Kata kepuasan berasal dari bahasa latin satis artinya cukup baik, memadai
dan facio artinya melakukan atau membuat. Kepuasan bisa diartikan sebagai
upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai. Kepuasan debitur terdiri atas tiga komponen yaitu respons menyangkut fokus tertentu yang ditentukan pada waktu tertentu (Tjiptono dan Chandra, 2007).
Slamet (2003) menjelaskan bahwa filosofi mutu dalam hal ini adalah memberi kepuasan kepada khalayak sasaran (debitur). Kepuasan sendiri berasal dari :
a. Tujuan-tujuan yang dipahami oleh masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan dan harapan sasaran;
b. Usaha-usaha yang berhubungan dengan kepuasan dan dapat dilihat/ dirasakan dengan cara dapat memenuhi kebutuhan dan harapan;
c. Merasakan dan menyaksikan hasil-hasil yang dicapai; dan (d) sasaran dapat merasakan perkembangan ”usaha yang dirintisnya,” yaitu harapan untuk maju terus.
Menurut Rangkuti (2006), tujuan manajemen jasa pelayanan adalah untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan debitur sehingga tingkat ini dihubungkan dengan tingkat kepuasan debitur.
Banyak perusahaan saat ini menemukan bahwa tidak mungkin mendapatkan tingkat persaingan yang memadai hanya mengandalkan produknya saja. Perusahaan dituntut mengembangkan produk, bagaimana produk dapat dijual dan pelayanan yang unggul. Ini artinya melakukan strategi tidak hanya mendapat kepuasan debitur, tetapi lebih jauh mendapatkan loyalitas debitur.
Keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada akhirnya bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh debitur mengenai kepuasan yang dirasakan. Menurut Kotler (1997) kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja produk (atau hasil) yang dirasakan dengan harapannya. Kepuasan bersifat abstrak, sukar untuk diukur serta sangat subjektif sifatnya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan kinerja yang dirasakan dengan harapannya. Jika kinerja berada di bawah harapan, maka debitur kecewa, jika kinerja melebihi harapan maka debitur sangat puas dan gembira.
Tabel 2.2. Indikator kepuasan debitur terhadap proses pelayanan
No. Indikator Kepuasan Debitur
A. 1. 2. 3. 4. Reliability (Keandalan)
Angsuran tetap selama jangka waktu pembiayaan. Bunga lebih rendah dibandingkan bank lain. Biaya administrasi rendah.
Skim pembiayaan lebih bervariasi. B.
1. 2.
3. 4.
Responsiveness (Daya tanggap)
Petugas Bank tanggap terhadap kepentingan/keluhan debitur. Petugas Bank secara berkala menghubungi Debitur, baik kunjungan maupun melalui telepon menanyakan perkembangan usaha.
Waktu yang dilalui untuk proses pencairan kredit dilakukan dengan cepat.
Petugas Bank dapat memberi rasa aman dan membangun kepercayaan kepada debitur.
C. 1. 2. 3. 4. Assurance (Kepastian)
Prosedur dan persyaratan pencairan yang dilalui tidak rumit.
Hasil proses kredit diinformasikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Informasi yang ditawarkan lengkap melalui brosur, leaflet dan iklan. Petugas Bank memiliki pengetahuan yang cukup tentang transaksi perbankan khususnya perkreditan.
D. 1. 2. 3. 4. Empathy(Kepedulian)
Petugas Bank melayani dengan ramah dan sopan.
Petugas Bank bersikap proaktif dalam memberikan saran dan solusi kepada Debitur.
Petugas Bank tidak membeda-bedakan status sosial debitur. Petugas Bank dapat menjaga privacy.
E. 1.
2. 3. 4.
Tangibles (Fasilitas fisik)
Gedung Bank memiliki penataan interior dan layout ruangan yang baik.
Ruang pelayanan di kantor Bank bersih, rapih dan nyaman. Lokasi gedung mudah dicapai.
Gedung Bank memiliki fasilitas parkir yang memadai.
Keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada akhirnya bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh debitur mengenai kepuasan yang dirasakan. Menurut Kotler (1997) kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja produk (atau hasil) yang dirasakan dengan harapannya. Kepuasan bersifat abstrak, sukar untuk diukur serta sangat subjektif sifatnya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan kinerja yang dirasakan dengan harapannya. Jika kinerja berada di bawah harapan, maka debitur kecewa, jika kinerja melebihi harapan maka debitur sangat puas dan gembira.
