• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKANAN BATIN TOKOH ARIMBI DALAM NOVEL DETIK TERAKHIR

3.1 Sebab-Sebab Tekanan Batin

3.1.2 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Penghargaan

Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu, maka juga lebih produktif. Sebaliknya jika harga diri setiap orang kurang, maka orang itu akan diliputi rasa rendah diri serta rasa tidak berdaya, yang

selanjutnya seseorang dapat menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku neurotik. (Maslow via Goble, 1987 : 76).

Harga diri sangat dibut uhkan oleh setiap orang. Penghargaan diri dari orang lain dapat membuat seseorang lebih percaya diri dalam menghadapi hidup. Seseorang yang tidak mendapatkan penghargaan dari orang lain akan tertekan batinnya.

Arimbi merasakan hal ini, yaitu Arimbi tidak pernah mengetahui apa itu kehidupan, Arimbi hanya bisa memikirkan bagaimana cara untuk bisa mati. Arimbi selalu saja berpikir cara yang terbaik untuk mati, berbagai cara Arimbi mencoba, tapi ternyata sia-sia. Arimbi juga sempat mencoba untuk bunuh diri, tapi ketahuan oleh pihak panti yaitu penjaga panti tempat Arimbi rehabilitasi. Hal yang dilakukan Arimbi adalah tidak adanya penghargaan atas dirinya sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(158) “Seminggu lagi orang tua saya akan menciduk saya dari sini dan membawa saya ke Amerika.” Setelah berulang kali mereka menciduk saya di tempat persembunyian saya, kali ini saya sudah putus asa. Mereka tak akan bisa membawa saya pergi. Saya sudah mati pada saat mereka datang. Saya sudah mempelajari teknik bunuh diri yang efektif. Tapi panti itu begitu reseh. Mereka me rampas obat tidur saya, memeriksa setiap senti meter kamar tidur saya setiap hari, dan tak memb iarkan saya menyimpan silet. (hlm. 20).

(159) Mereka merampas sesuatu yang bisa menggantung leher saya. Tali, gasper, kain panjang, mereka tak mengizinkan saya menyemprot nyamuk dengan pembasmi serangga, bahkan tak menaruh benda kimiawi apapun di kamar ini. Mereka pikir saya bisa mati dengan menelan sabun atau mene gguk sampo. Mereka menggeledah saya sebelum pergi tidur.” (hlm. 20).

Kebutuhan penghargaan atas dirinya pun tidak pernah Arimbi perhatikan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(160) Kalau boleh saya sebut siapa musuh terbesar dalam hidup saya, dia adalah diri saya sendiri. Dia yang tak pernah saya kenali. Dia yang tak pernah bisa berkompromi. Dia yang bahkan sulit saya usir dari tubuh saya sendiri. (Hlm. 23).

(161) Saya mulai membenci diri sendiri sejak usia sebelas. Ketika sudah habis masa- masa indah menertawai dunia dengan otak anak kecil. Ketika usia mulai membebani saya dengan banyak persoalan yang tak saya sukai. Saya benci pagi hari. Ketika beker menunjukkan pukul 06.00, dan saya harus buru-buru menyudahi kenikmatan tidur yang tak terbayar. (Hlm. 23).

(162) Saya selalu mengenakan seragam sekolah dengan bibir cemberut. Saya tak menyukai tubuh sendiri. Terutama dua gundukkan kecil di dada yang membuat saya enggan berdiri tegap. (Hlm. 23).

Sebagai seorang anak, Arimbi sangat ingin dihargai oleh orang tuanya. Arimbi ingin sekali agar orang tuanya selalu memperhatikan dia, dan mau meluangkan waktu sebentar untuk bisa makan dan berkumpul bersama. Sebagaimana layaknya hidup dalam sebuah keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(163) Saya hanya memiliki sedikit kenangan hingga usia beranjak remaja. Orang-orang bilang saya enak jadi orang kaya. Orang-orang bilang hidup saya seperti mimpi. Saya bilang, hidup saya tak punya cerita. Apa yang bisa diceritakan dari hari-hari yang hanya punya tititk tempat, rumah, sekolah, dan mobil mewah. (Hlm. 31)

(164) Maka begitu ingin saya menyemburkan kata-kata pada teman-teman saya di sekolah. Mereka mengatakan saya bahagia karena saya anak orang kaya. Saya ingin mengatakan pada mereka apakah mereka sering menyaksikan ibu mereka dipukuli oleh ayah mereka?. (Hlm. 34).

(165) Saya tidak pernah melihat mama membela diri saat dianiaya papa. Saya tak bisa memakai contoh sinetron atau film- film. Saat seorang istri yang digebuki lantas menuntut cerai atau sekalian kabur dari

rumah. Saya pernah menonton film, tentang seorang istri teraniaya yang mati- matia n menuntut perilaku suaminya ke pengadilan. Tidak, ibu saya tak seberani itu. Atau tak sepintar itu. Ekspresinya tiap kali dipukuli ayah saya selalu serupa. Dia hanya berteriak-teriak seperti ayam yang baru dipenggal, merunduk-runduk seperti kucing ketakutan. (Hlm. 35).

(166) Saya mulai menangis. Bukan hanya telinga saya kini yang menjadi ingin pecah. Hati saya bahkan sudah siap meledak. Saya menengok ke segala penjuru. Berharap ada seseorang muncul dan bisa menghentikan tindakkan biadap papa. Tapi tak ada seorangpun orang terdekat semestinya adalah sopir dan saya. (Hlm.40).

