• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tematik Artikel 2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.3 Analisis Framing Artikel 2

4.3.3 Tematik Artikel 2

Detail dalam artikel ini terkait dengan evolusi jilbab dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

Pertama, detail mengenai bagaimana bentuk jilbab yang digunakan pada masa sebelum tahun 1980-an dengan bentuk jilbab yang digunakan pada masa pertengahan tahun 1980-an dan bentuk jilbab yang digunakan pada masa pasca reformasi yang menjadi pembeda jilbab yang digunakan kalangan pesantren tradisional dengan kelompok yang dinamakan kelompok usroh/tarbiyah, kemudian juga ketika jilbab telah digunakan secara massif dengan berbagai macam kreasinya.

"...Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Meski sama-sama berjilbab, perbedaan jilbab kalangan pesantren tradisional dan kelompok usroh/tarbiyah bisa dikenali... Para guru madrasah yang sebelumnya mengenakan kerudung panjang beralih menggunakan jilbab yang menutup rambut, leher dan dada... Jilbab dan busana muslimah pun memasuki era baru karena dikenakan secara massif dengan beragam model dan kreasi. Jilbab model A,B,C,D, (sebagian menggunakan nama artis) pun membanjiri pasaran”

“... Di tahun 2014 ini, mencuat dua istilah populer terkait jilbab. Pertama, “jilboobs” yang digunakan untuk menyebut busana muslimah yang menutup aurat tetapi masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakai. Kedua, “jilbab syar’i” yang merupakan antithesis dari jilboobs. Istilah jilbab syar’i sebetulnya sudah lama, namun menjadi lebih populer dan gencar disosialisasikan seiring dengan fenomena jilboobs. Kecenderungan terakhir menunjukkan istilah jilbab syar’i makin eksklusif karena mengarahkan busana muslimah menjadi satu model : baju gamis longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ditutup oleh kerudung longgar yang menutup dada dan punggung, serta tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion. Pakaian ala muslimah Arab menjadi rujukan”

Kedua, detail mengenai bagaimana pergeseran makna jilbab yang dimulai dari tahun 1980 kemudian masuk ke masa peralihan dimana jilbab mulai digunakan secara massif, hingga masa sekarang ini dimana jilbab telah menjadi trend fashion dan lifestyle.

“...Jilbab saat itu tak sekedar simbol ketaatan beragama. Ia juga simbol keberanian dan bahkan perlawanan”

“...Jilbab pun menjadi pakaian yang tak sekedar simbol ketaatan, melainkan juga simbol lifestyle muslimah modern. Karena fashionable,

busana muslim langsung mampu menjadi kompetitor pakaian terbuka yang sebelumnya dianggap sebagai simbol orang modern. Busana muslim pun dipakai oleh beragam kalangan, tak hanya kaum santri dan aktivis Islam” “...Selayaknya kita tidak terjebak pada perdebatan yang saling menegasikan ini. Jilbab dalam surat al-Ahzab ayat 59 adalah firman Allah yang mutlak kebenarannya. Namun tafsir jilbab itu sendiri tidak tunggal dan tidak mutlak. Apalagi bentuk, model dan bahan. Itu adalah ranah budaya dan kreasi manusia. Mau baju longgar atau potong (baju kurung) seperti tradisi masyarakat Arab, atau mau baju atasan dan bawahan, seperti tradisi masyarakat Indonesia.”

Ketiga, detail penggambaran bagaimana posisi politis jilbab dalam perjalanan pemerintahan Indonesia terkait dengan simbol perlawanan mengenai hak asasi manusia yang kemudian juga berubah menjadi simbol politik kepentingan yang menjadi tarik-menarik dua kelompok yang bertentangan yaitu kelompok yang ingin ingin menerapkan syariat Islam dan kelompok yang tidak setuju menyatukan antara negara dan agama.

“...Pada era ini, penggunaan jilbab di sekolah negeri memerlukan perjuangan dan pengorbanan, Siswi SMP dan SMA negeri yang berjilbab dianggap melanggar aturan berseragam yang secara nasional ditentukan berupa rok pendek dan kemeja lengan pendek. Banyak perempuan dari kalangan santri terpaksa tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum negeri karena aturan ini, termasuk penulis. PNS perempuan yang mengenakan jilbab sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk tidak mendapat promosi jabatan...

“...Jilbab saat itu tak sekedar simbol ketaatan beragama. Ia juga simbol keberanian dan bahkan perlawanan. Masih banyak orang takut mengenakannya, karena pandangan umum yang merupakan cerminan dari cara pandang pemerintah, mencurigai jilbab sebagai perlawanan terhadap pemerintah dan “Islam garis keras.”

“...Sejak pertengahan 1980-an, seiring dengan situasi politik yang lebih akomodatif terhadap segala sesuatu yang menampakkan Islam dan bangkitnya gerakan Islam secara massif khususnya di kampus-kampus umum, fenomena muslimah berjilbab semakin marak.”

“...Reformasi 1998 yang diikuti dengan terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berekspresi serta penghormatan kepada hak asasi manusia telah menjadi jalan yang lapang bagi muslimah Indonesia untuk mengekspresikan identitas dirinya, termasuk cara berpakaiannya. Tak ada lagi kendala politis apapun untuk mengenakan jilbab. Muslimah Indonesia bebas berjilbab tanpa rasa takut atau malu, sekaligus bebas berekspresi dan berkreasi secara leluasa.”

