Ulama ahli fiqih sepakat bahwa hukum foto prewedding itu haram jika terjadi : Iktilath dan Khalwat, persentuhan dengan lawan jenis, tabarruj dan bermesraan. Hukum haram ini tidak hanya berlaku terhadap calon pengantin saja, melainkan fotografer terkena hukum haram karena pada umumnya fotografer melihat dan bahkan menyentuh bagian anggota tubuh calon mempelai wanita untuk menata dandanan dan penampilannya agar tampak lebih indah dan menarik. Atau minimal para fotografer itu rela terhadap tindakan foto prewedding yang merupakan perbuatan terlarang tersebut.

Namun, perbuatan foto prewedding itu tidak mutlak haram, melainkan ada peluang untuk diperbolehkan jika dalam proses pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, tidak mengandung unsur perbuatan mungkar. Hal ini bisa ditempuh, misalnya dengan cara kedua calon mempelai melakukan pengambilan foto secara berpisah, dan juga dipajang atau dipasang secara terpisah, atau pengambilan gambar dilakukan setelah akad nikah, sebelum resepsi pernikahan, yang berarti keduanya sudah halal. Walaupun demikian, si perempuan tetap harus berpakaian sopan, Islami, dan tidak ber-tabarruj.

Namun, perbuatan foto prewedding itu tidak mutlak haram, melainkan ada peluang untuk diperbolehkan jika dalam proses pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, tidak mengandung unsur perbuatan mungkar. Hal ini bisa ditempuh, misalnya dengan cara kedua calon mempelai melakukan pengambilan foto secara berpisah, dan juga dipajang atau dipasang secara terpisah, atau pengambilan gambar dilakukan setelah akad nikah, sebelum resepsi pernikahan, yang berarti keduanya sudah halal. Walaupun demikian, si perempuan tetap harus berpakaian sopan, Islami, dan tidak ber-tabarruj.