(167) Saya tak tahan lagi. Saya ingin berlari ke kamar itu, tapi kaki saya seperti dikunci. Tangis saya menjadi seduh sedan tak terkendali. Saya berdiri, dan jatuh menggeleser begitu saja. Kenapa saya lemah! Saya memaki dalam hati. Saya terus menangis. Ketika suara itu berhenti, tangis saya menjadi sisa dalam ruang ya ng tiba-tiba menjadi senyap. (Hlm. 40).

Sebagai seorang anak, Arimbi merasa bahwa kedua orang tuanya tidak pernah menghargai dirinya, sebagai anak mereka. Orang tuanya selalu saja mengurus keperluan mereka sendiri. Mereka tidak pernah memperdulikan keadaan Arimbi. Akibat dari perbuatan kedua orang tuanya, Arimbi merasa bahwa dia tidak dihargai lagi oleh kedua orang tuanya. Pada akhirnya Arimbi mengambil keputusan untuk pergi dari rumah. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut:

(168) Saya sudah memutuskan hubungan dengan rumah bahkan tanpa sepengetahuan orang tua saya. Saya melakukan banyak haj yang tidak diketahui orang tua saya. Les- les tak saya datangi lagi. Saya ganti dengan nongkrong bersama teman-teman sekolah yang sama kesepian, sama kebingungan. Saya tak merasa perlu bilang orang tua. Sebab mereka tak mengenal saya dan saya tak mengenal mereka. Maka, saya tak merasa bersalah telah membohongi mereka. Sebab mereka tidak mengenal saya. (Hlm. 51).

(169) Kebiasaan saya merokok bertambah parah. Terlebih setelah rumah semakin memisahkan penghuninya. Pap semakin sering dinas luar. Bahkan saya dengar dari mama, papa kini masuk klub eksklusif yang punya kegiatan rutin golf di Nirwana Bali. Itu artinya hampir seminggu sekali papa ke Bali, jika sedang tidak ada acara lain. Saya semakin tak punya akhir pekan dengan keluarga yang lengkap. Papa juga jarang menampilkan diri di ruang makan ketika saya menghabiskan nasi goreng setiap pagi. Papa mulai bangun kesiangan. Saya berangkat sekolah tanpa melihatnya. Dan pergi tidur sebelum papa kembali ke rumah. (Hlm. 54).

(170) Sementara mama semakin sibuk menggelar pameran lukisan. Bahkan kali ini bukan hanya di Jakarta. Tapi juga Surabaya dan Medan. Mama ikut- ikutan seperti papa, kembali ke rumah ketika lampu- lampu telah dimatikan. Saya hanya mendengar sayup deru mobilnya masuk, ketika kantuk saya sudah mencapai puncaknya. Saya tak merasa itu menjadi masalah. Sebab saya tak mengenal mereka. Dan mereka tak mengenal saya. (Hlm. 54).

(171) Badan saya semakin kurus. Dan orang tua saya tidak cukup tahu. Saya mulai mentertawakan perasaan melankolis saya dulu. Merasa bahwa saya cukup memperhatikan saya. Kenapa saya tak menyentuh batang rokok sejak duduk sekolah dasar? Dengan demikian saya tak akan begitu lama tersiksa menyerap hal- hal yang membingungkan di rumah saya. (Hlm. 54).

Akibat dari perbuatan orang tuanya yang tidak pernah memperdulikan Arimbi, Arimbi merasa bahwa dia sudah tidak berharga lagi untuk tinggal bersama kedua orang tuanya. Arimbi menjadi putus asa. Dan Arimbi juga merasa hidupnya tidak berharga lagi di mata kedua orang tuanya. Arimbi mulai bergabung dengan orang-orang yang merasa kesepian seperti dia, orang-orang tersebut adalah teman- teman sekolahnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(172) Saya semakin sering menghabiskan waktu di bar, di mal- mal atau di arena biliar dan boling, dengan teman-teman pria yang semakin banyak. Bahkan kini teman-teman pria yang semakin banyak. Bahkan

kini teman saya juga bertambah, dari beberapa sekolah lain. Kebanyakkan dari kami memiliki uang cukup banyak. Karenanya kami bisa memesan minuman yang cukup mahal. Dalam waktu yang amat singkat saya sudah mahir mabuk. Mabuk saya parah. Dan memalukan. (Hlm. 54-55).

(173) Saya bingung dengan perasaan saya sendiri. Saya tak mengenali orang tua saya. Dan saya tak mengenali diri sendiri. Saya panik. Pikiran saya berkecamuk tak tentu arah. Di rumah saya tersiksa dengan dua orang yang selalu bergumul dengan nafsu masing- masing. Di luar rumah saya bergumul dengan diri sendiri. Mempertanyakan perasaan ane h yang semakin lama semakin mencekram saya dala m kebingungan yang menyiksa. (Hlm. 56).

(174) Saya mengenalnya di mana- mana. Salah jika orang tua menganggap saya sudah cukup aman dengan pendidikan komplet dan perlindungan mutahir dalam mobil mewah setiap hari. Saya tidak sepenuhnya aman dari bubuk itu. Terutama karena saya dibiarkan sendiri ketika kebingungan yang tak berujung pangkal tanpa pertolongan sama sekali. (Hlm. 60).

(175) Mereka sebetulnya memberikan pintu gerbang itu pada saya. Kebodohan orang tua-orang tua kaya. Menceburkan anak dalam nista yang paling dekat. (Hlm. 61).

Dokumen terkait