“...Seiring dengan berlakunya otonomi daerah pasca disahkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di wilayah tertentu yang kultur dan penduduk muslimnya kuat, seperti Aceh, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, desakan politik untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian yang diwajibkan oleh Perda menguat. Perda yang mengatur jilbab pun muncul.”

“...Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, kita bisa simpulkan bahwa pandangan politik terhadap jilbab mengalami perubahan 180 derajat. Jika di era 1980-an pelarangan dilakukan begitu rupa hingga pemakai jilbab harus berjuang dalam mempertahankan hak asasinya, pasca 2000 desakan pewajiban terjadi begitu rupa hingga mencemaskan perempuan yang tidak mengenakan jilbab.”

Keempat, detail penyebaran siapa atau kalangan apa saja menggunakan jilbab mulai dari tahun 1980 hingga saat ini jilbab massif digunakan berbagai kalangan.

“...Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah.”

“...Akhir 1980-an, seluruh mahasiswi di kampus-kampus Islam sudah tidak ada lagi yang mengikuti kegiatan kuliah di kampus tanpa mengenakan jilbab.”

“...Busana muslim pun dipakai oleh beragam kalangan, tak hanya kaum santri dan aktivis Islam. Profesional, artis, ibu rumah tangga, karyawati, dan bahkan anak-anak perempuan mengenakan jilbab dimana-mana. Komunitas jilbab dan hijab pun bermunculan.”

“...Dipakainya jilbab oleh berbagai kalangan rupanya mendorong institusi Polri untuk mengakomodasi kebutuhan polwan yang ingin mengenakannya. Mulai 2013, wacana ini mulai bergulir. Jilbab pun dianggarkan sebagai salah satu komponen seragam Polwan. Hingga akhir 2014, Peraturan Kapolri tentang hal itu masih disusun.”

Untuk koherensi kalimat, wartawan menuliskannya dengan alur yang tersusun rapi. Ini dapat dilihat dari periode waktu yang disusun oleh wartawan beserta evolusi jilbab yang terjadi baik secara bentuk maupun makna. Dimulai dari tahun 1980 dimana jilbab masih asing dikenakan sehingga para penggunanya seringkali disulitkan. Jilbab pada masa itu hanya digunakan oleh kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Sedangkan pekerja di instansi negara maupun pelajar di sekolah negeri mengalami kesulitan menggunakan jilbab. Kemudian pada pertengahan 1980-an seiring dengan situasi politik yang lebih akomodatif disertai dengan bangkitnya gerakan Islam maka penggunaan jilbab

perlahan-lahan mulai dimudahkan. Pada masa itu, di kampus Islam seluruh mahasiswinya sudah menggunakan jilbab. Setelah reformasi 1998, penggunaan jilbab kian populer. Pada masa itu sudah banyak figur publik yang menggunakan jilbab, maka muncullah jilbab dengan model beragam (biasanya menggunakan nama artis). Seiring dengan diberlakukannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah yang penduduk muslimnya kuat mengusulkan Perda yang mewajibkan jilbab untuk perempuan. Awal tahun 2010, istilah hijab mulai populer. Hijab merujuk kepada jilbab yang lebih modis dengan model, corak serta warna yang lebih beragam. Jilbab jadi semakin ramah diterima berbagai kalangan. Hal inipun memunculkan komunitas-komunitas pengguna jilbab, salah satunya Hijabers Community. Di tahun 2014, muncul dua istilah populer tentang jilbab. Yang pertama, jilboobs yaitu busana muslimah yang menutup aurat tetapi tetap menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakainya. Kedua, jilbab syar’i yang merupakan anti-thesis dari jilboobs. Jilbab syar’i merujuk kepada busana muslimah yang lebih simpel dan longgar. Pakaian khas wanita Arab dijadikan rujukan.

Namun di tengah tulisan, wartawan menyelipkan peranan majalah Noor dalam evolusi jilbab di Indonesia. Berdiri pada tahun 2003, Noor mengklaim telah mengambil peran dalam perubahan busana muslimah di Indonesia. Salah satunya lewat Lomba Rancang Busana Muslimah (LRBM) yang berhasil melahirkan para perancang baju muslimah yang diakui kredibilitasnya kini. Dari 11 paragraf, peranan Noor ini diletakkan pada paragraf kelima dengan keterangan waktu pada tahun 2003. Ini menunjukkan bahwa Noor berada di tengah-tengah evolusi jilbab di Indonesia. Walaupun tidak berperan dari awal, namun Noor sudah cukup lama berperan dalam evolusi jilbab di Indonesia. Artikel ini banyak menggunakan paragraf deduktif yaitu menjelaskan dari umum ke khusus. Wartawan terlebih dahulu menjelaskan tentang waktu dan kondisi Indonesia pada saat itu kemudian secara spesifik menjelaskan kondisi jilbab dan para pengguna jilbab di masa tersebut. Bentuk tulisan deduktif sangat membantu pembaca untuk fokus pada bahasan khusus atau yang lebih spesifik. Dalam hal ini, wartawan menggiring pembaca untuk melihat jilbab pada setiap fase beserta perubahannya yang terjadi secara perlahan-lahan.

Wartawan masih menggunakan kata ganti berupa istilah asing yaitu untuk menyebut gaya hidup yang diganti dengan lifestyle.

Dokumen terkait