• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKANAN BATIN TOKOH ARIMBI DALAM NOVEL DETIK TERAKHIR

3.1 Sebab-Sebab Tekanan Batin

3.1.1 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Rasa Aman

Kebutuhan akan rasa aman biasanya terpuaskan pada orang-orang dewasa yang norma l dan sehat, maka cara terbaik untuk memahaminya ialah denga n menga mati anak-anak atau orang dewasa yang mengalami gangguan neurotik. Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berlebihan serta berusaha keras menghindari hal- hal yang bersifat asing dan tidak diharapkannya. Orang sehat juga menginginkan keteraturan dan stabilitas, namun

kebutuhan tidak sampai menjadi hidup atau mati seperti pada orang neurotik (Maslow via Goble, 1987 : 73 )

Setiap orang membutuhkan rasa aman baik itu dalam lingkungan sekitar atau dalam kehidupan berbeda dengan Arimbi, ia tidak pernah mendapatkan rasa aman baik dalam keluarga, dan lingkungan apalagi dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dala m kutipan berikut:

(128) Di kamar ini, kesedihan adalah hal yang menye ngat. Saya tak pernah betah. (hlm. 32).

(129) Sebab di rumah saya kerap ada pertunjukan lenong di pagi hari. Lenong pertengkaran. Seperti suatu kali saya ingat, dari arah kamar orang tua saya terdengar suara obrolan. Lama- lama pertengkaran. Akhirnya cekcok hebat, lalu cekcok mulut menjadi sengketa dan arena caci maki. Kemudian perang mulut tak terbendung dengan teriakkan melengking. (hlm. 32).

Arimbi juga, merasakan tidak pernah bebas, setiap kali berangkat ke sekolah, Arimbi selalu saja diantar jemput oleh sopir yang bekerja di rumahnya. Arimbi merasa kehid upannya selalu saja diatur oleh orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(130) Saya tidak pernah disiksa panas terik matahari. Tentu, selain karena dipekarangan sekolah rimbun karena pepohonan, saya juga tak perlu berlama-lama menerobos area yang disiram sinar matahari. Ketika bel pulang berbunyi dan kedua kaki saya mulai mengarah ke pintu pagar, Pak Beno supir saya sudah melongok dengan paras siaga. Dia tak pernah membiarkan saya lebih dari lima menit menanti. Wajah bulatnya membiasakan senyum kemenangan setiap kali dua mata tengkolnya menangkap bayangan saya. Kasihan sopir ini. Dia pikir menemukan diri saya secepat mungkin selepas bel pulang adalah prestasi (hlm. 27).

(131) Sejujurnya, saya ingin seperti teman yang lain, yang menikmati peluh dalam antrian tukang bakso kojek. Menjumput panganan yang tengik di pelataran sekolah. Sebagian lagi tak jajan apa-apa, tapi mereka main dorong-dorongan, saya sering berharap pak Beno datang terlambat, dan saya leluasa berkelabat di antara gerobak- gerobak penjual jajanan, berteriak bebas di tengah teman-teman sekolah. Tapi pak Beno takut dipecat. Dia sadar sepenuhnya, bahwa setelah mata jengkolnya menangkap tubuh saya yang bulat-bulat, maka tugas selanjutnya adalah membawa secepat mungkin kembali ke rumah. (hlm. 27). Rasa tidak aman juga dirasakan Arimbi ketika Arimbi bangun pagi hari, karena melihat mamannya sudah menyiapkan makanan yang selalu sama saja setiap hari. Menunya tidak pernah diganti. Arimbi merasa tidak suka dengan cara mamanya yang sering mengaturnya pada waktu sarapan pagi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(132) Setiap pagi adalah siksaan. Pagi-pagi saya sudah muak dua kali. Muak pertama adalah sarapan nasi goreng dengan rasa dan tatanan yang itu- itu melulu. Gundukkan nasi goreng menyerupai mangkuk terbalik, telur mata sapi di sisi kanan, taburan abon di sisi kiri, dan irisan telur dadar di atas nasi. Sisi kosong di piring diisi dengan irisan mentimun dan tomat. Mama mengajari saya dengan tahapan yang benar, menghabiskan nasi dengan lauknya, dan mengakhiri dengan irisan mentimun. Setelah itu menenggak susu sampai tandas. (hlm. 24). (133) Begitu telitinya mama melihat tata sarapan saya, sampai saya pernah

berpikir apakah saya akan mati bila menelan mentimun terlebih dulu atau menyikat susu pertama-tama, lalu memakan telurnya dan membuang nasinya. Atau saya muntahkan semuanya. Bahkan, apa salahnya sesekali saya tidak sarapan? Tapi mama selalu menunggui saya makan. (hlm. 24).

