• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKANAN BATIN TOKOH ARIMBI DALAM NOVEL DETIK TERAKHIR

3.1 Sebab-Sebab Tekanan Batin

3.1.3 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Aktualisasi Dir

Setiap orang, memiliki rasa kebebasan dalam menjalani hidup. Ada yang menghargai kehidupannya dengan cara mengembangkan bakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun, tidak semua orang bisa berkembang sesuai harapannya. Kebutuhan manusia untuk tumbuh, berkembang dan menggunakan kemamp uannya di sebut aktualisasi diri. Manusia yang menjalani hidup yang sesuai dengan cita-citanya, harapan dan keinginannya dapat hidup lebih maju dan berkembang. Terwujudnya cita-cita, harapan dan keinginan membuat seseorang lebih termotivasi untuk mengembangkan apa yang sudah diperolehnya.

Berbeda dengan hal yang dialami oleh Arimbi, Arimbi menjalani hidupnya dengan penuh penderitaan yang dihadapinya. Arimbi tidak pernah merasa betah berada bersama orang tuanya. Arimbi selalu menyaksikan pertengkaran orang tuanya setiap hari. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(176) Masa remaja saya sungguh membingungkan. Saya tak mengerti, apakah benar di setiap rumah, orang tua-orang tua selalu membiarkan anak-anak mereka tak mengenali dengan baik orang tua sendiri? Bukan sekadar wujud, tapi hati?. (Hlm. 43).

(177) Ketika usia saya tujuh belas tahun, saya belum juga bisa mengenali dengan baik kedua orang tua saya. Memreka asyik dengan dunia mereka yang tidak saya mengerti. Saya terus tumbuh, berenang sendirian dengan menggapai- gapai mencari kayu atau perahu yang bisa dijadikan tumpuan. Saya tak pernah melihat pelabuhan. Sebab tiada yang mengajarkan saya untuk berenang ke arah yang tepat. (Hlm. 43).

(178) Tapi jawaban memang tak pernah datang. Saya dapati papa terus memukuli mama. Saya dapati mama bertahan dalam kebodohannya. Dan saya dapati diri saya semakin jauh berlari. Saya tak melihat titik temu di rumah ini. (Hlm. 61).

Arimbi merasa tidak betah juga, hidup bersama kedua orang tuanya, karena semua keinginan Arimbi untuk mendapatkan kebahagiaan tidak terwujud. Akibatnya Arimbi pergi dari rumah untuk mencari dunia baru yaitu narkoba. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(179) Maafkan saya, Mama. Maafkan saya, Papa. Tetapi ini adalah dunia yang menyenangkan. Ini dunia tanpa beban. Di sini tak ada kurikulum. Tak ada kewajiban sarapan pukul 06.30. di sini saya punya bahasa yang beda, dan surga yang beda. (Hlm. 68).

(180) Saya Arimbi, berusia delapan belas, menjelang sembilan belas. Telah cukup besar otak saya untuk mencerna kehidupan yang begini rumit dengan kedewasaan yang saya bangun dengan paksa. (Hlm. 68).

(181) Telah cukup lama benak saya berpetualang sampai saya temukan pelabuhan yang tak bertuan. Serbuk putih ini ternyata jauh lebih paham akan makna kasih sayang ketimbang kalian. Dia lebih punya hati. Dia bukan sekedar sebuah rumah. Dia pelabuhan tempat yang dituju semua orang yang lelah berjalan. Dia bukan hanya yang selalu memaksa orang untuk pulang. Dia pelabuhan. (Hlm. 68).

(182) Sudah saya sesali, kenapa saya tak menginjak surga ini sejak dulu. Kenapa saya harus menelan dulu realita yang pahit sebelum memijak nirwana ini. Kenapa mata saya harus menjadi sipit dengan belasan buku pelajaran padahal serbuk putih yang hanya setitik di telapak ini lebih memb uat diri saya merasa pintar. (Hlm. 68).

Harapan Arimbi untuk bisa hidup dan bahagia bersama orang tuanya menjadi sirna. Arimbi sudah masuk ke dunia baru yaitu narkoba. Arimbi merasa bahwa kehidupan yang paling aman buat dia adalah narkoba. Bagi Arimbi, narkoba adalah suatu kehidupan baru. Dengan memakai narkoba Arimbi merasa semua permasalahan yang dihadapinya bisa diselesaikan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(183) Saya menemukan pemecahan. Saya menemukan teman. Saya menemukan jawaban. (Hlm. 68).

(184) Sungguh pun saya tahu apa yang saya lakukan dihujat selur uh manusia di luar sana. Bahwa apa yang saya nikmati adalah sesuatu yang diludahi di luar sana. Tapi mereka tidak mengenal saya. Dan saya tidak mengenal mereka. Maka saya tidak perlu merasa harus peduli. (Hlm. 68-69).

