• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Integrasi Pasar Produk Perikanan di Kawasan Maluku Tengah

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 Nelayan–Pedagang Pengumpul– CS –Pedagang Besar

5.3 Integrasi Pasar Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

5.3.3 Tingkat Integrasi Pasar Produk Perikanan di Kawasan Maluku Tengah

Hasil analisis regresi pengujian integrasi pasar produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah ditunjukkan oleh Tabel 25 dan 26. Ketika Pasar Mardika dijadikan sebagai pasar acuan dan pasar Salahutu, Leihitu, Passo, Piru, Binaya dan Bula dijadikan sebagai pasar pengikut, terlihat bahwa nilai koefisien 1 + b1 pada rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual pada pasar-pasar

lokal atau pengikut (i) tersebut pada waktu t-1 (P3it-1) masing-masing adalah

0.550, 0.206, 0.250, 0.585, 0.678 dan 0.151. Hasil nyata yang ditunjukkan 1+b1≠ 0 mengindikasikan bahwa seluruh pasar pengikut tersegmentasi secara temporal dengan pasar Mardika sebagai pasar acuan.

Tabel 25 Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan Pasar Mardika sebagai pasar acuan

Pasar Pengikut

Koefisien

Intersep P3it-1 (P3t – P3t-1) P3t-1 IMC R2 Df Pasar acuan : Mardika Ambon

Salahutu 5 874.387 0.550* 0.119 0.174* 4.122 0.411 106 Leihitu 6 809.358 0.206* 0.013 -0.022 5.289 0.049 106 Passo Ambon 17 973.739 0.250* -0.035 -0.141* 3.196 0.171 106 SBB 1 676.176 0.585* 0.228* 0.387* 7.657 0.682 106 Binaya 1 028.769 0.678* 0.203* 0.305* 4.498 0.781 106 SBT 16 477.682 0.151 -0.026 0.023 8.992 0.026 106 *) nyata pada α 0.05

Sumber : Hasil analisis (2011)

Selanjutnya pada analisis b2 yang merupakan ukuran derajat perubahan

harga di pasar acuan yang ditransmisi ke pasar regional (P3t – P3t-1), diperoleh

bahwa seluruh pasar pengikut menunjukkan hasil yang nyata, karena keseluruhan nilai b2≠1. Itu berarti bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam jangka panjang. Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar, yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara geografis untuk komoditi yang sama. Menurut Ravallion (1986), jika

terjadi perdagangan antara dua (2) wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya yang timbul karena perpindahan di antara keduanya maka dapat dikatakan keduanya terjadi integrasi spasial.

Pengujian koefisien b3-b1 untuk rataan harga tiga (3) jenis ikan yang

dominan dijual di pasar acuan pada waktu t-1 (P3t-1) menunjukkan bahwa

keseluruhan pasar menunjukkan hasil yang nyata, karena seluruh nilai koefisien b3-b1≤ 0. Nilai negatif hasil perhitungan koefisien b3-b1 dari masing-masing pasar,

Pasar Salahutu (-0.376), pasar Leihitu (-0.228), pasar Passo (-0.391), pasar Piru (-0.198), pasar Binaya (-0.373) dan pasar Bula (-0.128) mengartikan bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam jangka pendek.

Ketidakterintegrasi pasar-pasar tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapatnya aliran informasi (flow of information) pasar, meskipun mungkin ada aliran produk (flow of product) antar pasar tersebut. Ketika penelitian ini dilakukan, hampir di seluruh pelosok di Provinsi Maluku mengalami hujan dan angin kencang yang mengakibatkan laut bergelombang. Hujan dan angin kencang, ditambah dengan terbatasnya infrastruktur informasi pada saat itu, sering mengakibatkan terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Padahal dengan komunikasi yang baik, pedagang dapat memperoleh informasi untuk menunjang kegiatan penjualan. Kesukaan masyarakat Maluku akan ikan yang tingkat kesegarannya tinggi juga turut memengaruhi pedagang untuk hanya menjual ikan di pasar-pasar terdekat. Apalagi bila dalam proses penangkapan, nelayan tidak menerapkan rantai dingin yang baik, sehingga produk dengan cepat dapat mengalami kemunduran mutu. Kondisi laut yang bergelombang pada saat itu juga, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan tidak banyak, sehingga hanya dijual di pasar-pasar lokal.

