• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Implementasi

Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu cara agar kebijakan yang telah dibuat sedemikian rupa dapat tercapai tujuannya. Menurut George (1980) dalam mengkaji implementasi kebijakan ada 2 hal penting dalam implementasi, yaitu prakondisi-prakondisi apa saja yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan dapat berhasil mencapai tujuannya, dan hambatan apa saja yang memungkinkan kegagalan suatu implementasi kebijakan. Terdapat 4 (empat) aspek dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut:

1. Komunikasi

Komunikasi sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Implementasi yang efektif apabila para pembuat kebijakan telah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Terdapat tiga faktor untuk mengukur keberhasilan suatu komunikasi, yaitu:

a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Misscommunication salah satu yang menjadi hambatan dalam keberhasilan komunikasi.

b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak ambigu dalam penyampaiannya.

c. Konsistensi; perintah yang diberikan atasan dalam melaksanakan suatu komuniasi harus konsisten dan jelas untuk diterapkan karena, jika perintah yang diberikan atasan sering berubah-ubah, maka akan menimbulkan kebingungan bagi pelaksana dilapangan. 2. Sumber Daya

Sumber daya merupakan aspek kedua yang penting dalam mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, sebagai berikut:

a. Staf; sumber daya utama dalam keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan adalah staf. Tidak jarang staf merupakan salah satu yang sering menjadi kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan, hal ini dikarenakan staf adalah suatu elemen yang memiliki keahlian dalam menjalankan suatu kebijakan.

b. Informasi; informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

c. Wewenang; wewenang merupakan suatu otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang

ditetapkan. Ketika wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.

d. Fasilitas; Implementor mungkin memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang harus dilakukan, tetapi hal itu juga harus didukung dengan adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana).

3. Disposisi

Disposisi menjadi aspek ketiga yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam disposisi sebagai berikut:

a. Pengangkatan Birokrasi; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan harus orang-orang yang memiliki dedikasi yang tinggi pada kebijakan yang ditetapkan. b. Insentif; salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi

masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor

pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.

4. Struktur Birokrasi

Aspek terakhir yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan adalah struktur birokrasi. Meskipun suatu organisasi memiliki 3 aspek diatas, kemungkinan kebijakan tidak dapat dilaksanakan karena terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada suatu kebijakan, maka hal ini dapat menyebabkan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat keberhasilan suatu kebijakan.

2.1.2 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)

Freeman (1984) dalam Mainarders (2011) menjelaskan teori stakeholder bahwasannya sebuah organisasi atau instansi harus memperhatikan kepentingan

stakeholder, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan stakeholder adalah

auditor, masyarakat, pengguna laporan keuangan, organisasi profesi akuntansi, akademis, anggota legislatif, bupati dan sebagainya. Setiap penelitian mendefinisikan teori stakeholder berbeda-beda, namun pada prinsipnya sama, yaitu perusahaan atau organisasi/instansi harus mempertimbangkan kebutuhan, kepentingan, dan pengaruh dari orang-orang atau kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan yang berlaku.

Menurut Ghozali dan Chariri (2007) teori stakeholder merupakan teori yang menyatakan bahwa organisasi/instansi bukanlah entitas yang hanya

beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi setiap organisasi/instansi dalam mengungkapkan atau tidak suatu informasi di dalam laporan keuangan organisasi/instansi tersebut.

Menurut Bovaird (2005), Frey (2003) dalam Sukmaningrum (2012) mengidentifikasi sembilan stakeholder dalam pemerintahan, yaitu:

1. Masyarakat 2. Bisnis

3. Administrasi Publik Lain 4. Politisi

5. Parlemen dan Lembaga Peradilan

6. Non Governmental Organization (NGO), International Organization (IO) dan Asosiasi

7. Media

8. Pihak Luar Negeri, dan 9. Tenaga Kerja

Menurut Deegan (2004) dalam Ramadhan (2019) menyatakan bahwa teori

stakeholder adalah teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memiliki hak

atas informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan stakeholder. Para stakeholder juga bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan informasi yang diberikan perusahaan/instansi/organisasi.

2.2 Pemerintah Daerah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemerintah didefinisikan sebagai sistem untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara suatu atau bagian-bagiannya atau sekelompok orang yang bersama-sama memikul tanggungjawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan. Maka dapat disimpulkan dari pengertian diatas bahwa pemerintahan Negara Indonesia dibentuk dalam rangka pencapaian yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjalankan berbagai fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang.

Selain itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asa otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.3 Akuntansi Pemerintahan

Akuntansi Pemerintahan merupakan bagian dari disiplin ilmu akuntansi yang belum lama ini berkembang di Indonesia. Di seluruh negara secara umum perkembangan akuntansi pemerintahan juga sudah berkembang meskipun perkembangannya tidak sepesat akuntansi bisnis. Pengertian akuntansi pemerintahan tidak terlepas dari pengertian akuntansi secara umum.

Menurut Bachtiar & Muchlis (2002) mendefinisikan akuntansi pemerintah sebagai suatu aktivitas pemberian jasa yang menyediakan informasi keuangan

pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi tersebut. Jenis akuntansi pemerintahan yang dicatat adalah transaksi keuangan pemerintah yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dalam akuntansi bisnis.

Dokumen terkait