BAB III TEMUAN LAPANGAN
KONSEP-KONSEP PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN INDUSTRI
2.4 Tinjauan Umum Industri
BAB 2
KONSEP-KONSEP PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN INDUSTRI
2.4 Tinjauan Umum Industri
Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Djoko santoso, 2003:11 membagi industri menjadi empat, yaitu:
1. Industri Rumah Tangga
Seperti industri batik tulis, kerajinan tenun, kerajinan logam, kerajinan anyaman, kerajinan ukir-ukiran, dan kerajinan tanah liat.
2. Industri Ringan
Seperti industri jenang dodol, industri batik cap, dan industri sepatu. 3. Industri sedang
Seperti industri pakaian jadi dan industri percetakan. 4. Industri Besar
Seperti industri dasar (mesin, besi baja, pemintalan, dan kimia dasar) Dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 16/Permen/M/2006, yang dimaksud dengan “zona industri” adalah “bentangan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan”.
2.4.1 Aktifitas Industri
Aktifitas industri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang berkaitan satu sama lain sebagai suatu sistem produksi. Sistem produksi adalah gabungan dari beberapa unit/elemen yang saling berhubungan dan saling menunjang untuk melaksanakan proses produksi dalam suatu perusahaan (Djojodipuro, 1990:7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 24 Input : ·Bahan baku ·Tenaga kerja ·Modal
Proses produksi Output/ produk Pasar
Secara garis besar sistem produksi industri terbagi menjadi tiga bagian yaitu input, proses produksi dan output industri. Input sistem produksi terdiri dari bahan baku, tenaga kerja dan dana. Sedangkan proses produksi meliputi fasilitas, mesin dan peralatan, serta lingkungan kerja dan output sistem yang berupa produk yang dihasilkan (Djojodipuro, 1990:7-8).
Dalam faktor yang termasuk input, proses dan output, masih terdapat faktor lain yaitu berupa permintaan pasar, manajemen perusahaan, lingkungan eksternal yang meliputi pemerintah, teknologi, perekonomian dan kondisi sosial politik (David&Russel, 1994:11). Selain itu, Smith (1981:84) menambahkan bahwa masih terdapat faktor transportasi dan pasar dalam proses produksi industri.
Transportasi
Sumber : Smith, 1981:24
Gambar 2.1 Sistem Proses Produksi 2.4.2 Kebijakan Pengaturan Lokasi Industri
Penanganan masalah pendirian di suatu daerah melibatkan berbagai instansi dalam proses perizinannya. Secara umum penanganan dilakukan oleh dua instansi yang berbeda untuk jenis yang berbeda pula, yakni BKPM/BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal/Daerah) serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Dalam hal pengaturan lokasi industri, proses terjadi pada tingkatan Daerah Tingkat II. Instansi Pusat dan Dati I, tidak memiliki kebijaksanaan pengalokasian khusus karena hanya mengeluarkan Persetujuan Prinsip Usaha dan Izin Usaha Tetap (IUT). Mengenai persetujuan lokasi industri, instansi ini berpedoman pada rekomendasi yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengacu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pada Rencana Tata Ruang yang telah ada. Adapun jenis dan proses pengaturan lokasi dapat dilihat dari gambar berikut.
Sumber : Keppres No.41 tahun 1996
Gambar 2.2
Bagan Proses Pengaturan Lokasi Industri
Bagan tersebut menunjukkan bahwa lokasi industri sangat bergantung dari kualitas rencana tata ruang yang ada, dan pemerataan pertumbuhan industri akan sulit terjadi. Bila perencana dan pemda salah menetapkan rencana pengalokasian kegiatan industri, maka dampak apapun akan terjadi. Padahal posisi pemerintah pusat dalam mempengaruhi lokasi kegiatan ekonomi sangat penting.