Ketidakterintegrasi Pasar Binaya maupun pasar Piru dengan pasar Mardika juga diduga disebabkan oleh umur kedua pasar tersebut. Sebagai pasar yang berada di kabupaten yang tertua di Pulau Seram, Binaya telah mempunyai pangsa pasar tersendiri. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan daerah-daerah ini telah dilihat sebagai pasar potensial di Kawasan Maluku Tengah. Peningkatan jenis dan jumlah transportasi yang menghubungkan Pulau Seram dengan Pulau

Ambon, maupun pulau Ambon dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia juga telah membawa dampak positif bagi pembangunan ekonomi masyarakat di kedua Kabupaten tersebut, yang pada akhirnya juga turut meningkatkan daya beli masyarakat.

Tidak terintegrasinya pasar-pasar pengikut dengan pasar acuan, dalam hal ini pasar Mardika, mengakibatkan belum efisiennya sistem pemasaran di pasar- pasar tersebut. Pedagang cenderung untuk menentukan harga lebih tinggi, atau rendah dari harga normal. Rosyidi (2011) menyatakan bahwa harga terjadi karena dua (2) faktor yang terdapat bersama-sama dalam barang, atau jasa yang dijual, yakni faktor manfaat dan kelangkaan. Dari kedua faktor tersebut muncullah pengertian bahwa harga terbentuk karena seimbangnya permintaan dan penawaran. Berbedanya pola permintaan yang dihadapi oleh produsen mengakibatkan perbedaan kurva permintaan individual bahkan permintaan pasar. Sifat dan karakteristik produk perikanan yang musiman dan mudah busuk, apalagi jika pada produk tersebut tidak diterapkan perlakuan rantai dingin yang pada akhirnya turut mempengaruhi harga dan pola permintaan seseorang. Walaupun jarak pasar Passo dekat dengan pasar Mardika dibandingkan jarak pasar lainnya dengan pasar Mardika, namun pasar ini juga tidak terintegrasi dengan pasar Mardika lebih disebabkan oleh kosumen yang berbelanja di pasar ini memiliki kelas (segmen) tersendiri.

Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan pasar Binaya yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah sebagai pasar acuan, ditunjukkan pada Tabel 26. Pasar Salahutu dan Leihitu secara geografis yang terletak di Pulau Ambon, namun secara administratif tergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Pulau Seram, bersama pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat dan pasar Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur, dijadikan pasar lokal atau pengikut (i).

Koefisien 1 + b1 pada rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual

di pasar-pasar lokal atau pengikut (i) tersebut pada waktu t-1 (P3it-1) menunjukkan

hasil yang nyata, dimana 1 + b1 ≠ 0 yang berarti bahwa pasar Binaya sebagai

pasar acuan dengan masing-masing pasar pengikut tersebut tidak terintegrasi secara temporal. Analisis koefisien b2 yang menunjukkan transmisi perubahan

yang nyata dan berada di antara angka 0 dan 1. Nilai koefisien b2 dari Pasar Piru

1,090 mengartikan bahwa pasar ini lebih terintegrasi secara spasial dalam jangka panjang dengan pasar Binaya dibandingkan dengan pasar lain, dimana pasar Binaya sebagai pasar acuan. Sementara pasar Salahutu menunjukkan angka 0.034, pasar Leihitu 0.067 dan Bula 0.202 menggambarkan bahwa transmisi perubahan harga antara pasar Binaya di Kabupaten Maluku Tengah dengan pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat lebih cepat dibandingkan dengan pasar-pasar pengikut lainnya.