Pencapaian kepuasan debitur melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut (Lupiyoadi, 2006):
a. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak manajemen dan debitur.
b. Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi di dalam perbaikan proses pelayanan. Termasuk di dalamnya adalah memperbaiki cara berpikir, perilaku, kemampuan dan pengetahuan dari semua sumberdaya manusia yang ada.
c. Memberi kesempatan kepada debitur untuk menyampaikan keluhan. Dengan membentuk sistem saran dan kritik, misalnya dengan hotline bebas pulsa. d. Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive dan
partnership marketing sesuai dengan situasi pemasaran. Perusahaan
menghubungi debitur setelah proses pelayanan terjadi untuk mengetahui kepuasan dan harapan debitur (accountable). Perusahaan menghubungi debitur dari waktu ke waktu untuk mengetahui perkembangan pelayanannya
(proactive). Adapun partnership marketing adalah pendekatan di mana
perusahaan membangun kedekatan dengan debitur yang bermanfaat untuk meningkatkan citra dan posisi perusahaan di pasar.
Menurut Nasution (2001) pada dasarnya, kepuasan debitur dapat didefiniskan secara sederhana sebagai suatu keadaan di mana kebutuhan, kenginan dan harapan debitur dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi. Oleh karena itu suatu perusahaan untuk tetap dapat unggul dan bersaing adalah memberikan mutu yang lebih baik dari pesaingnya secara konsisten. Kepuasaan debitur sangat tergantung pada persepsi dan ekspektasi, untuk itu perlu diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi harapan dan persepsi debitur (Nasution, 2001) sebagai berikut :
a. Kebutuhan dan keinginan yang dirasakan debitur ketika sedang melakukan transaksi dengan pemasok produk. Jika keinginannya besar, maka harapannya akan tinggi, demikian pula sebaiknya.
b. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan atau pesaing lain.
c. Pengalaman dari teman yang sudah beli. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi debitur, terutama pada produk yang beresiko tinggi.
d. Komunikasi melalui iklan dan pemasaran. Orang-orang di bagian penjualan dan periklanan seyogyanya tidak membuat kampanye berlebihan, melewati tingkat ekspektasi debitur, Kampanye berlebihan dan secara aktual tidak
mampu memenuhi ekspektasi debitur akan mengakibatkan dampak negatif terhadap persepsi debitur tentang produk.
Menurut Rangkuti (2006) kepuasan debitur dapat diukur dengan cara
traditional approach. Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta
memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati. Untuk itu pada umumnya digunakan skala Likert, yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Selanjutnya konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan.
Skala Likert merupakan salah satu varian pendekatan semantic differential. Bentuknya lebih langsung dibandingkan dengan metode scalling. Masalah syang sering muncul dari penggunaan pendekatan ini adalah:
a. Hasil penilaian seperti ini belum mencerminkan nilai kepuasan secara keseluruhan. Apabila pada waktu menilai secara keseluruhan hasil rata- ratanya kebetulan relatif rendah, maka pada waktu dibandingkan dengan nilai kepuasan berdasarkan masing-masing indikator, hasilnya pasti akan berada di atas nilai rata-rata standar. Jadi, semuanya akan dianggap puas, begitu juga sebaliknya.
b. Survei kepuasan konsumen pada umumnysa jarang sekali dapat mewakili populasi, apalagi dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar. Menentukan siapa pengguna sabun mandi merek tertentu, misalnya, akan sulit sekali.
c. Penilaian tingkat kepentingan acap kali membingungkan responden.
Misalnya, “penting untuk apa?” Dengan demikian, apabila tujuan riset adalah
untuk memahami kepuasan debitur, maka fokus utamanya adalah penjelasan mengenai pentingnya indikator tersebut terhadap tingkat kepentingan konsumen.
d. Penilaian mengenai hasil kepuasan debitur pada umumnya hanya menggambarkan tentang nilai puas dan tidak puas, jelek atau baik yang
hanya bersifat kualitatif, misalnya, “Apakah debitur ingin menggunakan
produk ini lagi?” atau “Apakah debitur ingin menggunakan jasa ini lagi?”
jarang sekali ditanyakan.
e. Skala Likert umumnya skala pengukuran ordinal, sehingga apabila kita langsung menghitung rata-ratanya, interpretasi yang dihasilkan akan keliru. Untuk mengatasi skala pengukuran ordinal pada skala Likert
digunakan teknik suksesif, yaitu mentransfer nilai yang diperoleh dari skala
Likert (ordinal) ke dalam bentuk interval, setelah itu menghitung nilai rata-