• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKANAN BATIN TOKOH ARIMBI DALAM NOVEL DETIK TERAKHIR

3.2 Bentuk-Bentuk Tekanan Batin Akibat Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Kebutuhan Dasar.

3.2.1 Rasa Takut

Rasa takut yang dialami oleh tokoh Arimbi, merupakan salah satu akibat dari tekanan batin. Seseorang yang merasa hidupnya tidak aman dan nyaman, jika dipenuhi dengan ketakutan. Begitu juga yang dirasakan oleh Arimbi, ketika Arimbi berada bersama orang tuanya. Arimbi merasa takut dengan perbuatan ayahnya, yang memukul ibunya sampai pingsan dan keluar darah. Arimbi merasa bahwa perbuatan dari ayahnya sangat keterlaluan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(196) Di kamar ini, kesendirian adalah hal yang menyengat. Sebab di rumah saya kerap ada pertunjukkan lenong di pagi hari. Lenong pertengkaran. Seperti suatu kali saya ingat. Dari arah kamar orang tua saya terdengar suara obrolan dalam suara yang cukup keras. Mula- mula hanya berupa obrolan dalam suara obrolan. Lama- lama pertengkaran, akhirnya cekcok hebat. Lalu cekcok mulut menjadi sengketa dan arena caci maki. Kemudian perang mulut tak berbendung dengan teriakkan melengking. (Hlm. 32).

(197) Kemudian papa tanpa bicara apa-apa langsung mengayunkan tangan kanannya yang besar dan berotot ke wajah mama. Suara pukulan itu kencang. Mama mengadu. Tidak hanya sekali. Papa mengayunkan satu tamparan lagi dengan punggung telapak tangan. Terus beberapa kali saya bergidik. Dia menampar mama seperti tukang sate

mengibaskan kipas di atas panggangan. Berkali-kali, bertenaga, dan tanpa emosi. (Hlm.39).

(198) Herannya mama tidak berteriak lagi. Dia hanya mengaduh tertahan. Tubuhnya sudah setengah kelonjatan, dengan kaki lengser perlahan ke bawah. Ketika mama jatuh tertunduk, papa tidak pergi, melainkan berjongkok. (Hlm. 39).

(199) Mereka melakukan pertolongan pada mama dengan gerakan tenang tapi pasti. Sesuatu telah disuntikkan dilengan mama, dan membuatnya tiba-tiba tidur. Papa berdiri mematung di sudut kamar. Saya tak berani memandang wajahnya. Rasa jijik dan takut sudah membaur dan melumpuhkan hasrat saya untuk menyadari bahwa dia ada (Hlm. 41). (200) Kesibukkan itu sedikit membuat perasaan saya tenang. Tapi tak

menyudahi kecemasan saya yang hebat. Darah itu. Begitu banyak. Saya pernah mendengar orang bisa mati karena kehabisan darah. Apakah itu juga yang menyebabkan papa tiba-tiba berlari keluar dan memanggil orang medis? Jika dia memang takut mama mati, kenapa dia memukulinya? (Hlm. 41).

Rasa takut juga dialami Arimbi, ketika ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Arimbi merasa tidak mengenali orang tuanya. Dia merasa tersiksa hidup bersama orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(201) Saya bingung dengan perasaan saya sendiri. Saya saya tak mengenali orang tua saya. Dan saya mulai tak mengenali diri sendiri. Saya panik. Pikiran saya berkecamuk tak tentu arah. (Hlm.56).

(202) Di rumah saya tersiksa dengan du orang yang selalu bergumul dengan nafsu masing- masing. Di luar rumah saya bergumul dengan diri sendiri. Mempertanyakan perasaan aneh yang semakin lama semakin mencekram saya dalam kebingungan yang menyiksa. (Hlm. 56).

Rasa takut juga dirasakan Arimbi, pada saat dia mengetahui dirinya lesbian. Arimbi merasa ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Dan dia juga selalu bertanya, mengapa ini terjadi pada dirinya, siapa yang harus saya persalahkan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(203) Saya sulit berpaling dari daya tarik perempuan. Kenapa saya?

Kenapa beda? (Hlm. 59).

(204) Saya tahu. Saya takut atau benci pada lelaki, karena saya ingat papa. Dan saya enggan jadi peremp uan karena saya tak mau sebodoh mama. (Hlm. 59).

(205) Maka, akan jadi apa saya? Saya kan menjadi laki- laki yang tidak sejahat papa. Dan menjadi perempuan yang tidak sebodoh mama. (Hlm.59).