Tabel 26 Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan Pasar Binaya sebagai acuan

Pasar Pengikut

Koefisien

Intersep P3it-1 (P3t – P3t-1) P3t-1 IMC R2 Df Pasar acuan : Binaya Maluku Tengah

Salahutu 5 578.491 0.541* 0.034 0.175* 4.210 0.423 106

Leihitu 6 321.945 0.209* 0.067 0.005 5.926 0.055 106

SBB 23.843 0.114 1.090* 0.911* 0.317 0.948 106

SBT 16 252.852 0.150 0.202 0.035 10.000 0.051 106

*) nyata pada α 0.05

Sumber : Hasil analisis (2011)

Pengujian koefisien b3-b1 untuk rataan harga tiga (3) jenis ikan yang

dominan dijual di pasar acuan pada waktu t-1 (P3t-1) menunjukkan bahwa

keseluruhan pasar menunjukkan hasil nyata, karena seluruh nilai koefisien b3-b1≠

0 dan b3-b1< 0. Koefisien b3-b1 menunjukkan nilai negatif (pasar Salahutu -0.366,

Leihitu -0.204 dan Bula -0.015) mengartikan bahwa seluruh pasar tersegmentasi dalam jangka pendek. Pasar Piru yang menunjukkan nilai 0.797 mengartikan bahwa Pasar Piru lebih terintegrasi dengan pasar Binaya dalam jangka pendek dibandingkan dengan pasar-pasar pengikut lainnya dengan pasar Binaya.

Ketika Pasar Mardika dijadikan sebagai pasar acuan, maka nilai Integration Market Coeficient (IMC) pasar Salahutu, Leihitu, Passo, SBB, Binaya dan SBT yang merupakan pasar pengikut (reference market) menunjukkan angka > 1 (Tabel 25). Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi integrasi jangka pendek antara harga ikan di pasar acuan Mardika dengan pasar-pasar

lainnya sebagai pasar pengikut. Nilai IMC yang jauh lebih kecil dari 0 menunjukkan derajat integrasi lemah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan demikian, perubahan harga yang terjadi di pasar Mardika tidak dapat ditransmisikan dengan baik ke seluruh pasar pengikut.

Untuk tiba di pasar Mardika yang terletak di pusat Kota Ambon, produk perikanan hasil tangkapan nelayan Kecamatan Salahutu dan sekitarnya, nelayan Kecamatan Leihitu dan sekitarnya, nelayan Kecamatan Leitimur Selatan dan sekitarnya harus melewati sejumlah pasar, termasuk pasar-pasar yang menjadi lokasi penelitian ini. Sejumlah ikan akan diturunkan terlebih dahulu di pasar-pasar tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang tinggal dan/atau berbelanja di pasar tersebut. Karenanya perubahan harga yang terjadi di pasar Mardika tidak dapat tertransmisikan dengan baik ke pasar-pasar pengikut tersebut.

Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa harga terbentuk dari hasil kerjasama banyak faktor, yang digolongkan ke dalam kekuatan penawaran dan permintaan yang besarnya tidak tetap, tetapi berubah-ubah baik dalam jangka pendek maupun panjang. Perubahan permintaan dalam jangka pendek biasanya disebabkan oleh perubahan dalam harga barang pengganti, perubahan dalam preferensi dan taste konsumen dan dalam jangka panjang terjadi karena pertambahan penduduk, perubahan pendapatan per kapita dan perubahan kebiasaan membeli dari konsumen. Sementara perubahan penawaran dalam jangka pendek sering tergantung pada kebutuhan penjual akan uang, biaya penyimpanan dan perkiraan tentang harga-harga mendatang, sedangkan dalam jangka panjang sangat tergantung pada kesediaan produsen untuk memproduksi barangnya. Selain itu, tingkat harga suatu barang di pasaran turut ditentukan oleh tingkat harga umum. Apabila tingkat harga umum rendah, maka harga produk tersebut cenderung rendah, sebaliknya bila tingkat harga umum tinggi, maka harga produk tersebut cenderung tinggi pula.