(185) Bubuk putih itu telah membawa saya pada arena pergaulan baru. Saya masih sesekali nongkrong dengan geng jerry dan Doel. Tapi setelah saya mengenal bubuk ini, di mata saya mereka tak ubahnya anak-anak kecil yang sedang norak-noraknya berkenalan dengan dunia orang dewasa. Terlebih lagi saya menyadari, teman-teman saya terlalu banyak omong itu, ternyata hanya orang-orang kerdil yang protes pada orang tua tapi sekaligus juga menyimpan takut pada mereka. (Hlm. 69).

Bergabungnya Arimbi dengan dunia narkoba membawa dirinya ke kehidupan baru. Arimbi bisa merasakan kehidupan yang bebas tanpa mengharapkan perhatian dari kedua orang tuanya. Arimbi menjadi pecandu narkoba, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(186) Betapa rentannya sebutan orang tua. Mereka bilang me reka tahu semua tentang saya. Mereka bilang mereka sudah mendidik saya. Mereka bilang mereka sudah memberi segala yang terbaik pada saya. Mereka tak tahu, mereka sudah kehilangan anak mereka. Jika begitu, mengapa mereka menyebut diri mereka orang tua. Saya lebih suka menganggap mereka orang lain. (Hlm. 84).

(187) Saya menikmati dunia ini. Bukan perangkap. Ini hanya celah tersembunyi dalam kehidupan bertata krama di luar sana. Saya mendapatkan pergaulan yang indah di dalam sini. (Hml. 84).

(188) Serbuk ini juga telah membawa saya pada hubungan yang makin menyenangkan dengan Vela. Saya tak perlu bertanya-tanya lagi tentang perasaan aneh yang menjalar di tubuh saya setiap kali melihat perempuan menarik. Saya tahu, saya berbeda. Saya berani mengatakan bahwa saya lesbian. Tapi seperti juga merahasiakan bahwa saya pemakai, saya tak mau berterus terang bahwa saya lesbian. Siapa yang harus dipersalahkan bila di dunia ini saya mendapat tempat untuk berkata-kata dengan lapang. (Hlm. 89).

Setelah Arimbi bertemu dengan Vela, Arimbi sangat bahagia, Arimbi merasa kehidupannya dengan Vela, membuat dirinya terasa bahagia, karena mereka berdua sama-sama mengkonsumsi narkoba. Setiap hari Arimbi selalu saja menghisap narkoba, mereka sangat senang dengan kehidupan dunia mereka yaitu, dunia narkoba. Sampai pada akhirnya Arimbi dan Vela, overdosis. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(189) Mereka memenjarakan saya di atas kasur keras ini. Memberi saya makan tiga kali sehari, yang berkali-kali saya muntahkan kembali.

Mereka merampas kebebasan saya menikmati bubuk surga. Saya disiksa sakaw. Tubuh saya seperti dirajam. Otot saya dibetot-betot. Darah saya dibiarkan mendidih dan beku. Berganti- ganti daging saya dicabik-cabik. Seluruh persendian saya dijepit. Saya berteriak kesakitan. Saya bukan mau mencari gara- gara. Tapi tubuh ini memang sakit nyeri. Saya kalap. Berteriak histeris dengan kaki ditendang- tendang ke udara. Tangan saya terus meronta. Mata saya berair. Dari hidung saya terus menerus keluar ingus. Saya muntah- muntah. Karena rasa mual yang teramat sangat. (Hlm.99).

(190) Saya merindukan Vela setengah mati. Saya merindukan nikmatnya asap ganja yang keluar dari mulutnya. Merindukan aroma putaw yang menggugah rasa damai. (Hlm. 107).

(191) Saya pecandu narkoba. Tepatnya mantan pecandu

Tapi tak seorangpun yang tahu dan berhak tahu, kenapa saya pernah mencandu narkoba. (Hlm. 145).

(192) Saya tahu narkoba jahat. Saya tahu narkoba membuat gila. Saya tahu narkoba menghentikan segalanya. Tapi dia hanya sebentuk barang yang tidak memiliki daya apapun selain ciri-cirinya sebagai barang. Saya tidak mau menyalakan narkoba seperti manusia- manusia bertata krama di luar sana memandangnya sebagai raja dari segala raja pembunuh. Saya memandangnya sebagai barang yang sangat cerdik mempermainkan emosi. (Hlm. 232).

(193) Saya menangis, saya merasa remuk. Apakah hidup memang berisi kesimpulan duri atau pedang bermata seribu yang meluluh lantakkan jiwa manusia? Apakah memang harus seperti ini untuk bisa mengatakan bahwa saya seseorang yang hidup. (Hlm. 232).