Rasa cemas juga yang dirasakan oleh Arimbi, ketika ayahnya memukul ibunya sampai pingsan. Arimbi merasa cemas dan takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada ibunya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(134) Kemudian papa tanpa bicara apa-apa langsung menggunakan tangan kanannya yang besar dan berotot ke wajah mama. Suara pukulan itu kencang. Mama mengaduh, tidak hanya sekali. Papa mengayunkan satu tamparan lagi dengan punggung telapak tangan, terus beberapa kali saya bergidik. Dia menampar mama seperti tukang sate mengibaskan kipas di atas panggangan. Berkali-kali, bertenaga, dan tanpa emosi (hlm. 39).

(135) Herannya mama tidak berteriak lagi. Dia hanya mengaduh tertahan, tubuhnya sudah setengah kelojotan, dengan kaki lengser perlahan ke bawah. Ketika mama jatuh tertunduk, papa tidak pergi, melainkan berjongkok. (hlm. 39).

(136) Mereka melakukan pertolongan pada mama dengan gerakan tenang tapi pasti, sesuatu telah disuntikkan dilengan mama, dan membuatnya tiba-tiba tidur. Papa berdiri mematung disudut kamar. Saya tak berani memandang wajahnya, rasa jijik dan takut sudah membaur dan melumpuhkan hasrat saya untuk menyadari bahwa dia ada. (hlm. 41). (137) Kesibukkan itu sedikit membuat perasaan saya tenang. Tapi tak

menyudahi kecemasan saya yang hebat, darah itu begitu banyak. Saya pernah mendengar orang bisa mati karena kehabisan darah. Apakah itu juga yang menyebabkan papa tiba-tiba berlari keluar dan memanggil orang medis? Jika dia memang takut mama mati, kanapa dia memukulinya? (hlm. 41).

Kegelisahan juga yang dirasakan Arimbi, saat Arimbi merasa bahwa ia bingung untuk mengenal dirinya sendiri, Arimbi juga merasa bimbang dan ragu untuk mengenali orang tuanya, yang membuat dia merasa tersiksa dengan kehidupan di rumah bersama orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(138) Saya bingung dengan perasaan saya sendiri. Saya tak mengenali orang tua saya, dan saya mulai tak mengenali diri saya sendiri. Saya panik.

Pikiran berkecamuk tak tentu arah. Di rumah saya tersiksa dengan dua orang yang selalu bergumul dengan nafsu masing- masing. Di luar rumah saya bergumul dengan diri saya sendiri. Mempertanyakan perasaan aneh yang semakin lama semakin mencekram saya dalam kebingungan saya yang menyiksa. (hlm. 56).

Kegelisahan juga yang dirasakan Arimbi, saat ia mengetahui bahwa ia lesbian, ketika ia melihat pembantunya memakai baju yang tipis. Arimbi merasakan ada perasaan yang aneh dalam pikirannya. Arimbi merasa tiba-tiba tertarik dengan sikap pembantu yang bekerja di rumahnya yang begitu menarik perhatiannya dengan mengenakan daster tipis berpotongan pendek, sampai-sampai dadanya kelihatan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(139) Saya tahu perbedaan yang saya rasakan telah meluncur jauh dari batas pikiran. Tanpa sadar saya telah memperlihatkannya dalam bentuk yang terlihat. Sikap. (hlm. 56).

(140) Mbok Nem, pembantu saya yang usianya paling muda, sekitar tiga puluh tahuna n, masuk ke kemar tidur saya pada suatu siang, dia mengenakan daster tipis berpotongan dada rendah. Papa dan mama sedang tak ada di rumah, sehingga dia berani memakai baju seperti itu (hlm. 56).

(141) Saya tahu, saya takut atau benci pada lelaki, karena saya ingat papa. Dan saya enggan jadi perempuan kerena saya tak mau sebodoh mama. Maka, akan jadi apa saya? Saya akan menjadi laki- laki yang tidak sejahat papa. Dan menjadi perempuan yang sebodoh mama. Tapi, lalu saya menjadi ragu, apakah saya menjadi lesbian karena membenci papa? Atau meludahi mama? (hlm. 59).

(142) Saya menjadi ragu, sebab tak saya dapati nafsu ketika melihat siswa pria paling baik hati di kelas. Tapi saya bisa sangat nafsu pada lekuk seksi siswi paling memuakkan didalam kelas. Tidak, saya tidak menyukai laki- laki bukan karena saya membenci papa. Karena saya membenci kejahatan. Saya membenci laki- laki dan menyukai perempuan karena saya terlahir berbeda. (hlm. 59).

