• Tidak ada hasil yang ditemukan

ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN KOTAGEDE YOGYAKARTA

C. Tinjauan tentang Rumah Jawa

Istilah “omah” menurut baoesastra Jawa menunjukan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga

menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi memenuhi kebutuhan emosional serta biologis.

Menurut Dakung (1987) dalam Iswati (2001:31), rumah Jawa yang ideal terdiri dari paling tidak dua atau tiga unit bangunan yakni pendapa (ruang pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang disebut emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding, bagian dalam terdiri atas dua bagian (depan dan belakang) ataupun tiga bagian (depan, tengah dan belakang). Rumah dengan atap kampung atau limasan, mempunyai dua bagian ruang, sementara rumah dengan bentuk atap joglo mempunyai tiga bagian ruang. Bagian belakang terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen dan sentong tengah.

Gambar 3: Unit dasar rumah tradisional Jawa. (Sumber: Tjahjono, 1989

Subroto (1995:42) menyebutkan bahwa di dalam pandangan orang Jawa terdapat hubungan antara hirarki rasa personal dan konsep perencanaan rumah tradisionalnya. Rumah Jawa dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, adalah omah ngarep (rumah depan), yaitu tempat untuk menerima tamu, dan ditandai dengan adanya pendopo. Bagian ini merupakan bentuk dari sikap “ngarep-arep” (menanti dengan harap), oleh karenanya pendopo diekspos dan diletakkan di bagian depan rumah. Hal ini juga menunjukkan sikap”ngajeni” (menghormati) oleh pemilik rumah pada tamunya.

Bagian kedua adalah omah njero (rumah dalam) yang terletak di bagian tengah rumah, terdiri dari dalem / omah dan gandok. Omah dibagi menjadi dua, yakni bagian dalam dan luar. Bagian dalam ini bersuasana mistis, tertutup, dan gelap. Di sinilah aktivitas ritual pribadi dilaksanakan. Suasana misterius ini menimbulkan rasa ajrih (takut). Sementara emperan sebagai bagian luar omah berposisi sebagai ruang transisi, antara pendopo sebagai ruang luar dan omah sebagai ruang dalam, dan bisa dikatakan sebagai ruang semi privat, yang juga mencerminkan rasa sungkan. Mengapit omah atau dalem, terdapat

gandok yang biasanya digunakan sebagai ruang makan, tidur, dan

berkumpul keluarga. Gandok ini menunjukkan sikap lingsem (malu).

Pringgitan berfungsi untuk istirahat dan pada saat-saat tertentu untuk

tempat mengadakan pertunjukkan wayang. Ruang dalem untuk istirahat / tidur anak-anak, sentong kanan dan sentong kiri berfungsi untuk ruang tidur orang tua / menyimpan barang berharga, sentong tengah adalah tempat sakral, sebagai tempat menyimpan benda pusaka.

Bagian ketiga adalah omah mburi (rumah belakang), yang terdiri dari dapur, sumur dan kamar mandi. Bagian ini mewakili rasa

isin (sangat malu sekaligus rendah diri). Karenanya bagian ini harus

Gambar 4: Bagan Antar Hirarki Rasa Personal dengan Konsep Rumah Jawa (Sumber: Subroto, 1995)

Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi

(datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain

wanita, sedang pendapa adalah domain laki-laki. Sementara pringgitan merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.

Pada kehidupan sehari-hari, tamu perempuan akan lebih leluasa masuk ke dalem bahkan sampai ke dapur orang lain, sedangkan tamu laki-laki tidak boleh begitu saja memasuki ruang-ruang belakang. Kalau sedang ada hajat tetangga perempuan akan berkumpul untuk memasak bersama di dapur, sedang para lelaki akan membantu bekerja di bagian luar atau depan rumah. Bahkan di dalam keseharian pun, ada anggapan bahwa laki-laki tidak pantas berada atau beraktivitas di dapur

meskipun itu dapur rumahnya sendiri, karena dapur adalah wilayah perempuan.

Menurut Iswati, dkk (1999:28), rumah Jawa umumnya membagi rumahnya dalam tiga bagian yaitu profan, semi-profan dan sakral. Biasanya profan ditunjukkan oleh adanya pendapa, dimana setiap orang bisa memasukinya dan sifatnya publik, sedangkan rumah/dalem merupakan bagian dari intinya terdiri dari senthong tengah, senthong kiwa dan senthong tengen dan sifatnya privat/sakral. Sedangkan gandhok kiwa dan gandhok tengen, gadri/pawon merupakan ruang semi profan.

Tjahyono dalam Setyaningsih (2000:42), rumah bagi orang

Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad

cilik/mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede/makrokosmos. Salah

satu konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima

pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai

lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-barat.

Tjahjono (1989:71) mengemukakan konsep tentang rumah tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung di dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari) dan non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam ruang-ruang tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan seluruh penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah (area

pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok selatan-timur (area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni menghindari sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan kegiatan ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui api.

Tjahjono dalam Setyaningsih (2000:43), rumah bagi orang Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik /

mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede / makrokosmos. Salah satu

konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-barat.