(206) Tapi, lalu saya menjadi ragu.

Apakah saya menjadi lesbian karena membenc i papa? Atau meludahi mama? (Hlm. 59).

(207) Saya menjadi ragu. Sebab tak saya dapati nafsu ketika melihat siswa pria paling baik hati di kelas. Tapi saya bisa sangat bernafsu pada lekuk seksi siswi paling memuakkan di dalam kelas. (Hlm. 59).

Rasa takut juga yang dirasakan Arimbi, ketika ibunya mengetahui kalau Arimbi pecandu narkoba. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(208) Saya sudah mencium ge lagat buruk, ketika selama seharian saya dilanda rasa cemas. Bukan karena sakaw. Tapi naluri saya mengatakan sesuatu yang mengerikan akan datang. Gelas minum saya terjatuh sendiri di meja. Sandal saya putus sebelah, dan televisi di kamar saya mendadak mati. Saya tak percaya tahayul. Tapi batin saya mengatakan sesuatu yang buruk sedang berjalan ke arah saya. (Hlm. 94).

(209) “Kamu bohongi orang tua mu, Ari! Bikin malu kamu!! Mau ditaruh mana muka mama kalau semua orang tahu kamu pecandu narkotika! Mau ditaruh di mana muka mama? Jawaaaab!!!”. (Hlm. 95).

Rasa takut juga dialami Arimbi, ketika Vela overdosis. Arimbi takut kehilangan Vela, Arimbi takut terjadi sesuatu pada Vela. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(210) Saya gemetar. Pasti kelewat banyak pil yang sudah ditelan. Vela mengeluarkan bunyi yang aneh. Saya segera melempar tatapan saya

pada mulutnya. Astaga! Berbusa. Saya begitu panik. Tak saya buang waktu lagi untuk cepat-cepat menghubungi Igil, kakaknya. Saya berlari ke telepon umum. Tangan saya gemetar menekan tombol. Untung Igil cepat datang dihubungi di rumah tante. (Hlm. 112).

(211) Vela diangkut ke rumah sakit dekat rumah kos. Rumah sakit Jakarta. Dia hampir mati karena overdosis. (Hlm. 112).

(212) Saya menungguinya semalam suntuk. Berhari- hari. Saya bangun dan tidur bersamanya.

Saya menghitung nafasnya.

Pikiran saya berputar. Perasaan saya tertindih diantara lapar, tertekan dan ketakutan. Ini kehidupan yang sengsara. (Hlm.113).

Dengan terjadinya overdosis pada diri Vela, Arimbi merasa sangat takut, ketakutan itulah yang membawa Arimbi pada sebuah kesadaran, bahwa narkoba sudah tidak penting lagi bagi dirinya. Karena takut kehilangan Vela, Arimbi mengambil sebuah keputusan untuk berhenti dari narkoba. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(213) Sesuatu yang menghantam datang bersamaan dengan kecemasan saya kehilangan Vela. Mungkin saya memang sudah saatnya total menghentikan narkoba! Kami sudah menemukan jalan keluar. Saya sudah terbebas dari rumah, dan saya sudah memiliki kekasih yang bisa menerima saya. Vela...seharusnya juga merasa aman hidup dengan saya. Maka narkoba sudah tak penting lagi. Saya menangis. Menyalahkan kelalaian saya membiarkan Vela tetap dengan ketergantungannya yang makin hebat. Saya mengutuk diri saya sendiri. (Hlm. 113).

(214) Kenapa saya harus terjerembab pada impitan hidup seperti ini? Napasnya tinggal satu-satu. Denyut jantungnya melemah. Mata saya sudah lamur dengan air mata. Saya ketakutan. Saya ketakutan. (Hlm. 113).

Ketakutan dapat menyebabkan kekalutan mental bahkan penyakit mental. Penyakit mental ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis,

cemburu, iri hati, dengki, kemarahan-kema rahan yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis, dan lain- lain. (Kartono, 1989:5).

Selain kekalutan mental, ketakutan merupakan salah satu ciri orang yang memiliki kepribadian yang tidak sehat. Seseorang yang berperilakunya tidak sehat, hidupnya selalu dipenuhi konflik batin dan tegangan, selalu dikuasai oleh macam- macam maslah serta diri merasa tidak aman. (Kartono, 1989:5). Dengan Arimbi adalah seseorang yang mengalami ketegangan batin yang kronis dan memiliki pribadi yang tidak sehat. Hal ini disebabkan karena ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.

Dokumen terkait