Ketika pasar Binaya yang terdapat di Masohi (Maluku Tengah) dijadikan pasar acuan bagi pasar Salahutu, Leihitu, Piru dan Bula, hanya nilai IMC di pasar Piru yang memberikan nilai positif dan mendekati nilai 0 (Tabel 26). Pasar Salahutu dan Leihitu yang walau terletak di pulau Ambon, namun secara administratif merupakan pasar tingkat Kecamatan pada Kabupaten Maluku

Tengah. Hal ini mengakibatkan nelayan-nelayan yang ada di sentra produksi Leihitu dan Salahutu lebih mudah mendistribusikan hasil tangkapannya ke Kota Ambon dibandingkan ke Masohi sebagai pusat Kabupaten Maluku Tengah, akibat ketersediaan sarana transportasi yang lebih mudah dengan harga lebih murah. Jumlah penduduk di Kota Ambon yang lebih banyak dari Kabupaten Maluku Tengah, sementara produksi perikanan Kabupaten Maluku Tengah yang lebih besar dari Kota Ambon, juga turut mengakibatkan nelayan-nelayan yang ada di Leihitu dan Salahutu lebih memilih untuk memasok produksi tangkapannya ke pasar-pasar di Kota Ambon dari pada dibawa ke pusat Kabupaten Maluku Tengah (Masohi).

Tabel 27 Rangkuman hasil pengujian integrasi pasar ikan segar di Kawasan Maluku Tengah

Pasar Acuan : Mardika

Pasar pengikut Terintegrasi temporal Terintegrasi spasial jangka panjang Terintegrasi spasial jangka pendek

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

Passo * * * Salahutu * * * Leihitu * * * Piru * * * Binaya * * * Bula * * *

Pasar Acuan : Binaya

Pasar pengikut Terintegrasi temporal Terintegrasi spasial jangka panjang Terintegrasi spasial jangka pendek

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

Salahutu * * *

Leihitu * * *

Piru * * *

Bula * * *

Sumber : Hasil analisis (2011)

Pengujian terhadap ketiga pasar lainnya seperti pasar Piru, Binaya dan Bula yang terletak di pulau Seram menunjukkan nilai negatif dan menjauhi angka 0. Secara umum, IMC yang bernilai mendekati 0 menunjukkan derajat integrasi pasar yang tinggi. Ini berarti bahwa perubahan harga di pasar Binaya ditransmisikan dengan baik ke pasar Piru. Rangkuman hasil analisis integrasi

pasar Mardika, maupun pasar Binaya dengan pasar-pasar pengikut yang ada di Kawasan Maluku Tengah disajikan pada Tabel 27.

Ketika dua pasar dinyatakan tidak terintegrasi, itu berarti pasar pengikut tidak dapat dengan cepat melakukan penyesuaian terhadap perubahan harga yang terjadi di pasar acuan. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya sarana komunikasi yang cukup sehingga informasi tentang kondisi pasar tidak tersampaikan dengan baik. Padahal komunikasi merupakan salah satu faktor penentu integrasi pasar, selain transportasi dan karakteristik produk tersebut (Munir 1997). Selain itu, penjualan ikan dalam satuan tumpuk turut mengakibatkan adanya perbedaan harga yang cukup besar, ketika harga ikan dikonversikan ke dalam satuan kilogram. Walaupun kelihatannya harga ikan di setiap pasar mirip, namun perbedaan jumlah dan berat ikan yang dijual mengakibatkan adanya perbedaan harga antar pasar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama efisiensi pemasaran tidak terjadi di pasar-pasar yang diuji, kecuali antara pasar Piru (SBB) dengan pasar Binaya (Maluku Tengah). Hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor pembentuk harga, karakteristik dan daya beli masyarakat di kedua daerah ini lebih mirip dibandingkan dengan faktor-faktor tersebut di pasar-pasar lainnya. Purwoto (2001) menyatakan, saat pasar belum berjalan efisien, kebijakan pemerintah sangat diperlukan agar harga bahan pangan terjangkau oleh daya beli masyarakat dan ketahanan pangan rumahtangga dapat terwujud.