2.4.3 Teori Lokasi
2.4.3.1Teori Alfred Weber
Pemilihan lokasi industri menurut Weber didasarkan pada prinsip meminimalisasi biaya. Weber mengatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung
Izin UUG oleh sekwilda dati II a.n. Bupati/
Walikota
· Izin Usaha Tetap
· Izin tenaga kerja asing
Perusahaan di dalam kawasan industri Perusahaan di luar
kawasan/ kawasan berikat Mengajukan usulan
usaha dan fasilitas yang diinginkan Mengajukan usulan lokasi usaha Permohonan HGB Investor Kanwil perindustrian
Izin lokasi oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kodya
sesuai RTR Izin lokasi oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kodya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Menurut Weber, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan transportasi dan bahan baku, Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau Locational Triangle untuk memperoleh lokasi optimum (Tarigan, 2005:140).
2.4.3.2Teori Lokasi Pasar Losch
Teori ini didasarkan pada permintaan (demand). Dalam teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimum dari suatu pabrik atau industri adalah apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas sehingga dapat dihasilkan pendapatan yang besar. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai dari pusat (industri), volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri, semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi akibat dari naiknya biaya transportasi. Berdasarkan teori ini setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Di samping itu, teori ini tidak menghendaki pendirian pabrik-pabrik secara merata dan saling bersambung sehingga berbentuk heksagonal karena hal ini akan menyebabkan harga semakin turun/murah.
Terhadap pandangan Losch ini, perlu dicatat bahwa saat ini banyak pemerintah yang melarang industri berada di dalam kota. Dengan demikian lokasi produksi/industri harus bergeser ke pinggir kota atau bahkan ke luar kota dengan membuka kantor pemasaran di dalam kota. Artinya dalam industri tersebut walaupun proses produksi berada di luar kota tetap merupakan bagian dari kegiatan kota dalam arti kata memanfaatkan range atau wilayah dari kota tersebut (Tarigan, 2005:145).
27
Tabel 2.1
Kriteria Lokasi Industri
Lokasi
Standar Teknis
Komplek
Industri Estet Industri
Lahan Peruntukan Industri
Kawasan Berikat/ Bonded Zone
Pemukiman
Industri kecil Sentra Industri Kecil
Sarana Usaha Industri Kecil Jarak terhadap
pusat kota
Di luar kota Maksimum 15 km Daerah pinggiran kota
Daerah pinggiran kota dengan aksesibilitas tinggi ke pelabuhan/ airport
Tak tertentu Tak tertentu Di dalam
estet industri
Jarak terhadap permukiman
Terpisah dari permukiman
Minimal 2 km Minimal 3 km Terpisah dari permukiman
Relatif berbaur dengan permukiman
Relatif berbaur dengan permukiman
Di dalam estet industri Jaringan jalan Di sekitar jalan
regional
Di sekitar jalan regional
Di sekitar jalan regional
Di sekitar jalan regional Di sekitar jalan lokal
Di sekitar jalan lokal Di dalam estet industri Fasilitas dan prasarana Minimal tersedia sumber air Dalam radius pelayanan listrik, air bersih, telekomunikasi, sistem transportasi dan perbankkan Dalam radius pelayanan listrik, air bersih, dan telekomunikasi
Dalam radius pelayanan listrik, air bersih, telekomunikasi, sistem transportasi terutama pelabuhan/ airport dan kargo terminal
Minimal terlayani listrik dan sumber air Minimal tersedia sumber air Di dalam estet industri Kualitas air sungai Terlayani sungai golongan C, D, E Terlayani sungai golongan C, D, E Terlayani sungai golongan C, D, E Terlayani sungai golongan C, D, E Terlayani sungai golongan C, D, E Terlayani sungai golongan C, D, E Di dalam estet industri Peruntukan lahan Budidaya pertanian
Budidaya pertanian Budidaya pertanian
Budidaya pertanian Dapat berbaur antara lain dengan permukiman dan pertanian
Dapat berbaur antara lain dengan perdagangan, pertanian dan permukiman Di dalam estet industri Keterangan :
Sungai Golongan A : air yang digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
Sungai Golongan A : air baku yang baik untuk air minum dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, selain keperluan A Sungai Golongan A : air baku yang baik untuk air minum dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, selain keperluan A dan B
Sungai Golongan A : air yang baik untuk pertanian, usaha perkotaan, industri, listrik tenaga air, lintasan air dan keperluan lain, selain keperluan A, B, C Sungai Golongan A : air yang tidak sesuai untuk keperluan dalam golongan A, B, C dan D
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user