Perasaan khawatir juga terjadi pada Arimbi, ketika dia mengetahui, bahwa dia lesbian, Arimbi merasa bahwa kalau lesbiannya itu diketahui oleh para pembantunya, dan para teman-teman sekolahnya, apa yang harus ia perbuat . Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(143) Saya tahu, saya telah membuat mbak Nem takut. Dan saya makin tahu, semakin hari saya mulai membuat orang lain curiga. Bersamaan dengan itu saya tidak bisa membohongi sikap-sikap atau bahasa tubuh yang menjawab desir yang mendebarkan disekujur tubuh saya. Setiap melihat sosok perempuan yang menggetarkan. (hlm. 59).

(144) Saya merasakan bahwa mata teman-teman perempuan saya mendadak lebih mendelik ketika mereka berganti baju olah raga di ruang ganti, dan mata saya dengan tajam me nelusuri tubuh bugil mereka. (hlm. 59).

Perasaan khawatir juga yang terjadi pada Arimbi, ketika bertemu dengan Rajib di sekolahnya. Rajib menawarkan sesuatu kepada Arimbi untuk merasakan obat yang diberi oleh Rajib. Obat yang diberikan oleh Rajib adalah narkoba. Pada awalnya Arimbi menolaknya, karena Arimbi merasa orang itu, yaitu Rajib belum pernah ia kenal. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(145) “Kamu sakit, ya?” saya tak menjawab, malas, karena belum kenal. “nama saya Rajib”. Matanya mencari bola mata saya.” Sory, kita memang belum kenal….” Dia menjulurkan tangannya. Saya menanggapinya dengan biasa. Saya me ngulurkan tangan dengan cepat. (hlm. 62).

(146) “Kalau sakit saya punya obatnya….” Saya membuang muka. “nggak apa-apa kalau kamu malas menanggapi tawaran saya. Saya hanya… sering melihat kamu melamun dikantin. Sudah lama sih pengen kenal, kayaknya saya bari berani sekarang ini,” katanya tanpa malu. (hlm. 62).

“”nggak apa-apa, saya Cuma mau baik sama kamu.” Dia kelihatan gelisah. Lehernya meninggi, dan kepala nya menoleh ke beberapa sudut (hlm. 63).

(148) Rajib tiba-tiba saja mendekatkan kepalanya kewajah saya. “kalau kamu ga keberatan, saya mau memberimu sesuatu. Nggak penting sih… dibuang juga boleh. Nih! “dia menarik tangan saya dan menutupnya kembali dengan gerakan cepat. (hlm. 63).

Setelah Rajib menawarkan sesuatu yaitu narkoba, pada Arimbi, Arimbi merasa tetap khawatir untuk mencobanya, karena Arimbi merasa bahwa obat ini adalah, obat yang membahayakan orang, obat ini lah yang sering dilarang, karena kata orang bahwa narkoba adalah benda jahat. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(149) Itu pasti sejenis narkoba, entah shabu, putaw, atau apapun. Pokoknya sejenis bubuk itu. Saya berdiri ragu.

Seperti hipnotis.

Buang ke tempat sampah?

Saya ada masalah? Benar-benar sekali ……

Tapi ini apa… benda jahat itu? Yang sering dilarang- larang Itu? Kayak gini nih bendanya?

Saya nggak butuh. Nggak berani.

Tapi saya ada masalah, kan? Banyak bahkan.

Cobain dikit. Atau buang. Sayang

Cobain dikit kan nggak ada salahnya Kalau nggak suka tinggal buang Kalau suka?

Ini pasti putaw Nggak mau! Nggak!!

Setelah Arimbi mencoba obat yang ditawarkan oleh Rajib padanya, Arimbi merasa gelisah dan tidak bisa tidur, karena obat yang dia hirup itu adalah narkoba. Setelah ia menghirup obat itu, obat itu baru bereaksi dalam tubuhnya, Arimbi merasa seluruh tubuhnya terasa sakit. Anehnya Arimbi tidak merasa lapar atau sedih. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(150) Tiba-tiba saja, sekujur tubuh saya dialiri perasaan aneh. Benar-benar aneh. Seperti ada kerinduan yang hebat. Begitu hebatnya sehingga terasa sakit. Anehnya, saya tak merasa lemas, lapar atau sedih. Saya hanya merasakan kesepian, tapi sekaligus tak menginginkan siapapun ada. Saya ingin sendiri. Tapi saya butuh teman. Dan dia, bukan seseorang. Dia…. Aduh, kenapa diri saya? (hlm. 66).

(151) Saya mencoba berdiri. Tubuh saya limbang. Perasaan asing itu telah melunglaikan seluruh persendian saya. Saya loncati lagi kusen jendela dan masuk kamar. Berjalan tertatih menuju sudut yang tak saya tuju. Saya bahkan tak tahu ke mana harus berjalan. Saya mencoba berbaring. Rasa mual dan terbakar seperti tadi muncul lagi. Aduh, kenapa saya? (hlm. 66-67).