(194) Salahkah saya jika saya ingin menuntaskan kehidupan yang sudah saya jalani setengah mati tapi tak juga saya mengerti? Saya telah sampai pada kondisi perasaan manusia yang paling menyedihkan. Putus asa. (Hlm. 233).

(195) Putus asa yang hebat. Yang membuat saya bahkan tidak berani membenarkan keputusan saya sendiri dan takut pada suara hati saya sendiri. Bukankah itu keadaan paling menyedihkan dalam diri seorang manusia?. (Hlm 324).

Akibat kepergian Vela, Arimbi mulai sadar bahwa, narkobalah yang membuat dirinya bahagia. Arimbi tidak mempersalahkan narkoba. Arimbi hanya mempermasalahkan kedua orang tuanya yang selalu saja menikmati hidup mereka sendiri-sendiri tanpa memikirkan kehidupan anak mereka. Kepergian Vela lah yang membuat Arimbi berusaha untuk melepaskan diri dari narkoba, karena bagi Arimbi Vela adalah kehidupan baru bagi dirinya, untuk bisa bertahan hidup.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Arimbi tidak pernah mendapatkan rasa aman baik dalam keluarga, lingkungan, maupun dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dalam kutipan no. (128-129). Arimbi tidak pernah bebas, setiap kali berangkat ke sekolah, Arimbi selalu diantar-jemput oleh sopirnya, terlihat dalam kutipan no.(130-131). Rasa tidak aman juga dirasakan oleh Arimbi ketika bangun pagi hari, seperti terlihat dalam kutipan no. (132-133). Rasa cemas juga dirasakan Arimbi ketika ayahnya memukul ibunya sampai pingsan, terlihat dalam kutipan no. (134-137). Kegelisahan juga yang dirasakan Arimbi, merasa bingung untuk mengenal dirinya sendiri, seperti terlihat dalam kutipan no. (138). Kegelisahan juga yang dirasakan Arimbi, saat ia mengetahui dirinya lesbian, seperti kutipan no. (139-142). Perasaan kuatir juga yang dirasakan Arimbi, seperti dalam kutipan no. (143-144). Perasaan kuatir juga yang terjadi pada Arimbi, ketika bertemu dengan Rajib, seperti terlihat dalam kutipan no. (145-148). Arimbi merasa kuatir untuk mencoba narkoba yang ditawarkan Rajib, seperti terlihat dalam kutipan no. (149). Arimbi merasa gelisah dan tidak bisa tidur, karena menghirup narkoba, seperti

dalam kutipan no. (150-151). Kegelisahan selalu menyelimuti Arimbi bila tidak memakai narkoba, seperti kutipan no. (152). Arimbi merasa gelisah dan sedih, karena orang tuanya selalu saja mementingkan kehormatan dan nama baik keluarga, seperti terlihat dalam kutipan no. (153). Rasa tidak aman juga yang dirasakan Arimbi, pada saat Rajib dan Vela tidak ada dekatnya, terlihat dalam kutipan no. (154-156). Kekecewaan juga dirasakan Arimbi ketika mengetahui orang tuanya selingkuh, seperti terlihat dalam kutipan no. (157). Tidak adanya penghargaan atas dirinya seperti terlihat dalam kutipan no. (158-159). Kebutuhan penghargaan atas dirinya tidak pernah Arimbi perhatikan, seperti terlihat dalam kutipan no. (160-162). Arimbi ingin dihargai oleh orang tuanya, seperti terlihat dalam kutipan no. (163-167). Arimbi merasa bahwa kedua orang tuanya tidak pernah menghargai dirinya, seperti terlihat kutipan no. (168-171). Arimbi merasa orang tuanya tidak pernah memperdulikan dirinya, terlihat dalam kutipan no. (172-175). Arimbi tidak merasa betah berada bersama orang tuanya, seperti terlihat dalam kutipan no. (176-178). Arimbi merasa tidak betah hidup bersama orang tuanya, karena semua keinginan Arimbi untuk mendapatkan kebahagiaan tidak terwujud, seperti terlihat dalam kutipan no. (179- 182). Harapan Arimbi untuk bisa hidup bahagia bersama orang tuanya menjadi sirna, seperti terlihat dalam kutipan no. (183-185). Arimbi menjadi pecandu narkoba, seperti terlihat dalam kutipan no. (186-188). Arimbi merasa bahagia hidup dengan Vela, terlihat dalam kutipan no. (189-192). Akibat kepergian Vela, Arimbi berusaha melepaskan diri dari narkoba, seperti terlihat dalam kutipan no. (193-195).

3.2 Bentuk-Bentuk Tekanan Batin Akibat Tidak Terpenuhinya Kebutuhan

Dokumen terkait