Kegelisahan juga selalu menyelimuti hati Arimbi bila tidak memakai narkoba. Arimbi me rasa bahwa tanpa narkoba dia tidak bisa hidup. Dengan memakai narkoba, Arimbi bisa merasakan lebih hidup. Akibat dari narkoba inilah yang menyebabkan Arimbi di bawa ke panti rehabilitasi oleh orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(152) Mereka memenjarakan saya di atas kasur keras ini. Memberi makan tiga kali sehari, yang berkali-kali saya memuntahkan kembali. Mereka merampas kebebasan saya nenikmati bubuk surga. Saya disiksa sakaw, tubuh saya seperti dirajam. Otot saya dibetot-betot. Darah saya dibiarkan mendidih dan beku. Beganti- ganti. Daging saya dicabik- cabik. Seluruh persendian saya dijepit. Saya berteriak kesakitan. Saya bukan mencari gara- gara, tapi tubuh ini memang sakit. Nyeri saya

kerap, berteriak histeris dengan kaki ditendang-tendang ke udara. Tangan saya terus meronta. Mata saya berair, dari hidung saya terus- menerus keluar ingus. Saya muntah- muntah, karena terasa mual yang sangat. (hlm. 99).

Arimbi juga merasa gelisah dan sedih saat orang tuanya mengatakan padanya, bahwa tolong hal ini dirahasiakan. Arimbi merasa bahwa orang tuanya, benar-benar tidak memperdulikan kehidupan Arimbi. Orang tuanya selalu saja mementingkan kehormatan dan nama baik mereka, ketimbang nyawa anak mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(153) “Ada satu yang mama pesan. Please, jika kamu sudah pulih dan bebas keluar nanti, jangan katakan pada siapa pun, kamu kena narkoba. Ya?” cukup papa dan mama yang tahu. Bukannya apa-apa. Kamu kan tahu nama papa dan mama di luar sana cukup di kenal. Jadi, Bantu kami agar nama keluarga tidak jadi tercoreng gara- gara kamu. Ya?” mama menepuk-nepuk pipi saya. Wajahnya kelihatan lega seperti seorang dewa baru menumpangkan wangsitnya. Saya bertambah sedih. Hingga detik ini, hal yang penting buat mereka adalah kehormatan diri. Bukan keadaan saya. Saya melamun hingga malam hari, pada hari pertama kedatangan saya di rumah. (hml. 104).

Rasa tidak aman juga yang dirasakan oleh Arimbi, ketika Rajib dan Vela tidak ada didekatnya. Arimbi merasakan bahwa Rajib dan Vela sudah pergi meninggalkannya. Arimbi menjadi marah pada orang tuanya, karena orang tuanya lah Rajib dan Vela ditangkap oleh polisi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(154) “Ma, siapa yang melaporkan Rajib?”

“cepat atau lambat dia akan tertangkap dengan sendirinya,” katanya dan melihat kearah saya!” mama tersenyum setengah mencibir.” Orang seperti dia memang harus dibereskan, “katanya penedek, tanpa emosi (hlm. 193).

(155) Saya ingin menampar wajah ibu saya. “lantas apakah saya tidak cukup alasan untuk dibereskan? Kenapa mama menebus saya? Saya yang bersalah! Saya memaksa Rajib memberi pekerjaan untuk saya! Dia tidak sepantasnya dipukuli, ma!” saya menjerit-jerit dengan emosi dalam mobil (hlm. 193).

(156) “Tak ada orang yang bisa menubus Rajib. Tidak juga saya, sudah nasibnya seperti ini. Dulu dia pernah bilang sama saya. Hidupnya akan berhenti begitu dia ditangkap. Sebab, dia bukan orang yang terpandang atau punya cukup uang untuk menyelamtkan diri. Hanya saja saya tidak menyangka, dia akan benar-benar ditangkap.” (hlm. 228).

Kekecewaan juga yang dirasakan oleh Arimbi, ketika mengetahui orang tuanya selingkuh. Perbuatan dari kedua orang tuanya inilah yang menyebabkan Arimbi merasa bahwa Arimbi sudah tidak memiliki rasa kebahagiaan dalam keluarga. Arimbi merasa bahwa dalam keluarga juga dia tidak pernah diperhatikan, kedua orang tuanya selalu saja sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :

(157) “Mereka punya kekasih masing- masing. Papa dengan pacar gelapnya. Mama dengan pacar gelapnya. Mereka punya dunia indah masing- masing, tapi dengan bodoh mau mempersatukan diri dalam pertarungan yang tak pernah berhenti di rumah ini.” (hlm. 203).

Dokumen terkait